oleh Agus Mustofa
pada 20 Juli 2012 pukul 14:55
Bulan
penuh rahmat telah datang! Rahmat itu, utamanya, diberikan kepada orang-orang yang
menjalani puasa Ramadan dengan penuh hikmah. Karena itu, bulan Ramadan identik dengan
bulan ‘berburu hikmah’. Berpuasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga. Atau, apalagi
sekedar menggugurkan kewajiban belaka. Puasa Ramadan harus mampu mengubah kualitas
diri menjadi lebih baik. Lahir dan batin.
Untuk
memperoleh hikmah sebanyak-banyaknya itulah, selama Ramadan kali ini Jawa Pos dan
Kaltim Pos menurunkan kolom TAFAKUR yang akan diisi oleh Agus Mustofa, mantan wartawan
Jawa Pos yang kini telah beralih profesi menjadi penulis buku. Karyanya yang sudah
lebih dari 40 judul buku itu dikenal sebagai serial Diskusi Tasawuf Modern yang
laris manis. Anda akan diajaknya berburu hikmah dengan caranya yang khas, yakni
memadukan pemahaman spiritualitas yang mendalam dengan sudut pandang ilmu pengetahuan
modern.
Selamat
berpuasa Ramadan. Selamat bertafakur. Semoga Allah mengaruniakan barokah dan hikmah
sebanyak-banyaknya kepada kita semua.
*
* *
Dalam
sebuah forum kajian, seorang jamaah bertanya kepada saya. “Apakah Pak Agus memilih
satu golongan dan meninggalkan yang lain, terkait dengan perbedaan penetapan awal
puasa ini?’’ Rupanya, ia mengira saya berpikir sempit mengarah ke golongan tertentu.
Sehingga dikhawatirkan akan memunculkan friksi yang semakin meluas.
Saya
katakan: ’’Tidak. Saya justru ingin
menyelesaikan masalah abadi, yang hampir setiap tahun muncul ini.’’ Kadang berbeda di awal Ramadan, kadang pula
di akhir Ramadan. Dan bahkan sudah merembet ke penetapan Hari Raya Haji yang semakin
tidak jelas jluntrungan-nya. Untuk
menyelesaikan ‘ketidak-jelasan’ itulah saya harus bisa menjelaskan secara teknis
terlebih dahulu duduk persoalannya.
Bahwa
perbedaan ini sebenarnya bukan soal penetapan ‘awal bulan’ Ramadan, melainkan penetapan
‘awal puasa’. Kalau soal awal bulan Ramadan, secara teknis sudah sangat jelas. Bahwa
ketika bulan Sya’ban usai, seketika itu pula sudah masuk bulan Ramadan. Dalam penanggalan
Hijriyah, bulan Sya’ban adalah bulan ke-8, sedangkan Ramadan adalah bulan ke-9.
Secara
Astronomi, sudah pasti tidak ada jeda antara Sya’ban dan Ramadan. Dan itu bisa langsung
dicek di angkasa. Yakni, Kamis pagi posisi bulan masih berada di sebelah kanan matahari.
Namun, sesaat setelah pukul 11.25, posisi Bulan sudah berada di kiri matahari. Itu
artinya, sudah memasuki fase baru, yakni Ramadan.
Sehingga
menjadi aneh, secara astronomi, ketika semua pihak sepakat bahwa Sya’ban sudah berakhir
di KAMIS, 19 Juli 2012, tetapi 1 Ramadan ditetapkan jatuh pada hari SABTU, 21 Juli
2012. Jangan heran kalau lantas ada kawan saya yang bertanya: ’’Kalau begitu
hari JUM’AT, 20 Juli 2012 termasuk dalam bulan Sya’ban ataukah Ramadan, ataukah
tidak punya Bulan?’’ tanyanya sambil
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Penetapan
seperti itu, sungguh tidak jelas. Dan membuat umat tambah bingung. Harusnya dibedakan
antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Ramadan sebagai bulan, sudah pasti telah
masuk SESAAT setelah ijtima’ - posisi segaris antara Bulan-Matahari-Bumi. Dan bisa
langsung diamati di angkasa dengan menggunakan peralatan astronomi, maupun simulasi
metode hisab. Karena tidak mungkin ada ‘hari antara’ di peralihan Sya’ban dan Ramadan.
Pilihannya hanya dua: masuk Sya’ban atau Ramadan.
Nah,
ketika sudah disepakati Sya’ban telah habis Kamis siang, maka siang itu pula hilal
sudah memasuki bulan Ramadan. Sehingga sore hari saat matahari tenggelam ‘hilal
Ramadan’ sudah berumur 6 jam. Memang tidak akan terlihat oleh mata telanjang, saking
tipisnya. Tetapi, bulan Ramadan sudah masuk.
Tinggal
masalahnya: apakah akan berpuasa hari Jum’at ataukah hari Sabtu. Ini sudah bukan
wilayah Astronomi lagi, melainkan masalah fiqih ibadah puasa. Disinilah sebenarnya perbedaan
itu muncul. Ada yang berpatokan pada hadits: jika hilal tidak kelihatan, maka genapkanlah.
Sehingga, karenanya ada yang berpuasa Sabtu. Lainnya berpendapat: karena bulan Ramadan
sudah masuk, maka wajib hukumnya untuk segera berpuasa. Masalahnya menjadi clear. Silakan Anda memilih sesuai keyakinan
Anda sendiri-sendiri.
Seandainya,
perbedaan itu dijelaskan dengan cara demikian, saya kira masyarakat luas akan bisa
memahami dan menerima dengan lapang dada. Sayangnya, yang terjadi sangat rancu:
campur aduk antara ‘awal bulan’ dengan ‘awal puasa’. Dan persoalannya menjadi merembet
kemana-mana. Ada yang merasa dibodohi karena informasinya seperti ditutupi, ada
yang merasa dibodohkan karena dianggap tidak bisa menghitung, padahal dia merasa
sebagai pakar ilmu Falak. Dan, ada pula yang tak tahu harus melakukan apa, karena
serba bingung.
Jika,
kondisinya clear seperti itu, saya kira perbedaan ini akan benar-benar
membawa hikmah dan menjadi rahmat bagi umat Islam. Setiap orang menjadi paham duduk
persoalannya. Dan terserah mereka mau memulai puasa Jum’at atau Sabtu, dengan dalilnya
sendiri-sendiri.
Pertanggungjawabannya
langsung kepada ilahi rabbi.
Tetapi,
kalau soal ketidak-jelasan hari Jum’at masuk Sya’ban atau Ramadan, itu pertanggung-jawabannya
adalah secara Astronomi. Dan itu berlaku untuk seluruh penduduk Bumi, bukan hanya
bagi umat Islam. Posisi Bulan tak akan bisa ditutup-tutupi dengan cara apa pun.
Karena sungguh, Bulan tak pernah berbohong. Meskipun, sayangnya, Bulan tidak bisa
ngomong.
Wallahu
a'lam bishshawab. (bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar