oleh Agus Mustofa pada 14 Agustus
2012 pukul 6:54
Keimanan adalah level paling dasar dalam menjalani proses beragama.
Orang beragama yang tidak beriman bisa dimaknai sebagai belum beragama dalam arti
yang sesungguhnya. Barangkali hanya formalitas belaka, semisal hanya Islam KTP dan
pakaiannya saja. Berislam dengan cara demikian tentu bukanlah yang dimaksudkan oleh
Al Qur’an Al Karim. Karena, ‘Islam’ itu bermakna proses berserah diri hanya kepada
Allah Tuhan Semesta Alam.
QS. Al Hujuraat [49]: 14
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami
telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman, tetapi
katakanlah: "Kami telah tunduk", karena IMAN itu BELUM MASUK ke dalam
hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi
sedikit pun amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Memang, secara hukum, orang yang sudah bersyahadat mengakui
Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai Rasul, sudah bisa disebut sebagai
orang Islam. Tetapi, berdasar ayat di atas, keislaman semacam itu belum dianggap
cukup oleh Allah. Karena, masih bersifat seremonial dan formalitas belaka. Berislam
harus merasuk ke dalam jiwa, menjadi sebuah kepahaman dan berujung pada keyakinan
tak tergoyahkan –haqqul yaqin– sebagaimana telah kita bahas
pada tulisan sebelumnya.
Keimanan adalah sebuah kepahaman utuh untuk menindak-lanjuti
syahadat yang sudah kita ikrarkan. Kebulatan tekad yang dilandasi oleh kesadaran,
bukan keterpaksaan. Bahwa bertuhan itu ya hanya kepada Allah. Dan caranya, adalah
mengikuti Rasulullah SAW. Tidak ada yang lain. Untuk memperoleh kemantapan iman
yang sedemikian itu, butuh proses panjang dalam memahamkannya, sehingga benar-benar
mengunjam ke dalam jiwa. Masuk ke dalam relung-relung hati yang paling dalam, sebagaimana
diceritakan ayat di atas.
Namun, ketika keimanan itu sudah memasuki sanubari kita, apakah
lantas sudah selesai proses berislam kita? Ternyata belum. Berislam tak cukup hanya
menjadi beriman. Karena, keimanan ini hanya bersifat internal di dalam diri kita.
Keimanan yang kokoh harus diaplikasikan dalam perbuatan nyata, yang selaras dengan
nilai-nilainya keimanan itu. Tidaklah cukup, seseorang yang sudah meyakini bahwa
kejujuran itu baik, tetapi ia belum menerapkan kejujuran dalam hidupnya. Belum cukup
pula, seseorang yang sudah meyakini Allah itu ada, tetapi setiap hari dia seperti
tidak sedang bersama Allah.
Seseorang yang sudah mengimani Kebesaran Allah, misalnya, dia
tidak akan menjadi sombong dalam kesehariannya. Cara bergaulnya ramah dan rendah
hati. Karena, ia sudah memahami betapa kecil dan kerdil dirinya dibandingkan Sang
Maha Besar. Demikian pula orang yang sudah mengimani bahwa Allah Maha Pemurah, dengan
sendirinya ia akan menjadi seorang yang dermawan kepada sesama, meniru sifat-sifat-Nya.
Nilai-nilai keimanannya teraplikasi dalam kehidupan nyata. Inilah yang disebut sebagai
Takwa itu.
Jika keimanan bersifat internal dalam jiwa sebagai kepahaman
dan komitmen, maka ketakwaan bersifat eksternal dalam bentuk perbuatan alias amal
kebajikan. Karena itu, dalam ayat berikut ini Allah mengajari agar keimanan kita
dinaikkan kualitasnya menjadi ketakwaan. Sebuah perjuangan untuk menerapkan nilai-nilai
keimanan dalam kehidupan nyata, yang diistilahkan sebagai haqqa tuqaatihi–bertakwa
kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya.
QS. Ali Imran [3]: 102
”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya kepada-Nya. Dan janganlah kamu mati,
melainkan dalam keadaan berserah diri (kepada Allah).’’
Dan menariknya lagi, ketakwaan yang sudah teraplikasi dalam
amal perbuatan itu pun masih harus dilanjutkan lagi menjadi sebuah pengakuan spiritual
tentang dominasi Allah dalam segala lini kehidupannya. Sehingga, ayat di atas masih
mengimbau agar orang-orang bertakwa menjadi orang yang berserah diri – diistilahkan
sebagai muslimun. Walaa tamuutunna illa wa antum muslimuun – janganlah
kalian mati kecuali sudah dalam keadaan berserah diri kepada Allah.
Begitulah memang tingkatan kualitas seseorang dalam menjalani
agama Islam. Dimulai dari komitmen yang bersifat internal dalam jiwa, diaplikasikan
dalam perbuatan nyata sebagai amal kebajikan, dan berakhir dalam pengakuan yang
sangat mendalam tentang dominasi Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang menjadi pusat
dari segala perjalanan batinnya. Inilah puncak kualitas yang harus kita tuju, sebagaimana
telah kita ikrarkan dalam shalat-shalat shalat kita.
QS. Al An’aam [6]: 162-163
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya.
Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku. Dan aku adalah orang yang pertama-tama
berserah diri (hanya kepada Allah)".
Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar