Kamis, 10 Oktober 2013

BERHALA AGAMA

Sahabat JERNIH yang dirahmati oleh Allah ..

Jika umat Islam ditanya : “Siapakah yang kau sembah?” Mereka akan menjawab : “Allah .. atau Tuhan!”

Jika umat Islam ditanya : “Apakah agama Islam membolehkan pemberhalaan?” Mereka akan menjawab : “Tentu tidak!”

Betul sekali sahabat. Kalimat “La Ilahaillalah” adalah sebuah ‘kampanye’ anti-pemberhalaan, di mana tidak boleh ada tuhan-tuhan lain selain Allah yang patut disembah. Sejak dahulu para nabi telah berjuang untuk membimbing umat manusia dari bahaya pemberhalaan, dan mengembalikannya ke jalan yang lurus.

Saya sudah pernah membahas tentang “Hakikat Bersyahadat” (https://www.facebook.com/photo.php?fbid=433994340026016&set=o.145664822172198&type=3) di mana di situ saya paparkan bagaimana manusia meskipun berikrar bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”, namun pada kenyataannya masih banyak yang bertuhan kepada kelompok dan golongan, uang, jabatan, dsb. Kali ini saya ingin mengingatkan tentang sebuah bahaya pemberhalaan yang seringkali luput dari perhatian kita : “Bertuhan kepada agama!”

Apa itu “Bertuhan kepada agama?”

Sebagaimana kita ketahui, bahwa Al Qur’an mengatakan bahwa segala apa yang kita lakukan di dunia ini pada akhirnya akan dipersembahkan oleh Allah, Sang Pencipta dan Sang Raja Semesta Alam :

“ Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku HANYALAH UNTUK ALLAH, Tuhan semesta alam’” (QS Al An’am [6] : 162)

Agama (Din) hanyalah sebuah jalan untuk menuju kepada-Nya. Dengan berpegang kepada “Perjanjian Suci” yang kita kenal dengan nama “Agama” tersebut, maka manusia bisa kembali kepada Allah dalam keadaan yang baik. Namun patut disayangkani, ternyata sebagian dari kita tidak memahami fungsi agama tersebut, sehingga tanpa sadar mereka menjadikan agama itu sendiri sebagai sebuah tujuan akhir, alias “memberhalakan agama”.

Masih ingat kasus kaos bertuliskan “Tuhan, Agamamu Apa?” yang sempat menimbulkan insiden oleh anggota ormas Islam yang merasa marah akan pesan tersebut? Bahkan saya juga beberapa kali membaca komentar di forum dumay yang mengatakan bahwa “Tuhan beragama Islam”.

Ini adalah logika berpikir yang sangat rancu dan lucu. Bagaimana mungkin Tuhan itu beragama? Bukankah Tuhan adalah Sang Pencipta segala sesuatu termasuk agama-agama itu sendiri? Bahkan secara tegas Al Qur’an menjelaskan bahwa Tuhan telah menciptakan berbagai macam jalan (baca : agama) untuk masing-masing umat di dunia ini :

“Dan bagi TIAP-TIAP UMAT ADA KIBLATNYA (sendiri) yang ia menghadap kepada-Nya. Maka BERLOMBA-LOMBALAH KAMU (DALAM BERBUAT) KEBAIKAN. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (di Hari Akhir). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al Baqarah [2] : 148)

Memberhalakan agama itu sesungguhnya terjadi pada setiap umat. Hanya saja, saya tidak tertarik untuk membahas yang terjadi pada umat lain, sehingga biarlah hal tersebut menjadi tanggung jawab pemuka agama masing-masing. Di sini saya akan mengkhususkan pembahasan kepada umat Islam saja.

Coba kita amati yang terjadi selama ini di kalangan umat Islam. Masih banyak yang tidak puas jika “Islam” itu tidak menjadi yang “terunggul” atas umat lain. Sehingga alih-alih giat melakukan kebaikan demi kebaikan sebagai perintah Tuhan, yang terjadi adalah main klaim sebagai “agama terbaik” atau “agama terunggul”. Jujur saya cukup sedih ketika mendengar ceramah sebagian ustadz yang tidak terlalu menganjurkan untuk berbuat baik demi kemanusiaan, akan tetapi lebih menitikberatkan kepada “kampanye untuk memeluk agama (baca : lembaga) Islam” dengan iming-iming masuk surga, dan ancaman neraka bagi yang tidak memeluk agama Islam versi ustadz tersebut.

Banyak pula yang berislam dengan iri dengki terhadap kebaikan yang dilakukan oleh golongan-golongan “di luar Islam”, sehingga perbuatan sebaik apa pun selama tidak “berlabel Islam” maka tidak akan diapresiasi bahkan menuai kecurigaan. Segala tradisi positif yang berada di luar “koridor Islam” akan secara sepihak dituduh “sesat dan menyesatkan” sebagaimana : yoga, reiki, hongshui-fengshui, adat Kejawen, spiritualisme, dsb. Ini belum termasuk kecurigaan berlebihan terhadap kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh umat-umat lain, sehingga muncul istilah : “Kristenisasi, Buddhanisasi, dsb”. Seolah-olah hanya umat Islam yang boleh berbuat kebaikan, sementara umat lain selalu dituduh memiliki ‘misi terselubung’.

Ini sungguh merupakan penyakit kronis yang memprihatinkan. Bagaimana mungkin hati kita terluka ketika melihat orang lain berbuat kebaikan? Bukankah seharusnya hati ini senang ketika semakin banyak orang berbuat kebaikan, terlepas dari latar belakang suku, agama, ras, dan golongannya masing-masing, sebagaimana disebutkan dalam QS 5:48 tadi?

Saya jadi teringat nasihat guru ngaji saya dulu, bahwa ciri-ciri ‘orang sakit’ adalah “senang ketika melihat orang lain menderita, dan menderita ketika melihat orang lain senang”.

Jauh lebih memprihatinkan lagi kalau “Pemberhalaan Agama” ini berkembang menjadi sebuah “gerakan penindasan” yang sistematik. Melarang umat lain membangun rumah ibadah dan beribadah, memaksakan ideologi agama di dalam kehidupan negara yang berbhineka tunggal ika (seperti kasus Lurah Susan di Lenteng Agung baru-baru ini), bahkan secara arogan mengkampanyekan slogan “Islam Will Dominate” yang konon diyakini bahwa “Agama Allah akan dimenangkan terhadap agama-agama lain”. Dengan demikian pergesekan dan pertikaian antar umat, bahkan pertumpahan darah adalah sah-sah saja, asalkan “Islam menjadi yang terbaik, terhebat, dan nomor satu.”

Seperti inikah Islam yang kita pahami? Seperti inikah Islam yang kita yakini? Seperti inikah Islam yang kita inginkan?

Tidakkah kita sadari bahwa segala arogansi yang mengatasnamakan Islam itu justru bertentangan dengan ajaran Islam yang damai dan universal? Catat perkataan saya : 
“Hanya Al Qur’anlah satu-satunya kitab suci yang secara eksplisit mendeklarasikan pengakuan terhadap keberagaman syariat (agama) dan anjuran untuk berlomba-lomba berbuat kebajikan!”

“ ... Untuk TIAP-TIAP UMAT di antara kamu, Kami berikan ATURAN dan JALAN yang TERANG. SEKIRANYA ALLAH MENGHENDAKI, niscaya kamu dijadikan-Nya SATU UMAT (saja), tetapi Allah hendak MENGUJI kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka BERLOMBA-LOMBALAH berbuat KEBAJIKAN ...” (QS Al Maidah [5] : 48)

Ketika agama menjadi berhala, maka petakalah yang akan terjadi. Manusia akan disibukkan untuk menegakkan “label-label agama” namun lalai dalam berbuat kebajikan. 

Mari, kita kembalikan agama sebagai “Jalan menuju Allah”, sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya :

“... Sesungguhnya kami adalah MILIK ALLAH dan kepada-Nya-lah kami KEMBALI .. ” (QS Al Baqarah [2] : 156)

Allahu’alam ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar