Perbuatan
yang paling ‘dibenci’ Allah adalah syirik alias menyekutukan Allah dengan Tuhan
lain. Dalam Al Qur’an perbuatan syirik disebut sebagai dosa besar yang tidak diampuni
oleh Allah. Kecuali, pelakunya bertaubat dan kemudian hanya bertuhan kepada Allah
saja.
Maka,
orang-orang musyrik yang dulu menyembah berhala di zaman jahiliyah pun, ketika kemudian
bertuhan kepada Allah, mereka memperoleh ampunan dari Sang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Artinya, tidak diampuninya dosa syirik itu adalah ketika seseorang masih
terus melakukan atau sedang menjalankannya. Jika sudah tidak lagi, tentu saja akan
diampuni-Nya, karena Dia adalah Dzat yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
QS. Al Furqaan (25): 70
kecuali orang-orang yang bertaubat (dari kemusyrikannya),
beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS. Al Israa’ (17): 25
Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang
yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.
Pada
hakekatnya, seluruh proses keberagamaan seorang manusia adalah beranjak dari musyrik
menuju muslim. Musyrik itu menyekutukan Allah, sedangkan muslim adalah berserah
diri hanya kepada-Nya. Persis seperti yang diucapkan oleh nabi Ibrahim sebagai The Founding Father agama
Islam, yang kemudian kita abadikan dalam shalat.
QS. Al An’aam (6): 103
Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama muslim (berserah diri kepada
Allah)".
Bentuk
kemusryikan sungguh sangat beragam. Ada yang musyrik dengan cara menyembah patung
berhala. Ada yang musyrik dengan menjadikan manusia dan malaikat sebagai bagian
dari unsur ketuhanan. Ada yang musyrik dengan menjadikan harta benda, kekuasaan,
dan segala kepentingannya sebagai ‘tuhan-tuhan’ yang tak dinamainya tuhan, tetapi
pada prakteknya dia telah bertuhan kepada segala macam selain Allah itu.
Setiap
kita sebenarnya memiliki kadar kemusyrikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Dan itu
tidak akan diampuni-Nya ketika kita tidak segera beranjak menuju muslim sejati.
Cobalah tanyakan pada diri sendiri: sudahkah Anda benar-benar terbebas dari kemusyrikan?
Dan sudah bisa berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menjalani hidup ini?
Dalam suka maupun duka?
Ketika
harta benda Anda ludes dimakan api misalnya, dan seluruh tabungan di bank lenyap
karena banknya bangkrut, gemetarkah Anda? Putus harapankah Anda? Ataukah bisa bertawakal
dan berserah diri kepada-Nya?
Ketika
orang yang sangat Anda cintai, tiba-tiba pergi meninggalkan Anda untuk selamanya,
lemaskah persendian tubuh Anda, larut dalam kesedihan yang mendalam dan putus asa?
Ataukah bisa bersabar dan bersandar kepada-Nya?
Ketika
segala fasilitas dan kenyamanan yang Anda nikmati sekarang tiba-tiba runtuh, merasa
habiskah Anda? Ataukah, masih bisa terus tersenyum sambil bekerja keras kembali
di jalan Allah, Sang Pemurah..?
Jawabannya
akan menggambarkan seberapa besar tingkat kemusyrikan kita kepada Allah. Semakin
merasa kehilangan atas segala sesuatu itu, maka semakin besar rasa kebergantungan
kita kepada ’tuhan’ selain Allah. Semakin musyriklah kita. Sebaliknya, semakin tawakal
dan sabar dalam menghadapi segala permainan hidup ini, semakin besar pula keyakinan
kita kepada-Nya, insya Allah telah bertauhid secara lebih sempurna. Berarti, kita
telah berhasil menerapkan makna laa
ilaaha illallaah dalam hidup, bahwa ’’tiada sesuatu pun yang layak dijadikan
sebagai tempat bergantung, kecuali Allah...’’
Insya
Allah kita semua sudah paham dengan substansi tauhid. Bahwa kita dilarang melakukan
kemusyrikan dalam bentuk apa pun, sekecil apa pun, karena yang demikian itu bisa
mengotori penghambaan kita kepada Allah.
Akan
tetapi perintah bertauhid atau larangan syirik ini tidak berdiri sendiri. Allah
juga memerintahkan kita untuk melakukan syiar. Dua hal ini ~ bertauhid dan bersyiar
~ bagaikan dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata uang yang sama. Seluruh
nabi dan utusan Allah perintah utamanya hanya dua, yakni: ’’ajak manusia untuk bertauhid,
dengan cara syiar yang baik...’’. Keduanya dilakukan dalam ’satu tarikan nafas’.
Lantas
siapakah yang harus kita syiari? Apakah umat Islam saja? Ataukah seluruh umat manusia?
Dengan mudah kita bisa mengetahui jawabannya, dari pertanyaan ini: untuk siapakah
al Qur’an diturunkan dan untuk siapakah Nabi Muhammad diutus? Apakah untuk umat
Islam saja, ataukah untuk seluruh manusia? Juga, untuk siapakah misi rahmatan lil alamin ini diwahyukan?
Untuk umat Islam saja ataukah untuk seluruh manusia?
QS. An Nisaa’ (4): 174
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad)
dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an).
QS. Al Anbiyaa’ (21): 107
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Ternyata,
Allah menjawab dengan sangat gamblang di dalam firman-firman-Nya, bahwa misi Rasulullah
dan Al Qur’an adalah untuk menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia. Bahkan seluruh
alam. Berarti, Islam harus disyiarkan kepada siapa saja. Bukan hanya kepada umat
Islam. Justru yang belum Islam. Yang belum berserah diri kepada Allah. Yang belum
bertuhan kepada-Nya. Yang belum mengakui Tuhan sesungguhnya, Sang Penguasa alam
semesta.
Lantas
bagaimana caranya? Apakah dengan cara memusuhi mereka yang belum Islam? Apakah harus
membuat gap psikologis yang tidak perlu? Apakah dengan menjelek-jelekkan siapa saja
yang belum bertuhan kepada Allah? Apakah dengan menjauhi mereka?
Ataukah
sebaliknya? Dengan menunjukkan kehangatan dalam persahabatan. Dengan menunjukkan
kepemaafan. Dengan menunjukkan sifat suka menolong dan berbuat kebajikan. Dengan
memberikan teladan yang baik dalam kehidupan. Dengan argumentasi-argumentasi yang
masuk akal dan bisa diterima semua pihak secara terbuka.
Sungguh
akan menjadi ’sangat aneh’, kalau kita ingin syiar tapi sambil terus membuat gap
psikologis, membangun sikap permusuhan, dan menjauhi orang-orang yang ingin kita
syiari...(?)
Bukankah,
Rasulullah pun malah mendoakan orang-orang musyrik agar mereka menjadi muslim? Dan
doa Rasulullah itu dikabulkan Allah. Maka, Umar bin Khaththab dan Hamzah yang tokoh
musyrikin Quraisy pun masuk Islam. Bahkan menjadi pahlawan Islam yang luar biasa
tangguhnya.
Larangan
berdoa untuk kaum musyrikin itu adalah memohonkan ampunan, saat mereka masih berbuat
kemusyrikan. Ya tentu saja. Lha
wong mereka tidak bertuhan kepada Allah, kok dimintakan ampun kepada
Allah. Musy ma’ul
kata orang Mesir, alias nggak
masuk akal. Tentu saja Allah tidak akan mengampuninya, karena mereka kan memang tidak bertuhan
kepada-Nya? Maka kita menjadi paham, ketika Allah mengingatkan para nabi yang karena
kelembutannya masih memohonkan ampunan buat mereka. Yakni, Nabi Ibrahim terhadap
ayahnya, Nabi Nuh terhadap anaknya, dan nabi Muhammad terhadap pamannya.
Akan
tetapi, bagi para penyembah berhala yang sudah menjalankan Tauhid dengan sebenar-benarnya
~ hanya bertuhan kepada Allah ~ sungguh ampunan Allah sedang menunggu mereka di depan pintu surga...
Maka,
dalam konteks ini marilah kita tebarkan semangat rahmatan lil alamin setulus-tulusnya bagi seluruh
umat manusia. Bukan hanya kepada saudara-saudara kita yang muslim. Melainkan juga
kepada kawan-kawan dan sahabat-sahabat kita yang belum Islam. Seluruh umat manusia.
Sambil terus berdoa kepada Allah mudah-mudahan umat akhir zaman ini mendapat petunjuk
dari Allah Sang Maha Bijaksana untuk bertuhan hanya kepada Sang Penguasa sejati:
Allah azza wajalla...
Bisa
kan, kita menyiarkan
agama rahmatan lil alamin
ini tanpa harus mengorbankan ketauhidan? Kecuali, kalau kita belum yakin betul siapa
Tuhan sejati Penguasa Jagat Raya yang hebat ini ... :)
QS. Al Hajj (22): 67
Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan,
maka tidak sepantasnya mereka berbantahan denganmu dalam urusan ini. Dan serulah mereka kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar
berada pada jalan yang lurus.
QS. Asy Syuura (42): 15
Maka dari itu, serulah (mereka ke jalan Allah)
dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu
mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah
dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah-lah
Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami
dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu,
Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) bakal kembali"
QS. Ali Imran (3): 159
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Wallahu
a’lam bishshawab
~
salam ~
oleh Agus Mustofa pada 25 Desember 2010 pukul 18:03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar