oleh Agus Mustofa pada 28 Maret 2012
pukul 22:57
Salah satu kesalahan yang mendasar
dalam memahami Takdir adalah mencoba melihatnya dari sudut pandang Tuhan. Kita membayangkan
bahwa kita adalah Tuhan, dengan segala Kemahatahuan-Nya. Padahal, kita tidak pernah
bisa keluar dari ruang & waktu, bahkan untuk sekedar melihat alam semesta yang
kita tempati. Apalagi, berkhayal menjadi Tuhan yang Maha Tahu.
Teori-teori ruang & waktu yang
berkembang sejak era klasik sampai sekarang sebenarnya baru ‘menebak-nebak’ bentuk
alam semesta. Dulu, tebakan Newton dianggap benar sepenuhnya. Ternyata Albert Einstein
menemukan kelemahan yang mendasar, sehingga orang lebih memilih teori Einsteinian
dalam memahami alam semesta secara lebih holistik. Dalam ruang-waktu yang variable.
Tapi, jangan salah, teori Einstein
pun ternyata memiliki kelemahan mendasar dalam memahami ruang-waktu, yakni ketika
di-cross-kan dengan fakta
‘interaksi real-time’ antar partikel sub atomic dalam ruang-waktu alam semesta.
Teorinya menjadi runtuh bertabrakan dengan postulatnya sendiri: bahwa kecepatan
tertinggi di alam semesta adalah cahaya. Dengan kata lain, rumus Einstein tidak
bisa lagi digunakan untuk menjelaskan ‘secara holistik’ tentang ruang-waktu, dimana
segala peristiwa terjadi di dalamnya.
Maka, pemahaman Takdir berlandaskan
teori Einstein dengan sendirinya tidak lagi valid secara holistik. Dan hanya bisa
digunakan secara parsial. Sehingga, kalau ada yang memahami alam semesta sebagaitime-space block Einsteinian, ia hanya
akan menghasilkan sudut pandang parsial dalam memahami terjadinya peristiwa di dalam
universe.
Justru karena itulah saya mengelaborasi
teori yang lebih baru, yakni teori Holografik. Dimana teori ini dimunculkan untuk
mengatasi kelemahan teori Einstein dalam hal interaksi real-time tersebut. Tetapi, sayangnya,
pembahasan kritis yang diajukan oleh Brian Koentjoro malah ‘mundur lagi’ ke teori
Einsteinian, sehingga nggak
ketemu dalam frame yang sama. Padahal,
dengan sangat jelas saya menggunakan pijakan holografik untuk menjelaskan Takdir
dan Kehendak.
Bahwa, segala peristiwa ini adalah
proyeksi holografik dari sebuah ‘realitas tunggal’ yang ada di dimensi lebih tinggi.
Baik berupa peristiwa maupun berupa kehendak. Menggunakan teori Einstein tentang
ruang waktu yang melengkung saja, ternyata tidak cukup. Karena, kelengkungan alam
semesta yang demikian besar itu menjadi absurd ketika ditempuh dengan kecepatan
cahaya sekali pun.
Cobalah bayangkan, ada dua benda langit
yang berjarak 1 miliar tahun cahaya. Itu artinya, proses interaksi antara kedua
benda langit itu membutuhkan waktu selama 1 miliar tahun. Ini menyalahi FAKTA bahwa
interaksi antar keduanya terjadi secara real-time.
Jadi, kalau Anda masih menggunakan teori Einstein, tanpa memadukan dengan teori
holografik yang mengelaborasi adanya dimensi lebih tinggi, Anda akan terjebak pada
pemahaman parsial yang mbuleti sendiri.
Kenapa? Ya, karena teori ruang-waktu Einsteinian nggak cukup untuk membahasnya.
Teori itu tidak bisa menjelaskan hubungan
takdir satu dengan takdir lainnya yang terpisah dalam rentang jarak yang jauh dalam
skala universe. Misalnya, kenapa pusat gravitasi alam semesta masih saja ‘mengikat’
benda-benda langit yang bergerak menjauh dalam jarak miliaran tahun cahaya. Jadi,
kenapa kita masih saja bertahan menggunakan teori Einstein untuk menjelaskan hubungan
ruang-waktu universe dengan Tuhan? Padahal, Tuhan adalah ‘Sesuatu’ yang ‘meliputi’
universe.
Bagaimana Anda bisa memahami adanya
‘Sesuatu’ yang meliputi
universe, sementara alam semesta didefinisikan sebagai ruang yang hanya berdimensi
tiga? Disinilah teori Einstein tidak bisa menjelaskan, kecuali mengakui adanya ruang
berdimensi lebih tinggi. Yang mana dimensi lebih tinggi itu memuat ruang-ruang langit
berdimensi lebih rendah. Dan, seluruh interaksi antar benda langit bisa terjadi
dengan cara ‘menerobos’ kedalaman dimensi yang lebih tinggi, yang menyebabkan waktu
interaksi jauh lebih cepat, bahkan real-time.
Jadi, sebelum Anda memformulasikan
hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya, tidak bisa tidak Anda harus terlebih dulu
menemukan penjelasan teknisnya. Disinilah kenapa saya ‘terpaksa’ menjelaskan secara
njlentreh perbandingan teori-teori
yang ada dengan berbagai kelemahannya, baru kemudian menyimpulkannya secara filosofis.
Bahwa, hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya itu bisa didekati dengan teori Holografik
yang selangkah lebih maju dari teori Einstein tentang ruang dan waktu.
Menurut saya, teori ini sangat smart dalam menjelaskan realitas.
Bahwa realitas ‘dulu’ dan ‘nanti’ itu sebenarnya tidak ada. Yang ada itu ‘sekarang’.
Ruang adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Waktu juga proyeksi dirinya: ‘sekarang’.
Dan seluruh peristiwa adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Semuanya terjadi secara
real-time.
‘Kemarin’ sudah ‘tidak ada’. Sebagaimana
‘besok’ pun ‘tidak ada’. Kemarin adalah sekedar memori peristiwa yang membekas di sistem saraf otak
kita. Realitasnya TIDAK ADA lagi. Badan Anda kemarin sudah tidak ada. Karena badan
Anda yang sekarang ini sudah berbeda secara substantive dengan kemarin. Rambut sudah
lebih panjang atau memutih. Kuku juga. Seluruh organ-organ dan triliunan sel tubuh
Anda berbeda dengan sebelumnya, bahkan jika dibandingkan dengan semenit yang lalu.
Realitas adalah SEKARANG. Bukan tadi,
atau nanti. Ini tidak bisa dijelaskan oleh teori Einstein, yang memandang ‘tadi’
dan ‘nanti’ itu ada secara parallel dengan ‘sekarang’. Yang begini ini, dengan sangat
baik dijelaskan oleh teori holografik. Bahwa semua takdir bisa berlangsung secara
real-time: sekarang. Kenapa bisa sekarang?
Karena, ruang-waktu-peristiwa adalah sebentuk proyeksi belaka: disini dan sekarang.
Sedang dimulai, sedang berlangsung, dan sekaligus diakhiri..!
Kita tidak punya pijakan apa pun untuk
mengatakan bahwa Allah ‘sudah’ menakdirkan, atau ‘belum’ menakdirkan. Karena, yang
disebut takdir itu adalah ketika ‘terjadi’: sekarang, sebagai proyeksi dari diri-Nya.
Baik yang berupa kehendak, maupun peristiwanya. Kehendak Anda semenit yang lalu
itu hanya ilusi. Tidak ada realitasnya. Yang ada ialah kehendak sekarang: saat ini.
Yang sedang terjadi. Dan semua itu ada dalam kehendak Allah, ditentukan lewat takdir-Nya:
saat ini juga. Maka, setiap makhluk di alam semesta ini hanya berpindah dari satu
takdir ke takdir lainnya: sekarang.
QS. Al Hadiid
(57): 3
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
QS. An Nisaa’
(4): 126
Kepunyaan Allah-lah
apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.
Karena bagi Allah ‘dulu’ dan ‘nanti’
adalah: ‘sekarang’, maka dengan sendirinya Dia menjadi Maha Mengetahui. Bukan karena
waktu berjalan secara urutan ataupun paralel, melainkan karena waktu ‘tidak bergerak’
di dalam-Nya. Dimensi waktu yang bergerak itu adalah jika dipandang secara Einsteinian.
Dalam pandangan holografik, waktu tidak bergerak. Karena ‘dulu’ dan ‘nanti’ hanyalah
‘kesan’ yang terbentuk di sistem saraf otak kita. Yang riil itu adalah: ‘sekarang’.
Dan, Allah menempatkan seluruh kejadian ‘sekarang’ itu dalam kitab kenyataan bernama
Lauh Mahfuzh. Yang bisa dihapus atau ditetapkan secara real-time oleh-Nya, dan langsung
menjadi kenyataan. Terserah pada kehendak-Nya
QS. Al Hajj (22):
70
Apakah kamu tidak
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; Bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian
itu amat mudah bagi Allah.
QS. An Naml (27):
75
Tidak ada sesuatu
pun yang gaib di langit dan di bumi, melainkan di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
QS. Ar Ra’d (13):
39
Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah
terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).
Pembahasan soal Takdir dan Kehendak
ini memang cukup kompleks dan membutuhkan daya imajinasi yang baik, terutama dalam
tataran filosofis. Karena,
harus bisa merangkum seluruh kemungkinan yang rumit. Tetapi, dalam ranah operasional,
sebenarnya Allah memberikan petunjuk yang sangat sederhana. Bahwa, karena setiap
makhluk berada di dalam ruang dan waktu, maka manusia harus selalu menjadikan hari
esoknya lebih baik dari sekarang.
Allah memberikan derajat keleluasaan
tertentu kepada manusia untuk ‘mengubah takdir’ masa lalunya menjadi takdir masa
depan yang lebih baik. Kalau takdir Anda kemarin adalah miskin, maka Anda diberi
peluang untuk mengubahnya lewat sunnatullah, menjadi lebih kaya. Kalau Takdir Anda
kemarin adalah ‘sakit’, maka Anda diberi peluang untuk mengubah Takdir masa lalu
itu menjadi ‘sembuh’. Dan seterusnya.
QS. Ar Ra’d (13):
11
… Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan (takdir yang sudah terjadi) pada suatu kaum,sampai mereka mengubah keadaan (takdir yang sudah terjadi) yang ada
pada diri mereka sendiri…
Wallahu a’lam bishshawab
~ Salam ~