oleh Agus Mustofa pada 29 Juli 2012 pukul 7:23
Tanggal
berapakah sekarang? Orang Indonesia menyebutnya tanggal 29 juli 2012. Orang Cina
menamakannya, 11 Bing Shen 4710. Dan orang Arab mengatakan, 10 Ramadan 1433 H. Padahal
harinya sama. Tetapi, kenapa kok tanggalnya berbeda? Itulah realitas. Waktu alam
semesta bersifat mutlak, tetapi waktu manusia berbeda-beda, bersifat relatif.
Memang,
kalender bersifat kesepakatan manusia. Bisa dalam komunitas kecil, atau bangsa,
atau dunia internasional. Tiga macam kalender yang saya sebut diatas adalah tiga
kalender besar dunia, yang masing-masingnya dianut oleh miliaran penduduk bumi.
Kalender Masehi alias Gregorian dipakai secara internasional, antar bangsa dan negara.
Kalender Cina dipakai oleh bangsa Cina dimana pun mereka berada. Demikian pula kalender
Hijriyah dipakai oleh umat Islam di berbagai negara.
Perbedaan
antara satu kalender dengan lainnya, terletak pada sistem penghitungan dan permulaan
tahun pertamanya. Kalender Masehi menganut sistem solar yang berbasis pada peredaran
bumi mengelilingi matahari, dan memulai awal tahunnya dari kelahiran Al Masih. Sekarang
sudah berumur 2.012 tahun. Kalender Cina menggunakan dasar perhitungan terpadu antara
sistem matahari dan bulan (lunisolar). Dan awal tahunnya dimulai dari masa pemerintahan
kaisar Huang Ti. Usia kalendernya sudah 4.710 tahun. Sedangkan kalender Hijriyah
berdasar pada perputaran bulan (lunar), dan dimulai dari saat hijrahnya Rasulullah
SAW. Usia kalendernya sudah 1.433 tahun.
Untuk
menyebut fakta alam yang sama, ternyata manusia menggunakan cara berbeda-beda, tergantung
pada kepentingannya. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi, masing-masing pengguna
kalender tersebut sepakat bahwa kalender mereka berlaku internasional. Bukan hanya
pada komunitas terbatas. Bahkan, semuanya ingin agar kalendernya dipakai sebagai
pedoman internasional untuk menandai berbagai peristiwa.
Kalender
Masehi adalah kalender yang paling global, dianut oleh hampir seluruh negara di
dunia. Termasuk yang sudah punya kalender Cina dan Hijriyah. Sedangkan Kalender
Cina terbatas di negaranya sendiri, dan para Cina perantauan yang masih ingin menjalin
hubungan dengan bangsanya. Demikian pula kalender Hijriyah, berlaku di negara-negara
Arab seperti Mesir dan Arab Saudiyah, beserta umat Islam dimana pun berada, yang
berkepentingan untuk menandai peristiwa-peristiwa keagamaannya. Diantaranya, puasa
Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Semua itu, tentu saja, dimaksudkan agar pelaksanaan
ibadah puasa, Idul Fitri dan Hari Raya Haji memiliki gaung syiar secara internasional.
Maka,
jika terjadi perbedaan antara satu negara dengan negara lain dalam penetapan kalender
Hijriyah, sebenarnya itu menyalahi tujuan dibuatnya kalender tersebut. Mestinya
tidak mungkin berbeda, kecuali para penganut
kalender itu tidak ingin kalendernya mendunia. Dan hanya berlaku lokal-lokal
saja. Atau, bahkan hanya terkotak-kotak dalam komunitas kecil belaka. Kalender seperti
ini bakal berakhir tragis –punah– karena penganutnya akan semakin sedikit, disebabkan
konflik yang terus menerus muncul karenanya. Dan tidak bisa dijadikan pedoman dalam
hidup bermasyarakat.
Jadi,
untuk apa dibuat kalender kalau tidak untuk disepakati dan ditaati, dimana negara-negara
yang bertetangga pun bisa berbeda. Bahkan,
di dalam negara yang sama pun, ternyata ada dua kalender Hijriyah. Keadaan semacam
ini akan mendorong generasi selanjutnya lebih suka memilih kalender lain yang lebih
praktis. Maka, kayaknya ada yang salah dengan penanggalan Hijriyah yang berbeda
saat awal Ramadan itu. Dan tentu saja harus segera diselesaikan, karena bisa menimbulkan
hal-hal yang kontraproduktif secara syiar.
Itulah
alasannya, kenapa saya lantas mengajukan solusi memisahkan ‘awal bulan’ dengan ‘awal
puasa’ Ramadan, seperti dalam tulisan sebelumnya. Karena, kalender Hijriyah di seluruh
muka bumi ini harusnya sama. Kalau berbeda, menjadi aneh. Masa, di Arab Saudi dan
Mesir tanggal 1 Ramadan, tapi di Indonesia tanggal 30 Syakban, misalnya. Padahal
jarak antara Timur Tengah dengan Indonesia hanya 4-5 jam saja. Tentu, ada yang keliru
dengan perbedaan ini. Kecuali, kedua kawasan itu berjarak 12 jam, sehingga berada
di balik bumi.
Dengan
memisahkan antara ‘awal bulan’ dan ‘awal puasa’, persoalannya menjadi clear.
Bahwa di setiap negara yang menganut kalender Hijriyah, pada hari yang sama tanggalnya
pasti sama. Tetapi puasanya bisa saja berbeda, dikarenakan alasan fikih terkait
penampakan hilal. Ada yang melakukannya lebih awal, dan ada pula yang lebih
akhir. Saya kira – untuk sementara waktu – tidak menjadi masalah. Karena ada landasan
yang jelas. Akan tetapi akan menjadi absurd, kalau di antara negara-negara
penganut kalender Hijriyah itu sendiri berada di tanggal yang berbeda-beda. Segala
interaksi administrasi internasional bakal ikut bermasalah.
Mudah-mudahan
umat Islam di dunia Internasional – khususnya di Indonesia – segera menyadari hal
yang sangat serius ini. Segeralah duduk bersama untuk membuat kalender Hijriyah
yang disepakati bersama, karena dari sinilah bermula kerbersamaan umat.
Wallahu
a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar