Tampilkan postingan dengan label Deasy Ibune Rahman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Deasy Ibune Rahman. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Desember 2011

SAYA SUKA MAKAN SESAJI!

Oleh Deasy Ibune Rahman pada 21 Desember 2011 pukul 14:16

"Seorang rekan sekedar bertanya, "Bagaimana hukumnya makan sesajen?"

Hiks.. Nggak tahu deh gimana hukum Al-Qurannya. Karena Al-Quran tidak mengatur sesajen, hanya melarang kita untuk menyekutukan Tuhan. Dan yang pasti, saya bisa membuktikan secara empiris bahwa dalam sesajen tidak ada hal-ihwal dan niatan untuk menyekutukan Allah SWT!

Koq bisa? Itu kan ngasih makan setan?

Sederhana aja bro & sist, emang ada bukti, sedikit dan secuil aja deh, yg menunjukkan kalo setan makan itu nasi sama ayam panggang sama urap-urap dan minum kopi? Kalo manusia berlagak kayak setan iya kali... Tapi kalo setan? Setan yg mana coba? :D Trus, buat apa dong itu sesaji?"

***

Well, kalo saya malah suka banget nungguin makanan gituan, untuk saya habiskan.. Kalo bisa sendirian. Wakakakakak!

Kenapa?

Pertama, masakan yg kata orang untuk sesajen itu, dimasak tanpa diincipi bumbunya. Artinya, cuma tukang masak jagoan, kawakan, punya jam terbang, intinya berpengalaman saja yg bisa masak menu itu.

Kedua, barang dan dzatnya halal koq.. Ayamnya disembelih pake bismillah. Belinya juga dibeli pake uang sendiri, bukan karena merampas milik orang. Dan hampir semuanya dibeli bukan dg pake ngutang :D

Ketiga, semua sesajen itu disajikan "dg cara Islam". Bukan dg cara lain... Lho, koq bisa namanya sesajen itu Islami? Ingat, inna a malu binniat... Sejauh ini yg saya ketahui, bahwa semua pihak yg meletakkan sesuatu apa yg sama orang masih didefinisikan sebagai sesajen itu di meja ternyata bukan buat memberikan makanan buat roh halus atau setan!

Saat akung saya meninggal, nenek dengan telaten meletakkan nasi, ayam, pisang raja, juga kopi dan kembang dalam baskom kecil. Iseng saya tungguin, ternyata beliau, nenek saya yg nggak pernah makan sekolah dan nggak bisa baca-tulis, KTP-nya Islam tapi nggak pernah mengerjakan sholat atau puasa itu, dg lembut dan senyum mengatakan, "Ini semua kegemaran Akungmu saat masih hidup. Ini semua buat mengenang Akung-mu, buat mengenang spirit dalam hidupnya, saat beliau berjuang habis-habisan untuk menghidupi keluarga dan membesarkan Ibu (dan paman-paman)mu hingga dewasa dan kemudian menikah serta melahirkan kamu :D"

Dan ada satu kaca mata hitam juga! Nenek menjelaskan, "Ini kaca mata yg selalu disimpan Akungmu, untuk mengenang perjuangan beliau bersama Bung Karno dulu..."

Kakek-nenek kami memang berasal dan tinggal di Blitar selatan. Dan memang kaca mata itu --dibeli Akung belakangan setelah kondisi Indonesia udah mulai enak dan beliau udah punya cucu-- adalah barang kegemarannya.

"Biar mirip Bung Karno :D" Terang Akung saya kala itu hampir sok memiripkan diri dg teman perjuangannya dulu. Sayangnya kaca mata itu pas saya pakai gk cukup. Maklum, saya kan besar kepala... :))

So, kembali ke menu, saya malah berdosa kalo sampe menuduh itu menu disajikan ke roh atau malah setan... Sebab, usai menata itu sejaian, Uti pun berdoa kepada Allah, agar Akung yg sekarang di alam kubur sana diampuni dosa-dosanya; diterima amalannya; dan dimaafkan segala kesalahannya... Uti berdoa kepada Allah SWT, hakim Maha Adil atas semua hal dan kejadian...

Keempat, bahan menu yg disajikan alami dan enak. Pisang raja terbaik yg dipetik dari kebun belakang rumah. Nasi yg berasnya dari sawah peninggalan Akung saya sendiri, juga ayam kampung yg ditangkap dari pekarangan sendiri. Dan Alhamdulillah yg ditangkap sama Paman saya adalah ayam sendiri, bukan ayam tetangga yg sedang melintas di pekarangan kami untuk mencari jodohnya...

Jadi begitu menu itu "selesai disajikan" hingga sejurus kemudian dianggap nggak bisa dibiarkan terlalu lama lagi karena dikhawatirkan akan segera menghadapi fase melewati batas normalitas kesegaran makanan, segeralah saya pretheli satu per satu.

Slurp... Nasi gurih...
Slurp... Ayam panggang/bakar/goreng bumbu gurih atau bumbu lodho...
Slurp... Urap-urap kangkung....
Slurp... Jenang merah-putih...

Terakhir, pisang raja nan manisnya luar biasa, manis tapi nggak bikin muak kaya gula gitu rasanya :D

Penutupnya, meski agak dingin, berhubung ini kopi sangraian sendiri, tetap saya seruput saja pelan-pelan. Dan berkali-kali saya menyeruput kopi dingin hasil sangraian sendiri gini, perut saya nyatanya nggak pernah kembung. *Perut saya baru langsung kembung kalo kena AC mobil... :(

***

Well... Belakangan tepat setahun setelahnya, Uti saya pun menyusul Akung saya --suaminya tercinta yg telah menemaninya sepanjang hidupnya-- ke alam kubur. Mereka berdua, adalah sisa peninggalan zaman saat para wali udah berhasil mengtrasformasi budaya jaman sebelum Islam ke budaya simbolik Jawa yg lebih Islami.

Bukan untuk ngasih makan setan, namun untuk membuat rangkaian karya seni dalam bentuk kuliner, yg hasil karya kuliner tersebut ternyata -Masya Allah Subhanallah...- untuk mengenang spirit hidup almarhum Akung saya.

Kenapa untuk mengenang Akung saya mesti pakai menu-menu seperti sesajen tersebut, bukan dengan Uti (Nenek) saya bercerita saja di depan cucu-cucunya?

Itu tetap dilakukan. Tapi dg menata menu sedemikian rupa di meja kecil agak di pojokan (agar nggak kena tendangan anak saya yg suka berlarian ke sana ke mari), kami jadi bisa lebih merenung. Lebih kontemplatif dalam mengenang jasa perjuangan hidup Akung kami tercinta.

Jadi, rangkaian menu --yg namanya nggak diubah, tetap disebut sesajen, sesaji, atau sesajian itu-- sebenarnya kalo saya cermati lebih mirip bahasa simbolik. Sebagaimana orang mengatakan dan menceritakan sesuatu yg panjang dan lebar dengan sejumput lirik lagu, seuntai syair puisi, sepenggal prosa, atau sebidang lukisan. Hal yg sepotong tersebut ternyata mengandung makna yang luas, berjuta kali lipat ketimbang lama waktu lagunya, panjang paragraf dalam syair atau prosanya, atau luasan bidang lukisannya.

Rangkaian menu sederhana dalam meja kecil itu, adalah sebuah bahasa simbolik yang merupakan parts pro toto atas sebuah cerita panjang. Yang lama ceritanya adalah sepanjang waktu kehidupan itu sendiri...

***

Saat ini, saat menghadirkan menu lagi untuk mengenang spirit hidup almarhum Akung dan dan almarhumah Uti, Paman saya yg menempati rumah peninggalan kelurga tetap menyajikan menu yg sama.

Hanya terpaksa sekarang ayamnya beli di pasar.. Tapi tetap ayam Jawa/ayam kampung. Dan rasanya tetap sama enaknya.

Sebab di balik gurihnya bumbu yg meresap ke daging ayam tsb, ada cerita tentang leluhur saya: Kakek dan Uti yg dimuliakan para tetangganya; pantas menjadi teladan dan panutan para keluarganya dan masyarakat; dan penuh hikmah dalam mewariskan garis cerita kehidupan kepada anak-cucunya ini...

Satu yg saya dengan dari mulut mereka sendiri, "Akung-Utimu ini Islam.. Tapi mohon maaf, kami memang jauh dari bimbingan para wali yg bertugas menyebarkan agama, yg harusnya memberi tahu kepada kami bagaimana benarnya melaksanakan ibadah dan syariah... Sehingga kami masih belum tahu bagaimana beribadah yg benar. Saat negara sudah enak, kami sudah renta dan sudah tak bisa ngapa-ngapain lagi..."

"Tapi kalian semua sekarang sudah bersekolah. Jadilah anak Indonesia yg baik, dan jadilah moslem yg baik..."

Dan kami bener-bener mendapatkan banyak cerita dari tetangga, dari buanyak orang yg mengetahui dan bisa menjelaskan secara urut, runut, dan runtut tentang kisah hidup Akung kami, memang hari-hari beliau dulu benar-benar sibuk dengan menggarap sawah, yang begitu panen kemudian hasilnya dirampas Jepang.

Hari-hari beliau sibuk keluar-masuk hutan, dengan senjata celurit pun berani melawan Jepang.

Hari-hari Akung adalah sibuk meninggalkan keluarga selama berminggu-minggu: Nenek dan Ibunda saya saat masih kecil, karena harus melarikan diri saat diuber Jepang.

Saat Indonesia baru Merdeka, hari-hari mereka sibuk menata kehidupan. Belum selesai semuanya, sapi dan ternak lain milik Akung dirampas PKI bahkan TNI! Alasan mereka yg merampas adalah buat logistik perjuangan. Dan kedua belah pihak sama-sama mengatakan sebagai pejuang untuk Indonesia...

Saat mereka renta, mereka berdua tetap sibuk menimang cucunya, saat putra-putrinya sibuk bekerja mencari uang.

Dan saat mereka meninggal, kami anak-cucunya, alpa mengajarkan ibadah kepada mereka... :( Jadi sebenarnya, kepada kamilah seyogyanya dosa ini ditimpakan. Astagfirullah hal adzim...

Itulah kenapa, saat saya menggigit sedikit-demi sedikit menu yg terhidang di meja itu, saya pribadi bisa banget meresapi desir perjuangan Akung saya: perjuangan untuk turut mewariskan kemerdekaan sehingga akhirnya saya bisa fesbukan seperti sekarang ini; dan perjuangan menghidupi keluarga, sehingga saya bisa Jumatan seperti biasanya.

Hingga mereka bahkan lupa dan kelewatan untuk memperjuangkan diri mereka sendiri.

***

Saya kangen nasi gurih dan ayam panggang itu; saya rindu urap-urap kangkung dan pisang rajanya. Saya ingin kembali menyeruput kopi manis itu, seolah ada Akung di samping saya...

Apa yg dituturkan oleh Akung saya hanya berulang dan tak pernah berpindah dari hal bahwa: kita semua sebagai manusia adalah harus hidup untuk berjuang, bukan sekedar berjuang untuk hidup.

Dan jangan lupa, setiap langkah perjuangan kita, ada Tuhan bersama kita. Dia tak pernah pergi dari kita.. kitalah yg kadang berusaha meninggalkan-Nya...

Itulah Akung saya, yg dalam satu sisi ingin saya hadirkan melalui kopi hitam kesukaannya itu..."Ya Allah ya Tuhan kami seru sekalian alam Yang Maha Pengampun; ampunilah semua dosa para leluhur yang telah mendahuli kami... Terimalah amalan baik mereka semua... Berikan kepada mereka semua tempat terbaik-Mu... Dari merekalah kami belajar dan manuai hikmah kehidupan...

Dan berikanlah kepada kami yang masih menjalani sisa waktu kehidupan ini tuntunan, rahmat, dan ridha-Mu selalu... Jauhkanlah kami dari godaan setan yang terkutuk... Pampangkanlah segala kemudahan dan jalan kebaikan untuk menjalani hidup kami sebagaimana telah dicontohkan Muhammad semasa hidupnya... Dan berikanlah segala kemuliaan dan keutamaan kepadanya, Muhammad sang utusan-Mu... Ya Allah ya Tuhan kami Yang Maha Pemberi, kabulkanlah doa dan permohonan kami.. Amien Ya Rabbal Alamin..."

*Written by Freema HW, a moslem abal-abal. Just remembering Akung & Uti, just remembering para leluhur kami. Just missing the sesajian di atas meja kecil itu.. :D