Sahabat JERNIH yang
dirahmati oleh Allah ..
Jika umat Islam ditanya :
“Siapakah yang kau sembah?” Mereka akan menjawab : “Allah .. atau Tuhan!”
Jika umat Islam ditanya :
“Apakah agama Islam membolehkan pemberhalaan?” Mereka akan menjawab : “Tentu
tidak!”
Betul sekali sahabat.
Kalimat “La Ilahaillalah” adalah sebuah ‘kampanye’ anti-pemberhalaan, di mana
tidak boleh ada tuhan-tuhan lain selain Allah yang patut disembah. Sejak dahulu
para nabi telah berjuang untuk membimbing umat manusia dari bahaya
pemberhalaan, dan mengembalikannya ke jalan yang lurus.
Saya sudah pernah membahas
tentang “Hakikat Bersyahadat” (https://www.facebook.com/photo.php?fbid=433994340026016&set=o.145664822172198&type=3)
di mana di situ saya paparkan bagaimana manusia meskipun berikrar bahwa “Tiada
Tuhan selain Allah”, namun pada kenyataannya masih banyak yang bertuhan kepada
kelompok dan golongan, uang, jabatan, dsb. Kali ini saya ingin mengingatkan
tentang sebuah bahaya pemberhalaan yang seringkali luput dari perhatian kita :
“Bertuhan kepada agama!”
Apa itu “Bertuhan kepada
agama?”
Sebagaimana kita ketahui,
bahwa Al Qur’an mengatakan bahwa segala apa yang kita lakukan di dunia ini pada
akhirnya akan dipersembahkan oleh Allah, Sang Pencipta dan Sang Raja Semesta
Alam :
“ Katakanlah: ‘Sesungguhnya
shalat, ibadah, hidup dan matiku HANYALAH UNTUK ALLAH, Tuhan semesta alam’” (QS
Al An’am [6] : 162)
Agama (Din) hanyalah sebuah
jalan untuk menuju kepada-Nya. Dengan berpegang kepada “Perjanjian Suci” yang
kita kenal dengan nama “Agama” tersebut, maka manusia bisa kembali kepada Allah
dalam keadaan yang baik. Namun patut disayangkani, ternyata sebagian dari kita
tidak memahami fungsi agama tersebut, sehingga tanpa sadar mereka menjadikan
agama itu sendiri sebagai sebuah tujuan akhir, alias “memberhalakan agama”.
Masih ingat kasus kaos
bertuliskan “Tuhan, Agamamu Apa?” yang sempat menimbulkan insiden oleh anggota
ormas Islam yang merasa marah akan pesan tersebut? Bahkan saya juga beberapa
kali membaca komentar di forum dumay yang mengatakan bahwa “Tuhan beragama
Islam”.
Ini adalah logika berpikir
yang sangat rancu dan lucu. Bagaimana mungkin Tuhan itu beragama? Bukankah
Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu termasuk agama-agama itu sendiri?
Bahkan secara tegas Al Qur’an menjelaskan bahwa Tuhan telah menciptakan
berbagai macam jalan (baca : agama) untuk masing-masing umat di dunia ini :
“Dan bagi TIAP-TIAP UMAT ADA
KIBLATNYA (sendiri) yang ia menghadap kepada-Nya. Maka BERLOMBA-LOMBALAH KAMU
(DALAM BERBUAT) KEBAIKAN. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (di Hari Akhir). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS Al Baqarah [2] : 148)
Memberhalakan agama itu
sesungguhnya terjadi pada setiap umat. Hanya saja, saya tidak tertarik untuk
membahas yang terjadi pada umat lain, sehingga biarlah hal tersebut menjadi
tanggung jawab pemuka agama masing-masing. Di sini saya akan mengkhususkan
pembahasan kepada umat Islam saja.
Coba kita amati yang terjadi
selama ini di kalangan umat Islam. Masih banyak yang tidak puas jika “Islam”
itu tidak menjadi yang “terunggul” atas umat lain. Sehingga alih-alih giat
melakukan kebaikan demi kebaikan sebagai perintah Tuhan, yang terjadi adalah
main klaim sebagai “agama terbaik” atau “agama terunggul”. Jujur saya cukup
sedih ketika mendengar ceramah sebagian ustadz yang tidak terlalu menganjurkan
untuk berbuat baik demi kemanusiaan, akan tetapi lebih menitikberatkan kepada
“kampanye untuk memeluk agama (baca : lembaga) Islam” dengan iming-iming masuk
surga, dan ancaman neraka bagi yang tidak memeluk agama Islam versi ustadz
tersebut.
Banyak pula yang berislam
dengan iri dengki terhadap kebaikan yang dilakukan oleh golongan-golongan “di
luar Islam”, sehingga perbuatan sebaik apa pun selama tidak “berlabel Islam”
maka tidak akan diapresiasi bahkan menuai kecurigaan. Segala tradisi positif
yang berada di luar “koridor Islam” akan secara sepihak dituduh “sesat dan
menyesatkan” sebagaimana : yoga, reiki, hongshui-fengshui, adat Kejawen,
spiritualisme, dsb. Ini belum termasuk kecurigaan berlebihan terhadap kegiatan
kemanusiaan yang dilakukan oleh umat-umat lain, sehingga muncul istilah :
“Kristenisasi, Buddhanisasi, dsb”. Seolah-olah hanya umat Islam yang boleh
berbuat kebaikan, sementara umat lain selalu dituduh memiliki ‘misi
terselubung’.
Ini sungguh merupakan
penyakit kronis yang memprihatinkan. Bagaimana mungkin hati kita terluka ketika
melihat orang lain berbuat kebaikan? Bukankah seharusnya hati ini senang ketika
semakin banyak orang berbuat kebaikan, terlepas dari latar belakang suku, agama,
ras, dan golongannya masing-masing, sebagaimana disebutkan dalam QS 5:48 tadi?
Saya jadi teringat nasihat
guru ngaji saya dulu, bahwa ciri-ciri ‘orang sakit’ adalah “senang ketika
melihat orang lain menderita, dan menderita ketika melihat orang lain senang”.
Jauh lebih memprihatinkan
lagi kalau “Pemberhalaan Agama” ini berkembang menjadi sebuah “gerakan
penindasan” yang sistematik. Melarang umat lain membangun rumah ibadah dan
beribadah, memaksakan ideologi agama di dalam kehidupan negara yang berbhineka
tunggal ika (seperti kasus Lurah Susan di Lenteng Agung baru-baru ini), bahkan
secara arogan mengkampanyekan slogan “Islam Will Dominate” yang konon diyakini
bahwa “Agama Allah akan dimenangkan terhadap agama-agama lain”. Dengan demikian
pergesekan dan pertikaian antar umat, bahkan pertumpahan darah adalah sah-sah
saja, asalkan “Islam menjadi yang terbaik, terhebat, dan nomor satu.”
Seperti inikah Islam yang
kita pahami? Seperti inikah Islam yang kita yakini? Seperti inikah Islam yang
kita inginkan?
Tidakkah kita sadari bahwa
segala arogansi yang mengatasnamakan Islam itu justru bertentangan dengan
ajaran Islam yang damai dan universal? Catat perkataan saya :
“Hanya Al Qur’anlah
satu-satunya kitab suci yang secara eksplisit mendeklarasikan pengakuan
terhadap keberagaman syariat (agama) dan anjuran untuk berlomba-lomba berbuat
kebajikan!”
“ ... Untuk TIAP-TIAP UMAT
di antara kamu, Kami berikan ATURAN dan JALAN yang TERANG. SEKIRANYA ALLAH
MENGHENDAKI, niscaya kamu dijadikan-Nya SATU UMAT (saja), tetapi Allah hendak
MENGUJI kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka BERLOMBA-LOMBALAH berbuat
KEBAJIKAN ...” (QS Al Maidah [5] : 48)
Ketika agama menjadi
berhala, maka petakalah yang akan terjadi. Manusia akan disibukkan untuk
menegakkan “label-label agama” namun lalai dalam berbuat kebajikan.
Mari, kita kembalikan agama
sebagai “Jalan menuju Allah”, sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya :
“... Sesungguhnya kami
adalah MILIK ALLAH dan kepada-Nya-lah kami KEMBALI .. ” (QS Al Baqarah [2] : 156)
Allahu’alam ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar