Teori-teori informasi akan menjadi tulang punggung dan arus utama
dalam memahami realitas alam semesta ke masa depan. Dan variabel informasi akan
menjadi salah satu variabel yang akan diakui oleh para ilmuwan sebagai variabel
kelima penyusun alam semesta, selain ruang-waktu-materi-energi. Kelak, para
saintis akan merasa kesulitan untuk menghindar dari adanya ‘Sesuatu’ yang Maha
Cerdas sebagai sumber dan pengendali seluruh informasi jagat raya, dimana
seluruh perintah penciptaan ini berasal. Persis seperti yang diinfomasikan di
dalam ayat-ayat Al Qur’an dengan segala clue yang diberikan. Berikut ini adalah
notes saya beberapa waktu yang lalu, yang sengaja saya kutip kembali karena
bisa menjadi jawaban bagi beberapa pertanyaan sahabat DTM dalam tema kali ini.
PENEMUAN Alain Aspect bersama
timnya dari Universitas Paris, tentang adanya interaksi antar partikel yang
melebihi kecepatan cahaya telah melahirkan teori holografik yang mengubah
pemahaman manusia modern terhadap realitas alam semesta. Ini sekaligus menjawab
kelemahan teori Einstein tentang kontinum ruang dan waktu.
Tiga dasawarsa yang lalu,
Aspect bersama timnya menemukan fakta bahwa partikel-partikel sub-atomik
seperti elektron mampu 'berkomunikasi' secara real-time tanpa tergantung jarak.
Tidak ada bedanya antara jarak 1 meter dengan 1 milyar tahun cahaya. Dalam
kondisi tertentu, ternyata interaksi informasi antar benda bisa berjalan secara
serentak.
Tentu saja, hal ini melanggar prinsip
dasar teori Einstein yang menyatakan setiap interaksi membutuhkan proses dengan
kecepatan tak melebihi cahaya. Dalam skala makrokosmos, Teori Einstein terbukti
tidak bisa menjelaskan fenomena: kenapa antara dua benda langit yang berjarak
miliaran tahun cahaya bisa 'terikat' oleh gravitasi secara real-time alias
serentak. Apakah laju gaya gravitasi memiliki kecepatan melebihi cahaya? Sebuah
fakta yang bertolak belakang dengan keyakinan para penganut teori Einstein.
Jawaban atas fenomena ini muncul
dari penelitian Aspect cs, yang kemudian memicu munculnya teori holografik yang
diajukan oleh pakar Fisika Teoritis dari Universitas London, David Bohm dan
pakar neurofisiologi Karl Pribram dari Universitas Stanford. Menurut Bohm,
adanya interaksi real-time antar benda itu bisa dijelaskan dengan teori
holografik. Yakni, seluruh realitas ini sebenarnya adalah ilusi semata. Sekedar
proyeksi dari sebuah realitas yang ‘lebih dalam’, di balik apa yang bisa kita
observasi.
Ia menganalogikan demikian. Ada
seekor ikan di dalam sebuah aquarium besar. Di semua sisi aquarium itu
dipasangi kamera: depan-belakang, kanan-kiri, dan atas-bawah. Keenam kamera itu
lantas dihubungkan dengan enam buah monitor di ruangan yang berbeda. Kita,
sebagai pengamat, tidak menyaksikan ikan itu secara langsung, melainkan lewat
keenam layar monitor. Tentu, seluruh kamera akan menangkap gambar ikan dari
sisi yang berbeda-beda: kepala, ekor, sirip atas, bawah, dan samping.
Maka, apakah yang terjadi
ketika ikan itu bergerak? Seluruh layar monitor pun akan menampilkan ‘ikan yang
berbeda’. Monitor satu, menampilkan gerakan kepala. Monitor dua menampilkan
gerakan ekor. Dan monitor-monitor lain menampilkan sirip-sirip, serta bagian
tubuh lainnya. Dan perhatikanlah, semuanya terjadi secara serentak..! Tanpa ada
perbedaan waktu proses.
Bahkan seandainya seluruh
monitor itu dipisahkan dalam jarak miliaran tahun cahaya, seluruh layar monitor
akan menampilkan perubahan itu secara real-time, terhadap peristiwa tunggal
yang terjadi di dalam aquarium tersebut. Tidak ada interaksi atau ARUS
INFORMASI antar-benda yang melebihi kecepatan cahaya disini. Karena, seluruh
apa yang kita lihat memang bukan peristiwa sesungguhnya, melainkan sekedar
proyeksi dari peristiwa yang sama belaka..!
Begitulah realitas alam semesta
menurut paradigma holografik. Seluruh materi, energi, ruang, dan waktu ini tak
lebih hanya proyeksi dari sebuah ‘Realitas Tunggal’ yang tersembunyi di balik
segala yang bisa kita observasi. Kenapa bisa demikian? Jawabannya diberikan
oleh pakar Neurofisiologi, Karl Pribram dari Universitas Stanford.
Menurut Pribram, itu
dikarenakan otak kita ini bekerja secara holografik. Otak kita dengan sistem
sensorik panca indera itulah sebenarnya yang menstransfer ’Realitas Sejati’ di
balik alam semesta, bagaikan sebuah kamera, yang kemudian ditampilkan di ’layar
monitor’ pemahaman kita. Mirip dengan kamera yang digunakan untuk memantau ikan
di dalam aquarium yang saya ceritakan di atas. Seluruh frekuensi yang datang
dari mata, telinga, penciuman, lidah, dan kulit diproyeksikan ke dalam ’layar
monitor’ di otak kita. Dan kemudian menghasilkan gambar-gambar holografik yang
kita pahami sebagai persepsi.
Sebagai gambaran, proses
holografik pada benda terjadi karena adanya interferensi sinar dari arah yang
berbeda yang berpadu sehingga membentuk gambar semu. Saya kira, Anda pernah
melihat gambar hologram. Cara membuatnya begini: sebuah obyek gambar yang ingin
dibuat hologramnya dipancarkan dengan sinar laser ke sebuah pelat film. Dalam
waktu yang bersamaan pelat film itu juga disinari dengan laser dari sudut yang
berbeda. Bisa dengan obyek yang sama, bisa juga dengan obyek yang berbeda.
Maka, ketika pelat film itu
dicetak, ia akan menghasilkan gambar hologram tiga dimensi yang semu. Jika
obyek yang diproyeksikan sama, Anda akan melihat hasil cetakannya menjadi
'dobel' atau meruang dalam tiga dimensi dipandang dari sudut tertentu. Tetapi
jika obyeknya berbeda, Anda akan melihat gambar hologram itu berubah-ubah
ketika dipandang dari sudut yang berbeda.
Begitulah kurang lebih cara
kerja otak kita. Ia bekerja sebagai layar monitor yang menerima proyeksi dari
sistem sensorik, yang kemudian menghasilkan interferensi frekuensi dari
berbagai sudut, sehingga menghasilkan image atau persepsi tiga dimensi. Tetapi,
sesungguhnya semua itu semu belaka. Karena kita tidak pernah ’melihat’ realitas
sesungguhnya di alam semesta ini, kecuali sesudah melewati ’kamera’ panca
indera dan ’layar monitor’ sistem saraf di otak kita..!
Mekanisme holografik ini pula
yang bisa menjelaskan, kenapa sistem memori di otak kita demikian canggihnya.
Bahwa sistem memori itu tidak terjadi secara terpusat di salah satu bagian otak
saja, melainkan terpencar ke seluruh bagian otak. Ini sangat sesuai dengan mekanisme
holografik, dimana perpaduan gelombang yang berinterferensi itu terjadi disemua
titik-titik cahaya yang diproyeksikan. Dan bisa mencapai variasi dalam jumlah
tak berhingga, hanya dengan mengubah sedikit sudut pancaran sinar laser yang
ditembakkan ke pelat film.
Di setiap perpaduan gelombang
itulah memori holografik tersimpan. Dan sudah terbukti dalam berbagai
penelitian holografik, bahwa dalam setiap sentimeter kubik pelat film hologram
bisa tersimpan memori sebesar 10 miliar bit informasi. Sebuah kapasitas memori
yang luar biasa besar, yang sangat bersesuaian dengan fenomena kerja memori
otak kita.
Dengan teori holografik ini
pula bisa dijelaskan, kenapa otak manusia bisa ’melihat’ gelombang suara dan
’mendengar’ gelombang cahaya. Termasuk bisa menangkap berbagai frekuensi yang
memapar seluruh permukaan tubuh ataupun langsung menuju ke otak. Berbagai
penelitian menunjukkan ternyata range frekuensi panca indera kita itu jauh
lebih lebar dari yang diperkirakan selama ini. Seluruh tubuh kita bisa
menangkap frekuensi alam semesta di sekitarnya, dan merekamnya secara
holografik di dalam otak kita. Dengan cara ini pula bisa dijelaskan, kenapa
seseorang bisa melakukan hubungan-hubungan telepati dengan orang lain, dan
menangkap tanda-tanda alam di sekitarnya secara radiatif langsung ke otaknya.
Maka ringkas kata, saya cuma
ingin menggambarkan kepada Anda semua, bahwa pemahaman manusia terhadap
realitas alam semesta ke masa depan boleh jadi akan mengalami revolusi
besar-besaran seiring dengan diterimanya teori holografik secara luas.
Pijakannya sangat kuat, didukung oleh berbagai data yang semakin terbukti ke
masa depan. Bahwa, segala realitas ini tak lebih hanya sebuah hologram yang
diproyeksikan ke kanvas alam semesta dari ’Realitas Sejati’ yang berada di
balik segala yang bisa kita observasi..!
Alam semesta dengan segala
peristiwanya ini, tak lebih hanya bayangan semu dari Dia yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana..! Hanya manusia yang tinggi hati dan tak tahu diri saja yang
merasa dirinya 'ada', apalagi mengira akan 'eksis selama-lamanya'. Dalam
berbagai firman-Nya, Allah telah menjelaskan bahwa kehidupan ini sebenarnya
semu dan menipu. Allah mengibaratkan diri-Nya sebagai pelita, dan segala
ciptaan-Nya sebagai cahaya. Yang nyata tentu saja adalah pelita, sedangkan
cahaya hanyalah pancaran dari sang pelita.
Ya, semua realitas ini,
termasuk diri kita ternyata hanyalah hologram dari diri-Nya..!
QS. Al Hadiid [57]: 20
..Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.
QS. An Nuur [24]: 35
Allah mencahayai langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah,
seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita
itu di dalam kaca. Kaca itu bagaikan bintang (yang berpendar) seperti mutiara,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. Yaitu, pohon
zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat. Minyaknya
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya,
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.
Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar