Senin, 08 November 2010

SALAH KAPRAH TENTANG ‘KEMUTLAKAN TAFSIR’

oleh Agus Mustofa pada 7 November 2010 pukul 8:18

Ada diantara kita yang dengan ’gagah berani’ mengatakan bahwa tafsir seorang ulama adalah mutlak kebenarannya. Meskipun, sang penafsir sendiri sebenarnya tidak berani mengatakan demikian, karena ia tahu kapasitasnya ’hanyalah’ penafsir belaka. Bukan Nabi yang memperoleh wahyu, atau apalagi Tuhan yang berfirman.

Biasanya, yang ’keterlaluan’ memang adalah para pengikutnya. Padahal, penafsiran seorang ulama tafsir satu dengan ulama tafsir lainnya bisa berbeda. Bahkan bisa bertentangan pendapat dalam suatu masalah. Dan hal itu, memang biasa saja. Karena, tafsir adalah sekedar pendapat yang bersifat relatif. Namanya saja: tafsir. Jadi, bisa betul atau salah. Yaitu, menduga maksud Tuhan. Siapa yang tahu kebenaran maksud Allah? Ya tentu saja, Allah sendiri.

Jadi, lucu juga kalau ada seseorang yang mengklaim dirinya paling tahu maksud Allah dalam kadar yang sesungguhnya. Orang semacam ini keterlaluan dalam mengangkat diri sendiri, dan merendahkan Allah. Karena ia telah mengangkat ilmunya sama dengan ilmu Allah. Atau sebaliknya, merendahkan ilmu Allah sama dengan ilmunya. Dengan kata lain, ia sedang melakukan kemusyrikan. Sebuah dosa yang tidak dimaafkan oleh Allah, kecuali dia bertaubat sebenar-benarnya.

Orang yang demikian, pasti juga tidak tahu ayat berikut ini. Atau setidak-tidaknya belum paham. Jika pun ia mengaku sebagai ahli tafsir, tentu dia bukan ahli tafsir yang baik, karena tidak menjalankan firman Allah.

QS. An Nahl [16]: 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, (hanya) Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Sebuah ayat yang sangat gamblang dan tidak butuh penafsiran njlimet. Bahwa kita tidak berhak mengklaim kebenaran, karena hanya Allah-lah yang tahu siapa yang tersesat dan siapa yang mendapat petunjuk. Lha ini, ada sekelompok orang yang kerjaannya memvonis orang lain sesat, seakan-akan dia menjadi Tuhan itu sendiri. Betapa beraninya dia menantang firman Allah, bahwa cuma Allah-lah yang tahu siapa yang tersesat dan siapa yang dapat petunjuk..!

Tentang perbedaan pendapat dalam hal penciptaan Adam dan Azab Kubur, sebenarnya hal yang biasa saja. Masing-masing punya argumentasinya. Silakan, masing-masing bertanggungjawab kepada Allah. Untuk itu, disini saya singgung serba sedikit. Karena, secara panjang lebar sudah ada di bukunya.

1). Tentang al Basyar dan al Insaan. Kedua istilah itu memang digunakan untuk menyebut manusia. Tetapi dengan penekanan yang berbeda. Al Basyar memiliki penekanan kepada bentuk fisik. Sedangkan al Insan memberikan penekanan kepada sifat. Makhluk yang berkepala, berbadan, bertangan, dan berkaki seperti kita ini disebut sebagai al basyar. Sedangkan al basyar yang berperangai seperti kita ini disebur al Insan. Yakni, yang pelupa, yang tergesa-gesa, yang suka mengeluh, yang kikir, dan lain sebagainya. Jadi, al insan pastilah al basyar. Sebaliknya, al basyar belum tentu al insan.

QS. Al Hijr [15]: 28
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia (al basyar) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.

QS. Al Hijr [15]: 33
Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia (al basyar) yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk".

QS. Al Maarij [70]: 19-20
Sesungguhnya manusia (al insan) diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,

QS. Al Anbiyaa’ [21]: 37
Manusia (al insaan) telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda (azab) -Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera.

QS. Al Israa’ [17]: 11
Dan manusia (al insaan) mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia (al insaan) bersifat tergesa-gesa.

Karena itu, Nabi Adam dan Nabi Muhammad pun disebut sebagai al basyar, sebab beliau termasuk dalam spesies manusia. Yaitu, makhluk yang memiliki bentuk seperti kita ini. Tapi dalam waktu bersamaan, beliau juga adalah al Insan, karena memiliki segala sifat-sifat kemanusiaan seperti diceritakan dalam ayat-ayat diatas. Berbeda dengan makhluk sebelum nabi Adam yang hanya bisa disebut sebagai al basyar, tetapi belum bisa disebut sebagai al insan. Lebih detil, baca buku ’Ternyata Adam Dilahirkan’, dan buku ’Membela Allah’.

2). Tentang Azab Kubur. Al Quran sama sekali tidak menyebut adanya azab kubur secara eksplisit. Ayat-ayat Qur’an yang dimaknai sebagai ’petunjuk’ adanya azab kubur sangat sumir, dan ’dipaksakan’. Ambillah contoh beberapa ayat yang mereka kemukakan di bawah ini. Anda akan langsung tahu dengan mudah, bahwa ayat-ayat ini ’dirudapaksa’ untuk ’mengakui’ adanya azab kubur, padahal sama sekali tidak bercerita tentangnya.

QS. Ibrahim [14]: 27
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.

QS. Thaha [20]: 124
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta”.

QS. At-Takatsur [102] 1-3
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak (di hari pengadilan) kamu akan mengetahui.

Mana cerita azab kuburnya? Tidak ada. Namun demikian, bukan berarti manusia berdosa yang mati tidak merasa tersiksa di alam barzakh. Oh, ayatnya sangat jelas. Bahwa manusia yang sudah mati itu sebenarnya masih hidup dalam bentuk nyawa alias jiwa. Dan orang-orang yang berdosa merasa tersiksa di alam barzakh. Tetapi, bukan karena diadili dan menerima hukuman badan disana, melainkan karena melihat masa depannya di neraka.

Badan orang yang mati, pada umumnya sudah hancur terurai. Ada yang dimakan zat renik dalam tanah, ada yang karena kecelakaan pesawat, tertimbun lahar panas, atau bahkan sengaja dibakar sampai menjadi abu ~ dikremasi, karena ia beragama Hindu, misalnya. Maka, yang masih hidup di alam barzakh adalah jiwanya. Sehingga yang tersiksa pun adalah jiwa. Bukan badan, seperti yang sering kita salah kaprahkan. Lebih detil baca buku ’Tak Ada Azab Kubur?’

QS. Al Baqarah [2]: 154
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.

QS. Al Mukmin [40]: 46
Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang hari (di alam barzakh), dan pada Hari Kiamat: "masukkanlah Fir`aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras (neraka)".

Di alam barzakh, para jiwa sedang menunggu datangnya hari pengadilan, sambil masih menerima pahala dan dosanya yang terus mengalir. Diantaranya, dari amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak-anak yang saleh. Begitulah kata Rasulullah SAW. Lha, pahala masih mengalir, kok sudah diadili dan disiksa? Info dari mana ini? Sementara al Qur’an sama sekali tidak membahasnya. Bagaimana kalau ternyata amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak-anaknya yang saleh mengalirkan pahala lebih banyak dari dosa-dosanya? Kemudian mereka telanjur disiksa? Wah, bakal bermunculan protes, dikarenakan kesalahan fatal ini. Maka, al Qur’an bercerita, hanya di hari kiamat sajalah balasan seseorang disempurnakan. Bukan di alam barzakh.

QS. Ali Imran [3]: 25
Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dirugikan.

QS. Ali Imran [3]: 185
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.

Wallahu a’lam bishshawab.


~ salam ~

SALAH KAPRAH TENTANG ’IMAN & TAKLID’

oleh Agus Mustofa pada 7 November 2010 pukul 8:06

Patut disayangkan, sejumlah anak muda sudah kemasukan doktrin 'keras kepala' dalam mempertahankan akidah (keyakinan)-nya. Padahal, jelas-jelas Allah mengajari umat Islam untuk memperoleh keimanan dan mempertahankannya dengan cara menggunakan akal kecerdasan dan bukti-bukti.

Berikut ini saya kutipkan lebih lengkap firman Allah tentang proses keimanan, yang diajarkan oleh-Nya kepada umat Islam.

1). Allah tidak pernah memaksa manusia untuk beriman. Meskipun akan sangat mudah bagi-Nya untuk melakukan itu. Sehingga, Allah mempertanyakan kewenangan kita, jika kita mengajak manusia beriman dengan cara main paksa. Atau, berkeras kepala dengan mengatakan 'pokoknya'.

2). Beriman tidaknya seseorang adalah atas izin Allah, karena Dia adalah Dzat Yang Maha Mengetahui isi hati kita. Benarkah seseorang itu sedang ingin beriman, ataukah sekedar karena alasan lain, misalnya.

3). Allah ’mengancam’ akan menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akal dalam proses keimanannya.

QS. Yunus [10]: 99-100
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya (apa sulitnya buat Allah?). Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemarahan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akal-nya.

Jadi keimanan itu satu garis lurus atau paralel dengan mekanisme akal. Dengan kata lain, jika tidak menggunakan akal dijamin seseorang itu tidak akan memperoleh keimanan. Karena, sebagaimana saya sampaikan di note sebelumnya, orang yang tidak menggunakan akal tidak akan bisa memperoleh pelajaran dari Allah. QS. 3:7.

Padahal, proses keimanan adalah sebuah proses yang dimulai dari ’menggunakan akal’ untuk belajar sampai paham kemudian yakin. Itu pun masih ada tingkatannya, sesuai dengan kadar keyakinannya.

Ilmul yaqin : yakin karena paham dan menguasai teorinya
Ainul yaqin : yakin karena mengalami sendiri dalam praktek
Haqqul yaqin: yakin seyakin-yakinnya karena berulang-ulang memperoleh bukti

Orang yang tidak menjalani proses ini tidak akan mencapai tingkat keyakinan alias akidah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-firman-Nya. Yaitu, keimanan yang menggetarkan hati dan jiwanya. Yang membuatnya bisa tersungkur bersujud sambil menangis. Melainkan hanya sekedar ’ikut-ikutan yakin’ seperti dikatakan oleh orang lain kepadanya. Mungkin oleh temannya, mungkin oleh orang tuanya, mungkin oleh gurunya, dlsb. Tanpa menggunakan akal untuk menyaring dan mengkritisinya. Kalau yang demikian ini bukan Iman namanya, tetapi ’taklid buta’. Dan Allah melarang cara beragama yang demikian.

QS. Al Israa’ [17]: 36
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung-jawabannya.

QS. Al Baqarah [2]: 170
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari bapak-bapak kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun bapak-bapak mereka itu tidak berakal (la ya’qilun) tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?"

QS. Luqman [31]: 21
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati pada bapak-bapak kami". Dan apakah mereka (akan mengikutinya) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa neraka?

QS. Yusuf [12]: 108
Katakanlah: "Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah (argumentasi & bukti) yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".

QS. Al Anbiyaa’ [21]: 56
Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu".

Ringkas kata, proses beragama bukanlah sebuah proses yang ikut-ikutan. Harus menggunakan akal kecerdasan berdasar petunjuk Allah. Karena, setiap diri akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak bisa disandarkan kepada orang lain, meskipun itu adalah orang tua, guru, sahabat, atau siapa pun. Dan ketika kita salah, kita tidak bisa beralasan: ’’ya Allah, saya kan cuma mengikuti kiai ini, ustadz itu, profesor dan doktor lulusan universitas yang terkemuka...’’ dst, dlsb. Oh, alasan semacam itu tidak akan diterima. Yang ditanya, tetap saja, adalah: bagaimana kamu bisa memutuskan dan melakukan hal yang menjadi keyakinanmu ini..?!

QS. Yunus [10]: 35
... Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?

QS. Al Mudatstsir [74]: 37-38
Bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur (mengambil petunjuk atau tidak). Setiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,

Wallahu a’lam bisshawab.


~ salam ~

Sabtu, 06 November 2010

SALAH KAPRAH ANTARA 'AKAL' & 'RASIO'


oleh Agus Mustofa pada 6 November 2010 pukul 8:53

Banyak diantara kita yang merancukan antara ‘akal’ dengan ‘rasio’. Antara ’akal’ dengan ’logika’. Sehingga, banyak pertanyaan yang dilontarkan untuk meng-counter ’bahwa beragama harus menggunakan akal’ menjadi salah kaprah. Yakni yang bernada begini: Apakah agama itu selalu bisa dirasionalkan? Apakah agama itu selalu bisa dilogikakan?

Yang begini ini karena kita telanjur salah kaprah memahami makna ’akal’ yang dimaksudkan oleh al Qur’an. Kalau kita cermat dan open-minded dalam memahami Al Qur’an, maka kita akan tahu bahwa:

1). Tidak ada satu ayat pun yang melarang seorang muslim untuk memahami Al Qur’an dengan menggunakan akal. Yang ada justru sebaliknya, al Qur’an memerintahkan agar kita menggunakan akal. Bahkan dengan kalimat yang sangat tegas dan ’mengunci’, bahwa siapa saja yang tidak menggunakan akal tidak akan bisa mempelajari al Qur’an.

QS. Ali Imran [3]: 7
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu... Dan tidak bias mengambil pelajaran (dari dalam al Qur’an) kecuali orang-orang yang berakal (ulul albab).

Karena itu, hadits yang berbunyi: ’’barangsiapa memahami al Qur’an dengan akalnya (ra’yi - pendapat) maka tempatnya adalah di neraka’’ menjadi tidak relevan, karena bertabrakan langsung dengan al Qur’an sebagai sumber utama. Sehingga hadits itulah yang harus dikritisi, bukan al Qur’annya. Karena, yang dimaksudkan dengan ra'yi disitu bukanlah 'menggunakan akal' melainkan justru 'tidak menggunakan akal', alias orang yang beragama dengan cara 'taklid buta' kepada sebuah pendapat. Itulah yang diancam neraka, dan murka Allah.

2). Orang yang berakal dalam istilah al Qur’an disebut sebagai ulul albab, yaitu orang yang menggunakan hati dan pikiran sekaligus, secara simultan.

QS. Ali Imran (3): 190-191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang hari terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulul albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah (dzikrullah) sambil berdiri, duduk, dan dalam keadaan berbaring, dan mereka berpikir (tafakur) tentang penciptaan langit dan bumi (lantas berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Dalam berbagai ayat Allah, istilah dzikrullah ~ interaksi dengan mengingat Allah ~ selalu menggunakan hati (qalb),

QS. Al-Anfal [8]: 2,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

QS. Ar Rad [13]: 28
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

dsb.

Sedangkan tafakur adalah interaksi dengan ciptaan Allah dengan menggunakan pikiran yang berbasis pada mekanisme kerja otak secara ilmiah. Jadi, berakal tidak sama persis dengan berpikir. Karena berpikir adalah sebagian saja dari mekanisme berakal.

3). Beragama bukan hanya menggunakan hati saja, karena hati bisa berpenyakit, mengeras, membatu, dan tertutup alias dikunci mati oleh Allah. Demikian pula, beragama bukan hanya menggunakan pikiran saja, karena pikiran bisa salah dalam menyimpulkan meskipun sudah menggunakan metode secanggih apa pun. Beragama harus menggunakan hati dan pikiran sekaligus. Itulah yang disebut sebagai ulul albab. ...Wama yadzdzakkaru illa ulil albab. ~ dan tidak bisa mengambil pelajaran (dari dalam al Qur’an) kecuali orang-orang yang menggunakan akalnya (hati & pikiran),

QS.Ali Imran [3]:7
…Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

4). Nah, berpikir itulah yang seringkali disalahkaprahkan dengan berakal. Berpikir adalah mekanisme ilmiah yang melibatkan logika, rasionalitas, memori dan analisa. Sedangkan hati tidak perlu logika, rasio, analisa, dan memori. Karena hati bekerja berdasar kepekaan indera keenam yang sering disebut dengan intuisi, ilham dan wahyu, sesuai dengan tingkat kualitasnya.

Logika: pengambilan kesimpulan dengan menggunakan runtut berpikir tertentu sesuai bidangnya. Logika matematika bisa berbeda dengan logika biologi, bisa berbeda dengan logika politik, bisa berbeda dengan logika bisnis, dlsb

Rasio: pengambilan kesimpulan dengan menggunakan perbandingan, terhadap sesuatu yang telah diketahui. Mis: sesuatu dikatakan panjang jika ada pembandingnya yang lebih pendek. Sesuatu dikatakan salah jika ada pembandingnya yang dianggap benar, dlsb.

Memori: data alias ingatan, atau rekaman kejadian yang sudah lampau yang membantu proses munculnya kesimpulan.

Analisa: metode yang digunakan untuk mengambil kesimpulan.

Jadi, adalah salah kaprah kalau ada yang menyamakan akal = logika atau rasio.
Dan lantas bertanya: apakah agama harus selalu rasional? Atau, apakah beragama harus selalu logis?
Tentu saja jawabnya adalah: tidak selalu. Karena, kadang kita harus beragama dengan menggunakan intuisi, ilham atau wahyu, yang tidak selalu logis atau rasional.

Tapi jika Anda bertanya: apakah beragama harus masuk akal?
Maka jawabnya pasti: masuk akal. Karena itulah yang diperintahkan Allah, yakni dengan mengombinasikan antara hati dan pikiran dalam 'satu tarikan nafas'.

Karena jika tidak, Allah akan marah besar kepada Anda..!

QS. Yunus [10]: 100
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Wallahu ’alam bishshawab


~ salam ~