Otak
adalah organ manusia yang paling canggih, yang sampai sekarang belum ’dikenal’ secara
detil mekanisme kerjanya. Sehingga, salah seorang kakak saya yang dokter saraf pun
menyebutnya sebagai ’black-box’. Sebuah ’kotak-hitam’ yang begitu misterius. Terutama
jika dikaitkan dengan fungsi jiwa yang berada di ’baliknya’.
Suatu
kali saya berdiskusi dengannya panjang lebar. Dan saya tanyakan, bagaimanakah proses
yang terjadi di dalam otak, sehingga sebuah ’kehendak’ yang begitu abstrak bisa
berubah menjadi sinyal listrik yang ditransfer ke organ-organ tubuh sebagai sebuah
perintah untuk bergerak, misalnya. Jawaban yang saya terima hanya ’gelengan kepala’.
Saya
tanya lagi, ketika seseorang melihat suatu pemandangan yang indah lewat matanya,
dan kemudian pemandangan itu diterjemahkan oleh retina menjadi sinyal-sinyal listrik
yang diteruskan ke pusat penglihatan di otak. Sebenarnya apakah yang sedang terjadi?
Kenapa manusia bisa men-translate
sinyal-sinyal itu menjadi sebuah ’rasa keindahan’? Apakah bentuk rasa keindahan
itu? Dia bukan materi, dia bukan energi, melainkan ’persepsi’. Siapakah yang ’merasakan’
persepsi keindahan itu di dalam otak? Bukankah ’otak robot’ secanggih apa pun tidak
pernah bisa ’merasakan’ keindahan?
Bukan
hanya mata, tetapi juga merdunya suara, semerbak
harum aroma bunga, rasa asin manis dalam sebuah selera, dan kasar halus atau panas
dinginnya cuaca. Bukankah semua itu sekedar sinyal-sinyal listrik yang dihantarkan
susunan saraf sensorik ke otak belaka? Dan kemudian diubah menjadi sebuah image yang bisa ’dipersepsi’?
Kakak
saya yang dokter saraf itu pun kembali menggeleng-gelengka kepalanya. Dia kemudian
mengatakan begini. Dunia luar dan alam jiwa itu memiliki perbatasan di otak. Apa
yang ada di ’dunia luar’ dan di ’alam jiwa’ sama sekali berbeda. Otak menjadi semacam
interface alias
‘alat penerjemah’ dari alam dunia ke alam jiwa. Mirip sebuah kotak hitam yang ajaib.
Sinyal-sinyal
listrik yang berasal dari dunia luar jika masuk kepadanya akan diubah menjadi sebuah
persepsi yang abstrak. Seperti rasa keindahan, kesedihan, kebahagiaan, keinginan,
ketentraman, semangat, putus asa, rindu, dendam, iri, dengki, yakin, ingkar, dan
sebagainya, yang itu bukan berbentuk materi atau energi. Melainkan ’persepsi’ alias
’perasaan’ yang sangat abstrak. Dalam istilah kedokteran jiwa disebut sebagai ’fungsi
luhur’.
Sebaliknya,
jika perasaan jiwa yang sangat abstrak itu kembali melewati otak, maka ia akan diubah
menjadi sinyal-sinyal listrik yang kemudian diurai menjadi zat-zat neurotransmitter
yang bersifat material dan memiliki energi mekanik, sehingga bisa menjadi sebuah
perintah untuk bergerak atau menghasilkan aktivitas motorik pada organ tubuh kita.
Lha, kok bisa sesuatu
yang ’abstrak’ diubah menjadi materi / energi yang terukur, dan sebaliknya? Bagaimana
mekanismenya? Sekali lagi, belum ada ilmuan yang bisa menjawabnya dengan tuntas.
Jawaban
yang muncul adalah: ’pokoknya’, kalau ada sinyal listrik masuk ke otak melalui saraf-saraf
sensorik, otak akan mengubahnya menjadi ’persepsi jiwa’ yang abstrak. Sebaliknya
jika ada persepsi jiwa yang melewati otak, maka ia akan diubah menjadi sinyal-sinyal
listrik berupa energi mekanik yang kemudian menjalar pada saraf-saraf motorik.
Jadi,
jiwa tak pernah bersinggungan langsung dengan dunia luar. Ia ’melihat’ alam dunia
lewat sebuah jendela bernama ’Otak’. Jika si manusia tidak punya otak, maka sang
jiwa pun tidak punya jendela untuk ’melihat’ alam dunia. ’Jendela’ berupa otak itu
memiliki kepanjangan tangan, yakni: enam indera. Yang lima adalah mata, telinga,
hidung, lidah & kulit. Sedangkan yang keenam adalah sebuah sistem medan elektromagnetik
yang membentuk poros antara otak-jantung.
Yang
lima indera bekerja secara elektromagnetik lewat sistem saraf dengan memanfaatkan
sifat konduksi kelistrikan. Sedangkan yang keenam bekerja secara radiasi medan elektromagnetik.
Kecepatan rambat listrik dalam sistem saraf manusia adalah sekitar 120 meter/ detik.
Sedangkan radiasinya jauh berlipat kali lebih cepat, bergantung pada seberapa tinggi
frekuensi ataupun panjang gelombang yang terpancar.
Pada
mekanisme pancaindera, otak akan menghasilkan zat-zat neurotransmitter yang menjadi
perantara antara otak dengan ujung saraf-saraf tepi. Baik yang masuk ke otak maupun
yang berasal dari otak. Sedangkan pada mekanisme radiasi indera keenam, bertumpu
pada getaran gelombang beta (>13 Hz), alfa (8-13 Hz), teta (4-8 Hz) dan delta
(< 4 Hz). Serta variasi sinyal informasi yang menumpanginya.
Maka
kalau kita perhatikan sungguh sangatlah menakjubkan, organ yang bernama otak itu.
Seluruh aktifitas manusia – tubuh dan jiwa – dikendalikan secara sinergis disini.
Keseimbangan antara dunia luar dan dunia dalam semuanya bertumpu disini. Dan menariknya,
otak tidak memiliki pusat kendali. Karena, semua sel otak yang berjumlah sekitar
100 miliar itu memiliki peran sentral. Jika rusak satu, maka fungsi otak itu pun
bakal menurun. Sebaliknya, jika sel-selnya berkembang sehingga membentuk sirkuit-sirkuit
yan lebih tebal dan meluas, otak tersebut akan meningkat performanya.
Sebagai
misal, jika otak dilatih untuk mengingat secara terus menerus, maka sel-sel yang
terkait dengan memorinya akan berkembang. Ukurannya menjadi lebih besar, ’kabel-kabel’
sarafnya menebal, jumlah selnya bertambah banyak, dan kemudian membentuk sirkuit
saraf memori yang hebat. Orang tersebut menjadi memiliki ingatan yang tajam. Sebaliknya,
jika ingatan kita tidak pernah dilatih, maka sel-selnya akan melemah, menyusut,
dan kemudian sirkuitnya mengecil. Mirip dengan otot yang dilatih fitness dan tidak. Semakin
lama dilatih, semakin kuat untuk digunakan mengangkat beban berat.
Demikian
pula kemampuan analisa, kemampuan berlogika, kemampuan menahan emosi, dan kemarahan,
mengendalikan kesabaran, dan berbagai sifat-sifat kebaikan, semua itu akan melatih
’otot-otot’ dalam otak kita supaya menjadi lebih handal. Tentu saja, butuh waktu
untuk membuatnya hebat. Semakin hebat kemampuan otak seseorang, maka semakin besar
pula volumenya.
Dan
karena ukuran tempurung kepala kita relatif tetap, maka perkembangan otak itu akan
membentuk lipatan-lipatan di permukaannya. Semakin banyak lipatannya, menunjukkan
otak tersebut semakin cerdas dan sering dipakai. Sebaliknya, semakin sedikit lipatannya,
semakin kurang cerdas karena jarang dipakai. Jadi salah besar kalau kita ’menyayangi’
otak kita dengan cara jarang-jarang memakainya. Konon, otak orang Indonesia banyak
yang masih mulus permukaannya dan tidak banyak lipatannya, karena terlalu ’disayang-sayang’
pemakaiannya...! :(
Nah,
maka dalam konteks yang sedang kita bicarakan ini, indera kita adalah jendela bagi
jiwa untuk memahami dunia. Pusat imaging-nya
ada di otak. Dan ’pemirsanya’ ada di balik otak. Allah menciptakan indera kita itu
agar kita bisa memahami alam semesta yang diciptakan-Nya. Yang tanpanya kita tidak
akan mengerti apa-apa. Persis seperti yang Dia ungkapkan di dalam firman-firman-Nya.
QS. An Nahl (16): 78
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati (indera keenam) agar kamu
bersyukur.
QS. Al An’aam (6): 46
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan
serta menutup hatimu, siapakah tuhan selain Allah yang kuasa mengembalikannya
kepadamu?" Perhatikanlah, bagaimana Kami berkali-kali memperlihatkan tanda-tanda kebesaran (Kami), kemudian
mereka tetap tidak memperhatikannya.
Ya,
apakah jadinya kalau Allah mencabut kemampuan indera kita, termasuk hati sebagai
indera keenam untuk memahami? Maka, kita akan seperti disekap di dalam sebuah ruangan
gelap gulita kedap cahaya, kedap suara, kedap suasana, kedap segala-galanya, termasuk
kedap rasa. Bahkan tanpa ingatan yang masih ada di dalam memori otak kita. Sehingga
persepsi kita menjadi kosong melompong.
Meskipun
segala hiruk pikuk ada di sekitar kita, tidak akan terdeteksi oleh jiwa, karena
seluruh jendela untuk ’mengamati’ alam dunia telah tertutup. Jiwa kita benar-benar
bakal ’sendirian’ karena otak yang berada di dalam tempurung kepala telah terisolasi
dari dunia sekitarnya. Agaknya, begitulah lorong gelap kematian yang bakal menyergap
jiwa, sesaat setelah maut datang menjemput. Yakni, ketika seluruh saraf-saraf sensorik
kita hancur bersama membusuknya seluruh jaringan sel-sel tubuh.
Ini
mirip sebuah pesawat televisi yang tak memunculkan gambar dan suara apa pun karena
antenanya tak menangkap sinyal-sinyal elektromagnetik yang berseliweran di sekitarnya.
Apalagi jika diputus dari sambungan listriknya. Itulah saat-saat datangnya kematian.
Oleh karena itu, hilangnya fungsi panca indera dan hati benar-benar bisa bagaikan
datangnya kematian saat seseorang masih menjalani kehidupannya.
Maka
bersyukurlah kepada Allah yang telah menciptakan indera dan hati. Yang dengannya
kita menjadi bisa menikmati segala keindahan ini. Memang semuanya serba dibatasi
kemampuannya. Tetapi, justru itu kita harus mensyukurinya. Bayangkan betapa menderitanya,
jika seluruh indera kita memiliki kemampuan yang tidak terbatas. Anda akan bisa
melihat benda-benda kecil yang selama ini tidak kelihatan. Mulai dari kuman-kuman,
bakteri, virus, molekul, atom dan elektron yang bergetar-getar memusingkan, sampai
pada bangsa jin yang bentuknya menyeramkan. Bahkan segala dinding pembatas yang
kita buat di rumah-rumah kita, tidak ada gunanya lagi karena kita bisa melihat segala
yang ada di baliknya. Apakah kehidupan ini tidak bertambah semrawut karenanya?
Demikian
pula jika pendengaran kita tidak dibatasi oleh-Nya. Seluruh suara di alam semesta
akan terdengar dengan jelasnya. Oh, betapa menderitanya. Suara di kejauhan yang
mestinya tidak ingin kita dengar, kini menjadi terdengar sebagaimana suara-suara
di dekat kita. Suara-suara yang tadinya pelan, kini terdengar sama kerasnya dengan
suara-suara yang memekakkan telinga. Suara-suara makhluk gaib yang tadinya tak kita
sadari, kini bersaing dengan makhluk-makhluk yang kelihatan. Bahkan, bayangkan,
seluruh suara di luar angkasa nun jauh disana kini terdengar sebagaimana suara getaran
partikel-partikel di alam sekitar kita. Betapa memekakkannya dunia kita. Sungguh
tak bisa kita bayangkan betapa menderitanya hidup manusia..!
Nah,
Allah membatasi semua itu dengan menyetel kemampuan panca indera, hati, dan akal
kita, supaya kita bisa menikmati segala karunia-Nya. Sungguh Dia Maha Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana...
Wallahu a’lam bishshawab
~
salam ~
oleh Agus Mustofa pada 4 Januari 2011 pukul 18:02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar