Yang ingin saya kemukakan, sebelum saya menulis notes ini lebih jauh, adalah jangan sampai Anda berharap terlalu jauh bahwa diskusi kita ini bisa mengungkap segala keingin tahuan Anda. Tema yang kita angkat adalah ‘sumber filosofi bagi sains’ dari ayat-ayat Al Qur’an. Yang tentu saja masih harus ditindak lanjuti lewat berbagai penelitian langsung di lapangan. Karena, itu kita harus bisa membatasi dan menempatkan diri secara proporsional, bahwa ayat-ayat qauliyah harus dilengkapi dengan ayat-ayat kauniyah.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di notes sebelumnya saya telah mengemukakan clue yang kesatu, bahwa Adam bukanlah manusia pertama. Atau, setidak-tidaknya, Al Qur’an tidak pernah menyebut Adam sebagai manusia pertama secara eksplisit. Kesimpulan Adam sebagai manusia pertama adalah tafsir terhadap berbagai ayat yang menginformasikan bahwa beliau diciptakan dari tanah, dan diucapi kun fayakun.
Dalam buku DTM-14: Ternyata ADAM DILAHIRKAN, saya telah memberikan analisa lebih detil tentang istilah-istilah tanah yang digunakan oleh Al Qur’an terkait dengan penciptaan manusia. Bahwa jenis-jenis tanah itu ternyata memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan dalam penciptaan tubuh manusia. Yang jika diringkas, akan menjadi sebuah cerita pelapukan jenis tanah keras (thiin) menjadi tanah gembur (turaab).
Cerita pelapukan ini akan menggiring kita untuk memahami sejarah geologis planet Bumi, yang berlangsung selama miliaran tahun. Itulah sebabnya, kehidupan manusia baru muncul setelah Bumi berusia lebih dari empat miliar tahun. Yang mana, Allah sudah memproses kondisinya sedemikian rupa sehingga lingkungan hidupnya memungkinkan untuk dihuni oleh manusia – diantaranya sudah ada tumbuh-tumbuhan dan beragam jenis hewan. Dan bahan-bahan dasar penyusun tubuh manusia sudah bertebaran di permukaan Bumi.
Maka, dalam ayat berikut ini Allah menginformasikan dari bahan apakah Adam itu diciptakan, dan bagaimana caranya.
QS. Ali Imran (3): 59
Sesungguhnya masalah (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari turaab (tanah gembur – top soil), kemudian Allah berfirman kepadanya: "KUN" (jadilah seorang manusia), fayakun (maka jadilah dia).
Ayat di atas menceritakan dua kasus ‘keajaiban penciptaan’ dalam satu cerita. Yang pertama, soal Nabi Isa, dan yang kedua soal Nabi Adam. Allah menjadikan mereka sebagai analogi, karena memiliki kondisi yang sama. Yaitu, diciptakan dari bahan dasar turaab, dan diciptakan dengan mekanisme Kun fayakun.
Turaab adalah top soil alias tanah subur yang mengandung unsur hara sangat kaya. Seluruh unsur kimiawi penyusun tubuh manusia berada disini. Dan ini pula yang dimaksud sebagai tsulaalatin min thiin atau saripati tanah itu, yang kemudian berproses menjadi sperma dan ovum. Dari bahan dasar inilah tubuh manusia terbentuk, baik Adam maupun Isa, maupun manusia seluruhnya. Sedangkan kun fayakun adalah kalimat penciptaan yang sangat mendalam maknanya. Bukan seperti permainan sulap abrakadabra atau bim salabim. Melainkan sebuah proses alamiah dengan mengikuti hukum-hukum Allah alias sunnatullah. Yang mana, setiap kali menciptakan makhluk, Dia selalu 'mengucapkan' kun fayakun, sehingga terjadilah proses alamiah seperti telur menetas menjadi ayam, benih berkecambah menjadi tumbuhan, pembuahan menjadi buah-buahan, kuda bunting hingga melahirkan, dan seluruh peristiwa alam semesta yang terikat pada ruang dan waktu yang terus berdinamika. Semua itu terjadi karena kun fayakun.
Maka, clue yang kedua ialah: Adam sebenarnya diciptakan oleh Allah lewat mekanisme alamiah sesuai dengan sunnatullah, yakni lewat proses reproduksi dan dilahirkan. Apalagi, sesuai dengan clue kesatu, Nabi Adam bukanlah manusia pertama dengan argumentasi yang sudah saya paparkan di notes sebelumnya. Adam dilahirkan dari komunitas yang sudah ada waktu itu, dan dipilih Allah sebagai khalifah yang memimpin dunia. Kedua clue ini membentuk arah yang konsisten.
Mengenai siapa orang tuanya dan di zaman apa beliau dilahirkan, tentu harus ditelusuri lewat pendekatan ilmiah. Baik melalui ilmu Geologi, Sejarah Peradaban, Arkeologi, Palaentologi, bahkan genetika dan Biomolekuler.
Tetapi, jika kita konsisten dengan argumentasi di atas, maka zaman Adam adalah di sekitar 10.000 tahun sebelum Masehi – bisa kurang, bisa lebih. Ini terkait dengan zaman munculnya peradaban manusia modern yang sudah menggunakan ilmu budidaya pertanian dan peternakan. Juga tidak terlalu jauh dari prediksi sejarah kenabian, dimana Nabi Ibrahim disebut-sebut hidup di zaman sekitar 3000 tahun sebelum Masehi. Nabi Nuh mungkin di sekitar 6000-7000 tahun sebelum Masehi. Dan Nabi Adam di sekitar 10.000 tahun sebelum Masehi. Masih logis dan rasional. Sekali lagi, perhitungan detilnya mesti ditelusuri lewat pendekatan saintifik di lapangan.
Lantas bagaimana dengan teori Out of Africa dan Mitocondrial Eve yang berpendapat bahwa manusia pertama berasal dari Afrika sekitar 100 ribu tahun yang lalu. Saya kira boleh saja, meskipun teori Mitocondrial Eve juga mendapat tentangan, dikarenakan klaimnya yang mengatakan bahwa penurunan genetika mitokondria hanya terjadi pada wanita alias garis ibu. Padahal, ternyata juga bisa terjadi pada garis laki-laki. Misalnya, pada keluarga yang hanya memiliki keturunan laki-laki. Teori-teori ini masih sebatas hipotesa yang masih harus diuji lebih jauh.
Bahwa manusia pertama diperkirakan lebih tua dari Adam, menurut saya tidak bertentangan dengan argumentasi yang telah saya sampaikan, karena Adam memang bukan manusia pertama. Beliau adalah khalifah pertama yang memulai zaman peradaban baru, yang ditandai dengan ilmu budidaya alam yang muncul di sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Lantas bagaimana memahami istilah Al Qur’an tentang bani Adam? Hal itu ada kaitannya dengan penjelasan saya di clue yang ketiga berikut ini. Menurut Al Qur’an manusia diciptakan dari ‘satu diri’, nafsin waahidatin. Istilah ini banyak ditafsiri sebagai: seluruh manusia berasal dari satu orang, yakni Adam. Bahkan Hawa pun dipahami sebagai berasal dari tulang rusuknya. Tetapi kalau kita telusuri lebih jauh, istilah nafsin waahidatin itu sebenarnya tidak menunjuk kepada Adam. Melainkan kepada ‘sesuatu’ yang menjadi asal-usul bersama bagi manusia – pria dan wanita. Inilah ayat-ayatnya.
QS. An Nisaa (4): 1
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta (tolong) satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Sepintas, ayat di atas seperti membenarkan pendapat bahwa seluruh manusia berasal dari satu diri: Adam. Tetapi, jika kita menggunakan metode tafsir ayat bil ayat, kita akan mengetahui bahwa yang dimaksud ‘satu diri’ itu bukanlah Adam. Penjelasannya di ayat berikut ini.
QS. Al A’raaf (7): 189-190
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri itu) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."
Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Ayat di atas bercerita bahwa ‘diri yang satu’ itu diberi pasangan, dan kemudian sang isteri mengandung hingga melahirkan seorang anak. Siapakah pasangan suami isteri yang sedang diceritakan Allah itu, apakah Adam dan Hawa? Bukan. Karena, di akhir ayat tersebut Allah melanjutkan ceritanya: mereka lantas berbuat kemusyrikan dengan menjadikan kecintaannya kepada anaknya melebihi kepada Tuhannya. Sayang anak, melupakan Tuhan. Ini jelas-jelas bukan kisah tentang Adam dan Hawa. Melainkan kisah manusia pada umumnya...
Jadi, yang dimaksud sebagai satu diri itu bukanlah Adam. Melainkan ‘sesuatu’ yang menjadi cikal bakal munculnya manusia – laki-laki maupun perempuan. Bahwa, pria dan wanita ini sebenarnya berasal dari substansi yang sama. Dari ‘sesuatu’ yang bisa membelah secara berpasangan, dan kemudian memunculkan sosok manusia yang terlahir sebagai laki-laki maupun perempuan. Sehingga, kemudian Allah menambahkan: ‘’... dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...’’
Jadi, kisah tentang nafsin waahidatin bukanlah kisah tentang Adam dan Hawa, melainkan kisah tentang proses reproduksi manusia dari stem cell sebagai hasil pembuahan antara sperma dan ovum. Yang dengan cara inilah Allah memperkembang biakkan manusia di muka bumi.
Lantas, kenapa manusia modern ini disebut sebagai bani Adam? Apakah ini bermakna seluruh manusia modern adalah keturunan Adam? Atau, hanya sebagiannya saja? Bukankah sebelum Adam sudah ada komunitas manusia, meskipun tidak semodern Adam? Lantas kemana manusia-manusia yang bukan keturunan Adam itu?
Jika kita konsisten dengan argumentasi yang saya kemukakan, maka konsekuensinya memang ada manusia-manusia yang bukan keturunan Adam. Yakni, manusia-manusia purba yang fosil-fosilnya diketemukan di berbagai belahan dunia. Dan menariknya, entah kenapa, mereka mengalami kepunahan. Adalah tugas para ilmuwan untuk membuktikan kekerabatan antara manusia purba dan manusia modern, yang di dalam Al Qur’an disebut dengan dua istilah, yakni: al basyar dan al insaan.
Al basyar adalah spesies manusia secara umum, sedangkan al insaan digunakan untuk menyebut spesies manusia yang modern. Dengan kata lain, ada al basyar purba dan ada al basyar modern. Yang modern itulah yang disebut sebagai Al Insaan, dengan penekanan pada karakteristiknya yang berperadaban lebih tinggi, meskipun bentuk fisiknya kurang lebih sama dengan yang purba. Dan itu dimulai semenjak zaman Nabi Adam, sampai kita semua yang hidup di zaman ini.. :)
Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar