Bismillahirrahmanirrahiim.
Berbicara tentang konflik Palestina dan Israel, tak pelak akan menyinggung
tentang Masjid Al-Aqsa. Dilingkupi oleh mitos-mitos suci, masjid ini menjadi salah
satu alasan klasik menentang keberadaan negara Israel, bahan propaganda para Islamis
dari Hizb at-Tahrir, Ikhwan al-Muslimin, maupun ulama-ulama Islam tradisional untuk
mengajak umat Islam ikut bergabung dengan perjuangan rakyat Palestina. Ironisnya,
semangat mempertahankan masjid ini mungkin dilandasi oleh mitos belaka dan bahkan
bisa menjurus ke arah kemusyrikan. Mungkin perlu ditengok kembali sejarah Al-Aqsa.
Kuil Yahudi
Kuil Yahudi adalah bagian tak terpisahkan dari agama Yahudi. Berbeda
dengan sinagog, kuil di Yerusalem ini memiliki beberapa kekhususan bagi umat Yahudi.
Misalnya, beberapa upacara seperti Qurban (Yahudi: Qorban) hanya bisa dilakukan
di kuil yang berada di Yerusalem.
Sepanjang sejarah, kuil ini mengalami kehancuran besar-besaran dua
kali. Yang pertama adalah ketika kerajaan Babilonia di bawah Nebukadnezar menyerbu
dan memperbudak Bani Israil. Menurut salah satu teori, di masa perbudakan inilah,
umat Yahudi mulai menyusun kitab-kitab awal seperti Taurat untuk mempertahankan
identitas mereka. Setelah jatuhnya Babilonia oleh Raja Persia, Kurosh (Yunani: Cyrus),
barulah umat Yahudi kembali ke Yerusalem dan mulai membangun kuil mereka.
Kuil yang kedua ini pun juga memiliki kisah-kisah konflik sendiri dari
mulai awal pembangunannya, sampai konflik keagamaan ketika Romawi menjajah Yerusalem
dan memasang patung Zeus. Kuil ini juga direnovasi dan diperbesar di masa raja boneka,
Herodes untuk menarik simpati kaum Yahudi. Di masa Yesus (Isa) pun, bagian depan
kuil ini menjadi kisah hidupnya ketika beliau membalikkan meja-meja penukar uang.
Mengikuti jejak pendahulunya, kuil kedua ini hancur di tahun 70 M ketika Romawi
tak sanggup bersabar pada kerusuhan dan pemberontakan di daerah ini. Bersamaan dengan
hancurnya kuil kedua, orang-orang Romawi juga mengusir kaum Yahudi dari Yerusalem.
Sampai menjelang direbutnya Yerusalem oleh kaum Muslim, kebijakan Romawi
terhadap kaum Yahudi dan Yerusalem berubah-ubah. Ada masanya kaum Yahudi diperbolehkan
masuk di Yerusalem tetapi ada masanya pula mereka kembali ditendang dari Yerusalem.
Sempat pula Yerusalem dikuasai oleh Persia sebelum akhirnya direbut lagi oleh Romawi.
Di masa Heraklius di abad 7, pembantaian terhadap kaum Yahudi di kota ini kembali
terulang dan hanya mereka yang bersedia menjadi Kristen yang diampuni. Sementara
di sinagog-sinagog yang tersebar dari Kaifeng, Ethiopia, hingga Eropa, kerinduan
terhadap kuil dikumandangkan.
Umar ibn Khatab di Yerusalem
Alkisah, setelah direbutnya Yerusalem oleh pasukan pimpinan Abu Ubaidah
ibn al-Jarrah, Uskup Agung Sofronius (Patriarch Sophronius) dari Gereja Makam Suci
(Church of Holy Sepulchre) yang sudah ketakutan semenjak Betlehem dikuasai bangsa
Arab, mengunci diri di dalam gereja dan menolak keluar kecuali bertemu dengan Amir
al-Mu'minin sendiri, Umar ibn Khattab. Umar mengabulkan permintaan itu dan datang
secara pribadi ke depan pintu gereja.
Saat bertemu Umar, Uskup Agung sebagai tanda tunduk, mengizinkan Umar
untuk sembahyang di dalam gereja. Umar menolak karena tak mau menjadi dalil pengikut-pengikutnya
setelahnya mengubah gereja umat Kristen menjadi masjid. Sebagai penggantinya, Umar
melakukan salat di halaman selatan Gereja. Di lokasi itu kini berdiri masjid yang
dinamakan Masjid Umar.
Yang mungkin jarang diketahui oleh umat Muslim dan jarang disebut oleh
sejarawan Muslim adalah, di masa Umar ini, umat Yahudi diizinkan kembali ke Yerusalem.
Umar bahkan mengatur pertemuan antara sang Uskup dan perwakilan dari Umat Yahudi,
membahas jumlah keluarga Yahudi yang diperbolehkan pindah ke Yerusalem. Sebanyak
70 keluarga Yahudi akhirnya ditentukan oleh Umar untuk pindah dari Tiberias ke Yerusalem
dan mendirikan sinagog di tembok Barat.
Dalam sejarah versi Muslim, ada sosok bernama Ka'ab al-Ahbar yang menjadi
kontroversi antara Sunni, Syiah, dan para pecinta teori konspirasi. Ia adalah mantan
Rabi Yahudi yang menjadi seorang muslim di masa Umar ibn Khattab. Sosok inilah yang
menunjukkan pada Umar di mana lokasi kuil berada. Kaum muslim membersihkan puing-puing
dan memutuskan untuk mendirikan bangunan untuk salat di sana. Terjadi perselisihan
antara Ka'ab al-Ahbar dan Umar di mana Ka'ab menginginkan umat Muslim salat di tempat
di mana mereka juga akan menghadap batu (Qodesh HaqQodasim) tempat dahulu Tabut
(Ark of Convenant) diletakkan di kuil sementara Umar tidak menyukai pengaruh Yahudi.
Akhirnya, Umar memutuskan mendirikan masjid di tempat di mana umat Muslim yang salat
akan membelakangi lokasi tersebut. Bagian tersebut bahkan merupakan bagian terluar
dari bekas kuil dan bahkan sebenarnya hanya merupakan gudang tambahan yang disebut
Chanoyut dan bukan bagian dari bagian utama kuil. Masjid ini kelak dibangun ulang
di masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan dari dinasti Umayyah di akhir abad 7 beserta
Kubah di atas batu tempat Tabut.
Yang menarik adalah sebuah catatan dari Rahib Sebeos dari Armenia yang
ditulis di tahun setelah pertengahan abad 7. Rahib ini mengisahkan bagaimana orang-orang
Yahudi yang saat itu cenderung didukung oleh penguasa Muslim mencoba memfitnah orang-orang
Kristen dan nyaris mengakibatkan pembantaian massal seandainya tidak dicegah oleh
salah seorang Muslim yang menjadi saksi. Rahib ini juga mengisahkan orang-orang
Yahudi yang berhasil menemukan lokasi Kuil dan berniat mendirikan kembali kuilnya.
Terjadi kecemburuan dan orang-orang Islam menguasai lokasi, mendirikan masjid di
lokasi tersebut dan orang Yahudi mendirikan kuil di tempat lain. Entah di masa siapa
peristiwa yang dimaksud oleh rahib ini dan apakah cerita ini bertentangan dengan
versi Muslim.
Dengan demikian ada tiga lokasi penting di Yerusalem yang bersejarah
di masa Umar ibn Khattab.
1. Masjid Umar
Masjid ini berada di sebelah selatan Gereja Makam Suci. Bentuk yang
sekarang dibangun oleh penerus Salahuddin Al-Ayyubi, konon merupakan lokasi Umar
ibn Khattab melakukan salat pertama setelah menolak tawaran dari Uskup Agung Sofronius.
2. Masjid Al-Aqsa
Masjid ini berada di bagian selatan Kuil Kedua. Bagian ini merupakan
perluasan dari Kuil yang dilakukan oleh Raja Herodes dan di masa kuil masih berjalan,
bagian ini adalah gudang chanoyut yang menyimpan peralatan kuil. Walau versi Muslim
menyatakan Umar sudah mendirikan masjid ini, beberapa catatan non-Muslim mengisyaratkan
khalifah pertama yang memulai. Pembangunan besar-besarannya hingga satu kompleks
dimulai di masa Abdul Malik di akhir abad 7. Semenjak masa Turki Usmaniyah, kompleks
tersebut dinamakan sebagai Haram Al-Syarif dan Masjid Al-Aqsa adalah bagian yang
digunakan untuk salat di sebelah selatan.
3. Kubah ( Dome of the Rock)
Masjid ini mungkin adalah bagian paling dikenal dan bahkan sering disangka
sebagai Masjid Al-Aqsa. Dari kisah versi Muslim di atas, Umar tidak menganggap berarti
keberadaan situs ini dan hanya memagarinya. Khalifah Abdul Malik dari dinasti Umayyah,
membangun kubah di situs ini bersamaan dengan renovasi kompleks kuil dan pembangunan
Masjid Al-Aqsa.
Seperti yang dilihat dari sejarahnya, bisa disimpulkan bahwa Masjid
Al-Aqsa adalah salah satu dari masjid biasa. Tidak ada yang istimewa dari masjid
ini. Mitos-mitos seperti Isra Mi'raj yang menyebabkan gairah umat Muslim akan muncul
berapi-api bila para khatib salat Jumat mengobarkan semangat membela masjid ini
dari kaum Yahudi. Padahal bila direnungkan:
1. Kaum Yahudi jauh lebih memiliki kaitan sejarah dengan situs tersebut.
Hal ini dibuktikan dari keberadaan mantan rabi Yahudi untuk menemukan lokasi tersebut;
2. Umar ibn Khattab, berhati-hati untuk tidak salat di dalam gereja,
mencegah dirinya dijadikan dalil para pengikutnya memaksakan mengubah gereja menjadi
masjid. Walau dinarasikan berbeda dalam sejarah Muslim, dengan asumsi bahwa sejarah
versi Muslim bisa dipercaya, bisa jadi dengan prinsip yang sama, Umar ibn Khattab
menolak membangun masjid persis di mana kuil itu berada dan memilih di bagian terluar;
3. Seandainya Umar ibn Khattab menganggap Isra Miraj sebegitu pentingnya
dan lokasi peristiwa tersebut harus dipertahankan secara fanatis mati-matian, niscaya
ia akan membangun masjid tersebut di lokasi yang disarankan oleh mantan rabi, Ka'ab
al-Ahbar;
4. Itupun dengan asumsi bahwa Isra Mi'raj benar terjadi. Masjid al-Aqsa
sendiri berarti Masjid yang Jauh dan tidak ada bangunan berupa masjid yang kita
kenal di masa Nabi dan ketika Umar berada di Yerusalem, tentara Muslim harus membersihkan
dahulu tempatnya. Tentu saja bila Isra Miraj benar terjadi, maka masjid di sini
bisa saja berarti sekedar 'tempat bersujud'. Bangunan fisik Masjid al-Aqsa baru
ada di masa dinasti Ummayah. Pertimbangkan pula bahwa lokasi Al-Aqsa adalah di bagian
luar dari Kuil, tidak dipaksakan di bagian dalam.
5. Renungkan juga sikap Nabi Muhammad terhadap Ka'bah. Ia meninggalkan
Ka'bah ketika hijrah. Bahkan ia mengakui kekuasaan Quraisy atas Ka'bah dalam perjanjian
Hudaibiyah dengan mengikuti permintaan mereka untuk menunda haji. Bisa disimpulkan,
nyawa manusia dan perdamaian jauh lebih penting daripada kesucian sebuah benda.
Akhir kata, ada banyak alasan mendukung perjuangan rakyat Palestina
tetapi membela Masjid Al-Aqsa karena menganggapnya tempat suci adalah tidak Islami.
Ada banyak alasan mempertahankan Masjid Al-Aqsa, dari kesejarahan, kegunaan sebagai
tempat ibadah umat Muslim yang masih berjalan, tetapi menyatakan bahwa Masjid Al-Aqsa
harus dibela karena tempat suci setelah Ka'bah adalah tidak sesuai dengan pribadi
umat Muslim paling awal bahkan sebenarnya cenderung Israiliyat.