oleh Agus Mustofa pada 24 Oktober
2012 pukul 8:00
Hari ini, 8 Dzulhijjah, jamaah haji di tanah suci sedang bersiap-siap
memulai seluruh rangkaian ibadahnya. Mereka berkumpul di kota Mina, sebuah kawasan
yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Mekah, menuju ke Arafah. Diharapkan malam
ini jutaan jamaah dari seluruh penjuru dunia itu sudah bisa berkemah di Arafah –
yang masih berjarak 14 kilometer lagi. Karena, besok siang mereka mesti melakukan
wuquf sebagai awal sekaligus puncak ibadah hajinya.
Lebih dari 4000 tahun yang lalu, Nabi Ibrahim bersama Istri
dan anaknya – Siti Hajar dan Ismail – juga sedang berada di tempat yang sama: Mina.
Sebuah lembah yang diapit perbukitan dimana keluarga Ibrahim sering menggembalakan
ternaknya, sampai di kawasan Arafah. Di tempat inilah Ibrahim mulai diuji oleh Allah
dengan ujian yang sangat berat, yang kemudian menjadi ritual haji.
Waktu itu, Ibrahim sedang melepas rindu karena bertahun-tahun
tidak bertemu istri dan anaknya. Sejak bayi memang Ismail telah ditinggalkan oleh
Ibrahim di sebuah lembah tandus, cikal bakal kota Mekah. Ismail tinggal di Mekah
bersama ibundanya, Siti Hajar hingga masa remaja. Sedangkan Ibrahim pulang ke Palestina,
dan tinggal bersama istri dan anaknya yang lain – Sarah dan Ishak. Kota Palestina
berjarak sekitar 1.500 kilometer dari Mekah.
Sejak meninggalkan mereka belasan tahun yang lalu itulah Ibrahim
melepas rindu untuk pertama kalinya, dengan mengunjungi Hajar dan Ismail di kota
Mekah. Ia begitu bangga dengan istrinya yang telah berhasil membesarkan Ismail menjadi
anak yang saleh dan penyabar. Ia juga bangga dengan Ismail yang telah tumbuh sebagai
remaja yang sangat penyantun dan taat kepada Allah serta orang tuanya. Maka, Ibrahim
pun mulai melibatkan Ismail dalam syiar agama Islam. Dan lantas, mengajaknya untuk
meninggikan pondasi Kakbah menjadi sebuah rumah ibadah, pusat penyebaran agama Islam
di Jazirah Arabiyah.
QS. Al Baqarah (2): 127-128
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim membangun
pondasi Baitullah bersama Ismail. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah
(amal ibadah) kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua
orang yang berserah diri kepada-Mu. Demikian pula (jadikanlah) diantara anak cucu
kami umat yang berserah diri kepada-Mu. Dan tunjukkanlah kepada kami cara dan tempat-tempat
ibadah haji kami. Dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.
Maka Allah pun menunjukkan tatacara ibadah haji kepada keluarga
Ibrahim. Mereka diperintahkan untuk berjalan ke arah Arafah, sebuah padang berjarak
sekitar 22 kilometer dari tempat tinggal mereka di Mekah, dimana Hajar dan Ismail
biasa menggembalakan ternak mereka. Nah, pada tanggal 8 Dzulhijjah itu sampailah
mereka di Mina, lantas beristirahat disana.
Dalam tidurnya Ibrahim bermimpi aneh, yakni disuruh menyembelih
anaknya – Ismail. Ia tergeragap, terbangun karenanya. Sebuah mimpi yang sangat jelas,
dan menggetarkan hatinya. Ia termenung memikirkan mimpi itu. Tetapi, tidak bercerita
kepada istri dan anaknya. Ia pun mengajak mereka untuk meneruskan perjalanan ke
Arafah yang masih belasan kilometer lagi. Di Arafah itulah Ibrahim ingin berkemah
untuk memperoleh petunjuk Allah tentang tatacara ibadah haji.
Ibrahim dan keluarganya sampai di Arafah menjelang malam hari,
memasuki tanggal 9 Dzulhijjah. Mereka pun berkemah disana. Malam itu, Ibrahim bermimpi
kembali dengan sangat jelas: lagi-lagi diperintahkan untuk menyembelih anak yang
sangat dicintainya. Hatinya semakin gemetar, ia gundah jangan-jangan ini adalah
perintah Allah terkait dengan ibadah haji yang sedang dimintakan petunjuk kepada-Nya.
Sampai keesokan harinya, Ibrahim terpanggang dalam kegelisahan.
Hatinya ragu-ragu dengan mimpi yang aneh itu. Tetapi, mau bercerita kepada istri
dan anaknya ia tidak sampai hati. Akhirnya Ibrahim memutuskan untuk bermunajat kepada
Allah seusai Zhuhur. Ia berdiam di dalam kemahnya melakukan wuquf – menghentikan
segala kegiatannya untuk memfokuskan diri berdzikr dan berdoa kepada-Nya memohon
petunjuk.
Wuquf itu dilakukannya sampai menjelang matahari terbenam.
Di dalam wuqufnya itulah Ibrahim memperoleh keyakinan, bahwa mimpi yang dialaminya
itu adalah perintah dari Allah. Sebuah proses terbukanya hijab jiwa, yang membuatnya
bisa menangkap informasi kebenaran yang ditunjukkan Allah kepadanya. Maka ia pun
menyudahi wuqufnya, dan mengajak keluarganya melanjutkan perjalanan untuk kembali
ke Mekah.
Menjelang tengah malam, keluarga Ibrahim sampai di suatu tempat
bernama Muzdalifah. Di tempat ini keluarga Ibrahim beristirahat, dan untuk ketiga
kalinya Ibrahim bermimpi dengan isi yang sama: diperintahkan mengorbankan Ismail.
Hatinya pun menjadi mantap, bahwa ini memang perintah dari Allah untuk menguji keimanannya.
Tiba-tiba terlintas di benaknya tentang janji yang pernah diucapkannya
puluhan tahun yang lalu. Sejak muda Ibrahim suka melakukan qurban. Puluhan kambing
dan unta disembelihnya untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang miskin dan kelaparan.
Sekaligus untuk mencontohkan kepada manusia bahwa praktek berkurban yang diajarkan
oleh sejumlah agama pagan adalah tidak benar, dikarenakan mereka membuang daging-daging
ternak secara mubazir, bahkan kadang-kadang diselingi mengorbankan manusia untuk
dipersembahkan kepada para dewa. Berkurban ala Ibrahim adalah memadukan keikhlasan
untuk Allah sekaligus menebarkan manfaat untuk orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
QS. Al Hajj (22): 36
Dan telah Kami jadikan untukmu unta-unta
itu sebagian dari syi'ar (agama) Allah. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.
Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri.
Kemudian apabila telah roboh, maka makanlah sebagian (daging)nya dan (sebagian lagi)
berikanlah untuk makan orang-orang miskin yang tidak meminta-minta. Dan (juga) untuk
orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
mudah-mudahan kamu bersyukur.
Nah, sesaat setelah berkurban dalam jumlah besar itulah Ibrahim
sempat berkata, bahwa seandainya Allah menghendaki dia untuk berkurban lebih banyak
lagi ia pasti akan melakukannya. Termasuk apa saja yang paling dicintainya. Begitulah
memang keikhlasan Ibrahim dalam bertuhan kepada Allah sebagaimana doanya yang sering
kita baca dalam shalat: ‘’sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku
hanya untuk Allah semata...’’
Ternyata ucapan Ibrahim waktu masih muda itu kini ‘ditagih’
oleh-Nya. Ibrahim diminta untuk mengorbankan Ismail yang sangat dikasihinya. Anak
yang diharapkan akan meneruskan syiar agama Tauhid yang sedang diperjuangkannya.
Betapa berat beban jiwa Ibrahim ketika itu. Tetapi, karena ini adalah perintah Allah,
maka dengan kesabaran dan kepasrahan yang sangat mendalam ia pun bertekat untuk
menjalankannya..!
Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar