Kamis, 25 November 2010

SALAH KAPRAH TENTANG ‘ISRA’ MI’RAJ’


Ada kesalahkaprahan yang sudah terjadi berabad-abad, dan sebagian besar kita mendiamkannya saja. Yang saya pun sejak kecil ternyata menikmatinya. Dan kemudian dengan senangnya ikut menceritakan kisah itu kepada kawan-kawan sepermainan saya. Yakni tentang kisah Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW.

Kisah yang saya dengar sejak kecil itu kurang lebih begini. Pada suatu malam Rasulullah melakukan perjalanan yang sangat hebat dari Mekah ke Palestina dengan mengendarai Buraq. Itulah sebuah kendaraan yang mirip hewan. Besarnya antara keledai dan kuda. Punya sayap untuk terbang, yang sekali melesat bisa mencapai jarak sejauh mata memandang. Dan kepalanya berbentuk manusia. Berwajah wanita cantik.

Sesampai di Palestina, Buraq itu ditambatkan di depan masjid al Aqsha. Kemudian Nabi Muhammad bersama malaikat Jibril melanjutkan perjalanan ke langit ke tujuh. Mereka berdua naik dengan menggunakan tangga menuju ke langit yang digambarkan seperti sebuah atap, alias langit-langit. Disana ada penjaganya, yaitu malaikat.

Setiap Nabi dan Jibril sampai di batas lapisan langit mereka mengetuk pintu langit, dan kemudian dari balik pintunya sang penjaga bertanya: siapakah yang datang dan mau kemana? Dijawab, yang datang adalah Jibril dan Muhammad, maka mereka dipersilakan masuk dan meneruskan perjalanan ke langit yang lebih tinggi.

Begitulah yang terjadi di setiap perbatasan langit. Selalu bertemu dengan pintu dan penjaganya, dan kemudian ditanya keperluannya. Sehingga sampailah mereka berdua ke langit yang tertinggi ~ langit ke tujuh ~ tempat keberadaan Sidratul Muntaha. Di tempat itulah Rasulullah bertemu dengan Allah. Dan Jibril tidak bisa masuk ke bagian yang paling dalam, yang bernama Mustawa.

Disana pula Rasulullah menerima perintah shalat lima waktu, dengan cara tawar menawar atas saran Nabi Musa yang berada di langit ke 6. Semula perintah shalat itu sebanyak 50 waktu. Tetapi, nabi Musa mengatakan umat Muhammad tidak akan mampu melaksanakan. Karena itu, Musa menyarankan agar Nabi Muhammad naik lagi ke langit ke tujuh untuk meminta keringanan.

Lantas diceritakan, Allah memberikan potongan menjadi 45 waktu. Beliau turun ke langit ke 6, Nabi Musa menyuruh Rasulullah kembali untuk meminta keringanan menjadi 40, dan berkali-kali, sampai akhirnya tinggal 5 waktu: Maghrib, Isya, Subuh, Zhuhur, Ashar. Barulah kemudian Nabi turun ke bumi. Begitulah ngaji saya waktu kecil...

Ketika beranjak dewasa, cerita Isra’ Mi’raj sangat 'mengganggu' pikiran saya. Karena banyak hal yang sulit saya terima secara akal sehat. Disaat saya sedang getol-getolnya mencari substansi beragama. Apalagi, saya memiliki ketertarikan kepada sains, dimana saya belajar tentang Fisika Modern.

Muncul pertanyaan dalam benak saya tentang mekanisme perjalanan malam yang sangat menghebohkan itu.

1). Saya merasa yakin, bahwa perjalanan itu benar-benar terjadi. Karena, yang bercerita adalah Allah sendiri di dalam al Qur’an.

2). Tetapi benarkah beliau naik Buraq yang dipersepsi sebagai hewan seperti kuda yang bersayap, dan apalagi berkepala manusia, wanita cantik? Apakah ini bukan malah pelecehan, sebagaimana karikatur yang melecehkan Nabi yang dimuat media Barat beberapa tahun lalu? Kenapa kita malah menggambarkan perjalanan itu demikian ’karikaturis’? Bisakah kita menggambarkan perjalanan hebat itu dengan mekanisme yang berbeda, tanpa menghilangkan substansinya?

3). Benarkah Rasulullah naik ke langit yang bentuknya seperti langit-langit? Sementara ilmu pengetahuan modern mendapati bentuk langit bukanlah seperti atap, melainkan berupa ruang. Dan kemudian beliau ’bertemu’ Allah di langit ke tujuh. Benarkah penggambaran seperti ini: bahwa Allah berada di langit ke tujuh, dan kemudian digambarkan sebagai suatu ’sosok’ yang Rasulullah bertemu face to face - berhadapan muka? Bukankah Allah adalah Dzat yang Maha Besar yang meliputi seluruh langit dan bumi? Yang sudah demikian dekatnya dengan kita lebih dekat dari urat leher kita sendiri? Yang kemana pun kita menghadap sudah berhadapan dengan-Nya? Kenapa kisah itu menggambarkan Allah sedemikian kecilnya sehingga Dzat-Nya terwadahi oleh langit ke tujuh, di Sidratul Muntaha?

4). Benarkah Rasulullah menerima perintah shalat saat Mi’raj? Sementara beliau sudah shalat jauh-jauh hari sebelum melakukan perjalanan itu. Yang dalam kisah itu pun sudah digambarkan bahwa beliau melakukan shalat bersama arwah para nabi? Dan perintah shalat lima waktu ternyata bertaburan didalam Al Qur’an lewat wahyu biasa. Benarkah pula Rasulullah menerima perintah shalat dengan cara tawar menawar? Seakan-akan beliau orang yang tidak taat dan ikhlas menerima perintah Allah? Oh, saya tidak tega membayangkan Rasulullah yang demikian tinggi akhlaknya digambarkan sebagai Nabi yang suka menawar perintah Allah. Itu jelas-jelas bukan sifat Rasulullah. Dan masih banyak lagi pertanyaan yang berkecamuk dalam benak saya.

Maka, di tahun 2004 saya pun menulis buku serial ke-3: ’Terpesona di Sidratul Muntaha’, sebagai luapan kegalauan hati saya tentang berbagai keganjilan dalam kisah yang mestinya penuh hikmah itu. Dan sampai sekarang, buku itu menjadi bahan diskusi yang hangat.

Saya lebih suka melihatnya dalam sudut pandang ilmu pengetahuan, yang kebetulan menjadi ketertarikan saya. Sehingga dengan masuk akal bisa dicerna oleh akal sehat, dan bisa di-cross-check dengan data-data ilmiah yang sudah terbukti. Daripada saya bercerita bahwa beliau melakukan perjalanan dengan menunggang hewan berbentuk kuda yang bersayap dan berkepala wanita cantik, saya lebih suka menceritakan lewat teori teleportasi. Yakni tubuh beliau diubah Allah menjadi gelombang cahaya. Dan melakukan perjalanan dengan badan cahaya. Karena beliau memang sedang melakukan 'perjalanan cahaya' bersama makhluk cahaya yang bernama Jibril dan Buraq. Jadi, cahaya bergerak berdampingan dengan sesama cahaya.

Secara Fisika modern ini semakin mendapat pengakuan dan pijakan bukti-bukti empiriknya, bahwa materi bisa dilenyapkan menjadi energi mengikuti rumus terkenal Einstein E=MC2. Apalagi secara laboratorium, juga bisa dibuktikan bahwa ketika sebuah partikel ditabrakkan dengan anti partikelnya, keduanya bakal lenyap berubah menjadi berkas cahaya. Sebaliknya, ketika seberkas cahaya itu dilewatkan medan inti atom dengan kekuatan tertentu, maka keduanya berubah kembali menjadi pasangan partikel-anti partikel. Ini kita kenal sebagai reaksi annihilasi, alias reaksi pemusnahan. Dan yang sebaliknya sebagai reaksi pair-production.

Memang, bukti-bukti empirik itu baru berada pada tataran laboratorium. Dan baru pada besaran partikel, tetapi itu sudah menjadi jalan keluar yang jauh lebih berharga untuk memberikan penjelasan tentang perjalanan cahaya Rasulullah dari Masjid al Haram ke Masjid al Aqsha. Karena istilah ’buraq’ itu bermakna ’kilat’. Tetapi, orang dulu menggambarkannya dengan ’kuda bersayap’, karena transportasi yang paling cepat waktu itu adalah kuda. Namun, kok dirasa kurang cepat, maka ditambahi saja sayap...:) Ini khas pemikiran abad pertengahan yang belum mengenal Fisika Modern.

Sedangkan saya lebih suka menggambarkan apa adanya, bahwa Buraq adalah barqun yang bermakna kilat. Artinya, Rasulullah melakukan perjalanan itu dengan kecepatan kilat alias kecepatan cahaya. Yakni dengan mengubah badan beliau lewat reaksi annihilasi menjelang keberangkatan. Sehingga jarak Mekah-Palestina yang sekitar 1.500 km itu bisa ditempuh hanya dalam waktu 0,05 detik saja. Yang pada zaman Nabi Sulaiman dikatakan sebagai kecepatan yang lebih cepat dari kedipan mata. Yakni, saat staf ahli Nabi Sulaiman memindahkan singgasana Ratu Balqis dari negeri Saba’ ke Palestina.

Sedangkan masjid Al Aqsha, memang bukan masjid yang sekarang ada di Palestina itu. Karena masjid ini baru dibangun pada zaman Khalifah Umar bin Khathab dari reruntuhan tempat ibadah nabi-nabi sebelumnya. Gambaran masjid al Aqsha sebagai bangunan yang dilihat Nabi itu menjadi satu paket dengan kisah Isra’ Mi’raj yang saya dengar semasa kecil. Yang kemudian sekedar menjadi penegas tentang benarnya Rasulullah mengalami perjalanan Isra’.

Masjid al Aqsha bermakna ’tempat persujudan yang jauh’. Ini terkait dengan tempat asal mula berkembangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Bahwa, Ibrahim menyiarkan agama Islam dimulai dari Palestina dan berakhir di Mekah. Karena itu, keturunan Ibrahim sebagian besar berada di Palestina, mulai dari Ishaq sampai Isa. Sedangkan keturunan lainnya ada di Mekah, yakni Ismail dan Muhammad SAW.

Maka, pada awalnya, kiblat shalat umat Islam di zaman Nabi Muhammad pun adalah ke arah baitul maqdis, yakni Palestina. ’Tempat persujudan yang jauh’ dimana keturunan Ibrahim awalnya menyiarkan Islam, dan membangun berbagai tempat ibadahnya. Tapi kemudian, Allah memerintahkan Rasulullah untuk mengubah kiblatnya ke Mekah, ke Ka’bah yang juga dibangun pendiri Islam: Nabi Ibrahim. Karena sesungguhnya, Ka'bah itulah rumah ibadah yang tertua, lebih tua dari yang ada di Palestina.

Perjalanan Isra’ Mi’raj pun memiliki makna napak tilas perjalanan syiar Islam yang bergerak diantara dua kota paling bersejarah itu: Mekah-Palestina. Sebab, Isra’ Mi’raj bertujuan untuk mengangkat semangat Rasulullah SAW yang sedang down disebabkan perjuangan syiarnya sedang berada di titik paling berat. Diusir, diancam bunuh oleh orang Quraisy, dan ditinggal wafat paman dan Istrinya. Bahkan, setelah itu, Rasulullah memindahkan medan syiarnya ke kota Thaif pun malah diusir dan dilempari batu sampai berdarah-darah.

Maka dengan napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim itu beliau bisa merasakan betapa beratnya juga perjuangan the founding father. Dan, lantas dilanjutkan dengan perjalanan ke puncak langit, Sidratul Muntaha. Apakah untuk bertemu Allah? Ternyata bukan. Melainkan, untuk menyaksikan kedahsyatan ciptaan Allah. Memandang alam semesta raya yang ’berlapis tujuh’ dari puncak tertinggi alam semesta. Sehingga, beliau sampai Terpesona di Sidratul Muntaha. Dan tidak mampu memalingkan pandangannya dari apa yang dilihatnya...

QS. An Najm (53): 14-18
Di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal (lambang keindahan tiada tara), ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu (misteri) yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling (terpaku & terpesona) dari apa yang dilihatnya dan tidak (bisa) melampauinya (tidak bisa melihat apa yang ada di baliknya). Sesungguhnya dia telah melihat sebagian ayat-ayat (kekuasaan) Tuhannya yang paling hebat.

Jadi, Mi’raj bukan bertujuan untuk menurunkan perintah shalat, dan mempertemukan Muhammad dengan Allah, melainkan untuk menunjukkan kekuasaan Allah yang Maha Dahsyat kepada Rasulullah saat-saat beliau sedang terjepit dalam masa perjuangannya. Maka, setelah Isra’ Mi’raj itu Rasulullah menjadi terangkat kembali motivasinya. Lantas berhijrah ke Madinah. Dan kemudian terbukti bisa menaklukkan kota Mekah dari Madinah...!

(Selebihnya, baca buku Terpesona di Sidratul Muntaha. Karena ternyata terlalu banyak hal yang tidak bisa saya ceritakan disini, disebabkan keterbatasan halaman)

Wallahu a’lam bishshawab.

~ salam ~

oleh Agus Mustofa pada 24 November 2010 pukul 13:04


Senin, 22 November 2010

SALAH KAPRAH TENTANG ‘KEKHUSYUKAN’


Ada kesalah-kaprahan yang demikian meluas di kalangan umat Islam, yang saya sendiri pun pernah mengalami. Yakni, tentang kekhusyukan shalat. Banyak diantara kita yang tanpa sadar telah menjadikan ‘khusyuk’ sebagai tujuan shalat. Dan lantas, melupakan tujuan yang sesungguhnya dari shalat itu sendiri.

Sesungguhnya, shalat bukan bertujuan untuk memperoleh kekhusyukan. Karena fungsi dasar shalat memang bukan untuk mencapai kekhusyukan. Fungsi dasar shalat menurut al Qur’an ada dua, yakni: dzikrullah dan meminta pertolongan.

QS. Thaahaa (20): 14
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (lidzikriy).

QS. Al Baqarah (2): 45-46
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.

(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan bertemu Tuhannya (di dalam shalatnya), dan bahwa mereka (kelak) akan kembali kepada-Nya (bertemu di akhirat).

Khusyuk, dalam ayat di atas didefinisikan sebagai ’keyakinan’ akan bertemu Allah di dalam shalat maupun di luar shalat ~ kelak di hari akhir. Jadi khusyuk bukan tujuan, melainkan motivasi agar kita memiliki keyakinan  bahwa kita bias bertemu Allah di dalam aktifitas ibadah kita.

Karena itu, khusyuk bukan menjadi tujuan yang harus dicapai. Cukup ditanamkan ke dalam jiwa kita bahwa kita akan bertemu dan bisa bertemu Allah. Di dalam shalat kita atau ibadah apa pun yang kita lakukan. Karena itu, istilah khusyuk bukan hanya digunakan di dalam ibadah shalat, melainkan juga dalam aktifitas keseharian. Yakni, menunjuk kepada orang-orang yang setiap saat merasa ‘bersama’ Allah. ’Dilihat’ Allah. Dan ’bertemu’ dengan-Nya kemana pun dia menghadapkan wajahnya. Yang karenanya, ia selalu berusaha untuk berbuat kebaikan-kebaikan.

QS. Al Anbiyaa’ (21): 90
Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.

Jadi, ketika kita merasa sudah selalu bersama Allah dalam setiap aktifitas, maka kita sudah termasuk orang-orang yang khusyuk itu. Dan orang-orang yang seperti inilah yang berpotensi untuk khusyuk juga di dalam shalat. Asal tidak salah menempatkan niat, yaitu: shalat untuk mengejar kekhusyukan.

Maka, kalau Anda cermati QS. 2: 45-46 di atas, antara shalat dan kekhusyukan itu prosesnya lebih dulu kekhusyukan. Karena itu kalimatnya begini: ’... yang demikian (menjadikan shalat sebagai media minta tolong) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk...’

Jadi, hanya orang-orang yang sudah khusyuklah yang akan merasa mudah dan ringan untuk meminta pertolongan kepada Allah lewat shalat. Jangan terbalik: dengan shalat kita mengejar kekhusyukan.

Berarti, prosesnya harus dibalik. Kita belajar khusyuk dulu di luar shalat ~ yakni membangun kedekatan dengan-Nya setiap saat ~ maka dengan sendirinya, shalat kita akan menjadi mudah dan ringan untuk minta tolong kepada-Nya. Saat itu, pasti kita ’sudah bertemu’ dengan-Nya di dalam shalat. Bagaimana tidak, lha wong kita sudah berdialog untuk meminta pertolongan kepada-Nya.

Karena itu, bagi yang belum bertemu Allah di dalam shalat, sebaiknya belajar membangun kekhusyukan di luar shalat. Jadikanlah setiap peristiwa sebagai media untuk berdialog dengan-Nya. Dapat musibah dikaitkan dengan Allah, dapat kenikmatan juga dikaitkan dengan Allah. Bangun tidur dikaitkan dengan Allah, sarapan dikaitkan dengan Allah, bekerja dikaitkan dengan Allah, ketemu kawan dikaitkan dengan Allah, diskusi dikaitkan dengan Allah, dan seterusnya sampai tidur kembali dikaitkan dengan Allah.

Inilah orang-orang yang khusyuk itu. Dan orang yang semacam ini, akan dengan ringannya melakukan shalat untuk meminta pertolongan kepada-Nya. Di luar shalat ia khusyuk, di dalam shalat pun ia khusyuk. Karena kekhusyukan memang sudah menjadi jiwanya setiap saat...

Maka, melakukan ibadah shalat bukan untuk mengejar kekhusyukan. Orang yang demikian, justru telah menggeser perhatian utamanya: dari bertuhan kepada Allah menjadi bertuhan kepada kekhusyukan. Maka, Allah tidak akan menganugerahkan kekhusyukan kepadanya. Karena yang dirindukan memang bukan Allah, melainkan ’kekhusyukan’.

Allah tidak mengajarkan cara untuk mencapai kekhusyukan, melainkan sekedar memotivasi untuk menjadi khusyuk, yakni mengaitkan segala peristiwa dengan kehadiran-Nya. Apa pun yang hadir di sekitar kita adalah Allah. Baik maupun buruk. Allah sedang menampakkan Diri-Nya kepada kita dalam semua peristiwa. Di luar shalat maupun di dalamnya. Lha Dia sedang menampakkan Diri-Nya kepada kita, kok kita tidak menyambut-Nya, melainkan malah sibuk mencari ’kekhusyukan’ dengan berpusat pada diri sendiri... :(

’Kekhusyukan’ baru akan diperoleh kalau kita memusatkan perhatian kepada Allah, bukan kepada diri sendiri. Kita tinggal memperhatikan-Nya dan kemudian menyambut-Nya, bukan mencari. Dia sudah hadir. Sudah hadir dimana pun dan kemana pun kita menghadap. Bukan dicari, cuma disadari dan ’diperhatikan’ belaka.

Dia sudah hadir di dalam segala yang kita lihat...
Dia sudah hadir di segala yang kita dengar...
Dia sudah hadir di segala yang kita ucapkan...
Dia sudah hadir di segala yang kita pikirkan...
Dia sudah hadir di segala yang kita diskusikan...
Dia sudah hadir di seluruh penjuru peristiwa yang melingkupi kita...
Bahkan Dia sudah hadir di triliunan sel-sel tubuh kita...
Karena Dia memang sudah meliputi kita dan seluruh alam semesta...
Kenapa kita masih mencari-Nya...?

Perhatikan saja apa yang sedang muncul dalam kesadaran Anda...
Dan kemudian rasakanlah, bahwa Allah sedang ’menampakan’ Diri-Nya di ufuk mana pun kita menghadapkan wajah...

QS. Al Baqarah (2): 115
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.

QS. An Nisaa’ (4): 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.


Wallahu a’lam bishshwab
~ salam ~

(Dicuplik dan disarikan dari buku ke-26: ’KHUSYUK, berbisik-bisik dengan Allah’)

oleh Agus Mustofa pada 22 November 2010 pukul 12:51