Minggu, 12 Juni 2011

BAGAIMANA MENYIKAPI POLIGAMI

Oleh Syekh Subakir pada 11 Juni 2011 pukul 16:04

Poligami ketika dipandang hanya dari satu sudut saja, baik itu rasional maupun iman, akan menimbulkan rasa kurang puas di kedua pihak yang mendukung atau menolak.

Di sini saya akan sebisa mungkin menjelaskan poligami dari berbagai sudut pandang.

Sebenarnya masalah poligami ini akan sangat panjang apabila diulas satu persatu, maka dari itu di sini saya tidak menekankan terlalu banyak pada teladan Rasulullah ketika berpoligami, karena kita semua tentu yakin Rasulullah adalah orang yang adil, dan sudah banyak tulisan yang mengupas alasan-alasan mengapa Nabi Muhammad berpoligami.

Jadi di sini saya hanya akan menjelaskan intinya saja.

SEJARAH PANJANG POLIGAMI

Jika kita melihat sejarah umat manusia pra-modern, maka poligami adalah hal yang lumrah. Hampir di seluruh wilayah di dunia ini, pria (terutama yang berada di status sosial yang tinggi) berpoligami.

Seorang Kaisar Tiongkok bisa memiliki 9999 istri pada saat yang bersamaan. Begitu pula raja-raja Mesir, Indian Amerika, Mongol, Afrika, Timur Tengah, bahkan Eropa sekali pun telah terbiasa memiliki banyak istri.

Nah, ketika Islam disempurnakan di abad ke-6, maka perilaku poligami ini ditertibkan, dengan ketentuan: ADIL. Maka dari itu ketika seseorang menyerang habis-habisan poligaminya Nabi Muhammad, seharusnya dia belajar sejarah sosial budaya masyarakat pada waktu itu, bukannya menyamakan cara pandang dan pola pikir dengan masyarakat zaman sekarang.

MEMAHAMI AYAT ALQURAN TENTANG POLIGAMI

An Nisaa' [4] : 3
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku ADIL, maka (kawinilah) SEORANG saja … “

Coba kita perhatikan konteks ayat di atas secara menyeluruh. Berapa jumlah istri yang IDEAL menurut ayat ini? Satu istri! Pada kalimat “mengawini seorang saja”, didahului dengan kata ADIL. Sedangkan ajaran Islam sangat menekankan pada prinsip keadilan.

Maka dari itu hendaknya kita selalu menganalisa ayat secara keseluruhan, bukannya kata per kata, sehingga dari sini kita mendapatkan suatu ketegasan dari Al Qur’an bahwa: Pernikahan yang terbaik adalah pernikahan monogami alias satu suami satu istri! Kemudian, masih di surat yang sama, dilanjutkan:

An Nisaa' [4] : 129
“Dan kamu sekali-kali TIDAK AKAN DAPAT BERLAKU ADIL di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“

Di sini jelas disebutkan bahwa seorang pria tidak akan dapat berbuat adil, maka dari itu sekali lagi pernikahan yang diutamakan dalam Islam adalah pernikahan monogami.

Adil di sini dalam pengertian yang seluas-luasnya, mencakup adil dalam perlakuan, kasih sayang, nafkah lahir dan batin, dsb.

Maka dari itu peran restu seorang istri sangat sentral. Bagaimana mungkin seorang suami bisa dikatakan adil, ketika hati seorang istri telah dilukai?

Maka dari itu, saya berani menegaskan, bahwa poligami bisa dilaksanakan HANYA atas restu (ikhlas) seorang istri.

MENGAPA POLIGAMI DIBOLEHKAN

Kalau begitu ada yang bertanya, “Jika adil itu begitu sulit, mengapa Allah memberikan celah bagi dibolehkannya poligami.

Nah, ini ada beberapa kasus di mana poligami ternyata bisa menjadi solusi. Simak baik-baik!

1). Rasio jumlah wanita yang lebih tinggi dari pria.

Ada saat tertentu di mana jumlah wanita bisa jauh lebih tinggi dari pria. Misalnya pada saat keadaan perang dan kekacauan politik, di mana mayoritas yang gugur adalah dari kalangan pria. Hal ini mengakibatkan hanya sedikit pilihan bagi para wanita. Rela dipoligami, atau tua merana seumur hidup.

Contoh yang ekstrim adalah pada peristiwa Revolusi Perancis yang menelan banyak korban jiwa, sehingga pada saat itu rasio pria dibandingkan wanita adalah 1 : 7.

Seorang filsuf terkenal Perancis waktu itu yaitu Francois Voltaire berkata, “Satu-satunya solusi untuk mengatasi permasalahan sosial ini adalah poligami“.

Selain faktor perang, risiko pekerjaan pria yang lebih berbahaya membuat angka kematian pria lebih tinggi. Belum lagi ditinjau dari ilmu kedokteran, bahwa kekebalan tubuh wanita lebih tinggi dari pria, sehingga sekali lagi angka kematian pria karena penyakit lebih tinggi. Maka dari itu tidak heran bahwa di banyak negara, jumlah wanita lebih tinggi dari pria.

Ada pun di beberapa negara patrialkal (yang mengakui superioritas pria), seperti Tiongkok, India, dan Timur Tengah, jumlah pria lebih tinggi dari wanita, disebabkan sebagian dari mereka akan mengupayakan sebisa mungkin agar bayi yang lahir dari keluarga mereka adalah laki-laki. Jika tidak ada upaya seperti ini bisa dipastikan jumlah wanita di negara mereka pun akan lebih tinggi dari pria.

2). Keadaan sosial budaya pada waktu tertentu.

Seperti telah banyak diulas dalam sejarah, bahwa poligami yang dilakukan Nabi Muhammad dan pengikutnya pada waktu itu sangat berkaitan dengan kondisi politik dan sosial budaya pada waktu itu.

Pada waktu itu pernikahan juga berfungsi sebagai wadah pelindung hak-hak wanita. Salah satu cara tercepat untuk memerdekakan budak wanita (untuk kemudian diajak memeluk Islam) adalah dengan menikahinya. Begitu pula dengan janda-janda wanita, yang hak-hak menafkahi anak-anaknya akan lebih terjamin apabila dinikahi seorang pria

3). Keadaan politik pada waktu tertentu.

Poligami pada abad pertengahan juga bisa bersifat politis.

Beberapa wanita yang dinikahi Nabi ternyata memiliki latar belakang politik, yaitu suatu usaha untuk memperkuat aliansi dan penyatuan suku-suku. Persatuan adalah hal yang dipandang penting.

Salah satu cara untuk menjamin salah satu pihak tidak merusak aliansi adalah dengan penyatuan keluarga. Dalam sejarah bukan hanya Nabi Muhammad yang pernah melakukan manuver politik seperti ini.

Para pemimpin di negeri yang rawan pertempuran antar suku sering melakukan perkawinan politik semacam ini, seperti yang dilakukan oleh Attila the Hun dan Genghis Khan, demi menjaga persatuan negara.

4). Kejadian-kejadian khusus dalam rumah tangga.

Ketika pasangan suami-istri telah bertahun-tahun mendambakan keturunan, namun tidak kunjung diberi, maka bisa jadi poligami adalah solusinya.

Meski tidak dipungkiri, bahwa alasan ini juga pastinya akan ditolak banyak pihak, karena adopsi anak atau program bayi tabung bisa menjadi solusi yang lebih manusiawi.

Ada pula kasus yang saya sendiri pernah melihat pada kisah kawan saya. Ketika sang istri telah 2 th lebih tergolek tidak berdaya karena penyakit kanker, maka sungguh saya sangat tersentuh dan ingin menangis ketika sang istri berkata pada suaminya untuk mengambil istri lagi, supaya bisa melayani sang suami, dan juga bisa merawat anak-anaknya yang masih kecil. Sang istri memilihkan sendiri calon istri bagi sang suami, yaitu salah satu sahabat terbaiknya. Poligami itu tidak lama, karena setelah sang suami menikahi istri kedua, 3 bulan kemudian si istri pertama meninggal dunia. Semoga Allah menempatkannya di surga terbaik. Amien.

5). Kelemahan pria.

Mungkin saja akan ada banyak yang kurang setuju dengan poin ini. Tapi saya sendiri sadar bahwa Allah tahu persis bahwa manusia itu banyak kekurangan.

Para pria secara umum memiliki gairah seksual yang lebih tinggi dari wanita. Apalagi ketika pria tersebut memiliki jabatan atau kekayaan. Maka Allah memberikan jalan, daripada terus menerus berzina dengan memiliki banyak selingkuhan dan jajan di pinggir jalan, maka lebih baik berpoligami.

Seperti halnya para sultan banyak yang berpoligami. Sementara kepala negara di dunia barat tentu saja hanya memiliki satu istri, tapi bukan rahasia lagi bahwa mereka juga terjerumus pada perselingkuhan dengan kekasih gelap.

Nah, kalau sudah begini, saya dengan berat hati harus mengakui bahwa poligami masih lebih baik daripada perselingkuhan gelap.

KESIMPULAN

Jadi bagaimana seorang muslim yang baik menyikapi poligami? Menerima atau menolak?

Mari saya luruskan bahwa intinya bukan menerima atau menolak “poligami”, akan tetapi lebih tepat menerima atau menolak “sebab terjadinya poligami.” Kalau kita menolak poligami yang diperbolehkan oleh Allah, berarti kita makhluk Allah yang tidak sopan. Nah, yang patut didiskusikan atau diperdebatkan adalah alasan yang berpoligami. Kurang lebih seperti ini kesimpulannya :

1). Kita mendukung poligami apabila poligami itu dirasa perlu oleh karena kondisi-kondisi tertentu yang hanya dapat diselesaikan dengan poligami.
Lebih utamanya syarat utama poligami itu terpenuhi yaitu persetujuan istri (dengan seikhlas mungkin).

2). Kita menolak poligami apabila diperbolehkannya poligami itu sebagai pembenaran bagi seorang pria untuk bersikap sewenang-wenang, tidak adil, dan pelampiasan hawa nafsu belaka, sehingga menyakiti perasaan sang istri. Seorang wanita yang tidak mau dimadu, maka ia harus mempertahankan haknya sebagai istri satu-satunya. Apabila sang suami memaksakan kehendaknya untuk menikah lagi, maka tidak ada dosa bagi sang istri untuk meminta cerai.

Phew .....! Demikianlah penjelasan saya yang singkat ini (mungkin juga kepanjangan ... bingung, hehehe) semoga sedikit banyak bisa membuka cara pandang kita terhadap masalah poligami. Semoga bermanfaat ...

Berikut ini marilah kita baca dengan pikiran jernih ayat-ayat poligami yang sangat terkenal itu. Benarkah Alloh memerintahkan poligami atau sebenarnya sedang ‘menyindir’ kita.

An Nisaa' [4] : 3
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), MAKA KAWINILAH WANITA-WANITA (LAIN) YANG KAMU SENANGI: DUA, TIGA ATAU EMPAT. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Kalimat yang saya ketik dengan huruf BESAR itulah yang menjadi pegangan penganut poligami. Dan seringkali hanya diambil sepotong. Padahal kalimat itu tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari potongan kalimat sebelumnya yang berkait dengan perintah untuk berlaku adil kepada wanita-wanita yatim, karena dimulai dengan kata ‘maka kawinilah… (fankikuu) berarti ada sesuatu penyebab yang telah dibicarakan sebelumnya.

Dan, harus dicermati lagi, ternyata kalimat tentang wanita yatim itu pun merupakan bagian atau kelanjutan dari kalimat sebelumnya, yang termuat di ayat sebelumnya. Karena, awalnya dimulai dengan kata ‘Dan jika…’

Karena itu untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh kita harus memeriksa ayat-ayat sebelum potongan kalimat itu. Dan bahkan juga sesudahnya, karena masih terkait. Inilah suasana ayat-ayat tersebut secara utuh.

An Nisaa' [4] : 1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Rangkaian ayat-ayat tersebut ternyata dimulai dengan cerita persaudaraan dan silaturahim. Bahwa semua kita ini bersaudara, berasal dari nenek moyang yang sama. Makanya, Alloh memerintahkan kita untuk saling tolong menolong dan menjaga silaturahim di antara sesama manusia. Laki-laki maupun perempuan. Semuanya karena dorongan takwa kepada Alloh – lillahi ta’ala-

Dan kemudian ayat itu dilanjutkan dengan ayat berikutnya.

An Nisaa' [4] : 2
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan itu, adalah dosa yang besar.

Ayat ke dua ini melanjutkan tema tolong menolong dan silaturahim – di ayat sebelumnya – dengan tema perlindungan kepada anak-anak yatim. Alloh memerintahkan agar kita membantu mengelola harta benda mereka. Dan kemudian kita serahkan ketika mereka sudah beranjak dewasa.

Setelah itu, temanya lebih mengerucut lagi kepada anak-anak yatim yang wanita. Alloh membolehkan kita mengawini anak-anak yatim wanita yang tadinya berada di dalam perlindungan kita itu, ketika mereka sudah akil baligh. Sudah dewasa. Asalkan kita bisa berbuat adil terhadapnya. Tidak memakan harta benda milik mereka, atau hak-hak lainnya.

Akan tetapi jika kita khawatir tidak bisa berlaku adil kepadanya, maka kita ‘diperintahkan’ untuk mengawini wanita lain saja: boleh dua, tiga atau empat – terserah. Maka berikut ayatnya.

An Nisaa' [4] : 3
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar