oleh Agus Mustofa pada 6 November 2010 pukul 8:53
Banyak diantara kita yang merancukan antara ‘akal’ dengan
‘rasio’. Antara ’akal’ dengan ’logika’. Sehingga, banyak pertanyaan yang dilontarkan
untuk meng-counter ’bahwa
beragama harus menggunakan akal’ menjadi
salah kaprah. Yakni yang bernada begini: Apakah agama itu selalu bisa
dirasionalkan? Apakah agama itu selalu bisa dilogikakan?
Yang begini ini karena kita telanjur salah kaprah memahami
makna ’akal’ yang dimaksudkan oleh al Qur’an. Kalau kita cermat dan open-minded dalam memahami Al Qur’an, maka kita akan
tahu bahwa:
1). Tidak ada satu ayat pun yang melarang seorang muslim untuk memahami Al
Qur’an dengan menggunakan akal. Yang ada justru sebaliknya, al Qur’an memerintahkan agar kita menggunakan akal. Bahkan dengan
kalimat yang sangat tegas dan ’mengunci’, bahwa siapa saja yang tidak
menggunakan akal tidak akan bisa mempelajari al Qur’an.
QS. Ali Imran [3]: 7
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al
Qur'an) kepada kamu... Dan tidak
bias mengambil pelajaran (dari
dalam al Qur’an) kecuali orang-orang yang berakal (ulul albab).
Karena itu, hadits yang berbunyi: ’’barangsiapa memahami al Qur’an dengan
akalnya (ra’yi - pendapat) maka tempatnya adalah di neraka’’ menjadi tidak relevan, karena bertabrakan langsung dengan al Qur’an sebagai sumber utama. Sehingga hadits itulah
yang harus dikritisi, bukan al
Qur’annya. Karena, yang dimaksudkan dengan ra'yi disitu bukanlah 'menggunakan akal' melainkan
justru 'tidak menggunakan akal', alias orang yang beragama dengan cara 'taklid
buta' kepada sebuah pendapat. Itulah yang diancam neraka, dan murka Allah.
2). Orang yang berakal dalam istilah al
Qur’an disebut sebagai ulul albab,
yaitu orang yang menggunakan hati dan pikiran sekaligus, secara simultan.
QS. Ali Imran (3): 190-191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang hari terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal (ulul albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah (dzikrullah) sambil berdiri, duduk, dan
dalam keadaan berbaring, dan mereka berpikir (tafakur) tentang penciptaan langit dan
bumi (lantas berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Dalam berbagai ayat Allah, istilah dzikrullah ~ interaksi dengan mengingat Allah ~ selalu
menggunakan hati (qalb),
QS. Al-Anfal [8]: 2,
Sesungguhnya orang-orang
yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka,
dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan
hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
QS. Ar Rad [13]: 28
(yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
dsb.
Sedangkan tafakur adalah interaksi dengan ciptaan Allah dengan menggunakan pikiran yang berbasis pada mekanisme kerja otak secara ilmiah.
Jadi, berakal tidak sama persis dengan berpikir. Karena berpikir adalah sebagian saja dari mekanisme berakal.
3). Beragama bukan hanya menggunakan
hati saja, karena hati bisa berpenyakit, mengeras, membatu, dan tertutup alias
dikunci mati oleh Allah. Demikian pula, beragama bukan hanya menggunakan
pikiran saja, karena pikiran bisa salah dalam menyimpulkan meskipun sudah
menggunakan metode secanggih apa pun. Beragama harus menggunakan hati dan
pikiran sekaligus. Itulah yang
disebut sebagai ulul albab. ...Wama yadzdzakkaru illa ulil albab. ~ dan tidak bisa mengambil pelajaran (dari
dalam al Qur’an) kecuali orang-orang yang menggunakan akalnya (hati &
pikiran),
QS.Ali Imran [3]:7
…Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
4). Nah, berpikir itulah yang seringkali
disalahkaprahkan dengan berakal. Berpikir adalah mekanisme ilmiah yang melibatkan logika, rasionalitas, memori dan analisa.
Sedangkan hati tidak perlu logika, rasio, analisa, dan memori. Karena hati
bekerja berdasar kepekaan indera keenam yang sering disebut dengan intuisi, ilham dan wahyu,
sesuai dengan tingkat kualitasnya.
Logika: pengambilan kesimpulan dengan menggunakan runtut berpikir
tertentu sesuai bidangnya. Logika matematika bisa berbeda dengan logika
biologi, bisa berbeda dengan logika politik, bisa berbeda dengan logika bisnis,
dlsb
Rasio: pengambilan kesimpulan dengan menggunakan perbandingan,
terhadap sesuatu yang telah diketahui. Mis: sesuatu dikatakan panjang jika ada
pembandingnya yang lebih pendek. Sesuatu dikatakan salah jika ada pembandingnya
yang dianggap benar, dlsb.
Memori: data alias ingatan, atau rekaman kejadian yang sudah lampau
yang membantu proses munculnya kesimpulan.
Analisa: metode yang digunakan untuk mengambil kesimpulan.
Jadi, adalah salah kaprah kalau ada yang menyamakan akal =
logika atau rasio.
Dan lantas bertanya: apakah
agama harus selalu rasional? Atau,
apakah beragama harus selalu logis?
Tentu saja jawabnya adalah: tidak selalu. Karena, kadang kita
harus beragama dengan menggunakan intuisi, ilham atau wahyu, yang tidak selalu
logis atau rasional.
Tapi jika Anda bertanya:
apakah beragama harus masuk akal?
Maka jawabnya pasti:
masuk akal. Karena itulah yang diperintahkan Allah, yakni dengan
mengombinasikan antara hati dan pikiran dalam 'satu tarikan nafas'.
Karena jika tidak, Allah akan marah besar kepada Anda..!
QS. Yunus [10]: 100
Dan tidak ada seorangpun akan beriman
kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.
Wallahu ’alam bishshawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar