Kontroversi
soal takdir tidak bisa dilepaskan dari masih rancunya definisi istilah TAKDIR itu
sendiri. Ada yang mendefisinisikan ’takdir’ sebagai ketetapan Allah yang final sejak
awal dan tak bisa diubah. Tapi, ada pula yang mendefinisikannya sebagai 'ketetapan'
yang masih bisa berubah. Tentu saja, keduanya membawa konsekuensi yang sangat berbeda,
bahkan berlawanan.
Istilah
takdir berasal dari kata Qaddara
- Yuqaddiru yang bermakna menetapkan atau menakdirkan. Yang pertama
adalah fi’il madzi
(past tense) alias
kata kerja lampau, terkait dengan ketetapan yang ’sudah terjadi’. Sedangkan yang
kedua adalah fi’il mudhari’
(present tense)
yang bermakna ketetapan yang ’sedang & akan terjadi’. Memahami makna ’takdir’
secara gramatika bisa membantu mengurai kerancuan tersebut.
QS. Al Furqaan (25): 2
yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai
anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia telah menetapkan (qaddara) ukuran-ukurannya dengan
ketetapan sedetil-detilnya (taqdiran).
Dalam
ayat diatas, Allah menggunakan kata qaddara
- telah menetapkan - ukuran-ukuran segala ciptaannya dengan detil (takdir).
Setidak-tidaknya ada dua makna yang terkandung di dalamnya. Yang pertama, setiap
makhluk ciptaan Allah itu selalu diiringi dengan spesifikasi yang detil. Dan yang
kedua, penetapan itu sudah diberikan Allah sejak saat penciptaannya. Istilah qadar dalam bahasa Indonesia
berimpit dengan ’kadar’ alias ukuran dan kapasitas.
Diantara
contohnya adalah tentang air yang ada di bumi. Di masa awal penciptaan bumi Allah
menurunkan air ke planet biru ini dari luar angkasa berupa gumpalan-gumpalan es
dalam ukuran besar. Jumlahnya sudah diukur, tidak lebih dan tidak kurang. Sirkulasinya
setelah sampai di Bumi juga sudah ditentukan, lewat penguapan dan mekanisme hujan.
Sehingga, air itu lantas tetap berada di planet Bumi dalam kadar yang cukup untuk
kehidupan penghuninya hingga kini. Allah telah menetapkan kadarnya. Takdirnya.
QS. Al Mukminuun (23): 18
Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran (qadar); lalu Kami jadikan air
itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa untuk menghilangkannya.
Bukan
hanya air, Dia juga menetapkan ukuran siang dan malam terkait dengan kecepatan rotasi
Bumi. Semua itu ditakdirkan Allah sesuai dengan desain terbaik. Sehingga terjadilah
ukuran siang dan malam seperti yang terjadi selama ini. Tanpa campur tangan manusia.
Bahkan manusia dijamin tidak bisa ikut campur di dalamnya.
QS. Muzzammil (73): 20
... Dan Allah menetapkan (yuqaddiru) ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu itu, ...
Yang
menarik, dalam ayat di atas Allah menggunakan fi’il mudhari’ (present tense) untuk menjelaskan kadar siang
dan malam. Ini menunjukkan, bahwa takdir tentang ukuran siang dan malam itu akan
terjadi secara berkelanjutan ke masa depan. Dengan kata lain, panjangnya siang dan
malam boleh jadi masih bisa bergeser seiring dengan bertambahnya waktu alam semesta.
Dan
seterusnya. Kalau kita cermati, maka Allah menetapkan Takdir segala ciptaan-Nya
dalam bentuk kapasitas, ukuran, dan mekanisme alamiah, sejak masa awal penciptaan sampai berlanjut ke masa depan.
QS. Al Hijr (15): 21
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya;
dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran (qadar) yang tertentu.
Seiring
dengan ketetapan yang bersifat Qadar
itu, Allah juga membuat ketetapan yang bersifat Qadla. Apakah Qadla? Juga bermakna ketetapan Allah, tetapi
yang kita masih bisa ikut campur di dalam prosesnya. Dengan kata lain, inilah Takdir
Allah yang bisa kita ikhtiari. Karena itu, dalam sejumlah ayat, Allah menggunakan
istilah Qadla terkait
dengan proses penciptaan yang masih terus berlangsung.
QS. Ali Imran (3): 47
... Apabila Allah berkehendak menetapkan (qadla) sesuatu, maka
Allah cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia (kun fayakun).
Ayat
diatas mengaitkan Qadla
dengan kun fa yakun.
Yakni kalimat penciptaan yang bermakna: ’jadi,
maka jadilah’ segala ciptaan-Nya. Secara bahasa, kalimat fa yakun adalah masuk dalam
fi’il mudhari’ alias present tense. Kalimat semacam ini diulang-ulang
dalam banyak ayat, hubungan antara Qadla
dengan kun fa yakun.
Artinya,
proses penciptaan itu bukan berlangsung di masa lalu saja, melainkan masih terus
berlangsung ke masa depan. Sehingga, takdir Allah lewat Qadla adalah takdir yang
masih berlangsung alias belum final. Masih memiliki peluang untuk menjadi apa saja,
seiring dengan hukum-hukum Allah yang ditetapkan lewat Qadar di awal penciptaan.
Diantaranya,
adalah takdir kematian. Allah menggunakan kata Qadla dalam menentukan kematian seseorang. Misalnya
nabi Sulaiman di ayat berikut ini. Bahwa takdir kematian itu sebenarnya bukan ditetapkan
di awal, saat penciptaan, melainkan berjalan seiring dengan proses kehidupan seseorang.
Yang ditetapkan pada saat penciptaan di dalam rahim adalah Qadar alias kapasitas dan
ukuran-ukurannya saja.
Misalnya,
tulangnya didesain Allah bisa bertahan 70 tahun. Demikian pula organ-organ dalamnya
seperti jantung, ginjal, paru, dan livernya. Jika orang yang bersangkutan bisa memenejemeni
hidupnya dengan baik sehingga sehat, maka ia akan mati dalam usia 70 tahun, sesuai
dengan desain ciptaannya. Sesuai dengan Qadar
yang Allah tetapkan. Tetapi jika ia menjalani hidupnya secara amburadul, maka sangat
boleh jadi ia bakal mati di usia yang lebih muda. Apalagi jika bunuh diri, ia bisa
benar-benar mati karenanya..! Allah memberikan Qadla kematian seiring dengan proses.
QS. Saba’ (34): 14
Maka tatkala Kami telah menetapkan (qadla) kematian Sulaiman, tidak ada yang
menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya.
Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui
yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.
Dalam
ayat berikut ini, Allah menjelaskan lebih detil, bahwa keputusan Allah tentang umur
seorang manusia itu terjadi dua kali. Yang pertama adalah di dalam rahim saat tahap
desain. Allah memprosesnya sesuai dengan kadar penciptaan seperti saya jelaskan
di atas. Lantas, yang kedua, adalah di luar rahim, saat ia sudah menjalani hidupnya.
Karena, boleh jadi, meskipun desain tubuhnya bisa bertahan 70 tahun, tetapi jika
ia adalah orang yang sembrono dalam menjalani hidup sehingga ’layak’ untuk mati
muda, maka Allah pun akan mematikan dia.
QS. Al Hajj (22): 5
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang hari kebangkitan, maka
(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes
mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki
sampai waktu yang sudah ditentukan (9 bulan), kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian
kamu sampai pada masa kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan di antara kamu yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun
yang dahulunya telah diketahuinya...
Maka,
ringkas kata, Takdir adalah ketetapan Allah yang berjalan sejak saat-saat awal penciptaan
sampai kelak berakhirnya peristiwa tersebut. Yang awal disebut Qadar, ditetapkan Allah tanpa
campur tangan makhluk yang bersangkutan, dalam bentuk kapasitas. Sedangkan yang
kedua adalah Qadla,
yang ditetapkan Allah seiring dengan proses, dengan mempertimbangkan segala variabel
yang memengaruhinya, termasuk usaha yang dilakukan oleh mereka yang menjalaninya..!
Wallahu
a’lam bishshawab
~
salam ~
oleh Agus Mustofa pada 3 Maret 2011 pukul 8:27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar