Kamis, 29 Maret 2012

'KEMARIN' ITU TIDAK ADA, 'BESOK' PUN TIDAK ADA ~ LEBIH JAUH TENTANG TAKDIR & KEHENDAK (2)

oleh Agus Mustofa pada 28 Maret 2012 pukul 22:57

Salah satu kesalahan yang mendasar dalam memahami Takdir adalah mencoba melihatnya dari sudut pandang Tuhan. Kita membayangkan bahwa kita adalah Tuhan, dengan segala Kemahatahuan-Nya. Padahal, kita tidak pernah bisa keluar dari ruang & waktu, bahkan untuk sekedar melihat alam semesta yang kita tempati. Apalagi, berkhayal menjadi Tuhan yang Maha Tahu.

Teori-teori ruang & waktu yang berkembang sejak era klasik sampai sekarang sebenarnya baru ‘menebak-nebak’ bentuk alam semesta. Dulu, tebakan Newton dianggap benar sepenuhnya. Ternyata Albert Einstein menemukan kelemahan yang mendasar, sehingga orang lebih memilih teori Einsteinian dalam memahami alam semesta secara lebih holistik. Dalam ruang-waktu yang variable.

Tapi, jangan salah, teori Einstein pun ternyata memiliki kelemahan mendasar dalam memahami ruang-waktu, yakni ketika di-cross-kan dengan fakta ‘interaksi real-time’ antar partikel sub atomic dalam ruang-waktu alam semesta. Teorinya menjadi runtuh bertabrakan dengan postulatnya sendiri: bahwa kecepatan tertinggi di alam semesta adalah cahaya. Dengan kata lain, rumus Einstein tidak bisa lagi digunakan untuk menjelaskan ‘secara holistik’ tentang ruang-waktu, dimana segala peristiwa terjadi di dalamnya.

Maka, pemahaman Takdir berlandaskan teori Einstein dengan sendirinya tidak lagi valid secara holistik. Dan hanya bisa digunakan secara parsial. Sehingga, kalau ada yang memahami alam semesta sebagaitime-space block Einsteinian, ia hanya akan menghasilkan sudut pandang parsial dalam memahami terjadinya peristiwa di dalam universe.

Justru karena itulah saya mengelaborasi teori yang lebih baru, yakni teori Holografik. Dimana teori ini dimunculkan untuk mengatasi kelemahan teori Einstein dalam hal interaksi real-time tersebut. Tetapi, sayangnya, pembahasan kritis yang diajukan oleh Brian Koentjoro malah ‘mundur lagi’ ke teori Einsteinian, sehingga nggak ketemu dalam frame yang sama. Padahal, dengan sangat jelas saya menggunakan pijakan holografik untuk menjelaskan Takdir dan Kehendak.

Bahwa, segala peristiwa ini adalah proyeksi holografik dari sebuah ‘realitas tunggal’ yang ada di dimensi lebih tinggi. Baik berupa peristiwa maupun berupa kehendak. Menggunakan teori Einstein tentang ruang waktu yang melengkung saja, ternyata tidak cukup. Karena, kelengkungan alam semesta yang demikian besar itu menjadi absurd ketika ditempuh dengan kecepatan cahaya sekali pun.

Cobalah bayangkan, ada dua benda langit yang berjarak 1 miliar tahun cahaya. Itu artinya, proses interaksi antara kedua benda langit itu membutuhkan waktu selama 1 miliar tahun. Ini menyalahi FAKTA bahwa interaksi antar keduanya terjadi secara real-time. Jadi, kalau Anda masih menggunakan teori Einstein, tanpa memadukan dengan teori holografik yang mengelaborasi adanya dimensi lebih tinggi, Anda akan terjebak pada pemahaman parsial yang mbuleti sendiri. Kenapa? Ya, karena teori ruang-waktu Einsteinian nggak cukup untuk membahasnya.

Teori itu tidak bisa menjelaskan hubungan takdir satu dengan takdir lainnya yang terpisah dalam rentang jarak yang jauh dalam skala universe. Misalnya, kenapa pusat gravitasi alam semesta masih saja ‘mengikat’ benda-benda langit yang bergerak menjauh dalam jarak miliaran tahun cahaya. Jadi, kenapa kita masih saja bertahan menggunakan teori Einstein untuk menjelaskan hubungan ruang-waktu universe dengan Tuhan? Padahal, Tuhan adalah ‘Sesuatu’ yang ‘meliputi’ universe.

Bagaimana Anda bisa memahami adanya ‘Sesuatu’ yang meliputi universe, sementara alam semesta didefinisikan sebagai ruang yang hanya berdimensi tiga? Disinilah teori Einstein tidak bisa menjelaskan, kecuali mengakui adanya ruang berdimensi lebih tinggi. Yang mana dimensi lebih tinggi itu memuat ruang-ruang langit berdimensi lebih rendah. Dan, seluruh interaksi antar benda langit bisa terjadi dengan cara ‘menerobos’ kedalaman dimensi yang lebih tinggi, yang menyebabkan waktu interaksi jauh lebih cepat, bahkan real-time.

Jadi, sebelum Anda memformulasikan hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya, tidak bisa tidak Anda harus terlebih dulu menemukan penjelasan teknisnya. Disinilah kenapa saya ‘terpaksa’ menjelaskan secara njlentreh perbandingan teori-teori yang ada dengan berbagai kelemahannya, baru kemudian menyimpulkannya secara filosofis. Bahwa, hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya itu bisa didekati dengan teori Holografik yang selangkah lebih maju dari teori Einstein tentang ruang dan waktu.

Menurut saya, teori ini sangat smart dalam menjelaskan realitas. Bahwa realitas ‘dulu’ dan ‘nanti’ itu sebenarnya tidak ada. Yang ada itu ‘sekarang’. Ruang adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Waktu juga proyeksi dirinya: ‘sekarang’. Dan seluruh peristiwa adalah proyeksi diri-Nya: ‘sekarang’. Semuanya terjadi secara real-time.

‘Kemarin’ sudah ‘tidak ada’. Sebagaimana ‘besok’ pun ‘tidak ada’. Kemarin adalah sekedar memori peristiwa yang membekas di sistem saraf otak kita. Realitasnya TIDAK ADA lagi. Badan Anda kemarin sudah tidak ada. Karena badan Anda yang sekarang ini sudah berbeda secara substantive dengan kemarin. Rambut sudah lebih panjang atau memutih. Kuku juga. Seluruh organ-organ dan triliunan sel tubuh Anda berbeda dengan sebelumnya, bahkan jika dibandingkan dengan semenit yang lalu.

Realitas adalah SEKARANG. Bukan tadi, atau nanti. Ini tidak bisa dijelaskan oleh teori Einstein, yang memandang ‘tadi’ dan ‘nanti’ itu ada secara parallel dengan ‘sekarang’. Yang begini ini, dengan sangat baik dijelaskan oleh teori holografik. Bahwa semua takdir bisa berlangsung secara real-time: sekarang. Kenapa bisa sekarang? Karena, ruang-waktu-peristiwa adalah sebentuk proyeksi belaka: disini dan sekarang. Sedang dimulai, sedang berlangsung, dan sekaligus diakhiri..!

Kita tidak punya pijakan apa pun untuk mengatakan bahwa Allah ‘sudah’ menakdirkan, atau ‘belum’ menakdirkan. Karena, yang disebut takdir itu adalah ketika ‘terjadi’: sekarang, sebagai proyeksi dari diri-Nya. Baik yang berupa kehendak, maupun peristiwanya. Kehendak Anda semenit yang lalu itu hanya ilusi. Tidak ada realitasnya. Yang ada ialah kehendak sekarang: saat ini. Yang sedang terjadi. Dan semua itu ada dalam kehendak Allah, ditentukan lewat takdir-Nya: saat ini juga. Maka, setiap makhluk di alam semesta ini hanya berpindah dari satu takdir ke takdir lainnya: sekarang.

QS. Al Hadiid (57): 3
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

QS. An Nisaa’ (4): 126
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

Karena bagi Allah ‘dulu’ dan ‘nanti’ adalah: ‘sekarang’, maka dengan sendirinya Dia menjadi Maha Mengetahui. Bukan karena waktu berjalan secara urutan ataupun paralel, melainkan karena waktu ‘tidak bergerak’ di dalam-Nya. Dimensi waktu yang bergerak itu adalah jika dipandang secara Einsteinian. Dalam pandangan holografik, waktu tidak bergerak. Karena ‘dulu’ dan ‘nanti’ hanyalah ‘kesan’ yang terbentuk di sistem saraf otak kita. Yang riil itu adalah: ‘sekarang’. Dan, Allah menempatkan seluruh kejadian ‘sekarang’ itu dalam kitab kenyataan bernama Lauh Mahfuzh. Yang bisa dihapus atau ditetapkan secara real-time oleh-Nya, dan langsung menjadi kenyataan. Terserah pada kehendak-Nya

QS. Al Hajj (22): 70
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.

QS. An Naml (27): 75
Tidak ada sesuatu pun yang gaib di langit dan di bumi, melainkan di dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

QS. Ar Ra’d (13): 39
Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).

Pembahasan soal Takdir dan Kehendak ini memang cukup kompleks dan membutuhkan daya imajinasi yang baik, terutama dalam tataran filosofis. Karena, harus bisa merangkum seluruh kemungkinan yang rumit. Tetapi, dalam ranah operasional, sebenarnya Allah memberikan petunjuk yang sangat sederhana. Bahwa, karena setiap makhluk berada di dalam ruang dan waktu, maka manusia harus selalu menjadikan hari esoknya lebih baik dari sekarang.

Allah memberikan derajat keleluasaan tertentu kepada manusia untuk ‘mengubah takdir’ masa lalunya menjadi takdir masa depan yang lebih baik. Kalau takdir Anda kemarin adalah miskin, maka Anda diberi peluang untuk mengubahnya lewat sunnatullah, menjadi lebih kaya. Kalau Takdir Anda kemarin adalah ‘sakit’, maka Anda diberi peluang untuk mengubah Takdir masa lalu itu menjadi ‘sembuh’. Dan seterusnya.

QS. Ar Ra’d (13): 11
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan (takdir yang sudah terjadi) pada suatu kaum,sampai mereka mengubah keadaan (takdir yang sudah terjadi) yang ada pada diri mereka sendiri

Wallahu a’lam bishshawab

~ Salam ~


Minggu, 25 Maret 2012

AGUNGKAN ALLAH DENGAN PENGAGUNGAN SEMESTINYA

oleh Agus Mustofa pada 24 Maret 2012 pukul 8:56

Alam semesta adalah mahakarya yang luar biasa. Di dalamnya tersimpan berbagai misteri abadi yang tiada habis-habisnya untuk dipelajari. Allah menyebutnya sebagai karunia yang tiada pernah selesai dituliskan, meskipun dengan tinta sebanyak tujuh samudera. Karena sesungguhnya, ilmu Allah tiada bandingnya, dan tak pernah bisa dibayangkan oleh siapa pun makhluk ciptaan-Nya secara utuh.

QS. Luqman (31): 25-27
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah". Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) sesudahnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat yang berbeda, Allah bahkan menyebut-nyebut penciptaan alam semesta ini lebih kompleks dibandingkan penciptaan manusia. Make sense, karena manusia memang hanya sebagian kecil saja dari eksistensi alam semesta yang mahaluas dan penuh misteri.

QS. An Naazi’at (79): 27-28
Lebih sulit manakah: menciptakanmu ataukah menciptakan langit? Allah telah membangun (langit itu), meninggikannya, (dan) kemudian menyempurnakannya..

Kemegahan alam semesta menjadi salah satu pintu masuk untuk mengenal Sang Pencipta. Baik dari sisi keindahannya, kerumitannya, kekokohannya, keseimbangannya, dan berbagai sisi yang sangat menakjubkan. Karena itu, Allah sangat sering menyebut-nyebut alam semesta untuk memancing perhatian kita dalam memahami Sang Pencipta. Selain, tentu saja, memahaminya lewat kemisteriusan diri manusia sendiri.

QS. Adz Dzaariyaat (51): 20-21
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (eksistensi Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

QS. Al Mulk (67): 3-4
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat pun, dan melelahkan.

Maka dalam kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan, bahwa apa yang telah saya uraikan dalam serial notes ini adalah dalam rangka mengenal Allah lebih dekat, dengan segala kedahsyatan ilmu-Nya. Yang dengan membahasnya - mudah-mudahan – kita menjadi sadar betapa ringkihnya makhluk bernama manusia ini. Dan betapa Agungnya Sang Maha Pencipta. Pengetahuan dan kemampuan yang harus kita kerahkan untuk memahami realitas yang sekedar proyeksi diri-Nya saja sudah sedemikian canggihnya. Apalagi, untuk memahami eksistensi-Nya.

Allah selalu mendorong kita untuk terus mengeksplorasi ayat-ayat-Nya kauniyah (alam) simultan dengan ayat-ayat qauliyah (firman), agar kita bisa semakin mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Karena, banyak diantara kita yang memilih untuk melewatkan begitu saja ilmu-ilmu yang sangat berharga dan penuh hikmah ini.

QS. Yusuf (12): 105
Dan betapa banyaknya tanda-tanda (eksistensi Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak memperhatikannya.

QS. Az Zumar (39): 67
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.

Sebagai penutup serial notes kali ini, saya kira ada baiknya kalau saya sarikan kembali garis besar dari apa yang telah kita bahas, agar kawan-kawan memperoleh pemahaman utuhnya secara lebih sederhana.

  1. Pemahaman terhadap realitas alam semesta ini terus berkembang seiring dengan data-data hasil pengamatan yang dilakukan manusia, dan kemudian melahirkan teori-teori yang saling melengkapi menuju pada kesempurnaan.
  2. Awalnya manusia memandang alam semesta sebagai ruangan yang statis dan terpisah dari waktu. Artinya, ruang dan waktu itu tidak memiliki hubungan apa pun. Dan berdiri sendiri-sendiri sebagai konstanta. Lantas, pada perkembangan berikutnya, ruang dipandang sebagai konstanta, dan waktu sebagai variable yang berjalan sendiri. Juga, tidak ada keterikatan apa-apa diantara keduanya. Sehingga, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya pun dianggap sebagai kejadian yang mandiri.
  3. Revolusi pemahaman mulai terjadi ketika Einstein mengemukan teori relativitasnya dalam memahami alam semesta dengan segala peristiwanya. Menurut Einstein, ruang dan waktu adalah variable yang eksis dalam satu paket. Tidak bisa dipisahkan. Karena, ruangan alam semesta ternyata tidak statis berupa konstanta. Alam semesta terbukti mengembang, seiring dengan waktu yang juga bertambah. Sehingga, menurutnya gerakan ruang dan waktu tidak boleh dipahami sendiri-sendiri. Setiap perubahan ruang akan menghasilkan perubahan waktu, dan demikian pula sebaliknya. Konsekuensinya setiap benda yang bergerak dalam ruang dan waktu akan mengalami relativitas. Bisa waktunya yang relative, atau bisa juga ruangnya yang relative. Waktu dan ruang bukan lagi konstanta, melainkan variable yang bisa mulur-mungkret seiring dengan kecepatan pengamat. Dan batas kecepatan pengamat tidak dimungkinkan untuk lebih dari kecepatan cahaya. Karena itu Einstein memasukkan konstanta kecepatan cahaya dalam rumus-rumus relativitasnya. Jika kecepatan pengamatan melebihi cahaya, ia akan berada dalam dimensi imajiner, alias tak mungkin.
  4. Teori Einstein telah berjasa mengubah atau lebih tepatnya menyempurnakan pemahaman manusia menjadi ‘lebih realistik’ dalam memandang realitas. Meskipun teori-teori klasik Newtonian masih juga sangat bermanfaat untuk digunakan bersamaan dengan teori Einstein. Teori klasik masih bisa digunakan dalam kondisi yang parsial dan kecepatan rendah. Sedangkan teori Einstein bisa digunakan dalam kondisi yang lebih holistik termasuk yang berkecepatan tinggi. Dengan kata lain, jika teori Einstein digunakan dalam kondisi kecepatan rendah, hasilnya sama dengan yang diprediksikan oleh teori klasik Newtonian. Sebaliknya, teori Newtonian tidak bisa digunakan dalam kondisi pengamat yang bergerak dengan kecepatan tinggi.
  5. Sebagaimana teori klasik Newtonian, teori Einstein ternyata memiliki kelemahan dalam menjelaskan kondisi tertentu. Khususnya, terkait dengan adanya fakta bahwa partikel-partikel sub atomik bisa berinteraksi secara real-time dalam kondisi tertentu - tidak bergantung pada jarak. Jika teori Einstein diterapkan disini, hasilnya akan memunculkan kecepatan melebihi cahaya. Sebuah prinsip dasar yang tidak diizinkan dalam teori Einsteinian. Maka muncullah teori baru, yakni teori holografik seperti yang saya uraikan dalam note sebelumnya. Bahwa, fakta real-time yang tak bergantung ruang-waktu itu hanya bisa dijelaskan, jika alam semesta ini merupakan sebuah ilusi. Serta memiliki hubungan tak terbatas di dimensi ruang yang lebih tinggi.
  6. Dari perkermbangan teori yang semakin menyempurna itulah saya memahami informasi-informasi Al Qur’an – ayat-ayat qauliyah – tentang realitas.

Yang pertama, kurva ruang dan waktu yang melengkung itu membawa konsekuensi adanya dimensi lebih tinggi: ruangan langit di dalam ruangan langit yang lebih besar. Yang oleh Al Qur’an disebut sebagai langit berlapis tujuh.
Yang kedua, dikarenakan kurva ruang-waktu yang melengkung itu, maka kita mempunyai peluang untuk melihat peristiwa di masa depan pada jarak yang jauh sekalipun. Yakni, dengan menerobos lewat dimensi ruang yang lebih tinggi. Semakin tinggi dimensi langitnya, semakin pendek jalan pintasnya.
Ketiga, peristiwa-peristiwa di alam semesta ini ternyata berlangsung secara bersamaan dalam kanvas ruang-waktu yang baru dimulai, sekaligus sudah diakhiri. Namun demikian, manusia menjalani semua itu sebagai ‘kejadian yang serial’ disebabkan ia terikat oleh dimensi ruang dan waktu dan menjalaninya secara urut. Seandainya manusia tidak terikat dimensi ruang-waktu, maka kita akan bisa melihat seluruh ‘lukisan di atas kanvas’ alam semesta ini secara paralel.
Keempat, teori holografik memecahkan kebuntuan teori Einstein dengan smart. Bahwa, alam semesta ini tak lebih hanyalah proyeksi dari sebuah peristiwa tunggal di alam yang lebih tinggi, yang telah saya jelaskan lewat analogi ‘ikan di dalam aquarium’ di note sebelumnya. Hal ini memberikan penjelasan yang koheren dengan informasi Al Qur’an tentang Lauh Mahfuzh. Bahwa seluruh realitas ini memang sudah ada di dalam kitab induk bernama Lauh Mahfuzh itu. Dengan kata lain, segala peristiwa ini hanyalah proyeksi holografik dari master film bernama Lauh Mahfuzh, dimana seluruh realitas sudah termaktub. Kitab induk itu sendiri pun merupakan proyeksi holografik dari Sang Pencipta, Yang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana…

QS. Al Hadiid (57): 22
Tiada suatu bencana (peristiwa) pun yang terjadi di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Kelima, posisi ‘kehendak’ manusia pun merupakan proyeksi holografik dari kehendak Allah. Sehingga setiap kehendak manusia yang disebut sebagai ‘kehendak bebas’ (free will) ini pun sebenarnya berada dalam kehendak Allah. ‘Kebebasan’ yang dimiliki oleh manusia dalam berkehendak itu selalu berada di dalam bingkai ‘kehendak Allah’ yang holistik. Sehingga, seakan-akan manusia bisa memilih takdirnya sendiri. Padahal segala alternative pilihan itu tak pernah keluar dari  frame kehendak-Nya. Disinilah letak kerelatifan manusia dalam memilih takdirnya, dalam memperoleh kebaikan atau keburukan. Setiap takdir adalah baik di sisi Allah, tetapi bisa menjadi buruk di mata manusia, dikarenakan keterbatasan manusia dalam memilih takdir yang dikira terbaik baginya.

QS. An Nisaa’ (4): 79
Segala kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan segala keburukan yang menimpamu berasal dari (keterbatasan)-mu sendiri…

Demikianlah sepenggal catatan saya, tentang secuil misteri alam semesta yang sangat dahsyat. Tentu, masih sangat banyak pertanyaan yang bergelayutan di benak saya maupun benak Anda, menunggu jawaban yang lebih terang benderang. Dengan harapan akan membuka cakrawala pemahaman kita terhadap alam semesta, Ciptaan Allah Sang Maha Perkasa. Semoga Allah membimbing kita semua di jalan yang diridhai-Nya…

Wallahu a’lam bishshawab


~ Salam ~

Jumat, 23 Maret 2012

‘BARU DIAWALI, SEKALIGUS SUDAH DIAKHIRI’


Perpaduan antara teori klasik Einsteinian dan teori holografik cukup bermanfaat untuk menjelaskan berbagai fenomena alam semesta yang selama ini dianggap rumit. Termasuk untuk menjelaskan konsep Takdir yang masih membingungkan sejumlah kalangan.

Dalam sudut pandang Einsteinian, ruang dan waktu adalah dimensi kontinum yang eksistensinya sudah ada secara bersamaan. Ketika kita menyebut variable ruang: disana-disini-disitu, maka dalam konteks yang senada kita pun bisa mengatakan: dulu-sekarang-nanti. Ya, sebagaimana dimensi ruang yang memuat ‘disana-disini-disitu’ secara bersamaan, dimensi waktu pun memuat ‘dulu-sekarang-nanti’ dalam satu paket.

Dengan kata lain, seluruh peristiwa yang terjadi di masa lalu, di waktu sekarang, dan di masa yang akan datang, sebenarnya terjadi secara berbarengan di dalam kontinum ruang-waktu. Atau bisa dikatakan: sebuah peristiwa sedang dimulai, sedang berlangsung, dan sedang diakhiri, terjadi bersamaan..! Pemahaman seperti ini, memang agak membingungkan sejumlah kalangan. Terutama yang ‘terjebak’ pemahaman lama, dimana waktu ‘terkesan’ terjadi secara berurutan: dulu, sekarang, dan nanti.

Bagi mereka yang memahami teori ruang-waktu Einsteinian agaknya bisa mengerti keberadaan dimensi ruang-waktu yang tak terpisahkan itu. Memang, jauh lebih mudah membayangkan dimensi ruang ‘disana-disini-disitu’ secara bersamaan, daripada membayangkan waktu ‘dulu-sekarang-nanti’ yang eksis sepaket. Dalam dimensi ruang, ketika Anda berdiri ‘disini’, maka Anda langsung bisa mengerti jika dikatakan ‘disana’ dan ‘disitu’ terjadi bersamaan. Bahkan Anda bisa menunjuk dengan jari telunjuk Anda posisi yang berbeda itu. Ini berbeda dengan dimensi waktu yang jauh lebih abstrak.

Tapi begitulah, karena perubahan dimensi ruang yang sedang mengembang ini terikat pada pertambahan dimensi waktu, maka konsekuensinya dimensi waktu pun sebenarnya telah eksis di alam semesta sebagai bentuk kontinum dari T = nol sampai T = tak berhingga. Dan akibatnya, seluruh peristiwa yang terjadi di dalam dimensi ruang-waktu itu pun sudah terjadi secara bersamaan ‘disini-disitu-disana’ dalam waktu ‘dulu-sekarang-nanti’ yang juga serentak.

Saya ingin memberikan analogi yang lebih mudah. Marilah kembali kepada grafik tiga dimensi berbentuk globe yang sudah saya jelaskan dalam note-note sebelumnya. Jika alam semesta dianalogikan dengan globe itu, maka alam semesta ini memang sudah mewujud. Wujudnya apa? Ya globe itu. Karena globe itu memang terbentuk dari dimensi waktu dan dimensi ruang secara simultan. Garis bujurnya membentuk dimensi waktu, sedangkan garis lintangnya membentuk dimensi ruang.

Jadi, ketika ruang & waktu belum berubah, globe itu belum terbentuk. Atau dalam realitas alam semesta, ketika ruang dan waktu itu belum bergerak, maka alam semesta ini belum eksis. Padahal alam semesta ini ternyata sudah eksis. Berarti, ruang dan waktu pun sudah eksis. Waktu T = nol, dan volume V = nol, berada di kutub utara globe. Yakni saat, alam semesta berada di awal penciptaan. Sedangkan waktu T = tak berhingga, dan volume V = nol ada di kutub selatan globe, yakni ketika alam semesta mengalami keruntuhan. Volume terbesarnya berada di perut globe, di lingkaran katulistiwa, yakni saat alam semesta bergerak berbalik arah dari mengembang ke mengerut.

Jika Anda ingin berada di dalam ruang yang lebih besar atau berpindah dari ‘sini’ menuju ‘kesana’, maka Anda harus bergerak di dalam waktu yang ‘menua’, yakni bergerak dari kutub utara globe ke kutub selatannya. Tidak bisa tidak. Karena, waktu hanya bergerak searah ke masa depan. Begitu Anda bergerak – ke arah manapun – ke barat, timur, selatan, utara, maka Anda berarti bergeser menuju katulistiwa. Alias menuju ruang alam semesta yang semakin membesar, dimana waktu bergerak menua. Dan jika Anda teruskan lagi, maka Anda akan ‘terseret’ oleh pergerakan waktu menuju ke kutub selatan, dimana volume alam semesta akan mengecil kembali.

Jadi ringkas kata, realitas alam semesta ini ibarat sebuah ‘kanvas peristiwa’, yang terbuat dari dimensi ruang dan waktu. Dimana sang kanvas tidak berhenti alias statis, melainkan dinamis seiring terjadinya peristiwa itu sendiri. Dan terbentuk oleh waktu yang bergerak ke masa depan, seiring volume semesta yang mengembang, dan kemudian mengerut kembali.

Maka, globe sudah terhampar dengan koordinat ruang-waktu dalam bentuk garis-garis lintang dan garis bujurnya. Peristiwa yang akan kita temui pun sudah terhampar di permukaan globe itu. Tinggal, Anda sebagai ‘pengamat sekaligus pelaku’ akan bergerak kemana untuk ‘membentuk sejarah’ Anda masing-masing. Semua bergantung ‘kehendak’ dan keinginan Anda untuk menciptakan sejarah Anda sendiri, di dalam ruang dan waktu yang sebenarnya sudah terhampar beserta segala peristiwanya.

Setiap peristiwa sedang dimulai, dijalani, dan diakhiri oleh setiap orang yang menempuh sejarahnya masing-masing. Tetapi, karena setiap orang harus melewati dimensi waktu secara berurutan, semua peristiwa itu tampak ‘seakan-akan serial’. Padahal semua peristiwa itu sudah eksis di alam semesta ‘secara paralel’.

Di dalam buku MEMBONGKAR TIGA RAHASIA saya menganalogikan sejarah setiap orang itu terbentuk oleh perjalanannya sendiri di ruang angkasa. Bayangkanlah, setiap orang memiliki sebuah sepeda motor luar angkasa yang sangat canggih. Cara menjalankan sepeda motor itu cukup dengan kehendak. Setiap Anda berkehendak maju, maka spontan kendaraan angkasa itu akan maju. Dan kalau Anda berkehendak berhenti, maka seketika itu pula ia akan berhenti. Anda bisa bergerak tiga dimensi di dalam ruang.

Rute perjalanan Anda adalah ke angkasa luar, menjelajah ruang dan waktu. Di ruang angkasa itu terdapat ‘stasiun-stasiun peristiwa’ yang jumlahnya tidak berhingga. Dimana Anda akan membentuk ‘sejarah perjalanan’ Anda sendiri dengan cara mampir ke stasiun-stasiun itu. Maka, ada miliaran manusia yang melesat ke luar angkasa dalam misi perjalanannya.

Lintasan yang Anda tempuh adalah dimensi ruang, dimana Anda boleh menentukan sebebas-bebasnya untuk mengunjungi stasiun peristiwa yang mana pun Anda ingini. Ada yang memulai kunjungannya dari stasiun nomer 1, dan berurutan ke stasiun-stasiun berikutnya sebanyak yang dia bisa capai. Ada pula yang mengunjungi stasiun-stasiun peristiwa itu secara acak, dimulai dari stasiun nomer 100, lantas 20, dilanjutkan ke 75, dst. Atau, ada yang terbengong-bengong belaka.

Tetapi, ingat, setiap pengembara diberi waktu terbatas berdasar bahan bakar yang diisikan ke dalam sepeda motornya. Maka, saat stop watch dipencet bergeraklah seluruh pengendara sepeda motor itu dengan agenda masing-masing untuk mengunjungi stasiun-stasiun peristiwa yang akan membentuk sejarahnya. Setiap orang pasti berbeda sejarah, meskipun ada juga sebagian yang sama. Apalagi, di setiap stasiun itu ternyata pertunjukan yang disajikan terus berganti-ganti. Sehingga setiap orang yang mampir ke stasiun itu berpeluang untuk memperoleh suguhan peristiwa yang berbeda. Sejarah yang berbeda.

Analogi diatas barangkali tidak persis dengan mekanisme sejarah kehidupan yang kita lalui. Tetapi intinya adalah, setiap orang memiliki peluang untuk membangun sejarah masing-masing secara berbeda di dalam ruang dan waktu yang sudah ada. Faktor utama pada setiap orang berada pada kehendak bebasnya. Tetapi, harus diingat, ia hanya bisa berjalan diantara stasiun-stasiun peristiwa yang sudah ada di dalam dimensi ruang-waktu. Sejarah setiap orang ‘hanyalah soal urutan’ mengalami peristiwa yang dia pilih, dari alternative peristiwa berjumlah tak berhingga yang terhampar di kanvas alam semesta.

Lantas bagaimana hubungannya dengan Tuhan Sang Penguasa segala peristiwa? Teori holografik, saya kira, bisa membantu menjelaskannya. Bahwa seluruh peristiwa di alam semesta ini sebenarnya adalah pancaran holografik dari eksistensi Tuhan. Bukan hanya pada variable materi sebagai pembentuk sosok, dan variable energi sebagai penggerak peristiwa. Melainkan, ‘kanvas’ ruang dan waktu pun adalah proyeksi dari eksistensi-Nya. Demikian juga variable informasi yang memicu terjadinya peristiwa. Semua itu adalah proyeksi diri-Nya.

Allah menggambarkan, bahwa seluruh peristiwa memang sudah tersedia dalam bentuk file di kitab induk yang disebut sebagai Lauh Mahfuzh. Tak ada satu peristiwa pun yang tidak termaktub di pusat data alam semesta itu. Dimana data-data inilah yang kemudian diproyeksikan secara holografik ke kanvas ruang-waktu untuk menjadi peristiwa. Data-data di Lauh Mahfuzh itu sendiri merupakan ‘proyeksi’ yang mewakili sifat-sifat dan eksistensi-Nya.

QS. Al An’aam (6): 59
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya. Dan tidak jatuh sebutir biji pun di dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

Jadi, kitab induk data alam semesta inilah yang menjadi ‘master film’ hologram yang di putar di layar ruang dan waktu. Bahkan, sebenarnya ruang-waktu itu sendiri pun merupakan hasil proyeksi holografik. Dengan kata lain, semua realitas ini semu belaka. Bagaikan bayang-bayang tiga dimensi dari foto hologram yang sebenarnya merupakan efek holografik yang ditembakkan di lembaran kertas foto yang dua dimensi. Ya, efek tiga dimensi yang terjadi pada lembaran kertas foto itu semu belaka.

Sama dengan realitas kehidupan ini, dimana kanvas alam semesta yang kosong ‘ditembak’ dengan pancaran ‘sinar ilahiah’ melewati ‘master film’ holografik berupa kitab peristiwa Lauh Mahfuzh. Hasilnya adalah efek hologram di kanvas ‘ketiadaan’ yang menghasilkan variable ruang-waktu-materi-energi-informasi. Kombinasi simultan dari berbagai variable itulah yang membentuk berbagai peristiwa sebagai sejarah personal maupun kolektif.

Semua itu tampak nyata, karena Allah menciptakan perangkat ‘kamera dan monitor’ yang sangat canggih berupa panca indera dan otak. Sistem saraf yang dikomandoi otak inilah sebenarnya yang membuat segala efek hologram itu menjadi tampak nyata. Bisa dipahami secara berurutan di dalam ruang dan waktu, serta terlihat berinteraksi secara material dan energial.

Lantas, apa substansi dasar dari eksistensi manusia ini? Jawabnya adalah: ruh. Dengan ruh itulah seseorang ‘berkehendak’ untuk melewati sejarah kehidupannya. Melintasi berbagai peristiwa yang sudah terhampar di alam semesta, untuk membentuk urutan unik secara personal maupun kolektif. Dan menariknya, saya kira Anda pun sudah tahu, bahwa ruh itu ternyata juga hasil ‘proyeksi holografik’ dari sifat-sifat Ilahiah dalam skala makhluk. Saat DIA menghembuskan sebagian ruh-Nya, manusia lantas memperoleh sifat-sifat-Nya, diantaranya adalah ‘berkehendak’.

Maka, kalau kemudian ada yang bertanya: kehendak saya ini bebas ataukah terikat pada kehendak Allah? Saya kira sekarang Anda sudah bisa menjawab sendiri, bahwa segala kehendak ini tak lain hanyalah kehendak Dzat Penguasa Jagat Semesta, Yang Maha Berkehendak dan Maha Bijaksana. Sedangkan kehendak manusia, hanyalah proyeksi holografik dari kehendak Allah yang derajatnya sangat parsial bergantung pada sudut pandang kita dalam melihatnya. Persis gambar-gambar semu hologram yang bisa berubah-ubah ketika dilihat dari sisi yang berbeda..!

QS. Al Maa-idah (5): 17
… Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

QS. Al Baqarah (2): 117
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia.

QS. Al Hajj (22): 70
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.

Wallahu a’lam bishshawab

~ Salam Merenungi ‘Eksistensi Semu’ Segala Ciptaan-Nya ~


oleh Agus Mustofa pada 22 Maret 2012 pukul 17:19

Kamis, 22 Maret 2012

SELURUH REALITAS INI HANYA 'BAYANGAN' BELAKA


PENEMUAN Alain Aspect bersama timnya dari Universitas Paris, tentang adanya interaksi antar partikel yang melebihi kecepatan cahaya telah melahirkan teori holografik yang mengubah pemahaman manusia modern terhadap realitas alam semesta. Ini sekaligus menjawab kelemahan teori Einstein tentang kontinum ruang dan waktu.

Tiga dasawarsa yang lalu, Aspect bersama timnya menemukan fakta bahwa partikel-partikel sub-atomik seperti elektron mampu berkomunikasi secara real-time tanpa tergantung jarak. Tidak ada bedanya antara jarak 1 meter dengan 1 milyar tahun cahaya. Dalam kondisi tertentu, ternyata interaksi antar benda bisa berjalan secara serentak.

Tentu saja, hal ini melanggar prinsip dasar teori Einstein yang menyatakan setiap interaksi membutuhkan proses dengan kecepatan tak melebihi cahaya. Dalam skala makrokosmos, Teori Einstein terbukti tidak bisa menjelaskan fenomena: kenapa antara dua benda langit yang berjarak miliaran tahun cahaya bisa terikat oleh gravitasi secara real-time alias serentak. Apakah laju gaya gravitasi memiliki kecepatan melebihi cahaya? Sebuah fakta yang bertolak belakang dengan keyakinan para penganut teori Einstein.

Jawaban atas fenomena ini muncul dari penelitian Aspect cs, yang kemudian memicu munculnya teori holografik yang diajukan oleh pakar Fisika Teoritis dari Universitas London, David Bohm dan pakar neurofisiologi Karl Pribram dari Universitas Stanford. Menurut Bohm, adanya interaksi real-time antar benda itu bisa dijelaskan dengan teori holografik. Yakni, seluruh realitas ini sebenarnya adalah ilusi semata. Sekedar proyeksi dari sebuah realitas yang ‘lebih dalam’, di balik apa yang bisa kita observasi.

Ia menganalogikan demikian. Ada seekor ikan di dalam sebuah aquarium besar. Di semua sisi aquarium itu dipasangi kamera: depan-belakang, kanan-kiri, dan atas-bawah. Keenam kamera itu lantas dihubungkan dengan enam buah monitor di ruangan yang berbeda. Kita, sebagai pengamat, tidak menyaksikan ikan itu secara langsung, melainkan lewat keenam layar monitor. Tentu, seluruh kamera akan menangkap gambar ikan dari sisi yang berbeda-beda: kepala, ekor, sirip atas, bawah, dan samping.

Maka, apakah yang terjadi ketika ikan itu bergerak? Seluruh layar monitor pun akan menampilkan ‘ikan yang berbeda’. Monitor satu, menampilkan gerakan kepala. Monitor dua menampilkan gerakan ekor. Dan monitor-monitor lain menampilkan sirip-sirip, serta bagian tubuh lainnya. Dan lihatlah, semuanya terjadi secara serentak..! Tanpa membutuhkan waktu proses.

Bahkan seandainya seluruh monitor itu dipisahkan dalam jarak miliaran tahun cahaya, seluruh layar monitor akan menampilkan perubahan itu secara real-time, terhadap peristiwa tunggal yang terjadi di dalam aquarium tersebut. Tidak ada interaksi antar-benda yang melebihi kecepatan cahaya disini. Karena, seluruh apa yang kita lihat memang bukan realitas, melainkan sekedar proyeksi dari sesuatu yang tunggal belaka..!

Begitulah realitas alam semesta menurut paradigma holografik. Seluruh materi, energi, ruang, dan waktu ini tak lebih hanya proyeksi dari sebuah ‘Realitas Tunggal’ yang tersembunyi di balik segala yang bisa kita observasi. Kenapa bisa demikian? Jawabannya diberikan oleh pakar Neurofisiologi, Karl Pribram dari Universitas Stanford.

Menurut Pribram, itu dikarenakan otak kita ini bekerja secara holografik. Otak kita dengan sistem sensorik panca indera itulah sebenarnya yang menstransfer ’Realitas Sejati’ di balik alam semesta, bagaikan sebuah kamera, yang kemudian ditampilkan di ’layar monitor’ pemahaman kita. Mirip dengan kamera yang digunakan untuk memantau ikan di dalam aquarium yang saya ceritakan di atas. Seluruh frekuensi yang datang dari mata, telinga, penciuman, lidah, dan kulit diproyeksikan ke dalam ’layar monitor’ di otak kita. Dan kemudian menghasilkan gambar-gambar holografik yang kita pahami sebagai persepsi.

Sebagai gambaran, proses holografik pada benda terjadi karena adanya interferensi sinar dari arah yang berbeda yang berpadu sehingga membentuk gambar semu. Saya kira, Anda pernah melihat gambar hologram. Cara membuatnya begini: sebuah obyek gambar yang ingin dibuat hologramnya dipancarkan dengan sinar laser ke sebuah pelat film. Dalam waktu yang bersamaan pelat film itu juga disinari dengan laser dari sudut yang berbeda. Bisa dengan obyek yang sama, bisa juga dengan obyek yang berbeda.

Maka, ketika pelat film itu dicetak, ia akan menghasilkan gambar hologram tiga dimensi yang semu. Jika obyek yang diproyeksikan sama, Anda akan melihat hasil cetakannya menjadi 'dobel' atau meruang dalam tiga dimensi dipandang dari sudut tertentu. Tetapi jika obyeknya berbeda, Anda akan melihat gambar hologram itu berubah-ubah ketika dipandang dari sudut yang berbeda.

Begitulah kurang lebih cara kerja otak kita. Ia bekerja sebagai layar monitor yang menerima proyeksi dari sistem sensorik, yang kemudian menghasilkan interferensi frekuensi dari berbagai sudut, sehingga menghasilkan image atau persepsi tiga dimensi. Tetapi, sesungguhnya semua itu semu belaka. Karena kita tidak pernah ’melihat’ realitas sesungguhnya di alam semesta ini, kecuali sesudah melewati ’kamera’ panca indera dan ’layar monitor’ sistem saraf di otak kita..!

Mekanisme holografik ini pula yang bisa menjelaskan, kenapa sistem memori di otak kita demikian canggihnya. Bahwa sistem memori itu tidak terjadi secara terpusat di salah satu bagian otak saja, melainkan terpencar ke seluruh bagian otak. Ini sangat sesuai dengan mekanisme holografik, dimana perpaduan gelombang yang berinterferensi itu terjadi di semua titik-titik cahaya yang diproyeksikan. Dan bisa mencapai variasi dalam jumlah tak berhingga, hanya dengan mengubah sedikit sudut pancaran sinar laser yang ditembakkan ke pelat film.

Di setiap perpaduan gelombang itulah memori holografik tersimpan. Dan sudah terbukti dalam berbagai penelitian holografik, bahwa dalam setiap senti meter kubik pelat film hologram bisa tersimpan memori sebesar 10 miliar bit informasi. Sebuah kapasitas memori yang luar biasa besar, yang sangat bersesuaian dengan fenomena kerja memori otak kita.

Dengan teori holografik ini pula bisa dijelaskan, kenapa otak manusia bisa ’melihat’ gelombang suara dan ’mendengar’ gelombang cahaya.  Termasuk bisa menangkap berbagai frekuensi yang memapar seluruh permukaan tubuh ataupun langsung menuju ke otak. Berbagai penelitian menunjukkan ternyata range frekuensi panca indera kita itu jauh lebih lebar dari yang diperkirakan selama ini. Seluruh tubuh kita bisa menangkap frekuensi alam semesta di sekitarnya, dan merekamnya secara holografik di dalam otak kita. Dengan cara ini pula bisa dijelaskan, kenapa seseorang bisa melakukan hubungan-hubungan telepati dengan orang lain, dan menangkap tanda-tanda alam di sekitarnya secara radiatif langsung ke otaknya.

Maka ringkas kata, saya cuma ingin menggambarkan kepada Anda semua, bahwa pemahaman manusia terhadap realitas alam semesta ke masa depan boleh jadi akan mengalami revolusi besar-besaran seiring dengan diterimanya teori holografik secara luas. Pijakannya sangat kuat, didukung oleh berbagai data yang semakin terbukti ke masa depan. Bahwa, segala realitas ini tak lebih hanya sebuah hologram yang diproyeksikan ke kanvas alam semesta dari ’Realitas Sejati’ yang berada di balik segala yang bisa kita observasi..!

Alam semesta dengan segala peristiwanya ini, tak lebih hanya bayangan semu dari Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana..! Hanya manusia yang tinggi hati dan tak tahu diri saja yang merasa dirinya 'ada', apalagi mengira akan 'eksis selama-lamanya'. Dalam berbagai firman-Nya, Allah telah menjelaskan bahwa kehidupan ini sebenarnya semu dan menipu. Allah mengibaratkan diri-Nya sebagai pelita, dan segala ciptaan-Nya sebagai cahaya. Yang nyata tentu saja adalah pelita, sedangkan cahaya hanya pancaran dari sang pelita.

Ya, semua realitas ini, termasuk diri kita ternyata hanyalah hologram dari diri-Nya..!

QS. Al Hadiid (57): 20
... Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

QS. An Nuur (24): 35
Allah mencahayai langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca. Kaca itu bagaikan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. Yaitu, pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat. Minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Wallahu a’lam bishshawab

~ Salam Merenungi Misteri Alam Semesta ~


oleh Agus Mustofa pada 21 Maret 2012 pukul 10:48

Selasa, 20 Maret 2012

STRUKTUR 'LANGIT DI DALAM LANGIT' YANG MENAKJUBKAN

Kurva tiga dimensi berbentuk globe, yang saya jelaskan di note sebelumnya, saya kira lumayan baik untuk menggambarkan hubungan antara dimensi ruang dan waktu alam semesta. Dengan globe itu kita bisa memperoleh gambaran bahwa kurva waktu berbentuk lengkung, sebagaimana kurva ruang yang juga berbentuk lengkung.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: kemanakah melengkungnya kurva di permukaan bola yang berdimensi dua itu? Seandainya alam semesta ini hanya berdimensi dua, berupa lembaran (bukan ruang angkasa yang bervolume), maka lembaran permukaan globe itu tidak akan bisa melengkung membentuk bola. Bentuk bola hanya terjadi di ruang tiga dimensi. Sedangkan bentuk lembaran terjadi di ruang dua dimensi.

Maka, agar sebuah lembaran bisa dilengkungkan ia harus berada di dalam ruang berdimensi lebih tinggi. Sehingga menjadilah sebuah bola yang bervolume, yang dibentuk dari lembaran berdimensi dua yang dilengkungkan. Pada bola yang berdimensi tiga alias bervolume itulah terkandung permukaan bola yang berdimensi dua berbentuk lembaran tiada bertepi.

Sekarang, tolong Anda jawab pertanyaan ini: apakah permukaan bola memiliki tepi? Bayangkanlah, jika Anda berjalan di atas permukaan globe itu ke arah depan terus menerus, apakah Anda akan bertemu tepinya? Tentu saja tidak. Karena, jika diteruskan, perjalanan Anda itu akan mengelililingi globe dan kembali ke tempat Anda berangkat semula. Terbuktilah, bahwa permukaan bola yang melengkung dan berdimensi dua itu tidak memiliki tepi. Namun tetap terbatas. Permukaan bola itu memiliki batas luasan. Kita bisa menghitung besar luasan permukaan globe itu dengan rumus luas bola =  4 x pi x R^2.

Maka kita menyebut permukaan bola itu sebagai ruang berdimensi dua yang tak punya tepi, tetapi terbatas. Ruang berdimensi dua itu berada di dalam ruang berdimensi tiga, yakni volume bola, dan juga volume ruangan di luar bola. Dengan bahasa awam dikatakan, permukaan bola yang melengkung tak bertepi itu terendam di dalam ruangan dimana ia berada. Baik yang ada di dalam bola maupun yang ada di luarnya.

Perhatikanlah. Ternyata ruang dua dimensi terendam di dalam ruang tiga dimensi. Atau dengan kata lain, bisa juga dikatakan ruang tiga dimensi sebenarnya tersusun dari ruang dua dimensi. Dan ruang dua dimensi pun tersusun dari ruang satu dimensi. Secara awam bisa saya katakan, bahwa sebuah luasan yang berdimensi dua sebenarnya terbentuk dari garis-garis berdimensi satu yang jumlahnya tak berhingga. Karena jika Anda menggambar garis sebanyak-banyaknya secara berimpitan kumpulan garis itu akan membentuk luasan. Sebagaimana pula, kalau Anda menggambar titik-titik secara berimpitan dalam jumlah tak berhingga, akan membentuk sepotong garis.

Sebuah bola yang berdimensi tiga terbentuk dan tersusun dari lembaran-lembaran berdimensi dua dalam jumlah tak berhingga. Lembaran berdimensi dua itu tersusun dari garis-garis berdimensi satu yang jumlahnya juga tak berhingga. Dan garis-garis itu terusun dari titik-titik tak bedimensi yang jumlahnya tak berhingga. Sebuah titik tak berdimensi boleh juga disebut sebagai ‘ketiadaan’. Ada simbolnya, tetapi tak ada kuantitasnya. Seperti angka nol, ada simbolnya tetapi tak ada isinya. Jadi segala yang ada ini sebenarnya tersusun dari 'ketiadaan'.

Apa yang saya ceritakan di atas adalah dalam rangka menerangkan struktur langit, alias alam semesta yang berbentuk lengkung itu. Bahwa, karena ruang alam semesta yang berdimensi tiga ini berbentuk lengkung, maka alam semesta membutuhkan ruang berdimensi lebih tinggi untuk mewadahi kelengkungannya. Ruang berdimensi empat itulah langit kedua, yang mewadahi melengkungnya langit pertama.

Untuk memudahkan penjelasan, proyeksikanlah langit berdimensi tiga ini sebagai sebentuk garis. Proyeksi adalah sebuah cara untuk menurunkan derajat dimensi. Sebagai contoh, badan Anda yang tiga dimensi jika disorot dengan lampu proyektor ke dinding akan menjadi bayangan yang berdimensi dua. Dan bayangan yang berdimensi dua itu jika diproyeksikan lagi akan menjadi sebuah garis. Maka, ambillah hasil proyeksi berupa garis itu sebagai cara untuk memudahkan penjelasan. Bahwa sepotong garis bisa kita gunakan untuk mewakili ruang tiga dimensi alam semesta.

Maka, kalau Anda melengkungkan sepotong garis yang berdimensi tiga (langit pertama) itu sampai ujungnya bertemu dengan ujung lainnya, ia akan membentuk lingkaran. Nah, lingkaran itu adalah ruang berdimensi lebih tinggi, yakni berdimensi empat (langit kedua). Karena, ingat, garis yang menyusun lingkaran itu adalah ruang berdimensi tiga.

Dan jika kita lanjutkan, lingkaran itu kita jejer bertumpukan dalam arah melengkung, maka Anda akan memperoleh terowongan berbentuk donat. Lingkaran-lingkarannya membentuk kulit donat, yang dilengkungkan sampai bertemu ujung donat yang satu dengan ujung lainnya. Itulah langit ketiga yang berdimensi lima. Sebentuk donat yang mewadahi kelengkungan langit pertama berupa garis tiga dimensi, dan langit kedua berupa lingkaran empat dimensi.

Jika proyeksi dimensi alam semesta ini dilanjutkan sampai ke langit ke tujuh yang berdimensi sembilan, dengan cara menjejer donat-donat itu sehingga membentuk ruangan berdimensi lebih tinggi, kita akan memperoleh alam semesta berbentuk pensil atau terompet yang di salah satu ujungnya mengecil, dan di ujung lainnya membesar, disebabkan oleh dimensi waktu bergerak dari T=0 sampai tak berhingga. T = nol menyebabkan ujung pensil atau terompet yang lancip, dan T = tak berhingga membentuk ujung terompet yang membuka.

Yang lebih menarik, sebenarnya adalah struktur dimensi di dalam dimensi itu. Bahwa alam semesta ini ternyata memiliki dimensi-dimensi lebih tinggi yang belum kita pahami sepenuhnya, tetapi memberikan indikasi sangat kuat disebabkan oleh melengkungnya ruang dan waktu. Al Qur’an menyebutnya sebagai langit berlapis tujuh. Yang paling dekat dan paling kecil berdimensi tiga disebut sebagai langit dunia. Yang lebih besar, mewadahi langit dunia adalah langit kedua yang berdimensi empat. Yang lebih tinggi lagi adalah langit ketiga yang berdimensi lima. Dan seterusnya, sampai langit ke tujuh yang berdimensi sembilan. Di langit ke tujuh inilah Rasulullah pernah melihat masa depan alam semesta, dalam bentuk kehidupan surga. Yakni, saat menjalani Isra’ Mi’raj.

Kenapa bisa melihat masa depan? Karena beliau berada di langit berdimensi paling tinggi. Sebagaimana saya jelaskan di depan, bahwa langit yang lebih rendah itu bisa di-bypass dari ruangan berdimensi lebih tinggi. Sebagaimana analogi globe, bahwa permukaan di balik globe bisa dilihat dari permukaan seberangnya, lewat ruang tiga dimensi di dalam globe itu.

Bahkan, jika seseorang memiliki akses untuk menembus kedalaman globe itu, ia akan bisa muncul di permukaan seberang secara tiba-tiba tanpa harus berjalan melingkari permukaan globe. Inilah yang dalam pengetahuan modern disebut sebagai jalur lubang cacing alias wormhole, dimana seseorang bisa ‘lenyap’ - berpindah tempat -  dengan cara menerobos dimensi lebih tinggi.

Meskipun dewasa ini masih dalam skala partikel, penelitian tentang wormhole dan teleportasi ini semakin intens dan akan semakin gamblang ke masa depan. Ini sekaligus akan memberikan penegasan tentang adanya ruang-ruang berdimensi tinggi, selain ruang tiga dimensi yang kita tempati. Dimana langit dunia yang diperkirakan memiliki diameter 30 miliar tahun cahaya ini, sebenarnya hanya sebuah ‘ruangan kecil’ di dalam ruangan langit yang lebih besar yang mewadahinya.

Setiap pertambahan dimensi akan memunculkan perbandingan tak berhingga besarnya. Ibarat, jajaran titik-titik tak berhingga yang menyusun sepotong garis. Atau, jajaran garis berjumlah tak berhingga yang menyusun luasan. Atau, tumpukan tak berhingga luasan yang menyusun volume. Maka, manusia hanyalah sebutir debu di ruang langit pertama berdimensi tiga ini. Padahal, langit pertama ini cuma debu di dalam langit kedua. Dan langit keduanya pun hanya bagaikan debu di dalam langit ketiga. Dan seterusnya, debu bagi langit keempat, kelima, keenam, dan ketujuh.

Puncaknya, langit ketujuh yang berdimensi sembilan itu pun hanyalah sebutir debu atau lebih kecil lagi di dalam Dzat Allah Yang Maha Besar. Yang kebesarannya telah meliputi seluruh ruang dan waktu ciptaan-Nya. Yang wujud-Nya tak akan pernah terbayangkan oleh pikiran manusia. Karena, hanya untuk membayangkan ruang dan waktu sebagai ciptaan-Nya saja pun kita sudah kedodoran. Apalagi Dia Sang Maha Suci dan Maha Agung, yang di ‘tangan-Nya’ tergenggam seluruh realitas jagad semesta.

QS. Nuh (71): 15
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?

QS. Al Mulk (67): 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

QS. Al Israa’ (17): 44
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

QS. Az Zumar (39): 67
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.

Wallahu a’lam bishshawab..

~ Salam Merenungi Misteri Alam Semesta ~

oleh Agus Mustofa pada 20 Maret 2012 pukul 12:59

MELIHAT MASA DEPAN LEWAT KURVA LENGKUNGNYA


Sejak zaman baheula manusia sudah merasakan dan menyadari adanya ‘sesuatu’ yang menggiring perjalanan hidup mereka menuju ‘terminal-terminal kehidupan’. Terlahir sebagai bayi, menjadi kanak-kanak, remaja, pemuda-pemudi, menua, dan kemudian mati. Bukan hanya pada diri manusia, melainkan juga terjadi pada ‘apa saja’ di lingkungan sekitarnya.

Manusia melihat tetumbuhan dan hewan-hewan juga demikian. Bebatuan, sungai, lembah, dan ngarai. Pegunungan, awan, angin, dan cuaca. Juga bulan, matahari dan bintang-bintang. Semuanya mengalami perubahan dalam fase-fase tertentu. Ya, alam semesta dengan segala peristiwanya sedang bergerak maju, dan tak pernah kembali ke masa lalu.

Apakah yang menggerakkan semua ini? Ilmu pengetahuan akhirnya memahami, bahwa semua benda di alam semesta ini memang tidak ada yang diam. Semuanya bergerak. Baik dalam skala makro maupun mikro. Planet-planet, bulan dan matahari, bintang-bintang dan galaksi, semuanya bergerak saling menjauh, seperti dilontarkan oleh kekuatan maha raksasa di masa lalu.

Demikian pula dalam skala mikrokosmos, molekul-molekul, atom-atom, dan partikel-partikel, semuanya sedang bergerak, bergetar, dan berubah. Semua itu memunculkan wajah alam semesta yang tak pernah sama dari waktu ke waktu. Ya, manusia lantas memahami istilah ‘masa lalu’ dan ‘masa depan’ untuk menandai perubahan yang sedang terjadi. Termasuk pada dirinya sendiri.

Maka, manusia pun menyimpulkan adanya dua variable alam yang sangat erat kaitannya dan tak terpisahkan: ruang dan waktu. Keduanya bergerak tak pernah berhenti. Ruang alam semesta terus membesar, menyebabkan jarak antara benda di skala makro maupun mikro terus menjauh. Sedangkan waktu terus ‘menua’menyebabkan terjadinya ‘masa lalu’ dan ‘masa depan’ untuk menandai semua kejadian yang terjadi dalam pergerakan ruang alam semesta itu.

Dikarenakan ruangan terus membesar, maka jarak antar-benda menjadi semakin menjauh dan memunculkan kekacauan. Bayangkanlah, ada sejumlah bola bilyar ditata berdempetan di atas meja. Dalam kondisi tanpa jarak itu, tak ada peluang untuk kacau. Tetapi, begitu Anda menabrakkan sebuah bola bilyar ke kumpulan bola itu, maka energi tabrakan itu akan melontarkan bola-bola tersebut ke segala arah, menjadi kacau. Sebuah kekacauan yang bertambah seiring waktu yang juga terus bertambah.

Begitulah kurang lebih keadaan alam semesta. Dalam pengamatan menggunakan teleskop, diketahui benda-benda langit bergerak saling menjauh ke segala arah. Ruangan alam bertambah besar. Waktunya semakin menua. Kerapatan materinya semakin rendah. Dan suhu alam semesta semakin mendingin, alias kerapatan energinya semakin turun. Ini sudah berlangsung selama belasan miliar tahun. Sehingga diambil kesimpulan begini: kalau semua benda langit bergerak menjauh, berarti dulunya berada pada posisi lebih dekat. ‘Semakin dulu’, semakin dekat. Dan ‘paling dulu’, di masa lalu, semua benda langit itu sangat dekat, bahkan berhimpitan, dan melebur ke dalam satu formasi tunggal.

Karena adanya energi maha raksasa yang meledakkan pusat alam semesta itulah, maka seluruh materi dan energi terlontar ke segala penjuru ruang yang mengembang, dalam ukuran waktu yang terus bertambah. Keadaan itu dikenal sebagai alam semesta yang memiliki ruangan nol, di waktu ke nol. Atau secara awam disebut ‘tak ada ruang’ dan ‘tak ada waktu’. Alias sebuah ketiadaan.

Maka, kalau kita buat grafik Ruang dan Waktu, kita akan memperoleh bentuk kurva melengkung. Dimana X adalah sumbu mendatar yang menggambarkan perubahan dimensi Waktu, sedangkan Y adalah sumbu tegak yang menggambarkan perubahan dimensi Ruang. Saat Waktu X=nol, maka Ruang Y=nol. Seiring dengan waktu yang terus bertambah (bergerak ke kanan dalam sumbu X), ruang alam semesta juga bertambah (bergerak ke atas dalam sumbu Y). Sehingga kurva pergerakan alam semesta akan bergerak diagonal dalam sumbu Cartesian itu.

Namun, pergerakan itu tidak linear membentuk sudut 45 derajat. Karena pergerakan alam semesta ternyata juga tidak linear, melainkan berubah secara beraturan. Logikanya, perubahan itu terjadi secara melambat. Karena kekuatan ledakan alam semesta mestinya paling besar di saat awal terjadinya ledakan. Setelah itu tinggal gemanya yang menyisakan daya lontar semakin rendah.

Nah, karena daya lontar itu semakin rendah, maka kita akan memperoleh sebuah kurva berbentuk lengkung, mirip bentuk lintasan batu yang dilemparkan oleh seorang atlet lempar martil atau lempar lembing. Awalnya, batu itu dilempar ke depan, bergerak melambat sampai mencapai puncak lemparan di angkasa, lantas si batu akan turun lagi ke tanah dengan gerakan mencepat kembali, dan jatuh di kejauhan sana. Begitulah kurang lebih, bentuk grafik alam semesta jika dilihat dari sisi perubahan Ruang dan Waktunya.

Artinya, dimensi ruang alam semesta ini sekarang sedang mengembang seiring dengan waktu yang terus bertambah. Dan suatu ketika, akan mencapai puncak pengembangannya, lantas jatuh kembali ke pusat alam semesta mirip batu yang dilontarkan tadi. Ini adalah salah satu teori yang paling banyak dianut oleh para ahli kosmologi, disamping teori-teori lain yang masih terus dikembangkan.

Jika Anda ingin memahami kurva Ruang-Waktu itu secara tiga dimensi, Anda bisa membayangkan bola bumi alias globe. Bayangkanlah garis-garis bujurnya sebagai dimensi waktu, dan garis-garis lintangnya sebagai dimensi ruang. Lantas, ibaratkanlah pergerakan alam semesta  terjadi dari kutub utara menuju kutub selatan. Di kutub utara itu dimensi ruang = nol, dan dimensi waktu = nol. Tetapi seiring dengan garis bujur ke arah kutub selatan, kita akan mendapati volume bola bumi itu semakin membesar. Dan kemudian maksimum di bagian perutnya, alias katulistiwa.

Setelah itu, ukurannya akan mengecil kembali seiring dengan posisi menuju ke kutub selatan. Dan ruangannya menjadi nol kembali di kutub selatan. Tetapi, waktu tidak pernah berjalan mundur. Waktu tetap bertambah, dan bergerak maju dari arah kutub utara menuju kutub selatan. Meskipun volumenya berubah dari nol di kutub utara, dan maksimum di bagian katulistiwa, serta mengecil mencapai nol lagi di kutub selatan.

Mudah-mudahan penjelasan saya diatas bisa tertangkap dengan baik, meskipun agak abstrak. Pada intinya, saya cuma ingin mengatakan bahwa dimensi ruang itu memiliki kurva berbentuk lengkung sebagaimana garis lintang di permukaan globe. Dan demikian pula kurva waktu itu juga berbentuk lengkung sebagaimana garis bujur dalam globe.

Nah, karena bentuknya lengkung, maka kita bisa melihat masa depan dari kedalaman ruang bola, kalau globe itu terbuat dari bahan transparan. Inilah yang saya maksudkan, bahwa ruang dua dimensi di permukaan bola itu ternyata bisa di-bypass dari ruang tiga dimensi di dalam bola. Itu pula yang saya jelaskan dalam buku ‘Terpesona di Sidratul Muntaha’, bahwa langit dunia yang berdimensi tiga ini bisa di-bypass dari langit kedua yang berdimensi empat…!

Allah menciptakan ruang dan waktu ini lengkung. Dan membukakan sebagian rahasia masa depan bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.

QS. Al Baqarah (2): 33
… Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

QS. Ath Thalaq (65): 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
  
~ Salam Merenungi Misteri Alam Semesta ~

oleh Agus Mustofa pada 19 Maret 2012 pukul 10:23