Kamis, 25 Oktober 2012

WUQUF DI ARAFAH MEMBUKA HIJAB JIWA ~ TASAWUF HAJI 2012 (10) ~

oleh Agus Mustofa pada 25 Oktober 2012 pukul 7:02

Jutaan jamaah haji dari seluruh penjuru dunia hari ini sudah berada di Padang Arafah. Sebuah padang bebatuan dimana mereka akan memulai seluruh rangkaian ibadahnya dengan perenungan suci. Yakni sejak Zhuhur sampai tenggelamnya matahari. Inilah puncak ibadah haji, yang kata Rasulullah SAW tidak sah haji seseorang jika tidak melakukan wuquf.

Sayang, kebanyakan jamaah haji lantas hanya berusaha memenuhi sahnya haji secara syariat belaka. Yakni, berdiam di Arafah selama waktu siang sampai sore hari. Asal tidak meninggalkan Arafah di waktu tersebut, maka hajinya pun menjadi sah. Sehingga, saya melihat, tak sedikit jamaah haji yang lantas menghabiskan waktu wuquf hanya dengan tidur-tiduran, ngobrol ke tenda sebelah, dan kegiatan-kegiatan tak bermakna lainnya.

‘’Toh tidak membatalkan ibadah haji,’’ begitu barangkali pikirnya. Padahal, di tempat inilah Nabi Ibrahim memahami substansi ibadah hajinya. Yakni setelah beliau meyakini kebenaran mimpinya, sebagai ujian kesabaran yang diberikan Allah kepada keluarganya.

Di Padang Arafah itulah keyakinan Ibrahim menjadi mantap, dikarenakan bisa menangkap pesan mimpi anehnya: menyembelih anak yang dikasihinya. Padahal dia sendiri adalah penentang praktek agama pagan yang mengorbankan manusia kepada dewa-dewi. Kini ia malah memperoleh perintah untuk mengorbankan anaknya. Tapi, dengan ritual ini, kelak Ibrahim justru tahu bahwa berkurban yang benar adalah menyembelih ternak yang bermanfaat untuk banyak orang. Bukan seperti yang dilakukan oleh penganut agama pagan itu.

Ibrahim tahu betul bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana. Sehingga, hati kecilnya tetap yakin semua ini hanya bersifat ujian untuk mengetahui seberapa besar tingkat berserah dirinya kepada Allah. Agar terbukti ikrar kepasrahan yang selalu ia lantunkan setiap hari:‘’sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata...’’

Saya membayangkan betapa dahsyat pergulatan batin Ibrahim untuk memperoleh keyakinan bahwa mimpi itu adalah perintah Allah. Bukan bisikan setan. Pada orang awam yang kejernihan batinnya belum setingkat Nabi, pasti sangat sulit untuk membedakan antara perintah Allah dan bujukan setan. Tetapi, dengan cara wuquf itu Nabi Ibrahim lantas memperoleh kemantapan. Apakah yang terjadi ketika itu?

Intinya adalah terbukanya hijab alias tabir dalam jiwa Ibrahim. Sebuah proses menjernihkan hati, yang dilakukan dengan sepenuh jiwa lewat dzikir-dzikir yang intensif. Inilah yang secara umum telah saya sampaikan di tulisan-tulisan sebelumnya, dan lebih khusus di buku ‘Ma’rifat Di Padang Arafah’. Bahwa dzikir adalah proses untuk menyambungkan jiwa kita kepada Allah. Mengisi seluruh kesadaran hanya dengan nama-Nya. Dan kemudian merasakan kehadiran-Nya.

Semua itu terjadi di dalam inner-cosmos yang meleburkan kesadaran nafsiyah ke dalam kesadaranruhiyah. Kesadaran nafsiyah adalah kesadaran ego sebagai manusia, sedangkan kesadaran ruhiyahadalah kesadaran akan hadirnya Tuhan dalam diri. Karena ruh kita memang sudah membawa sifat-sifat ketuhanan. Itulah sebabnya Allah mengatakan Dia telah hadir begitu dekat dengan kita, lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sehingga bisa mengetahui seluruh bisikan jiwa setiap manusia.

QS. Qaaf (50): 16
Dan sesungguhnya Kami-lah yang telah menciptakan manusia. Dan Kami mengetahui segala yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

Bagaimanakah Anda memahami sebuah ‘jarak’ yang lebih dekat daripada sesuatu yang ‘tak berjarak’? Bukankah urat leher itu sudah di dalam diri kita, yang dengan kata lain sudah tak berjarak? Tetapi Allah masih mengatakan lebih dekat daripada yang tak ada jaraknya itu. Kesimpulannya, kita ini sebenarnya sudah berada di dalam Diri-Nya. Sudah diliputi-Nya.

Nah, dengan dzikir saat wuquf itulah seseorang akan merasakan kehadiran Allah dalam seluruh kesadarannya. Meleburkan sifat-sifat yang egoistik ke dalam sifat-sifat ruh yang universal. Sifat-sifat kemakhlukan ke dalam sifat-sifat ketuhanan.

Hubungan antara ego manusia dengan Ego Tuhan itu ibarat timbangan. Jika ego kita membesar, maka Ego Tuhan akan mengecil dalam kesadaran kita. Sebaliknya, jika Ego Tuhan kita hadirkan sebesar-besarnya dalam kesadaran, ego kita akan mengecil bahkan bisa hilang sama sekali. Itulah substansi dari kalimat laa ilaaha illallah – tidak ada lagi yang mendominasi kesadaran kita kecuali Dia.

Orang yang bisa menghadirkan rasa ini di dalam dzikirnya, dia telah menghilangkan hijab yang membatasi jiwanya terhadap ruhnya sendiri. Energi ruhiyah akan memancar menerangi jiwa. Dan menerobos sampai kepada ucapan, serta tingkah lakunya. Menjadi rahmat bagi seluruh alam. Itulah yang diperoleh Nabi Ibrahim saat wuquf di Padang Arafah.

Kemantapan yang dia peroleh itu disebabkan telah terbukanya hijab antara jiwa yang egoistik dengan ruhnya yang universal. Kekhawatirannya menjadi sirna seketika. Karena kekhawatiran itu memang bersumber dari jiwa yang terkungkung oleh ego pribadi. Dengan wuqufnya, Ibrahim bisa memusnahkan kekhawatiran berganti dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Bahwa, mimpinya itu adalah wahyu ilahiah untuk menguji keimanan dan kesabarannya. Dan akan menjadi skenario besar yang diwariskan kepada umat Islam sampai ribuan tahun kemudian.

Tidak mudah untuk mencapai kesadaran spiritual semacam ini. Dan tidak sembarang orang bisa mencapainya. Tetapi, kita bisa mengusahakannya sampai tingkat tertentu, supaya hijab antara jiwa dan ruh kita tidak sedemikian tebalnya sehingga menghalangi informasi-informasi ilahiyah sebagai petunjuk kehidupan. Sesungguhnya segala macam petunjuk itu memang sudah ada di dalam diri kita sendiri. Bersumber di dalam ruh. Sedangkan, informasi dari luar diri – outer cosmos – tak lebih hanya bersifat menstimulasi atau mengaktifkan sifat-sifat ketuhanan yang sudah inheren itu.

Maka, sebanyak apa pun seseorang melakukan interaksi dengan dunia luar – termasuk membaca ayat-ayat Qur’an – jika sifat-sifat ketuhanan yang ada di dalam dirinya tidak terbangkitkan, orang tersebut tidak akan memperoleh petunjuk. Kita menyebut: hatinya belum terbuka. Tertutup oleh hijab. Meskipun bacaanya setiap hari adalah Al Qur’an Al Karim..!

Jadi, wuquf yang baik adalah perenungan yang bisa membuka hijab itu. Perbanyaklah dzikir saat wuquf di Arafah. Maupun saat berpuasa Arafah di tanah air. Dan dzikir yang paling baik adalah dengan mengerjakan shalat sebagaimana Allah ajarkan di dalam Al Qur’an. Maka, saat berwuquf, saya mengisinya dengan shalat dua rakaat berulang-ulang sejak tergelincirnya matahari di siang hari, sampai tenggelam di senja hari. Mudah-mudahan Allah berkenan membukakan hijab jiwa kita, dan mengaruniakan hidayah kepada siapa saja yang mengikhlaskan hidupnya hanya untuk Allah semata..!

QS. Thaahaa (20): 14
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah SHALAT untuk BERDZIKIR kepada-Ku.

QS. Az Zumar (39): 11
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam beragama. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri (hanya kepada-Nya)."

Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar