Ada kesalahkaprahan yang sudah terjadi berabad-abad, dan sebagian
besar kita mendiamkannya saja. Yang saya pun sejak kecil ternyata menikmatinya.
Dan kemudian dengan senangnya ikut menceritakan kisah itu kepada kawan-kawan sepermainan
saya. Yakni tentang kisah Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW.
Kisah yang saya dengar sejak kecil itu kurang lebih begini.
Pada suatu malam Rasulullah melakukan perjalanan yang sangat hebat dari Mekah ke
Palestina dengan mengendarai Buraq. Itulah sebuah kendaraan yang mirip hewan. Besarnya
antara keledai dan kuda. Punya sayap untuk terbang, yang sekali melesat bisa mencapai
jarak sejauh mata memandang. Dan kepalanya berbentuk manusia. Berwajah wanita cantik.
Sesampai di Palestina, Buraq itu ditambatkan di depan masjid
al Aqsha. Kemudian Nabi Muhammad bersama malaikat Jibril melanjutkan perjalanan
ke langit ke tujuh. Mereka berdua naik dengan menggunakan tangga menuju ke langit
yang digambarkan seperti sebuah atap, alias langit-langit. Disana ada penjaganya,
yaitu malaikat.
Setiap Nabi dan Jibril sampai di batas lapisan langit mereka
mengetuk pintu langit, dan kemudian dari balik pintunya sang penjaga bertanya: siapakah
yang datang dan mau kemana? Dijawab, yang datang adalah Jibril dan Muhammad, maka
mereka dipersilakan masuk dan meneruskan perjalanan ke langit yang lebih tinggi.
Begitulah yang terjadi di setiap perbatasan langit. Selalu
bertemu dengan pintu dan penjaganya, dan kemudian ditanya keperluannya. Sehingga
sampailah mereka berdua ke langit yang tertinggi ~ langit ke tujuh ~ tempat keberadaan
Sidratul Muntaha. Di tempat itulah Rasulullah bertemu dengan Allah. Dan Jibril tidak
bisa masuk ke bagian yang paling dalam, yang bernama Mustawa.
Disana pula Rasulullah menerima perintah shalat lima waktu,
dengan cara tawar menawar atas saran Nabi Musa yang berada di langit ke 6. Semula
perintah shalat itu sebanyak 50 waktu. Tetapi, nabi Musa mengatakan umat Muhammad
tidak akan mampu melaksanakan. Karena itu, Musa menyarankan agar Nabi Muhammad naik
lagi ke langit ke tujuh untuk meminta keringanan.
Lantas diceritakan, Allah memberikan potongan menjadi 45 waktu.
Beliau turun ke langit ke 6, Nabi Musa menyuruh Rasulullah kembali untuk meminta
keringanan menjadi 40, dan berkali-kali, sampai akhirnya tinggal 5 waktu: Maghrib,
Isya, Subuh, Zhuhur, Ashar. Barulah kemudian Nabi turun ke bumi. Begitulah ngaji
saya waktu kecil...
Ketika beranjak dewasa, cerita Isra’ Mi’raj sangat 'mengganggu'
pikiran saya. Karena banyak hal yang sulit saya terima secara akal sehat. Disaat
saya sedang getol-getolnya mencari substansi beragama. Apalagi, saya memiliki ketertarikan
kepada sains, dimana saya belajar tentang Fisika Modern.
Muncul pertanyaan dalam benak saya tentang mekanisme perjalanan
malam yang sangat menghebohkan itu.
1). Saya merasa yakin,
bahwa perjalanan itu benar-benar terjadi.
Karena, yang bercerita adalah Allah sendiri di dalam al Qur’an.
2). Tetapi benarkah beliau naik Buraq yang dipersepsi sebagai hewan seperti kuda yang bersayap,
dan apalagi berkepala manusia, wanita cantik? Apakah ini bukan malah pelecehan,
sebagaimana karikatur yang melecehkan Nabi yang dimuat media Barat beberapa tahun
lalu? Kenapa kita malah menggambarkan perjalanan itu demikian ’karikaturis’? Bisakah
kita menggambarkan perjalanan hebat itu dengan mekanisme yang berbeda, tanpa menghilangkan
substansinya?
3). Benarkah Rasulullah naik ke langit yang bentuknya seperti
langit-langit? Sementara ilmu pengetahuan modern mendapati bentuk langit bukanlah
seperti atap, melainkan berupa ruang.
Dan kemudian beliau ’bertemu’ Allah di langit ke tujuh. Benarkah penggambaran seperti
ini: bahwa Allah berada di langit ke tujuh, dan kemudian digambarkan
sebagai suatu ’sosok’ yang Rasulullah bertemu
face to face - berhadapan muka? Bukankah Allah adalah Dzat yang Maha Besar yang meliputi seluruh langit dan bumi? Yang sudah demikian
dekatnya dengan kita lebih dekat dari urat leher kita sendiri? Yang kemana pun kita
menghadap sudah berhadapan dengan-Nya? Kenapa kisah itu menggambarkan Allah sedemikian
kecilnya sehingga Dzat-Nya terwadahi oleh langit ke tujuh, di Sidratul Muntaha?
4). Benarkah Rasulullah menerima perintah shalat saat Mi’raj?
Sementara beliau sudah shalat jauh-jauh hari sebelum melakukan perjalanan itu. Yang
dalam kisah itu pun sudah digambarkan bahwa beliau melakukan shalat bersama arwah
para nabi? Dan perintah shalat lima waktu ternyata bertaburan didalam Al Qur’an
lewat wahyu biasa. Benarkah pula Rasulullah menerima perintah shalat dengan cara tawar menawar? Seakan-akan beliau orang
yang tidak taat dan ikhlas menerima perintah Allah? Oh, saya tidak tega membayangkan
Rasulullah yang demikian tinggi akhlaknya digambarkan sebagai Nabi yang suka menawar
perintah Allah. Itu jelas-jelas bukan
sifat Rasulullah. Dan masih banyak
lagi pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya.
Maka, di tahun 2004 saya pun menulis buku serial ke-3: ’Terpesona di Sidratul Muntaha’, sebagai
luapan kegalauan hati saya tentang berbagai keganjilan dalam kisah yang mestinya penuh hikmah itu. Dan sampai sekarang, buku itu menjadi
bahan diskusi yang hangat.
Saya lebih suka melihatnya dalam sudut pandang ilmu pengetahuan,
yang kebetulan menjadi ketertarikan saya. Sehingga dengan masuk akal bisa dicerna
oleh akal sehat, dan bisa di-cross-check dengan
data-data ilmiah yang sudah terbukti. Daripada saya bercerita bahwa beliau melakukan
perjalanan dengan menunggang hewan berbentuk kuda yang bersayap dan berkepala wanita
cantik, saya lebih suka menceritakan lewat teori teleportasi. Yakni tubuh beliau diubah
Allah menjadi gelombang cahaya. Dan melakukan perjalanan dengan badan cahaya. Karena
beliau memang sedang melakukan 'perjalanan cahaya' bersama makhluk cahaya yang bernama Jibril dan Buraq. Jadi, cahaya
bergerak berdampingan dengan sesama cahaya.
Secara Fisika modern ini semakin mendapat pengakuan dan pijakan
bukti-bukti empiriknya, bahwa materi bisa dilenyapkan menjadi energi mengikuti rumus
terkenal Einstein E=MC2. Apalagi secara laboratorium, juga bisa dibuktikan bahwa
ketika sebuah partikel ditabrakkan dengan anti partikelnya, keduanya bakal lenyap
berubah menjadi berkas cahaya. Sebaliknya, ketika seberkas cahaya itu dilewatkan
medan inti atom dengan kekuatan tertentu, maka keduanya berubah kembali menjadi
pasangan partikel-anti partikel. Ini kita kenal sebagai reaksi annihilasi, alias reaksi pemusnahan.
Dan yang sebaliknya sebagai reaksi pair-production.
Memang, bukti-bukti empirik itu baru berada pada tataran laboratorium.
Dan baru pada besaran partikel, tetapi itu sudah menjadi jalan keluar yang jauh
lebih berharga untuk memberikan
penjelasan tentang perjalanan cahaya Rasulullah dari Masjid al Haram ke Masjid al
Aqsha. Karena istilah ’buraq’ itu bermakna ’kilat’. Tetapi, orang dulu menggambarkannya
dengan ’kuda bersayap’, karena transportasi yang paling cepat waktu itu adalah kuda.
Namun, kok dirasa kurang cepat, maka ditambahi saja sayap...:) Ini khas pemikiran
abad pertengahan yang belum mengenal Fisika Modern.
Sedangkan saya lebih suka menggambarkan apa adanya, bahwa Buraq
adalah barqun yang bermakna kilat. Artinya, Rasulullah melakukan
perjalanan itu dengan kecepatan kilat alias kecepatan cahaya. Yakni dengan mengubah
badan beliau lewat reaksi annihilasi menjelang keberangkatan. Sehingga jarak Mekah-Palestina
yang sekitar 1.500 km itu bisa ditempuh hanya dalam waktu 0,05 detik saja. Yang
pada zaman Nabi Sulaiman dikatakan sebagai kecepatan yang lebih cepat dari kedipan
mata. Yakni, saat staf ahli Nabi Sulaiman memindahkan singgasana Ratu Balqis dari
negeri Saba’ ke Palestina.
Sedangkan masjid Al Aqsha, memang bukan masjid yang sekarang
ada di Palestina itu. Karena masjid ini baru dibangun pada zaman Khalifah Umar bin
Khathab dari reruntuhan tempat ibadah nabi-nabi sebelumnya. Gambaran masjid al Aqsha
sebagai bangunan yang dilihat Nabi itu menjadi satu paket dengan kisah Isra’ Mi’raj
yang saya dengar semasa kecil. Yang kemudian sekedar menjadi penegas tentang benarnya
Rasulullah mengalami perjalanan Isra’.
Masjid al Aqsha bermakna ’tempat persujudan yang jauh’. Ini
terkait dengan tempat asal mula berkembangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Ibrahim.
Bahwa, Ibrahim menyiarkan agama Islam dimulai dari Palestina dan berakhir di Mekah.
Karena itu, keturunan Ibrahim sebagian besar berada di Palestina, mulai dari Ishaq
sampai Isa. Sedangkan keturunan lainnya ada di Mekah, yakni Ismail dan Muhammad
SAW.
Maka, pada awalnya, kiblat shalat umat Islam di zaman Nabi
Muhammad pun adalah ke arah baitul maqdis, yakni Palestina. ’Tempat persujudan yang
jauh’ dimana keturunan Ibrahim awalnya menyiarkan Islam, dan membangun berbagai
tempat ibadahnya. Tapi kemudian, Allah memerintahkan Rasulullah untuk mengubah kiblatnya
ke Mekah, ke Ka’bah yang juga dibangun pendiri Islam: Nabi Ibrahim. Karena sesungguhnya,
Ka'bah itulah rumah ibadah yang tertua, lebih tua dari yang ada di Palestina.
Perjalanan Isra’ Mi’raj pun memiliki makna napak tilas perjalanan
syiar Islam yang bergerak diantara dua kota paling bersejarah itu: Mekah-Palestina.
Sebab, Isra’ Mi’raj bertujuan untuk mengangkat semangat Rasulullah SAW yang sedang down disebabkan perjuangan syiarnya sedang berada
di titik paling berat. Diusir, diancam bunuh oleh orang Quraisy, dan ditinggal wafat
paman dan Istrinya. Bahkan, setelah itu, Rasulullah memindahkan medan syiarnya ke
kota Thaif pun malah diusir dan dilempari batu sampai berdarah-darah.
Maka dengan napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim itu beliau
bisa merasakan betapa beratnya juga perjuangan the founding father. Dan, lantas
dilanjutkan dengan perjalanan ke puncak langit, Sidratul Muntaha. Apakah untuk bertemu
Allah? Ternyata bukan. Melainkan, untuk menyaksikan kedahsyatan ciptaan Allah. Memandang
alam semesta raya yang ’berlapis tujuh’ dari puncak tertinggi alam semesta. Sehingga,
beliau sampai Terpesona di Sidratul Muntaha. Dan tidak mampu memalingkan pandangannya
dari apa yang dilihatnya...
QS. An Najm (53): 14-18
Di Sidratil
Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal (lambang keindahan tiada tara),
ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu (misteri) yang meliputinya. Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling (terpaku & terpesona) dari apa yang dilihatnya
dan tidak (bisa) melampauinya (tidak bisa melihat apa yang ada di baliknya). Sesungguhnya dia telah
melihat sebagian ayat-ayat (kekuasaan) Tuhannya yang paling hebat.
Jadi, Mi’raj bukan bertujuan untuk menurunkan perintah shalat,
dan mempertemukan Muhammad dengan Allah, melainkan untuk menunjukkan kekuasaan Allah
yang Maha Dahsyat kepada Rasulullah saat-saat beliau sedang terjepit dalam masa
perjuangannya. Maka, setelah Isra’ Mi’raj itu Rasulullah menjadi terangkat kembali
motivasinya. Lantas berhijrah ke Madinah. Dan kemudian terbukti bisa menaklukkan
kota Mekah dari Madinah...!
(Selebihnya, baca buku Terpesona di Sidratul Muntaha. Karena
ternyata terlalu banyak hal yang tidak bisa saya ceritakan disini, disebabkan keterbatasan
halaman)
Wallahu a’lam bishshawab.
~ salam ~
oleh Agus Mustofa
pada 24 November 2010 pukul 13:04