Rabu, 30 Mei 2012

MENDOAKAN NABI, SYAFAAT, DAN SHALAWAT

Oleh Raditya Usra pada 29 Mei 2012 pukul 22:15
Mendoakan Nabi, Shalawat, dan Syafaat Nabi

MENDOAKAN NABI
Bismillahirrohmanirrohim....

Artikel ini berawal dari teman2 diskusi saya yang prihatin dengan kondisi umat Islam saat ini, dimana kata-kata Allah SWT hanyalah sebuah retorika dari pemahaman agama tanpa makna dari tujuan tauhid sejati,,

Orang berjenggot & bersurban dianggap suci/muslim sejati, orang berdasi dikatakan kafir laknat,,

Sehingga sering kali ketika saya sholat (di masjid milik org2 salaf) dimana waktu itu di luar jam sholat, orang-orang yang terlambat sholat yang dilihat sekelilingnya utk dijadikan imam sholat pertama kali adalah wajahnya (berjenggot atau tidak) setelah itu liat kakinya (jika memakai celana di atas mata kaki gak?), jika sudah sesuai prosedur, maka dia ditasbihkan utk menjadi imam,.. saya yang waktu itu jauh dari persyaratan prosedural pakaian arab sama sekali tidak di lirik... (hahaha, dalam hati saya cuma tertawa sambil berkata, apa orang-orang ini tahu makna syahadat sejati? mengertikah mereka tentang makna lam yakullahu kufuan ahad?)

Diatas itulah sedikit pengalaman saya, dari sekian banyak pengalaman saya diremehkan (mungkin mereka pikir saya tidak mengerti agama sama sekali) hanya gara-gara tidak memakai pakaian prosedural arab, utk dipandang sbg "ahli agama".. :)

Baiklah.. kita mulai..

Pernahkan anda memperhatikan doa2 sebelum memulai pengajian, acara2 resmi di pondok pesantren, waktu berdoa sebelum sholat jumat, atau adzan di televisi-televisi, dimana anda bisa menyaksikan langsung setelah adzan ada doa yang khusus dipanjatkan kepada Allah, memohon kepadaNya agar Allah memenuhi janjiNya, agar menempatkan Nabi Muhammad di sisi-Nya? Kurang lebih ada juga kata-kata seperti ini: Ya Allah berikanlah kepada Nabi Muhammad washilah dan fadhillah.

Atau tepatnya ada hadits yang di atributkan kepada Nabi Muhammad, bahwa dia memerintahkan umat Muslim untuk mendoakannya sebagai berikut:
"Ya Allah berikanlah kepada Sayidina* Muhammad jalan dan derajat tertinggi dan berikanlah kepada dia kemuliaan yang telah Engkau janjikan kepadanya, Engkau tidak pernah melanggar apa yang telah Engkau janjikan."

*Sayidina mempunyai beberapa arti sebagai berikut: tuan, pejabat tinggi, pimpinan tertinggi, bahkan arti yang paling tinggi bisa bermakna tuhan.

Coba renungkan perlukah ini? Lagipula apakah ini bukan suatu hal yang berlebih-lebihan, berlebihan karena kita terus saja menagih janji-Nya, seakan yang Maha Kuasa akan ingkar terhadap janjiNya?

ALLAH MENGATAKAN BAHWA NABI DAN RASUL-NYA TIDAK BOLEH MEMINTA UPAH
Pendapat saya sebagai manusia sih sangat sah anda abaikan, namun coba kita periksa apakah benar Nabi, manusia pilihan Allah, betul memerintahkan kepada Umat Muslim untuk mendoakannya, meminta kemulian dan derajat tertinggi bagi dirinya?
Yang paling valid tentu kita harus memeriksa dengan Al-Qur'an sebagai Al-Furqan, sebagai pembeda antara yang benar dan salah. Dan ternyata kita dapatkan ayat-ayat berikut:

QS. Yusuf [12]: 104
“Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam”.

QS. Saba’ [34]: 47
Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."

Allah memerintahkan Nabi untuk tidak meminta upah kepada seruannya (ayat-ayat Al-Qur'an yang disampaikannya). Mungkinkah Nabi melanggar perintah Allah? Tentu hal ini bertentangan dengan hadits yang menyatakan bahwa Nabi memerintahkan untuk mendoakannya (sebagai upah Nabi). Pada Surat QS.. 34:47, Nabi diminta untuk mengatakan bahwa upah dia Hanya dari Allah.

QS. Yunus [10]: 72
"Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku datang dari Allah. Aku diperintahkan untuk menjadi orang yang berserah diri (kepada-Nya)."

* Nabi Nuh
QS. Ash-Shu’ara’ [26]: 109
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

* Nabi Hud
QS. Ash-Shu’ara’ [26]: 127
Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

* Nabi Saleh
QS. Ash-Shu’ara’ [26]: 145
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

* Nabi Luth
QS. Ash-Shu’ara’ [26]: 164
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

* Nabi Syu’aib
QS. Ash-Shu’ara’ [26]: 180
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.

Surat 10, ayat 72 dan (26:109, 127, 145, 164, 180) ini konteksnya adalah cerita tentang Nabi Nuh, Nabi Hud, Bani Saleh, Nabi Luth dan Nabi Syu'aib, ingat semua ayat ini diwahyukan kepada Nabi Muhammad, apakah kemudian Nabi Muhammad tidak mengambil inti sarinya dari wahyu Allah ini, karena tugas semua Nabi dan rasul Allah adalah menyampaikan pesan-pesanNya, dan semua sama MEREKA SEMUA (NABI DAN RASUL) TIDAK MEMINTA UPAH SEDIKITPUN DARI KITA, KARENA UPAHNYA HANYA DARI ALLAH.

QS. Al-Furqan [25]: 57
Katakanlah: "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.

QS. Sad [38]: 86
Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.

Semua ayat-ayat yang dikutip di atas, tentu harus anda periksa lagi (amalkan QS. 17:36), namun INTINYA adalah FAKTA dukungan dari ayat-ayat Qur'ani bahwa Nabi Muhammad tidak akan mungkin, dan tidak pernah meminta apapun dari orang-orang yang beriman untuk meminta upah sebagai bayaran dari tugas yang dibebankan Allah kepadanya untuk menyampaikan ayat-ayatNya.

Bukankah sangat terhormat bagi kita untuk menanamkan di pikiran dan hati kita bahwa Muhammad itu manusia pilihan Allah, yang terhormat, jujur dan jauh dari kemungkinan meminta sesuatu pamrih dari manusia lain. Bukankah sangat merendahkan dia bila kita berpikir bahwa Nabi Muhammad, pergi kesana kemari sambil mengucapkan: "Lakukan ini untuk-ku, lakukan itu untuk-ku (atau hal lain, semisal: jika kamu tidak mengunjungi makamku, aku tidak memberikan syafa'at untukmu atau jika kamu tidak mengucapkan shalawat bagiku aku juga tidak akan bershalawat untukmu)."

Perlukah ini, padahal kalau kita mau mencari di-ayat Al-Qur'an, kita akan temukan bahwa Nabi Muhammad, sudah diampuni dosa-dosanya sewaktu beliau masih hidup, sebagaimana ayat berikut:

QS. Al-Fath [48]: 1-2
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.
Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.

MENDOAKAN NABI DAN MENAGIH JANJI ALLAH = MERENDAHKAN NABI DAN MENGHINA ALLAH

Kembali kita lebih uraikan lagi pelanggaran kita yang mengklaim hanya tunduk kepada Allah, berikut kita kutip lagi doa untuk Nabi, yang saya sering perhatikan setelah Adzan, dan saya yakin banyak muslim yang menjadikan ini sebagai bagian dari doanya sehari-hari:

"Ya Allah berikanlah kepada Sayidina Muhammad jalan kebaikan dan derajat tertinggi dan berikanlah kepada dia kemuliaan yang telah Engkau janjikan kepadanya, Engkau tidak pernah melanggar apa yang telah Engkau janjikan."

Pertama
Pelanggaran pertama telah diuraikan dengan panjang lebar di atas, bahwa dari bukti ayat Qurani telah jelas dan tegas bahwa Nabi tidak meminta balasan, upah, pamrih kepada umat manusia.

Kedua
Adalah salah untuk menyeru yang lain selain Allah, siapapun mereka dan betapapun mulianya mereka dalam pandangan kita sebagai manusia:

QS. Ad-Dukhan [42]: 9
Atau patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Allah, Dialah Pelindung (yang sebenarnya) dan Dia menghidupkan orang-orang yang mati dan Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Ketiga
Orang yang mendoakan Nabi adalah orang yang mungkin tidak pernah membaca Al-Qur'an untuk memahaminya atau pernah membaca maknanya namun TIDAK BETUL-BETUL MENGIMANI ayat-Nya! Karena apa? Karena pada QS. Al-Fath [48]: 1-2, Allah mengatakan kepada kita bahwa dosa-dosa Nabi yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni-Nya. Tentu saja ayat ini diwahyukan kepada Nabi Muhammad waktu beliau masih hidup, dalam masa keNabiannya. Kemuliaan apa lagi yang diharapkan untuk seorang manusia?

QS. Al-Fath [48]: 1-2
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.
Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.

Bukankah ayat 48:1-2 tersebut adalah sebuah kemuliaan dan berkah yang sangat besar bagi Nabi, juga tanda yang agung bagi kita bahwa Allah telah memberkahi Nabi Muhammad dengan hadiah terbesar untuk hari kemudian, karena dia telah dimaafkan semua dosanya. Jadi apapun doa manusia untuk Nabi Muhammad tidak mungkin lagi menaikan posisi Nabi Muhammad ke tempat yang lebih tinggi lagi. Kecuali jika terbesit untuk menjadikan Nabi Muhammad sebagai Tuhan?

Ampunilah kami ya Allah, janganlah kami termasuk orang yang mempersekutukan-Mu dengan mahluk ciptaan-Mu sendiri, betapapun mulianya manusia tersebut dalam pandangan kami yang sangat picik.

Keempat
Kata-kata "Engkau tidak akan mengingkari apa yang telah Engkau janjikan," bukankah kata-kata seperti ini merendahkan dan menghina Allah? Siapapun yang mengatakan ucapan-ucapan seperti ini hanya bermakna bahwa dia atau mereka yang TIDAK YAKIN BAHWA ALLAH AKAN MEMEGANG JANJINYA, dan menganggap bahwa doa dengan kata-kata seperti ini hanya untuk mengingatkan Allah, walah…weleeeeehhh weleeeeh …. Bukankah Allah Maha Tahu dan Maha Tidak Pelupa?

Silahkan anda renungkan semua uraian di atas, periksa kebenaran semua ayat-ayat Qurani yang dikutip untuk mendukung pemahaman saya dan juga kaitannya, amalkan 17:36. Dan gunakan akal sehat anda, karena misalkan hanya satu ayat saja yang mendukung pemahaman saya, namun bila kita gunakan akal sehat kita dan memandang bahwa Nabi Muhammad itu adalah manusia pilihan Allah yang terhormat, sangatlah merendahkan beliau kalau menganggap beliau meminta kepada kaum muslim untuk mendoakan, memuja dan memujinya.


SHOLAWAT NABI

Bismillahirahman nirrahiim,

Terima kasih kepada teman2 yang sudi meluangkan waktunya untuk membaca artikel ini (yang saya harapkan terlebih dahulu anda membaca artikel saya sebelumnya, yaitu tentang mendoakan Nabi Muhammad)

AKAR KATA dari yushalluuna, shalluu, yushallii, washalli adalah: SHALA dari Shad Lam Wau

Sebelum kita bahas lebih jauh kita akan menyinggung beberapa ayat yang berhubungan dengan artikel saya yang pertama. Yaitu:

PERTAMA
QS. Al-‘Ahzab [33]: 56
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.

Ayat QS..33:56 yang secara tradisi dimaknai sebagai kewajiban kita umat muslim untuk mengirimkan salawat kepada Nabi, adalah salah satu ayat yang paling disalah-pahami oleh kita dan tradisi beragama kita, hasilnya beratus juta umat muslim mengagungkan Nabi Muhammad (diluar kemauannya, karena beliaupun sudah meninggal) bukannya semata hanya mengagungkan Allah.

Kalau kita pertanyakan kepada kaum muslim secara umum:
"apa sih maksudnya shalawat kepada Nabi itu?"
atau kalau ditanyakan ke saya dulu ketika masih awam, maka jawaban saya adalah:
“mendoakan Nabi untuk keselamatannya!"
..kalau saya dikejar lagi oleh pertanyaan lain
"keselamatan bagaimana? dan untuk apa?"
...jawaban saya:
"saya tidak tahu pasti.. atau supaya dia/Nabi tambah disayang Allah.. ditinggikan oleh-Nya?...
semacam itulah mungkin.

Tapi terus terang dulu.. beberapa tahun yang lalu, saya tidak tahu apa-apa, kehidupan saya juga jauh dari hal seperti ini.. jauh dari kemauan untuk mengetahui hal seperti ini, dan bagusnya seingat saya, dari semenjak kecil saya tidak punya kebiasaan untuk mengagungkan Nabi Muhammad (kecuali yang saya baca di tahiyat akhir dalam shalat tradisi saya).

KEDUA
QS. At Tawbah [9]: 103
Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan itu kamu membersihkan dan memurnikan mereka, dan ber-doalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menentramkan jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Di sini, di QS. At Tawbah (9) : 103 ini Nabi diperintahkan Allah untuk shalawat kepada kaumnya, pengikutnya, orang-orang beriman. (lalu bagaimana cara Nabi sholawat kepada kaumnya?? Apakah dengan mengucapkan kata2 "allahuma shalli alaa ummati " secara berulang2??)

KETIGA
Kita tambahkan lagi:
TEPAT-kah tidak terjemahan Al-Qur'an Indonesia bahkan umumnya terjemahan Inggris dari penterjemah yang pada terkenal sekalipun? Betulkah "yushalli".."shalluu" itu translasi yang paling tepatnya adalah "blessing" atau "rahmat"?

Coba KITA LIHAT dan tidak usah jauh-jauh, 13 ayat sebelum QS. Al-‘Ahzab [33]: 56, yaitu QS. Al-‘Ahzab [33]: 43

QS. Al-‘Ahzab [33]: 43
Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.

Dia (Allah) dan Malaikat-Nya yushallii (= shalawat) kepada kita, ke KITA loh...wow!!! untuk mengeluarkan kita dari kegelapan kepada cahaya (an-nur).
Jadi Allah dan Malaikat-Nya juga bershalawat untuk orang-orang beriman – bukan hanya Nabi saja yang Dia dan Malaikatnya beri shalawat!!
*(Ayat diatas adalah 1 rangkaian dengan ayat sebelumnya (QS. Al-‘Ahzab [33] : 41) dan ayat sesudahnya (QS. Al-‘Ahzab [33]: 44) yaitu ditujukan kepada orang-orang yang beriman)

Coba kita simpulkan:
**Di QS.. Al-‘Ahzab [33]: 56..
Allah, Malaikat bershalawat kepada Nabi dan kita diperintahkan ber-shalawat kepada Nabi (HASILnya adalah tradisi yang menjadikan mayoritas mengagungkan Nabi).
**Di QS.. At Tawbah [9]: 103)..
Allah memerintahkan Nabi bershalawat kepada kita (HASILnya kepada tradisi ajaran pada umumnya... adalah hal ini tidak pernah DIBAHAS).
**Di QS.. Al-‘Ahzab [33]: 43..
Allah dan Malaikat bershalawat (memberikan) kepada kita (HASIL-nya kepada tradisi ajaran pada umumnya... adalah hal ini tidak pernah DIBAHAS).

Jadi bagaimana?
Apakah TEPAT "shala" dan derivative-nya (yushalli, washalli, dan lain sebagainya) ditranslasikan sebagai mendoakan atau memohonkan rahmat?

Yang jelas saya yakini:
**Kita tidak boleh meng-agungkan selain DIA. (QS. Al-Fatihah [1] : 5).
**DIA memerintahkan hanya untuk ibadah dan mengagungkan DIA semata. (QS. Al-Fatihah [1] : 5).
**DIA memerintahkan untuk tidak membeda-bedakan Nabi dan Rasulnya. (QS. Al-Baqarah [2] : 285).
**NABI telah meninggal, kalau maksud shalawat kita untuk bisa di dengar Nabi, supaya dia memberi syafaat kepada kita, juga yah ngga bener!!! Karena:

QS. Fatir [35]: 22
Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.

Ke level mana lagi kita mau mohonkan posisi Nabi?

Kalau shalawat itu dimaksudkan untuk memohon kepada Allah supaya "Nabi ditinggikan tempatnya di sisi Allah, ke level mana lagi kita mau mintakan posisi Nabi? Insya Allah Nabi-Nya ini tidak perlu lagi di-doa2kan:

QS. Al-Fath [48]: 2
“supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus,”

Jelas dari ayat ini DOSA Nabi di masa dia Hidup yang sebelumnya (past) bahkan sampai dia meninggal (future) sudah dimaafkan Allah, jadi kemuliaan apa lagi yang lebih dari ini?

*Makanya saya menentang total doa setelah adzan maghrib di TV yang memohonkan supaya Nabi ditinggikan dan lain sebagainya... buat apa lagi – beliau telah berada di sisi Allah.

Dengar perkataan-Nya dan ikuti yang terbaik - Pengertian shalawat yang lebih baik?

QS. Az-Zumar [39]: 18
Seseorang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.

Shalawat = Mendukung

Dalam Al Quran, kita tidak boleh mempertentangkan antara ayat yang 1 dengan ayat yang lainnya, jika ada yang kelihatan bertentangan pastilah ada yang salah dalam penafsirannya, sebab Al Quran diturunkan sudah sempurna (QS. Al-‘An’am [6] : 115) karena itulah kita perlu mempelajari islam secara kaffah (menyeluruh).

Kata "Nabi" manakala merujuk kepada Nabi Muhammad SELALU merujuk kepadanya ketika ia hidup; bukan setelah kematiannya. Ada beberapa rekan muslim penganalisa QS.. Al-‘Ahzab [33]: 56 dan ayat-ayat berkaitan yang telah saya kutipkan di atas, sampai pada kesimpulan bahwa translasi dan pengertian yang lebih tepat dari "sala" - yushalli dan semua di atas adalah sebagai berikut:

QS. Al-‘Ahzab [33] : 56
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya mendukung (yushalli) Nabi. Hai orang-orang yang beriman, kamupun harus mendukungnya, dan dukunglah dia sepenuhnya."

Karenanya makna yang lebih baik, dan Insya Allah mendekati kebenaran adalah bahwa: Shalawat = mendukung
Makna yang Insya Allah mendekati kebenaran ini, dikonfirmasi oleh ayat berikut:

QS. Al ‘A’raf [7] : 157
 (Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi dari kaum yang belum pernah mendapat kitab (ummi) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban danbelenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang percaya kepadanya, menghormatinya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Ayat ini mencakup semua yang Allah perintahkan kepada kita untuk kita lakukan kepada Nabi.

Untuk percaya kepada Nabi, yang sesuai dengan “Sallimu Tasliiman” pada QS. Al-‘Ahzab [33]: 56.
Untuk mendukungnya, yang sesuai dengan “Shallu Alayhii” pada ayat yang sama.
Untuk taat padanya (dengan mengikuti pesan yang diwahyukan padanya, yaitu Al-Qur'an)

Hal-hal di ataslah yang diperintahkan Allah kepada setiap manusia untuk Nabi mereka, apakah mereka umat pada jaman Nabi Musa, Nabi Isa maupun Nabi Muhammad.

Pentingnya QS.. Al ‘A’raf [7]: 157 ini, adalah sangat jelas, karena ini membukakan pengertian yang menyimpang dari tiga konsep:

* 'Sallimu Tasliiman' adalah perintah dari Allah kepada orang beriman untuk mengakui dan percaya kepada Nabi-Nya, berarti Allah bukannya memerintahkan untuk "memberi salam" kepada Nabi.

* 'Shallu Alayhii' adalah perintah Allah kepada orang-orang yang beriman untuk mendukung Nabi-Nya, bukan perintah untuk mengucapkan dan mengulang-ulang kata-kata 'Salli ala al-Nabi' seperti beo, tanpa tahu apa maknanya.

* Perintah untuk taat/patuh pada Nabi adalah perintah Allah kepada orang-orang beriman untuk mengikuti cahaya (Al-Qur'an) yang Dia telah wahyukan kepada Nabinya (QS.. Al ‘A’raf [7]: 157), dan bukan perintah apa yang secara salah diatributkan kepada Nabi, yang dinamakan Sunnah Nabi Muhammad, yang tidak pernah sekalipun disebutkan pada ayat-ayat Qur'ani.

Lalu bagaimana dengan bacaan tasyahud akhir dalam sholat yang tetap memakai sholawat?

Jika benar perintah sholat sudah ada sejak Nabi Ibrahim, sesuai dengan QS. ‘Ibrahim [14]: 40 dan tetap dijalankan sebelum masa keNabian Muhammad (Nabi Isa) sesuai dengan QS. Maryam [19]: 30-31, maka masalah sholat ini tetap dijaga oleh Allah sesuai dengan QS. Al-Baqarah [2]: 185 yaitu Al Quran yang bersifat sebagai pembeda (al Furqon).

QS. ‘Ibrahim [14]: 40
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.

QS. Maryam [19]: 30-31
Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi,
Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.

Perlu pembaca ketahui, dalam data yang saya temukan akhir2 ini, ternyata kalimat sholawat dalam tahiyyat akhir merupakan kalimat tambahan yang tidak dikenal oleh 2 (dua) imam mazhab generasi awal (setelah wafatnya Nabi, sebelum dibukukannya hadits) yaitu mahzab hanafi (sunni) dan mahzab jafari (syiah), berikut ini saya tampilkan datanya:
Disadur dari buku "fiqih 5 mazhab"penerbit lentera, penulis: Muhammad jawad mughniyah (berdasarkan urutan dari mazhab yang paling tua)

Mazhab Jafari :
·          Niat
·          Takbiratul Ihram
·          Berdiri
·          Membaca al fatehah
·          Ruku (wajib membaca tasbih)
·          Sujud
·          Duduk tasyahud
·          Salam
·          Tertib
·          Berurutan

Mazhab Hanafi :
·          Takbiratul Ihram
·          Berdiri
·          Membaca surah dlm Quran (tidak wajib al fatehah)
·          Ruku' (sunnah membaca tasbih)
·          Sujud
·          Duduk tasyahud akhir (tidak ada salam)

Mazhab Maliki :
·          Niat
·          Takbiratul Ihram
·          Berdiri
·          Membaca Al Fatehah
·          Ruku' (sunnah membaca tasbih)
·          I'tidal (bangun dari ruku)
·          Sujud
·          Duduk diantara dua sujud
·          Duduk tasyahud akhir
·          Membaca tasyahud akhir
·          MEMBACA SHALAWAT NABI
·          Salam
·          Tertib
·          Tuma'ninah

Mazhab Syafi'i:
·          Niat
·          Takbiratul Ihram
·          Berdiri
·          Membaca al fatehah
·          Ruku' (sunnah membaca tasbih)
·          I'tidal (bangun dari ruku)
·          Sujud
·          Duduk diantara dua sujud
·          Duduk tasyahud akhir
·          Membaca tasyahud akhir
·          MEMBACA SHALAWAT NABI
·          Salam
·          Tertib

Mazhab Hambali :
·          Takbiratul Ihram
·          Berdiri
·          Mambaca Al Fatehah
·          Ruku (wajib membaca tasbih)
·          I'tidal
·          Sujud
·          Duduk diantara 2 sujud
·          Duduk tasyahud akhir
·          Membaca tasyahud akhir
·          MEMBACA SHALAWAT NABI
·          Salam
·          Tertib
·          Tuma'ninah

dan ada lagi 1 lagi mazhab yang merupakan mazhab mayoritas di arab Saudi yaitu
Mazhab Salafi/Wahabi (disadurdari www.Darussalaf.org)
yaitu:
·          Berdiri
·          Takbiratul ihram
·          Membaca al fatehah
·          Ruku
·          I'tidal
·          Sujud
·          Bangkit dari sujud
·          Duduk diantara 2 sujud
·          Thuma'ninah
·          Tertib
·          Tasyahud akhir
·          Duduk tasyahud akhir
·          MEMBACA SHALAWAT NABI

Diantara 6 mazhab yang saya cantumkan diatas, ternyata hanya 4 mazhab terakhir yang di dalam sholatnya membaca sholawat Nabi, 2 mazhab awal (yang justru dekat dengan era Nabi) tidak menggunakan sholawat! hal ini membuktikan bahwa dalam sholat sebenarnya TIDAK ADA SHOLAWAT!! Kenapa? Dikarenakan sholat itu berfungsi HANYA untuk mengingat Allah sesuai QS. Taha [20]: 14 (Insya Allah kelak akan saya bahas dalam artikel tentang sholat)

Kesimpulan:
Lalu apakah setelah membaca artikel ini kita tidak boleh bersholawat?? kalau anda masih "merasa kaget" dgn artikel saya diatas, dan belum mau meninggalkan arti sholawat (yang menurut anda adalah 'memuji' Nabi) saya menyarankan (walaupun saya sudah percaya Nabi tidak perlu disholawati karena sudah di jamin oleh Allah sesuai artikel diatas) anda TIDAK BOLEH menyolawati HANYA kepada Nabi Muhammad/Nabi Ibrahim saja! Mengapa? Karena ini sama saja dengan membeda bedakan Nabi, lagi pula dalam QS. Al-‘Ahzab [33]: 56, Allah tidak secara spesifik rasul siapa yang disholawati (artinya semua rasul harus disholawati), jadi apabila anda HANYA menyolawati beberapa Rasul saja anda akan di sebut KAFIR oleh Allah Ta'ala sperti dalam firmannya QS. An-Nisa’ [4]: 150-151. (nauzubillah)

QS. An-Nisa’ [4]: 150-151
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),
Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.

Jadi, silahkan anda mengambil jalan yang mana?
**Tidak perlu bersholawat (karena yakin Nabi sudah di jamin oleh Allah) atau
**Tetap bersholawat (dengan alasan apapun) yang akhirnya hanya menjadi ejekan orang di luar islam, seperti kata-kata : "lihat,! Nabinya saja masih di doain, gimana umatnya?"

Apakah Allah Taala (saja) Cukup Bagi Anda?

QS. Az-Zumar [39]: 45
Dan apabila hanya nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.

Silakan anda renungkan jawaban anda atas pertanyaan tersebut, karena itu akan menentukan keputusan anda. Dan ini mungkin adalah keputusan yang paling penting yang harus anda tentukan dalam hidup anda.

Salam.


SYAFAAT NABI MUHAMMAD

Artikel ini menyambung artikel sebelumnya yaitu tentang: Mendoakan Nabi dan Shalawat Nabi, karena artikel2 ini berkesinambungan mohon membacanya secara keseluruhan (untuk menerangkan secara kaffah & saling melengkapi antar ayat Quran)

Syafa'at maknanya adalah perantaraan, atau lebih jelasnya "bantuan untuk memohonkan pertolongan kepada Allah." Syafa'at Nabi maksudnya mengharapkan Nabi Muhammad untuk menjadi perantara kita untuk memohonkan kebaikan (atau memohonkan untuk meringankan dosa-dosa kita) bagi kita kepada Allah di hari pengadilan nanti.

Banyak sekali hadits-hadits dari Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Malik Muwata, yang menuliskan tentang syafa'at Nabi Muhammad di hari pengadilan nanti. Syafa'at ini juga sering dikaitkan dengan Shalawat kepada Nabi Muhammad yang telah dibahas sebelumnya. Salah satu hadits yang paling terkenal menyatakan bahwa Nabi mengatakan bahwa siapapun yang tidak mau melakukan 'Yussallii ala al Nabi' (shalawat kepada Nabi, yang dimaknai dengan salah tersebut) tidak akan memperoleh syafa'at dari Nabi Muhammad di hari pengadilan nanti.

Namun faktanya konsep shalawat dan syafa'at ini memang sangat dipercayai secara umum dimayoritas masyarakat muslim. Sudah umum sekali pada khutbah sembahyang Jumat, khotib dengan bersemangat membahas syafa'at Nabi Muhammad ini – tanpa ada protes atau keberatan sama sekali dari mayoritas umat, hasilnya memang jadi menyedihkan, memimpin ke jalan yang salah.. (banyak yang menganggap asal hidup ini banyak-bayak membaca sholawat, kelak pasti bisa masuk surga).

Hadits-hadits lain mengindikasikan bahwa Nabi menekankan harapannya bahwa orang-orang yang beriman harus mengucapkan kata-kata shalawat kepadanya. Bukankah seharusnya kita berpikir dan merenungkan:
Benarkah Nabi Betul-Betul Meminta Shalawat Untuknya Kepada Orang-Orang Yang Beriman?
Bukankah ini sama juga bahwa Nabi minta diagung-agungkan, apakah Nabi seperti ini?

Logika sederhana mengatakan, tidak mungkin orang semulia Nabi minta kepada umatnya untuk mengagung-agungkan namanya.
Namun bagaimanapun juga kita harus selalu memeriksa kebenaran hal-hal seperti ini kepada Al-Qur'an! Apakah memang konsep syafa'at ini sesuai dengan ayat-ayat Qur'ani?

Jawaban dari Al-Qur'an yang insya Allah bukti kuat bahwa Nabi tidak mungkin meminta umatnya untuk (1) meng-agung-agungkankannya atau (2) meminta upah (kebaikan bagi dirinya) dari umatnya adalah:

QS. ‘Ali ‘Imran [3: 79
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan keNabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi penyembah Allah, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.

QS. Yusuf [12: 104
Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam.

QS. Yunus [10] : 72
"Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun daripadamu. Upahku datang dari Allah. Aku diperintahkan untuk menjadi orang yang berserah diri (kepada-Nya)”.

QS. Sad [38]: 86
Katakanlah (haiMuhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; Dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.

QS. ‘Ali ‘Imran [3]: 79 di atas, insya Allah, memberikan pengertian kepada kita bahwa Nabi Allah, siapapun beliau, dan tentu juga Nabi Muhammad, tidak mungkin meminta orang-orang beriman memuja-mujanya, beribadah kepadanya.
Sedangkan QS. Yusuf [12]: 104, QS. Yunus [10]: 72 dan QS. Sad [38]: 86, membuktikan bahwa NABI TIDAK PERNAH MEMINTA KEPADA ORANG-ORANG YANG BERIMAN apapun sebagai upah untuknya, sebagi upah baginya dalam menyampaikan pesan-pesan (ayat-ayat) Allah kepada mereka.
Bukankah sangat terhormat dan sangat menghormati Nabi bila kita berpikir bahwa Nabi itu memang manusia pilihan Allah, yang tidak mungkin pergi kesana kemari mengatakan: "Lakukan ini bagiku", atau "lakukan itu bagiku" atau "jika kamu tidak mengunjungi makamku aku tidak akan menjadi perantara kamu" atau kalau kamu tidak "shalawat kepadaku" aku tidak akan memberi syafa'at kepadamu.

Syafa'at - Ada atauTidak Ada?

Percaya kepada syafa'at menimbulkan angan-angan. Bahwa Nabi, Rasul, Imam, atau orang yang dianggap suci bisa memberi syafa'at kepada umat Islam. Menurut Al-Qur'an, syafa'at hanya berlaku di akhirat. Manusia telah diperingatkan semenjak dari awal bahwa tidak ada syafa'at yang akan diterima dan juga tidak bermanfaat di hari pengadilan nanti, berikut ayat-Nya:

QS. Al-Baqarah [2]: 48
Dan jagalah dirimu dari ('azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.

QS. Al-Baqarah [2]: 123
Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa'at kepadanya dan tidak ada seorangpun akan ditolong.

Dari kedua ayat di atas, bisa diambil pengertian bahwa makna syafa'at adalah suatu pembelaan atau pertolongan kepada seseorang pada suatu hari (hari pengadilan). Namun jelas juga pada QS. Al-Baqarah [2]: 48 dikatakan bahwa "seseorang tidak dapat membela orang lain". Ditekankan lagi pada QS. Al-Baqarah [2]: 123, bahwa syafa'at tidak akan memberi manfaat kepada seseorang! Jelas khan! Bahwa Nabi juga hanya manusia biasa, bukan dewa, jadi beliaupun termasuk di dalam makna "seseorang tidak dapat membela orang lain”.

Tidak Ada Syafa'at, Kalau Ada Hanya Akan Bikin Malas..

Syafa'at tidak diterima dan tidak bermanfaat karena pada hari itu tidak akan ada syafa'at, tidak ada jual beli, dan tidak ada persahabatan, untuk menolong.Tidak ada pertolongan langsung dari pihak manapun. Sebagaimana dinyatakan ayat berikut:

QS. Al-Baqarah [2]: 254
Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang lalim.

Bukankah Allah Maha Benar? Dia Maha Tahu, umat muslim akan menjadi pemalas, kerjanya hanya berdoa memohon syafa'at Nabi saja BILA syafa'at Nabi atau siapapun ADA. Namun setan memang telah sangat berhasil menjerumuskan mayoritas muslim sehingga lebih mengimani Hadits yang hanya mengada-adakan kebohongan yang disandangkan kepada Nabi.

Perhatikan kembali ayat 254 dari surat Al-Baqarah ini dibuka dengan peringatan Allah, perintah-Nya, kemudian ditutup dengan "tidak ada syafa'at". Tidakkah kita renungkan bahwa Allah menghendaki kita untuk bertakwa kepada-Nya, untuk takut kepada-Nya, patuh kepada perintah-Nya, dan dengan baiknya Dia memperingatkan kita bahwa dihari nanti tidak akan ada syafa'at.

QS. Al-‘An’am [6]: 51
Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'at pun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.

Di Surat 6:51, Allah memberi instruksi untuk memberi peringatan dengan apa yang diwahyukan kepada Nabi (=Al-Qur'an) kepada orang-orang yang takut (takwa kepada Allah), dan kembali menekankan bahwa syafa'at itu hanya kepunyaan Allah, ditutup dengan kalimat "agar mereka bertakwa." Semua kalimat-Nya ini jelas dan tegas, harfiah dan tidak ada kebengkokan sama sekali!

Perantara Yang Diperkirakan Bisa Memberikan Syafa'at

Ada tiga golongan yang disebut di dalam Al-Qur'an yang dikira umat bisa memberikan syafa'at:

1. Yang di sembah/di abdi selain Allah

QS. Yunus [10]: 18
Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan (kerugian) kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". Katakanlah: "Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) dibumi?" Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka mempersekutukan (itu).

Dengan menolak ajaran Allah dan mengambil ajaran lain diluar Al-Qur'an, seseorang terjerumus ke dalam kancah menyembah selain dari Allah.

2. Tuhan-tuhan lain

QS. Ya-Sin [36]: 23
Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafa'at mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?

Siapa atau apa saja yang diambil oleh seseorang sebagai mempunyai kuasa seperti Tuhan, dia dikategorikan sebagai orang yang mengambil tuhan selain daripada Dia. Siapapun, tuhan manapun selain Allah tidak akan mampu untuk membatalkan keputusan Allah.

3. Orang-orang (alim) yang disangka sekutu bagi Allah

QS. Al-‘An’am (6): 94
Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa'at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).

Di Surat Al-An'am (QS. 6) ayat 94 di atas, jelas dinyatakan bahwa di hari pengadilan nanti kita akan mempertanggung-jawabkan semua amal perbuatan kita sendiri-sendiri, tidak ada pemberi syafa'at yang kita angankan akan ada menemani kita di hadapan Allah, tidak ada yang membela kita selain semua amalan kebaikan kita sendiri.

Hanya Allah-lah Pemberi Syafa'at

Syafa'at adalah kepunyaan Allah semata, kuasa-Nya. Semua selain Dia, apakah itu Malaikat, Nabi, atau Rasul, tidak mempunyai kekuasaan langsung untuk memberikan syafa'at, sesuai firman-Nya:

QS. As-Sajdah [32]: 4
Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

QS. Az-Zumar [39]: 44-45
Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafa'at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan".
Dan apabila HANYA NAMA ALLAH saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.

Perhatikan di (39:44) syafa'at itu SEMUANYA (jamii'an) kepunyaan Allah, sama sekali tidak di sisakan untuk Nabi, Malaikat, dan siapapun. Yang menarik di ayat berikutnya Allah menekankan bahwa kalau HANYA NAMA ALLAH saja yang disebut, kebanyakan manusia jadi kesal, manusia-manusia seperti ini disebut sebagai orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat! Mudah-mudahan kita tidak termasuk kepada golongan ini, insya Allah.

Caranya mudah: "Berhentilah mempercayai fantasi bahwa Nabi atau siapapun akan memberi syafa'at" atau lebih prinsipnya "berhenti mempersekutukan Allah."

Syafa'at Kalaupun Ada Dari Selain Allah, Pasti Melalui Izin-NYA

Ada ayat Al-Qur'an, Surat Yunus (10) ayat 3 dan Surat An-Najm (53) ayat 26, yang menyatakan bahwa bisa saja Allah memberi kuasa syafa'at kepada yang lain, namun harus betul-betul dimaknai sebagai berikut: Hal ini hanya atas seizin-Nya, HANYA ATAS SE-IZIN ALLAH. (sama seperti ketika isa/yesus diberi mukjizat oleh Allah dengan menghidupkan orang mati ATAS SEIJIN Allah, apakah lalu kita akan memuji-muji isa sbg orang yang hebat?)

Berlaku umum, tidak terbatas hanya kepada Nabi, Malaikat, bisa kepada siapa saja, karena memang tidak disebut secara khusus izin-Nya kepada siapa, cukup adil kalau kita memaknai bahwa izin-Nya bisa saja kepada Nabi-Nabi-Nya (tidak terbatas kepada Nabi Muhammad) atau bahkan kepada orang biasa (tentu saja orang yang diridhoi-Nya dengan kualitas sesuai dengan kualifikasi yang memenuhi persyaratan sebagai orang yang saleh dengan kriteria Al-Qur'an dari Allah),

QS. Yunus [10]: 3
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan.Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Zat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?

QS. An-Najm [53]: 26
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa'at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai(Nya).

Perhatikan!!! ayat ayat diatas tidak secara khusus memberikan hak syafaat kepada Nabi muhammad!! ini berarti adalah terserah kehendak Tuhan untuk siapa saja hak syafaat dapat diberikan! (silahkan hubungkan dengan teori syafaat dibawah ini, karena ayat-ayat Al Quran satu sama lainnya saling menjelaskan).

Syafa'at Yang Sebenarnya!

Syafa'at sebenar-benarnya adalah dari diri sendiri, dari amalan perbuatan kita sendiri, masing-masing! Manusia yang berbuat banyak amalan baik otomatis amalan baiknya itulah yang menjadi syafa'atnya, sedang manusia yang berbuat banyak amalan buruk, syafa'atnya otomatis buruk pula hasilnya!
Coba renungkan ayat berikut.

QS. An-Nisa’ [4]: 85
Barang siapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barang siapa yang memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Jelas dari An-Nisa (QS. 4)ayat 85 tersebut bahwa syafa'at yang sebenar-sebenarnya adalah dari diri kita MASING-MASING, dari amalan perbuatan setiap individu sendiri, catatan perbuatan atau tindakan nyata, bukan hanya doa-doa dan ritual tapi perbuatan nyata.

Mudahnya seperti pada Surat Al-A'raf (QS. 7) ayat 8 dan 9 di bawah, bahwa di hari pengadilan nanti yang jadi pertimbangan utama adalah yang DIUKUR dengan DITIMBANG atau DIBANDINGKAN adalah AMALAN KEBAIKAN lawan AMALAN KEBURUKAN setiap individu. Ditekankan diakhir ayat 9 surat 7 ini bahwa salah sendiri kalau timbangan kebaikannya ringan (sedikit) itu karena orang tersebut selalu mengingkari ayat-ayat Allah, ayat-ayat dari Al-Qur'an, bukan dari buku-buku yang lain kan?

QS. Al-‘Araf [7]: 8-9
Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.

Contoh dari ayat-ayat bagi syafa'at yang baik adalah sebagaimana di bawah ini:

* Mengambil perjanjian dengan Tuhan

QS. Maryam [19]: 86-87
Dan Kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahanam dalam keadaan dahaga. Mereka tidak berhak mendapat syafa'at kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah.

Orang-orang yang berdosa tidak ada hak untuk mendapat syafa'at!!!

* Allah meridhoi perkataannya

QS. Taha [20]: 109
Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.

QS. Saba’ [34]: 23
Dan tiadalah berguna syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa'at itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata: "Apakah yang telah di firmankan oleh Tuhan-mu?" Mereka menjawab: "(Perkataan) yang benar", dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.

* Takut kepada-Nya

QS. Al-‘Anbiya’ (21) : 28
Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka dan yang di belakang mereka,dan mereka tiada memberi syafa'at melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.

Takut kepada-Nya bermakna taat dan patuh kepada perintah dan larangan-Nya, yang semuanya tertulis di dalam Al-Qur'an.

* Kesaksian pada yang benar dan meyakini (Nya)

QS. Az-Zukhruf [43]: 86
Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafa'at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa'at ialah) orang yang bersaksi kepada yang hak dan mereka meyakini (Nya).

Mengharapkan syafa'at dari orang lain, betapapun mulianya orang tersebut dalam pandangan kita, hanya akan menghasilkan kemalasan dan jauh dari takwa kepada Allah.

Mudah-mudahan dengan uraian yang panjang lebar tentang syafa'at ini, kita semua berhenti mengimani hadits yang menyatakan bahwa umat muslim akan mendapatkan syafa'at dari Nabi Muhammad, bila kita selalu bershalawat kepada Nabi. Ternyata dengan jelas dinyatakan bahwa syafa'at yang pasti berasal dari diri kita masing-masing dalam bentuk amalan baik atau perbutan dan tindakan nyata kita mengamalkan perintah-perintah dan larangan dari Allah yang maha kuasa.

Sebagai penutup mudah-mudahan uraian yang panjang lebar tersebut memberi berkah dan menambah ilmu kita masing-masing:

QS. Taha (20) : 114
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".

Salaam..

nb: artikel di atas tidak bersifat memaksa, bagi yang tidak percaya/membantah, sebaiknya disertai dengan dalil penguat bantahan anda, jika tidak mempunyai dalil, kita menghormati perbedaan saja.. ^^

Senin, 14 Mei 2012

SEJARAH PENULISAN HADITS


Sebagaimana pengetahuan yang sering lita terima dari studi hadits, bahwa hadits adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang memiliki peranan penting dalam berbagai disiplin dan dimensi kehidupan.

Rasulullah selain meninggalkan wahyu (Al-Qur’an) juga As-Sunnah (Hadits) sebagai pegangan dan penuntun umat Islam dimanapun dan kapanpun.

Walaupun posisinya nomor dua, tetapi kedudukan hadits sangat penting dalam menjelaskan dan menjabarkan pesan-pesan atau perintah dan larangan yang ditegaskan oleh Al-Qur’an.

Tulisan ini akan menyajikan tentang sejarah penulisan hadits. Seperti yang banyak kita jumpai bahwa dari sekian kitab sunnah yang ada sekarang ini merupakan hasil kerja keras dari proses seleksi yang cukup panjang. Tak pelak lagi, bahwa dalam sejarah pengumpulan dan penulisan selalu diwarnai perdebatan panjang dalam rangka menentukan keotentikan hadits. Sikap kehati-hatian dan kecermatan telah ditunjukkan oleh para penghimpun hadits dengan cara yang selektif dan penuh pertimbangan.

Sebagian orang berpendapat bahwa pada masa Rasulullah, periwayatan hadits umumnya hanya dilakukan melalui hafalan dari satu sahabat ke sahabat lain, bukan melalui tulisan. Pertimbangannya hanya sederhana, yakni dikhawatirkan akan tercampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Meskipun Al-Qur’an sendiri pada awalnya juga sama, bukan untuk dibukukan (ditulis). Tetapi secara tegas, Rasulullah memberikan lampu hijau kepada para sahabat supaya mencatatnya dengan alat tulis. Sehingga pengumpulan dan penulisan ayat-ayat Al-Qur’an lebih mudah di bandingkan dengan kondisi hadits.

Sementara pendapat lain mengatakan bahwa pada diri hadits belum ada ketegasan tentang perintah yang jelas mengenai penulisannya. Bahkan ada sebuah riwayat yang mengatakan sebaliknya, bahwa para sahabat dilarang menulis. Atas dasar inilah kemudian tidak semua hadits dapat diterima dengan serta-merta. Sehingga satu hal yang membuktikan ketidakotentikan hadits yang dianggap berasal dari Nabi tentang pelarangan penulisan hadits adalah pernyataan Umar, berkenaan dengan maksud penghimpunan hadits. Umar diriwayatkan berkata: "saya bermaksud menuliskan hadits Nabi. Tetapi niat itu segera kusadari bahwa umat terdahulu menulis kitab-kitab tertentu dan mereka mengabaikan kitab suci. Demi Allah, saya tidak akan membiarkan sesuatu pun yang dapat mengubah Kitab Allah. "

Riwayat di atas mengungkapkan bahwa khalifah kedualah yang untuk pertama kali, berniat menulis hadits. Dalam sebagian versi dari riwayat penulisan ini disebutkan bahwa Umar berembuk dengan para sahabat yang lain tentang perkara ini dan mereka pun menyetujuinya; tetapi pendiriannya lalu berubah karena alasan yang telah ia nyatakan, dan bukan berdasarkan larangan Nabi.

Hal lain yang dapat dikutip sebagai bukti ketidakotentikan hadits mengenai larangan penulisan hadits ialah pernyataan Nabi pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya. Pada hari itu, ketika para sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya, Nabi bersabda kepada mereka: "Bawakan kepadaku kertas dan tinta, sehingga dapat aku tuliskan sesuatu untuk kalian, yang tidak akan menyebabkan kalian terjerumus ke dalam kekeliruan." Ada sebagian orang di bawah pimpinan Umar yang menentangnya dengan mengatakan, "Cukup bagi kita Kitab Allah." Riwayat ini menunjukkan kepada kita bahwa penulisan apa pun selain Al-Qur’an bukan saja tidak dilarang, tetapi penulisan itu bahkan penting menurut pertimbangan Nabi agar ummah tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesesatan.

Sekitar Penulisan Hadits

Mengkaji tentang seputar penulisan hadits, setidaknya akan kita jumpai dua perspektif yang berbeda.
Perspektif yang pertama melarang penulisan hadits dengan memakai dasar kepada hadits yang diyakini dari Rasul.
Sementara perspektif kedua, mengatakan bahwa penulisan hadits pada masa Nabi diperbolehkan, dengan bersumber pula pada hadits Nabi.

Al-Nawawi dalam bukunya yang berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, menjelaskan bahwa ada beberapa riwayat tentang pelarangan menulis hadits pada masa Rasulullah saw. Salah satu hadits yang diyakini dari Rasulullah diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri.

لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّيْ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْسَحُهُ
Artinya: Jangan kamu sekalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.

Sejalan dengan hadits di atas, Masjfuk Zuhdi menambahkan bahwa larangan penulisan ini ada hikmahnya.
Pertama, berhubungan pada waktu itu sahabat-sahabat Nabi masih banyak yang Ummi (tidak bisa baca tulis), sedang waktu itu wahyu Ilahi masih turun (Al-Qur’an), jadi Nabi mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak dapat membedakan qur'an dan hadits, sehingga terjadi percampuran antara keduanya.
Kedua, Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuannya mereka untuk memelihara semua ajarannya tanpa catatan/ulisan danini berarti secara tidak langsung mendidik mereka untuk percaya pada kemampuan sendiri.

Masih menanggapi hadits Abu Sa'id al-Khudri, menurut Ja'farian hadits tersebut tidak dapat diterima keshahihannya dengan alasan berikut;

Pertama, kalau kita menerima hadits itu, berarti kita tidak dapat membatasi penerapannya pada masa tertentu saja. Jika penulisan hadits tidak diperbolehkan dan haram, maka haramnya itu harus untuk setiap saat. Tetapi para perawi hadits tidak berpegang kepadanya dan pada akhirnya mereka menulis serta menghimpun berbagai hadits.

Kedua, perawi ini telah meriwatkan juga hadits yang lain yang menunjukkan boleh menulis hadits, dan kalau kita menganggap kedua rangkaian hadits ini sama kuat, kita harus menolak kedua-duanya karena bertentangan. Dalam hal ini keduanya kehilangan kredibilitasnya, walaupun misalnya, kita tidak dapat membuktikan kelemahan hadits dengan cara lain.

Ketiga, Abu Sa'id al-Khudri yang meriwayatkan juga hadits ini, telah menyampaikan pernyataan lain yang bertentangan dengan ini. Ia berkata; "pada masa itu, kita tidak menuliskan apa pun kecuali Al-Qur’an dan Tasahhud".
Dari pernyataan ini ada dua hal yang dapat disimpulkan; pertama, Abu Sa'id al-Khudri tidak berkata bahwa mereka menuliskan hadits atas perintah Nabi, kerana seandainya demikian, ia harus menunjukkannya, kecuali kalau penjelasan tersebut bukanlah yang ia maksudkan. Kedua, ditambahkannya kata tasahhud dalam pernyataan itu tidak sesuai dengan maksud pelarangan penulisan apa pun kecuali Al-Qur’an.

Perlu diperhatikan bahwa dalam hadits lain yang semua dari Ibn Mas'ud, istikharah disebut bersama tasahhud. Dan masih banyak alasan lain yang berkenaan dengan riwayat Abu Sa'id al-Khudri tersebut.

Sebaliknya, di samping ada riwayat yang melarang penulisan hadits, ada juga yang membolehkannya.
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam bukunya Fath al- Bari Syarh al-Bukhari dikatakan bahwa riwayat yang membolehkan itu berasal dari Abu Hurairah. Periwayatan ini, berkaitan dengan terjadinya "fath al-Makkah".
Pada waktu itu, Rasulullah berdiri untuk menyampaikan khutbah kepada penduduk Makkah, ketika dalam penyampaian ada seorang dari Yaman berdiri bernama Abu Syah, tiba-tiba berkata; ya Rasulullah!, tuliskan (khutbah tersebut) untukku, maka Rasulullah berkata kepada para sahabat; tuliskan khutbah ini untuknya!

Penjelasan lain yang diungkapkan oleh Hasbi al-Shidiqi, merujuk kepada kitab "al-Madkhal" yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah;

مَامِنْ أَ حَدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِ ص م، أَكْثَرَ حَدِيْثًا عَنْهُ مِنِّيْ إِلاَّ مَاكَانَ عِنْدَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِوبْنِ العَاصِ فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَنَا أَكْتُبُ
Artinya: Tidak seorang dari sahabat nabi yang demikian banyak (lebih mengetahui) hadits rasul daripadaku, selain Abdullah ibn Amr ibn Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.

Masih dalam penjelasan al-Shidiqi, bahwa ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat yang diberatkan kepada keluarga, dan lain-lain.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan.

Penjelasan yang hampir senada juga dikemukakan Zuhdi, bahwa sebuah riwayat dari Nabi;

اُكْتُبْ عَنِّيْ، فَوَالَّذِي نَفْسِى بِيَدِهِ مَاخَرَجَ مِنْ فَمِّيْ إِلاَّ حَقٌّ
Artinya: Tulislah dariku, demi dzat (Tuhan) yang jiwaku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang benar (haq).

Hadits tersebut, merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash tentang penulisan sunah-sunah. Sementara al-Shidiqi, menjelaskan riwayat tersebut bahwa selain Nabi sendiri pernah mengirim surat kepada sebagian pegawainya menerangkan kadar-kadar zakat Unta dan Kambing.
Dan pernah dengan tegas Nabi memerintahkan sahabat menulis hadits.
Secara dhahir, dua versi riwayat di atas betul-betul bertentangan, karena itu para ulama mengambil suatu pendekatan untuk mengkompromikan atau mendamaikan (al-jam'u) antara keduanya.
Salah satu cara untuk mengambil jalan tengah dari versi yang berbeda tersebut adalah dengan cara tarjih, yakni mengambil salah satu riwayat yang terkuat dari kedua riwayat tersebut.

Pendekatan pertama, seperti yang tertera dalam Kitab Ibn Hajar bahwa langkah yang harus ditempuh adalah dengan cara mengkritisi sanad/rawinya. Sedangkan riwayat yang berkenaan dengan larangan penulisan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri merupakan salah satu hadits yang sanadnya mauquf, yakni terhenti sampai Abu Sa'id al-Khudri.

Pendekatan kedua, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Ushul al-Hadits bahwa perlu dilakukan sebuah langkah pendamaian hadits yang bertentangan.
Hadits riwayat Abu Sa'id al-Khudri, sebetulnya ditujukan kepada mereka yang menulis hadits dan Al-Qur’an dalam satu shahifah, sebab selain mereka mendengar ayat yang diturunkan, juga mendengarkan penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, sehingga kalau ditulis dalam satu shahifah akan tercampur.

Pendekatan ketiga, dalam Ushul al-Hadits dikatakan bahwa larangan penulisan hadits ditujukan kepada mereka yang mempunyai hafalan yang luar biasa, sehingga kalau dibolehkan menulis hadits, dikhawatirkan selalu bergantung pada tulisan, sehingga keringanan (rukshah)menulis hadits, hanya ditujukan kepada mereka yang lemah hafalannya.

Dari ketiga pendekatan yang dilakukan oleh para ulama tersebut, al-Khatib mengambil sebuah konklusi bahwa pendekatan pertama tidak dapat diterima.
Penolakan al-Khatib terhadap hadits itu beralasan bahwa sanad haditsnya masih belum jelas, bahkan sebagian imam hadits mengatakan mauquf. Sehingga al-Khatib berpendirian bahwa larangan tersebut berlaku kepada mereka yang menulis Al-Qur’an dan hadits dalam satu shahifah seperti pada pendekatan kedua.
Larangan Rasulullah itu beralasan bahwa hanya dikhawatirkan para shahabat akan sibuk dengan hadits, sementara penulisan Al-Qur’an ditinggalkan. Begitu pula dengan keringanan (rukhshah), itu bersifat umum (‘am) dan larangan bersifat khusus (khas).

Dengan demikian, menurut Muhammad ‘Ijaj al-Khatib dan Abd Rahim ibn al-Husein al-Iraqi yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan di atas, maka sebenarnya tidak terjadi pertentangan makna yang berarti, karena keduanya bisa dipadukan dengan alternatif-alternatif di atas, yang intinya bahwa Rasulullah menginzinkan penulisan hadits.

Hadits Masa Rasulullah
Al-Zahrani dalam bukunya "Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah" menyatakan bahwa penulisan hadits sebenarnya telah di mulai sejak masa Rasulullah.
Dengan adanya hadits-hadits yang mengandung perintah untuk menulis, yang berarti penulisan hadits sesungguhnya tersebut dimulai sejak masa Rasulullah, sekalipun yang diperioritaskan adalah wahyu yang turun.
Sementara itu, hadits-hadits yang menyatakan rukshah, seperti pendapat di atas, juga didukung beberapa ungkapan para sahabat itu sendiri. Salah satunya adalah Abu Hurairah, yang menyatakan bahwa hafalannya tidak ada yang melindungi kecuali ‘Abdullah ibn ‘Amr, karena ia tidak menulis sedangkan Ibnu ‘Amr menulis hadits.
Bukti lain yang serupa adalah bentuk shahifah. Misalnya ada shahifah Abu Bakr, Shahifah ‘Ali ibn Abi Tahlib, dan shahifah ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash, semua itu merupakan bukti yang ada pada diri yang telah banyak membukukan hadits pada masa Rasulullah.

Hadits Masa Shahabat dan Tabi'in
Akram Dhiya' al-‘Umari sebagai penulis buku Buhuts fi Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah, menyadari bahwa terjadinya sebuah kontradiksi yang sangat keras di kalangan sahabat itu diakibatkan pandangan yang masih bersifat generik. Sebagian yang tidak setuju menulis hadits menolaknya mentah-mentah dan bahkan sampai ada yang membakarnya. Ada sebagian yang lain memahami larangan itu sudah di nasakh, ada pula yang menggunakan dua pendapat dalam waktu berbeda; kadang melarangnya dan kadang membolehkannya.
Kalau begitu, sesungguhnya telah ada sebuah perhatian yang sangat besar ditunjukkan para sahabat kepada hadits tersebut. Dan ini merupakan dasar bagi penulisan hadits serta lebih-lebih untuk menjaga kemurnian dan penyebarannya kepada umat Islam. Ada beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan para sahabat dalam menjaga kelestarian al-Sunnah al-Nabawiyah, sebagai berikut;
a. Menganjurkan untuk menghafal dengan disertai mengkritisi teks-teks hadits secara cermat dan tegas. Begitu pula mereka menyuruh para santrinya manulis teks-teks supaya mudah dalam menghafalnya. Setelah dirasa hafalnnya sudah mantap, tulisan tersebut dihapus agar tidak tergantung kepada tulisan dan mengurangi minat menghafal.
b. Saling mengirim tulisan hadits di antara mereka. Sebagaimana yang di riwayatkan Imam Muslim, yang menyatakan bahwa Jabir ibn Samurah menuliskan sebagian hadits Rasulullah, kemudian di kirimkan kepada ‘Amr ibn Said Abi Waqash karena permintaannya.
c.  Membukukan hadits dalam bentuk shuhuf dan melalui bentuk shuhuf inilah akhirnya kegiatan penulisan dan pengumpulan hadits pada masa-masa berikutnya.

Adapun hadits pada masa tabi'in, tidak jauh berbeda dengan hadits di masa sahabat. Di sana juga masih ada perbedaan mengenai hukum menulis hadits Rasulullah.
Meskipun demikian, pada masa ini lahir beberapa ulama dengan perhatian yang sangat besar terhadap penulisan hadits. Tidak hanya itu, mereka menjaganya dengan bentuk shahifah. Ulama yang terlibat dalam penulisan ini, seperti Abi al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Tadrus al-Asadi, yang menulis beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ibn ‘Abdillah dan dari yang lainnya.

Pada masa tabi'in, kegiatan tulis-menulis semakin berkembang pesat. Mereka ramai-ramai menyerbu halaqah al-‘Ilm, bahkan di antara mereka ada yang sangat memperhatikan terhadap penulisan ilmu yang mereka terima. Dengan semangat yang tinggi, mereka menyadari bahwa menulis ilmu merupakan kebutuhan, dan kondisi demikian telah membentuk sikap mereka untuk menulis dalam setiap halaqah al-‘Ilm.

Menyadari akan pentingnya penulisan ‘ilm (hadits) mereka berusaha untuk menjaganya. Sehingga berkembangnya penulisan ini juga atas pertimbangan banyak hal, misalnya;
1)      Meluasnya periwayatan, disertai dengan sanad yang panjang, yang mencantumkan nama-nama perawi, julukan dan nasabnya,
2)      Para sahabat dan tabi'in tua yang terkenal kuat hafalannya, banyak yang telah meninggal dunia, tentu akan semakin besar kemungkinan hadits yang hilang, kalau tidak segera dibukukan,
3)      Kekuatan hafalan yang dimiliki oleh para ummat Islam pada waktu itu semakin lemah, karena makin banyak ilmu pengetahuan yang membutuhkan pemikiran juga, dan
4)      Munculnya gerakan-gerakan bid'ah, dan banyaknya orang-orang yang membuat hadits palsu.

Masa Umar ibn ‘Abd Aziz
Setelah melalui beberapa periode, Umar ibn ‘Abd Aziz termasuk orang yang mempunyai hasrat besar terhadap pembukuan hadits.
Menurut sejarahnya, semula yang ingin membukukan adalah ayahnya (‘Abd Aziz ibn Marwan), ketika menjabat sebagai gubernur di Mesir. Pada waktu itu, ia menulis permohonan kepada Kathir ibn Murrah al-Khadlrami, seorang tabi'in yang pernah bertemu dengan 70 ahli badr, untuk menulis apa-apa yang pernah didengar dari hadits-hadits Rasulullah. Namun hasil akhirnya belum dapat diketahui secara jelas.

Akhirnya, Umar ibn ‘Abd Aziz meneruskan usaha tersebut, dan segera menulis surat kepada Abu Bakr ibn Hazm, yang intinya meminta kepadanya untuk menulis hadits-hadits Rasulullah dari Umrah binti ‘Abd al-Rahman al-Anshariyah dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Selain itu, Umar juga meminta kepada ulama yang ada diseluruh wilayah Islam. Sebelum selesai penulisan, Abu Bakr ibn Hazm meninggal dunia.
Setelah itu, usaha yang maksimal baru dikerjakan oleh Imam Muhammad ibn Syihab al-Zuhri. Ia di tugasi Umar untuk mengumpulkan seluruh hadits-hadits Rasulullah, yang kemudian dijadikan sebuah buku. Al-Zuhri termasuk orang pertama kali yang dapat membukukan hadits secara resmi dan menyeluruh.

Hadits Masa Abad Kedua dan Ketiga Hijrah
Pada abad kedua hijrah terdapat dua generasi, yaitu generasi shighar al-tabi'in dan generasi atba'u al-tabi'in.
Generasi pertama, mereka yang hidup sampai setelah tahun 140 hijrah. Sedangkan generasi kedua, mereka yang hidup setelah periode sahabat dan tabi'in, dalam tingkatan periwayatan hadits dan penyebaran agama Islam kepada umat, generasi ini mempunyai peranan sangat besar dalam menghadapi ahl al-bida' wa al-ahwa', dan berusaha sekuat tenaga dalam menghalau segala bentuk kebohongan hadits (al-wadl'u fi al-hadits) yang dipelopori oleh kelompok al-Zanadiyah.
Umumnya, mereka sangat berhati-hati ketika melakukan seleksi hadits untuk dibukukan dan sekaligus disusunnya dalam bentuk susunan bab.
Selain itu, keberhasilan mereka adalah menyusu ilm al-rijal, yang ditandai dengan adanya buku-buku yang ditulis oleh al-Laits ibn Sa'ad, Ibn al-Mubarak, Dlamrah ibn Rabi'ah dan lain-lain.

Selain itu, di abad kedua juga terkenal dengan banyaknya ulama yang muncul. Mereka sangat faham tetang kronologis periwayatan hadits, mereka itu adalah Imam Malik, imam Syafi'I, imam al-Tsauri, Imam al-Auza'I dan lain-lain. Semua itu adalah figur pertama yang menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.

Adapun pada abad ketiga hijrah, kondisinya jauh berbeda dengan abad sebelumnya. Abad ini sampai dikenal dengan the golden age bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam, terutama yang berkaitan dengan Hadits. Perkembangan semacam itu akibat tumbuhnya semangat untuk mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadits, dan sebagai kelanjutannya menulis sebuah ilm al-rijal yang banyak beredar buku-buku kumpulan hadits seperti, al-Kutub al-Sittah, dan al-Masanid, yang sampai sekarang menjadi rujukan dalam bidang hadits. Semua buku tersebut merupakan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu hadits dari ulama yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Ali ibn al-Madini, al-Bukhari, Imam Muslim, Ishaq ibn Rahwaih dan lain-lain.

Satu hal lagi, bahwa dari perkembangan yang sangat pesat itu, telah menjadi tonggak sejarah penulisan dan penyusunan hadits. Dan pada abad ini pula merupakan batas yang membedakan antara muta'akhirin dan mutaqaddimin, karena ulama-ulama setelah itu tidak menghasilkan karya seperti abad sebelumnya. Mereka mungkin hanya berusaha untuk memperbaiki susunannya, mengadakan tahdzib dan seterusnya.

Catatan Akhir
Dari beberapa riwayat dan argumentasi yang dikemukakan para ulama di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya kegiatan tulis menulis ---termasuk hadits-- sudah dimulai sejak masa Rasulullah.
Problema yang terjadi pada penulisan hadits hanya didasarkan pada kekhawatiran belaka. Padahal jika kita cermati secara mendalam, alasan kekhawatiran tersebut sangat lemah. Sebagaimana penolakan yang ditunjukkan oleh Abu Ruyyah dalam kitabnya "Adwa' ala Sunnah Muhammadiyah" yang dikutip Rasul Ja'farian dalam al-Hikmah dikatakan sebagai berikut:
"Alasan demikian mungkin tampak meyakinkan bagi orang awam, tetapi tidak dapat diterima oleh para peneliti. Sebab, itu berarti menyamakan keindahan bahasa Al-Qur’an setingkat dengan hadits".

Kekhawatiran tercampurnya hadits dengan Al-Qur’an mustakhil akan terjadi, karena salah satu letak kemukjizatan Al-Qur’an adalah keindahan bahasa.
Dan jika kekhawatiran tersebut diyakini, maka berarti mengingkari keistimewaan (mukzizat) Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an merupakan mukjizat yang sulit ditandingi oleh bahasa siapa pun, termasuk oleh rasul sendiri.
Abu Ruyyah menganggap bahwa bukan karena ketakutan tercampur antara hadits dan ayat Al-Qur’an, akan tetapi ada yang lebih daripada itu yang belum terketahui.
Lebih lanjut, Ruyyah menyatakan bahwa meyakini adanya kemungkinan bercampuraduknya Al-Qur’an dengan hadits berarti meyakini adanya kemungkinan pengurangan ayat dalam Al-Qur’an. Keyakinan ini tidak dibenarkan karena keaslian Al-Qur’an sudah dijamin oleh Allah.

Sungguh, telah Kami turunkan Al-Qur’an (pemberi peringatan). Dan Kami jualah memeliharanya (Q.S. 15:9).

Lebih lanjut, Ja'farian menggugat bahwa alasan lain yang diberikan dalam soal penulisan hadits, kemudian orang akan mengabaikan Al-Qur’an karena memberikan seluruh perhatiannya kepada hadits.
Argumen ini tidak dapat diterima, sebab hal yang sama dapat terjadi terhadap Al-Qur’an dan hadits yang disampaikan secara lisan. Memang benar bahwa perhatian ekslusif terhadap hadits merupakan penyimpangan yang bagi mereka memiliki kecenderungan ke sana, sehingga harus diperingatkan dan diminta untuk memberikan perhatian yang sama terhadap Al-Qur’an. Tetapi larangan terhadap penulisan hadits, yang menimbulkan kerusakan yang sulit diperbaiki pada kebudayaan Islam, bukanlah cara yang tepat untuk mendapatkan hasil semacam itu.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Daftar Pustaka
Al-Khatib, Muhammad ‘Ijaj, 1989, Ushul al-hadits; Ulumuhu wa Musththalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr.Al-Shidiqi, Muhammad Hasbi, 1998, cet.II, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra.Al-Zahrani, Muhammad ibn Mathr, 1412 H., Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah" Thaif: Maktabah al- Shadiq.Rasul Ja'farian, AL-HIKMAH, No. 1, Sya'ban-Dzu al-qa'dah 1410 H.Zuhdi, Masjfuk, 1976, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: Pustaka Progressif.Al-Nawawi, Muhyidin, 1995, Al-Minhaj Syar Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, Beirut: Dar al-Ma'rifah.Azami, Muhammad Musthafa, 1980, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi, Beirut: al-Maktab al-Islami, dialibahasakan oleh Ali Mustafa Yaqub dengan judul Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, cet. II, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.Al-Umari, Akram Dhiya', 1984, Buhuth fi Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah, Beirut: Bitsah.