Jumat, 18 Februari 2011

PILIHAN YANG MASIH MEMBINGUNGKAN ~ PENTING MANA DUNIA ataukah AKHIRAT (1)

Ketika dipertanyakan: lebih penting mana DUNIA ataukah AKHIRAT? Jawaban yang muncul ternyata sangat beragam. Ada yang menjawab penting dunia. Ada yang memilih akhirat. Ada yang menyebut dunia dan akhirat. Ada yang mengatakan tidak penting dua-duanya. Atau, ada pula yang tidak berani menjawab, karena (masih) bingung.

Masalah klasik ini menjadi perlu kita angkat kembali, karena ternyata masih banyak yang rancu tentang ’kepentingannya’ dalam peta kehidupan. Meskipun, sebenarnya di dalam al Qur’an cukup gamblang pemetaannya. Kerancuan seringkali muncul disebabkan oleh pemahaman ayat yang kurang holistik.

Yakni, mendasarkan kepahaman hanya pada beberapa ayat. Padahal jumlah ayat tentang akhirat ini ada ratusan. Dalam buku serial ke-2: ’Ternyata Akhirat Tidak Kekal’ saja, saya mengutip tidak kurang dari 200 ayat. Itu pun masih banyak ayat yang tidak saya kutip dikarenakan isi dan redaksinya mirip.

Al Qur’an menempatkan akhirat demikian penting, sehingga jumlah ayat yang bercerita tentangnya berjumlah ratusan. Dan diulang-ulang dengan redaksi yang berbeda-beda terkait dengan obyek yang sedang dibahas. Kadang, akhirat dibahas terkait dengan kehidupan rumah tangga. Di waktu lain, akhirat dikaitkan dengan bisnis. Di ayat lainnya, akhirat dengan kekuasaan. Lainnya lagi, dihubungkan dengan akhlak, ibadah, peperangan, dan berbagai masalah kemasyarakatan sehari-hari.

Di berbagai ayat itu, Allah selalu menempatkan Akhirat sebagai tujuan dari berbagai aktivitas keduniawiaan kita, tanpa memisahkan keduanya. Kehidupan dunia ditempatkan sebagai awal proses, sedangkan kehidupan akhirat ditempatkan di akhir proses. Lantas, Allah memberi penegasan bahwa ’akhir’ adalah lebih baik dari pada ’awal’.

QS. Ad Dhuha (93): 4
dan sesungguhnya akhir (akhirat) itu lebih baik bagimu daripada permulaan (dunia).

Dalam berbagai ayat itu pula, Allah mengajari kita untuk ’menyadari’ bahwa hidup tidak berakhir di dunia. Karena, sebenarnya ’kematian’ bukanlah akhir dari segala-galanya, melainkan cuma ’rusaknya badan’. Sedangkan jiwa kita masih hidup. Dan kelak, akan dibangkitkan kembali seiring dengan kembalinya jiwa ke dalam badan di hari kebangkitan, untuk memasuki hari-hari akhirat.
Kesadaran akan pentingnya akhirat ini diulang-ulang dalam banyak ayat, sekaligus diberikan perbandingkan tentang ’kurang pentingnya’ kehidupan dunia. Sehingga, dalam sejumlah ayat Allah menyebut kehidupan dunia adalah kehidupan yang menipu. Yang sebentar. Yang remeh temeh, dan main-main belaka. Baru ’awal’ dari sebuah perjalanan hidup yang sangat panjang, yang sangat misterius dan belum banyak kita ketahui.

QS. Al An’aam (6): 32
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?

QS. Al Ankabuut (29): 64
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.

Allah memberikan stressing tentang pentingnya akhirat, agar kita memperhatikannya. Karena, ternyata banyak yang tertipu alias terjebak oleh gemerlap dunia. Justru disinilah memang ’permainannya’. Ini adalah sebuah game melintasi ’labirin’ yang bisa menjebak kita untuk tidak menemukan pintu keluar di akhir rute yang harus kita tempuh.

Kenapa al Qur’an menyebut kehidupan dunia dengan sebutan ’remeh temeh’ seperti itu? Apakah memang tidak penting? Oh, tentu saja penting. Tetapi, agaknya kalah penting dengan akhirat. Karena ternyata, kehidupan dunia ini memang benar-benar remeh dan lucu. Isi kehidupan kita benar-benar cuma permainan, bermegah-megahan, berbangga-banggaan tentang harta dan anak. Setelah itu, kita menua dimakan usia, dan mati..! Kecuali orang-orang yang 'mengerti'.

Ini benar-benar kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Mulai pagi hari sampai tidur kembali di malam hari, kita cuma bermain-main saja. Bermain-main di rumah, di tempat kerja, di jalanan, di warung-warung makan, di rumah kawan-kawan, dan dimana pun kita beraktifitas. Dan lucunya, setiap kita bertemu dengan kawan, yang kita omongkan kurang lebih begini:

’’Hei, apa kabar? Kerja dimana kamu sekarang? Wah, tambah sukses ya? Mobilmu baru ganti ya? Eh, dengar-dengar rumahmu baru pindah di kawasan elit? O ya, sudah berapa anakmu? Sudah mau punya cucu ya..?!

Dan seterusnya. Dan sebagainya. Ternyata, hidup kita isinya cuma gitu-gitu aja. Persis seperti digambarkan Allah dalam ayat berikut ini.

QS. Al Hadiid (57): 20
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya HARTA dan ANAK, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (kelak) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Oh, berpuluh tahun kita bekerja ’membanting tulang’ dan membina rumah tangga sampai beranak cucu, tujuannya ternyata hanya untuk berbangga-bangga tentang itu semua. Dan, celakanya, tak berapa lama kemudian kita ’mati’ meninggalkan semuanya. Lantas memasuki ’kehidupan baru’ yang kita sama sekali tidak mengerti tentangnya. Sendirian pula..!

Oh, jangan..! Jangan sampai tertipu, wahai sahabatku. Hidup tidak berhenti dengan kematian. Melainkan berlanjut sampai berakhirnya alam semesta. Tidakkah engkau ingin mempersiapkan segala sesuatunya? Dunia ini kita jalani hanya puluhan tahun, sementara kehidupan sesudahnya akan kita alami milyaran tahun.

Sekarang saja, usia alam semesta sudah hampir 14 milyar tahun. Kalau ternyata benar, alam semesta bakal mengerut 1 milyar tahun lagi, maka proses mengerut alam semesta ini akan memakan waktu 15 milyar tahun. Kurang lebih sama dengan waktu mengembangnya. Dan, kelak akan lenyap kembali, sebagaimana proses kemunculannya: dari ’tiada’ bakal kembali kepada ’tiada’. Artinya, kehidupan akhirat bakal berlangsung belasan milyar tahun, seumur alam semesta yang sedang mengerut.

Maka, penting manakah Dunia dan Akhirat? Ah, jawabannya sih terserah Anda saja. Tetapi, kalau Anda membaca ayat berikut ini, ternyata Allah mengajari kita untuk lebih mementingkan akhirat. Yang harus kita cari dan dijadikan ’tujuan’ dalam hidup ini adalah kebahagiaan AKHIRAT. Sedangkan kebahagiaan DUNIA, ternyata grade-nya hanya sekedar JANGAN DILUPAKAN..!

QS. Al Qashash (28): 77
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu di dunia...

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

oleh Agus Mustofa pada 17 Februari 2011 pukul 9:37



Rabu, 16 Februari 2011

BERPROSES MENCAPAI KEBAHAGIAAN TERTINGGI ~ APA YANG KAU CARI (5)

Selain tidak bisa dikejar, kebahagiaan juga tidak bisa diukur. Bagaimana mungkin kita bisa mengukur sesuatu yang bersifat subyektif? Yang selalu berbeda pada setiap orang. Sehingga, tidak mungkin dibanding-bandingkan, kualitas maupun kuantitasnya.

Namun demikian, pada orang yang sama, sebenarnya kita bisa merasakan adanya ’perbedaan kualitas’ antara sebuah kebahagiaan dengan kebahagiaan yang lain. Bahwa kebahagiaan ternyata bisa meningkat seiring dengan dimana kita menerapkan akhlak mulia yang menjadi syaratnya.

Saya menyebut ada tiga tingkatan kualitas kebahagiaan. Yang pertama adalah kebahagiaan egoistik. Yakni, kebahagiaan yang bersifat pribadi untuk diri sendiri. Misalnya, ketika kita berlaku sabar dan ikhlas dalam menghadapi masalah kita sendiri maka kita bakal memperoleh ’rasa bahagia’ selama proses maupun hasil akhirnya.

Orang yang sabar dan ikhlas dalam bekerja mencari rezeki misalnya, dia akan memperoleh kebahagiaan terkait dengan proses yang sedang berlangsung. Dia mencintai pekerjaannya. Dia bangga dengan apa yang dilakukannya. Dia menikmati hasil yang diperolehnya dengan penuh perjuangan, seberapa pun besarnya.

Jika bertemu kesulitan dia bersabar dalam menyelesaikannya. Dan jika pun tak terpenuhi target yang diharapkan ia ikhlas menerimanya. Dia tak pernah menyesali keadaan. Sebaliknya, selalu mensyukuri setiap peristiwa yang terjadi padanya. Orang yang bisa berbuat demikian akan menjadi ’orang ajaib’. Gagal ataupun sukses tak pernah menjadi masalah besar buatnya. Karena kesabaran dan keikhlasannya sudah berurat berakar dalam dirinya. Dia telah berhasil berdamai dengan segala yang ada di sekitarnya, dan menjadi berbahagia karenanya.

Contoh diatas bisa dikembangkan ke banyak hal. Mulai dari tidur, makan, bekerja, belajar, beribadah, berdiskusi, bersahabat, berumah tangga, dan seterusnya, dan sebagainya. Dia merasa senang dengan apa yang dilakukannya. Dia enjoy dengan proses-proses yang menyertainya. Dia pun nikmat dengan hasil apa pun yang diperolehnya. Dia menjadi pribadi yang berbahagia.

Tetapi, sebenarnya kebahagiaan semacam ini adalah kebahagiaan yang tingkatnya paling rendah. Yakni, yang saya sebut sebagai ’kebahagiaan egoistik’. Seluruh aktifitas yang dilakukan dengan sabar dan ikhlas itu, hanya seluas kepentingan dirinya. Bisakah ia bahagia? Jawabnya: bisa. Tetapi, sempit dan terbatas.

Ada tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dan lebih luas daripada itu: kebahagiaan sosialistik. Yaitu, kebahagiaan yang diperoleh karena ia menerapkan kesabaran dan keikhlasan dalam wilayah sosial. Oh, yang ini jauh lebih membahagiakan dan bersifat ’lebih abadi’.

Cobalah bandingkan, menurut Anda lebih bahagia manakah dua orang berikut ini. Yang satu: bersusah payah mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Ia sabar dan ikhlas dalam proses itu. Dan kemudian ia merasa bahagia karenanya. Sedangkan orang kedua, selain untuk dirinya, ia juga mencarikan rezeki untuk keluarganya, untuk saudara-saudaranya, dan untuk orang tuanya. Ia ikhlas dan sabar melakukannya. Dan kemudian bahagia karenanya.

Keduanya sama-sama bahagia. Tetapi samakah kualitas kebahagiaannya? Tentu saja berbeda. Orang yang pertama mengalami kebahagiaan egoistik, sedangkan  yang kedua mengalami kebahagiaan sosialistik. Kalau, Anda jernih melihat kedua peristiwa itu, niscaya Anda akan melihat, bahwa orang kedualah yang mengalami kebahagiaan lebih tinggi dan lebih luas.

Bukan hanya merasa bahagia karena kebutuhan dirinya terpenuhi, melainkan ia  juga merasa bahagia karena keluarganya tercukupi. Ia juga bahagia karena bisa membantu saudaranya yang kekurangan. Juga bahagia karena bisa membahagiakan orang tuanya. Kebahagiaannya berlipat-lipat kali lebih banyak dibandingkan dengan orang yang pertama.

Bukan hanya kepada orang-orang dekat. Semakin luas ia menerapkan keikhlasan dan kesabaran sosial, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan yang diperolehnya. Lebih bahagia manakah: orang yang bisa memberi makan dirinya sendiri, ataukah orang yang bisa memberi makan orang lain? Lebih bahagia manakah orang yang memperoleh ilmu untuk dirinya sendiri ataukah yang juga menularkan untuk orang lain? Lebih bahagia manakah orang yang bisa menyehatkan diri sendiri ataukah yang juga menyehatkan orang lain? Lebih bahagia manakah, orang yang bahagia sendirian ataukah yang membahagiakan orang lain?

Niscaya Anda akan memperoleh jawaban yang kedua. Bahwa bisa membahagiakan orang lain adalah jauh lebih berharga dan berbahagia dibandingkan hanya membahagiakan diri sendiri. Semakin banyak yang Anda bahagiakan, semakin besar pula kebahagiaan yang Anda terima. Dan semakin banyak pula sumber kebahagiaan berdatangan kepada Anda.

Contoh sederhananya, soal makan. Jika Anda merasa bahagia karena bisa makan, maka sumber kebahagiaan Anda paling-paling hanya 1-2 piring saja. Setelah itu ’tidak kuat’ makan lagi, atau  bosan. Tetapi, jika Anda memberi makan orang lain, maka semakin banyak ’piring-piring’ yang diberikan kepada orang yang membutuhkan, semakin bahagialah Anda.

Artinya, kebahagiaan sosial memiliki batas yang sangat luas bergantung seberapa besar dan seberapa banyak kebajikan sosial yang kita lakukan. Tidak hanya yang bersifat materi, melainkan juga yang bersifat keilmuan ataupun bantuan psikologis. Misalnya ramah kepada siapa saja. Selalu menyambut orang lain dengan senyuman dan salam. Atau memberikan nasehat dan meringankan beban pikiran sahabat. Atau, sekecil apa pun bantuan yang kita berikan kepada orang lain.

Itulah sebabnya, kenapa Allah mengajari kita untuk berbuat kebajikan kepada siapa saja. Karena Allah sedang ingin menunjukkan kepada kita sumber-sumber kebahagiaan yang batasnya adalah kita sendiri yang menentukan. Tentu bukan kebajikan yang pura-pura dan penuh pamrih, melainkan kebajikan yang dilandasi keikhlasan dan kesabaran. Semakin tinggi jiwa sosial seseorang, semakin besar kebahagiaan yang bakal dia terima..!

Dan tingkatan kebahagiaan yang tertinggi adalah yang saya sebut sebagai kebahagiaan spiritualistik. Inilah tingkatan kebahagiaan yang tidak ada batasnya. Mencakup kebahagiaan egoistik dan sosialistik sekaligus. Intinya, setiap kebahagiaan yang lebih tinggi pasti mencakup kebahagiaan yang lebih rendah. Sekaligus, memberikan sumber-sumber kebahagiaan yang semakin luas dan tak terbatas.

Itulah yang disebut al Qur’an sebagai hablum minannas dan hablum minallah. Yakni, hubungan kemanusiaan dan hubungan keilahian. Kalau ada orang mengaku hubungannya dengan Tuhan baik, tetapi secara sosial jelek, pasti ada yang nggak beres dengannya. Tidak mungkin demikian. Karena ini adalah hubungan yang berjenjang.

Hanya orang yang bahagia secara pribadilah yang bisa memberikan kebahagiaan secara sosial. Mana mungkin dia bisa membahagiakan orang lain, kalau untuk dirinya saja tidak bisa. Mana mungkin pula dia bisa bahagia secara spiritual, kalau secara sosial pun amburadul.

Maka, begitulah tingkatannya. Bahagiakan diri sendiri terlebih dahulu dengan menerapkan akhlak mulia secara benar. Lantas, luaskanlah kebahagiaan yang bersifat pribadi itu untuk orang-orang di sekitar Anda. Dan kemudian, abdikanlah seluruh kebahagiaan yang pribadi maupun sosial itu untuk kehidupan, hanya karena Allah semata. Hasilnya, Anda akan memperoleh kebahagiaan yang tiada terkira. Yang oleh Rasulullah disebut sebagai surga dunia. Dan kemudian berlanjut ke surga akhirat..!

Pertanyaannya, apa yang harus diabdikan untuk Allah? Bukankah Allah tidak membutuhkan apa pun dari makhluk-Nya? Rezeki, ilmu, kesehatan, kekuasaan, ketentraman, dan segala kebahagiaan, semata-mata berasal dari-Nya. Kitalah yang justru membutuhkan Dia. Bukan sebaliknya.

QS. Faathir (35): 15
Hai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah; sedangkan Allah Dia Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.

QS. Al Ankabuut (29): 6
Dan barangsiapa berjuang, maka sesungguhnya perjuangannya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.

Pengabdian kepada Allah itu bukan dalam bentuk ’memberi’ kepada-Nya. Karena Dia tak butuh apa pun dari kita. Melainkan, justru ’menerima’ dan kemudian 'menyalurkannnya' kepada orang lain. Kita menempatkan diri sebagai  ’kepanjangan’ tangan Allah dalam menyalurkan segala kenikmatan yang telah kita peroleh dari-Nya.

Allah memberi kita rezeki, maka kita menyalurkan kenikmatan rezeki itu kepada orang yang membutuhkan. Allah memberi kita ilmu yang bermanfaat maka kita membantu memintarkan orang lain dengan ilmu itu. Allah memberi kita kekuasaan, maka kita membantu menyejahterakan orang lain dengan kekuasaan itu.

Apa pun kebahagiaan yang Allah berikan kepada kita, maka kita menyalurkannya kepada orang lain dengan ikhlas dan penuh kesabaran. Jika hal itu terus menerus terjadi, tiba-tiba kita telah menjadi ’karyawan’ Allah dalam menganugerahkan kebahagiaan kepada segenap manusia. Bahkan, kepada seluruh makhluk-Nya.

Jika semua itu Anda lakukan semata-mata karena Allah, maka itulah saatnya Anda mencapai kebahagiaan spiritual. Hidup Anda tidak lagi egoistik dan sosialistik. Melainkan sudah spiritualistik, menjadi wakil Allah di muka bumi. Persis seperti fitrah Anda saat diciptakan-Nya: sebagai khalifatu fil ardhi ~ ’wakil Allah di muka bumi’. Dengan misi utama, membawa tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin.

Apakah balasan terbaik untuk orang yang berbuat demikian? Tidak ada lain, ialah kebahagiaan yang tiada putus-putusnya. Di dunia maupun di akhirat. Allah selalu mendampingi dan menolongnya di setiap langkah kehidupannya. Telah dia abdikan dirinya kepada Allah, maka tidak perlu diragukan lagi Allah akan menyiapkan segala kebaikan dan kebahagiaan untuknya..!

QS. Muhammad (47): 7
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (dimana pun kamu berada).

QS. Fush shilat (41): 8
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan banyak mengerjakan amal kebajikan mereka akan mendapatkan pahala (kebahagiaan) yang tiada putus-putusnya" (di dunia maupun di akhirat).


Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
oleh Agus Mustofa pada 15 Februari 2011 jam 20:56


Selasa, 15 Februari 2011

BISAKAH KITA HIDUP BAHAGIA? JAWABNYA: BISA!

oleh Agus Mustofa pada 14 Februari 2011 pukul 8:38

Rupanya hidup bahagia semakin langka. Sehingga tidak sedikit yang bertanya: bisakah kita mencapai hidup bahagia? Sebuah pertanyaan yang mencerminkan sikap pesimistik dalam mencapai kebahagiaan hidup. Atau jangan-jangan malah menggambarkan sikap apatis alias keputusasaan.

Sebagian orang lagi menaruh harapan dengan mengatakan, meskipun tidak bisa memperoleh kebahagiaan di dunia mereka bakal memeroleh kebahagiaan di akhirat. Yang ini, menggambarkan sikap orang yang terlalu PeDe, seakan-akan dia sudah pasti akan menjadi penghuni surga. Jangan-jangan yang terjadi adalah tidak kedua-duanya. Di dunia tidak bahagia, di akhirat pun tidak masuk surga... :(

Disinilah pentingnya kita memahami ajaran Islam secara utuh, substansial dan praktis. Bukan hanya teoritis. Karena sesungguhnyalah kebahagiaan itu bisa diperoleh di dunia dan di akhirat secara simultan. Tentu saja, kita harus membenahi dulu pemahaman kita tentang makna bahagia. Bahwa bahagia bukanlah terpenuhinya segala keinginan, karena sudah pasti keinginan kita tidak akan pernah terpenuhi semuanya.

Kebahagiaan juga bukan hidup ’tenang-tentram’ tanpa masalah, karena sesungguhnya hidup ini adalah aliran masalah setiap hari. Dan, bahagia pun bukanlah datangnya cinta dari semua orang, sebab hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin disebabkan adanya perbedaan kepentingan. Kebahagiaan adalah akumulasi kenikmatan dari sejak bangun tidur sampai tidur kembali. Juga sejak lahir sampai mati. Bahkan sejak di dunia sampai di akhirat kelak.

Kebahagiaan ’tidak perlu’ dan ’tidak bisa’ dikejar. Apalagi dengan materi. Semakin dikejar, dia akan semakin menjauh. Kebahagiaan muncul sebagai anugerah bagi orang-orang yang bersikap baik terhadap kehidupan. Yang bersikap jahat kepada kehidupan, meskipun serba berkecukupan secara materi, tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Justru penderitaan.

Adalah salah besar orang-orang yang berpendapat kebahagiaan adalah identik dengan uang, misalnya. Dia pasti orang yang belum punya uang. Atau setidak-tidaknya, belum lama punya uang. Atau, terjebak kepada ’kesenangan’ terhadap uang. Dan mengira dengan uang itu ia bisa membeli segala-galanya.

Seperti telah saya sampaikan, kawan saya yang sudah memiliki ’segala-galanya’ pun ternyata hanya menemukan ’kekosongan hidupnya’ justru setelah sampai di puncak 'kesuksesannya'. Ternyata kebahagiaan bukan terkait secara langsung dengan kesuksesan meraih hal-hal yang bersifat material.

Sebanyak apa pun uang yang dimiliki seseorang tidak akan bisa ’membeli’ nikmatnya makan, ketika sikap hatinya salah. Juga tidak bisa 'membeli' nikmatnya minum. Atau pulasnya tidur. Atau, teduhnya kasih sayang. Atau, damainya persahabatan. Atau, harmonisnya rumah tangga. Dan berbagai sumber-sumber kenikmatan lainnya. Banyak sekali orang yang tidak merasakan kebahagiaan dalam hidupnya, ketika punya banyak uang. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang bahagia justru ketika dia tidak punya uang, tetapi bisa ’berdamai’ dengan masalahnya.

Ini menjadi bukti keadilan Allah dan ajaran Islam. Bahwa kebahagiaan ternyata bukan hanya milik orang-orang kaya, para penguasa, tokoh-tokoh terkemuka, dan sejumlah elit tertentu saja. Banyak orang kaya raya dan 'mapan' hidupnya, setiap hari pekerjaannya ’memegangi kepala’ karena dipusingkan oleh berbagai masalah. Sebaliknya, banyak rakyat jelata yang seperti ’tidak punya’ apa-apa setiap hari tergelak dalam tawa bahagia.

Cobalah tengok sejarah, kapankah Rasulullah mengatakan: baiti jannati ~ rumahku adalah surgaku? Apakah saat beliau kaya raya sebagai bangsawan dan hartawan di Mekah, atau saat beliau menjadi Rasul di Madinah yang rumahnya sangat sederhana? Ternyata, justru ketika beliau sudah hidup apa adanya secara sederhana. Itu menunjukkan bahwa surga dunia bukan terletak di harta benda, melainkan di sikap hati yang berdamai dengan setiap masalah.

Dan, itu sekaligus, membuktikan bahwa ’surga’ kebahagiaan bisa diraih sejak masih di dunia. Tidak perlu biaya. Hanya dengan mengubah mindset beserta akhlak mulia yang diterapkan dalam kehidupan nyata. Bukan hanya yang bersifat teoritis, misalnya dengan mengatakan: ’jika Anda dekat dengan Allah maka segalanya akan beres’. Memang, tetapi harus ada penjabaran praktis, bagaimanakah yang dimaksud dekat dengan Allah itu. Kita sih sudah yakin seyakin-yakinnya, jika seseorang telah dekat dengan-Nya, segala persoalan bakal beres semua. Tetapi, bagaimana caranya? Karena beragama tidak terletak di tataran teori melainkan pada tataran praktek.

Akhlak Rasulullah dipuji-puji Allah di dalam al Qur’an. Dan akhlak itu pula yang mengantarkan Rasulullah memperoleh surga: dunia maupun akhirat. Ada beberapa akhlak mulia yang jika diterapkan bakal mengantarkan setiap manusia kepada surganya. Dan ini menjadi landasan utama setiap pribadi yang mengaku dirinya Islam.

Yang pertama adalah sikap sabar. Orang sabar adalah kandidat penerima kebahagiaan. Menurut al Qur’an, ’sabar’ itu bermakna dua. Yakni: tidak tergesa-gesa dalam melakukan segala hal dan tahan uji ketika menghadapi masalah. Orang yang seperti ini akan memeroleh nikmat yang luar biasa, baik dalam prosesnya maupun hasil akhirnya.

Orang yang sabar selalu bersikap tenang dalam menyikapi segala masalah. Bukan ditenang-tenangkan. Bukan pula disabar-sabarkan. Melainkan paham betul, bahwa orang sabar memang selalu ’didampingi’ Allah dalam mencari solusi. Ia pun telah melihat bukti, bahwa kesabaran selalu membuat dia bisa mengontrol diri untuk tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan, dan jernih dalam memandang persoalan. Orang yang demikian menjadi sangat kuat jiwanya, dan nikmat hidupnya. Tidak ada gelombang sebesar apa pun yang bisa menggoyahkannya.

QS. Al Baqarah [2]: 155
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,

QS. Al Baqarah [2]: 153
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Yang kedua adalah orang yang ikhlas. Semakin ikhlas seseorang dalam menjalani kehidupan, semakin nikmatlah hidupnya. Sayang, keikhlasan juga tidak bisa dipaksakan. Keikhlasan hanya bisa diperoleh dengan kepahaman dan latihan. Hanya orang-orang yang sudah makan asam garam kehidupan saja yang bisa menjalani hidupnya dengan penuh keikhlasan. Selebihnya, hanyalah teori keikhlasan. Atau, kadang-kadang diikhlas-ikhlaskan alias terpaksa ikhlas.

Tapi, keikhlasan itu sebenarnya seperti apa? Seringkali kita tahu jawabnya, tetapi tidak tahu prakteknya. Secara teoritis kita akan menjawab begini: ikhlas itu adalah berbuat tanpa pamrih, karena Allah semata. Lillahi taala. Tetapi, sebenarnya kita juga 'tidak tahu' bagaimana penerapan dari kalimatlillahi taala itu. Apa cukup dengan mengatakan: ’’semua ini saya lakukan karena Allah’’...?

Al Qur’an dengan sangat indah menceritakan secara sederhana, bahwa Ikhlas yang benar-benar lillahi taala itu adalah ketika kita bisa meniru perbuatan Allah. Berbuat kebajikan kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat kebajikan kepada kita. Menolong orang lain sebagaimana Allah menolong kita. Mencukupi orang lain sebagaimana Allah mencukupi kita. Membahagiakan orang lain sebagaimana Allah telah membahagiakan kita.

QS. Al Qashash [28]: 77
’’...berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu...’’

Konkretnya, ketika seseorang merasa telah diberi rezeki oleh Allah, maka ia lantas menjadi ingin menolong orang lain dengan rezeki itu. Saat dia merasa telah diberi kekuasaan oleh Allah maka dia bakal memanfaatkan kekuasaannya untuk kemaslahatan orang lain. Pada waktu ia merasa telah banyak diberi ilmu oleh Allah, maka ia memberikan ilmu yang bermanfaat untuk orang lain. Dan seterusnya.

Setiap saat, yang ada di hatinya adalah rasa ’berkelimpahan’ karena telah menerima demikian banyak karunia Allah dalam hidupnya. Dan lantas, ia menularkan perasaan itu kepada orang lain sebagai bentuk rasa syukur, dengan memberikan apa saja yang telah ia miliki untuk orang yang membutuhkan.

Hidup orang ini sungguh bahagia, karena dia menerima dua sumber kebahagiaan sekaligus. Yang pertama, ia menerima kebahagiaan dari perasaan syukurnya. Rasa keberlimpahannya. Persis seperti firman Allah dalam

QS. ‘Ibrahim [14]: 7
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.

bahwa barangsiapa bersyukur maka Allah akan menambahkan nikmat kepadanya. Dan, yang kedua, dia akan memperoleh kebahagiaan karena bisa menolong orang lain yang sedang membutuhkan. Praktek akhlak semacam ini akan memberikan efek yang sangat sangat riil, dan membuat jiwa seseorang menjadi berbunga-bunga.

Keikhlasan yang seperti ini pula yang bakal melipatgandakan efek kesabaran. Orang-orang yang bisa menjalankan kesabaran sekaligus ikhlas, nikmatnya luar biasa. Kesabaran memberikan kekuatan dan kejernihan. Sedangkan keikhlasan menghasilkan rasa lapang dalam kehidupan. Dua sifat itu adalah sebagian dari akhlak mulia yang bakal mengantarkan seorang muslim memeroleh kebahagiaannya..!

Selanjutnya, bagaimanakah langkah-langkah operasionalnya. Bagaimana pula peran ikhtiar dan takdir dalam meraih kebahagiaan? Mmm.., kayaknya kita bahas di note berikutnya aja ya...?!

Wallahu a’lam bishshawab

~ salam ~

Minggu, 13 Februari 2011

ANTARA KESENANGAN, KENIKMATAN & KEBAHAGIAAN ~ APA YANG KAU CARI (3)

Ada tiga tingkatan kebahagiaan manusia. Yang pertama adalah kesenangan. Yang kedua, kenikmatan. Dan yang ketiga, kebahagiaan. ’Kesenangan’ bersifat materi. ’Kenikmatan’ terkait dengan menata hati. Dan ’kebahagiaan’ adalah perasaan nikmat yang terus menerus kita alami.

Contoh konkretnya begini. Jika kepada Anda diajukan sebuah pertanyaan: ’’SENANG manakah Anda, mobil yang berharga Rp 100 juta dengan mobil yang berharga Rp 1 miliar?’’ Maka, hampir bisa dipastikan jawaban Anda akan seragam, yakni menyenangi mobil yang berharga Rp 1 miliar. Karena, ia ’menjanjikan’ kenikmatan yang sudah Anda bayangkan.

Tetapi, ketika mobil itu sudah Anda miliki, dan kemudian pertanyaannya diganti begini: ’’NIKMAT manakah naik mobil yang Rp 100 juta ataukah yang Rp 1 miliar?’’ Tiba-tiba jawaban Anda berbeda-beda. Ada yang masih menjawab: ’’nikmat yang Rp 1 miliar’’. Tetapi, ada pula yang menjawab: ’’nikmat yang Rp 100 juta, karena tidak punya hutang kredit mobil’’. Ada pula yang memberikan jawaban:’’bergantung...’’.

Cobalah perhatikan, ketika ditanya tentang ’kesenangan’ jawabannya seragam, seiring dengan ’kualitas materi’ yang ditawarkan. Tetapi, ketika ditanya tentang ’kenikmatan’, jawabannya beraneka ragam seiring dengan ’kualitas hati’ masing-masing. Ya kesenangan bersifat obyektif, sedangkan kenikmatan bersifat subyektif.

Anda pasti bisa membayangkan, betapa ’tersiksanya’ orang yang baru memiliki mobil seharga Rp 1 miliar. Tiap hari dia kepikiran terus. Mau parkir di tempat sembarangan ragu-ragu, takut ada anak-anak yang main corat-coret di bodi mobil. Mau bepergian ke tempat ramai tidak berani, takut kebaret atau terserempet. Mau mengajak anak-anak atau keponakan, takut jok mobilnya kotor. Dan seterusnya. Orang yang demikian berhasil memeroleh kesenangan, tetapi gagal memeroleh kenikmatan. Sementara, orang yang naik mobil lebih murah, hatinya tenang-tenang saja dalam mengendarai mobilnya. Dan bisa menikmatinya dengan tanpa beban.

Pertanyaan senada, bisa kita ajukan dengan obyek yang berbeda. Misalnya, ditanyakan kepada Anda: lebih SENANG manakah punya istri yang cantik ataukah yang sedang-sedang saja? Jawabannya, kurang lebih seragam: pilih yang cantik. Tetapi, ketika pertanyaannya diganti: lebih NIKMAT manakah punya istri yang cantik ataukah sedang-sedang saja, jawabannya bisa: bergantung...! Kalau punya istri cantik tapi menjengkelkan dan bikin masalah terus, ya lebih baik yang sedang-sedang saja tapi menentramkan... :)

Pertanyaan lain lagi: lebih SENANG manakah Anda, makan di hotel bintang lima atau di kaki lima? Barangkali jawabannya cenderung seragam lagi, yakni: bintang lima. Tetapi, ketika ditanya soal kenikmatan jawabannya pasti beragam. Sangat boleh jadi, banyak diantara kita yang lantas mengatakan: lebih NIKMAT di kaki lima..!

Maka, jangan keliru memilih ’kesenangan’. Yang harus dipilih adalah KENIKMATAN. Kesenangan bisa cepat hilang seiring dengan rusaknya materi, sedangkan ’kenikmatan’ akan bertahan lama seiring dengan bagaimana Anda menyikapi. Al Qur’an sendiri menyebut ’kesenangan’ sebagai ’tipuan’. Dan menyebut ’kenikmatan’ sebagai suatu ’anugerah’.

QS. Al Hadiid (57): 20
...dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

QS. Ash Shaaffaat (47): 148
Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.

’Kesenangan’ bagaikan fatamorgana yang tidak akan pernah terpuaskan. Karena yang berada di balik kesenangan adalah hawa nafsu. Dan Allah menegaskan bahwa hawa nafsu tidak akan pernah terpuaskan, meskipun seluruh langit dan bumi rusak semua dikarenakan olehnya.

QS. Al Mukminuun (23): 71
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti rusaklah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya...

Sementara itu, yang berada di balik kenikmatan adalah 'keimanan', sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. Maka, yang diajarkan agama bukanlah mencari kesenangan, melainkan memperoleh kenikmatan. Itulah yang kita baca setiap hari di dalam shalat: ’’ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ’alaihim ~ ’’tunjukilah kami jalan yang lurus, jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat...’’

Kenikmatan bukan untuk dikejar, melainkan untuk diterima sebagai anugerah. Semakin dikejar, ia semakin menjauh. Karena, sebenarnya kenikmatan bukanlah ’tujuan’, melainkan reward alias ’hadiah’. Ia adalah pemberian Allah kepada orang-orang yang bisa ’menata’ hatinya. Bukan kepada orang-orang yang ’meliarkan’ hatinya.

Karena itu, yang diajarkan Allah kepada kita bukanlah meminta kenikmatan melainkan memohon ditunjuki ’jalan yang lurus’ ~ shirathal mustaqim. Kalau sudah berada di jalan yang lurus, insya Allah kenikmatan akan datang sendiri sebagai anugerah. Ia hanya dampak saja dari sesuatu yang kita lakukan, sesuai dengan fitrah keilahian yang ada di dalam diri kita. Kenikmatan bukan bergantung kepada benda, melainkan kepada proses. Cara beragama yang baiklah yang bakal melahirkan kenikmatan, bukan sekedar hasilnya.

Ketika cara-cara beragama sudah dilakukan secara benar dan substansial, kenikmatan akan berdatangan dengan sendirinya. Nah, kenikmatan yang datang terus menerus itulah yang akan melahirkan kebahagiaan. Bangun tidur nikmat, mandi nikmat, sarapan pagi nikmat, bekerja nikmat, bertemu sahabat-sahabat nikmat, ibadah-ibadahnya nikmat, dan seterusnya sampai tidur kembali nikmat. Itulah orang yang hidupnya bahagia. Dan itu sangat terkait dengan cara serta kemampuan kita dalam menata hati, bukan sekedar keberhasilan memperoleh materi.

Sebaliknya, ada orang yang hidupnya penuh dengan ’penderitaan’ karena tidak bisa menata hati. Bangun tidur mengeluh, masuk kamar mandi mengomel, sarapan pagi memprotes, ketemu jalanan macet mengumpat, bekerja merasa tertekan, beribadah karena terpaksa, ketemu kawan bertengkar, dan seterusnya dan sebagainya, sampai tidur kembali hidupnya penuh dengan masalah. Jika ditambah lagi dengan keserakahan, kompletlah hidup orang itu dengan penderitaan... :(

Lantas, bagaimanakah cara praktis memeroleh kebahagiaan itu..?
Ternyata kebahagiaan hanyalah milik orang-orang yang bisa menjalani hidupnya dengan akhlak tinggi. Kok bisa, bagaimana penjelasannya? Tentu saja baca note berikutnya... :)
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 12 Februari 2011 pukul 9:44


Sabtu, 12 Februari 2011

MENCARI KESENANGAN ATAUKAH KEBAHAGIAAN ~ APA YANG KAU CARI (2)

Banyak orang yang belum bisa membedakan antara ’senang’ dan ’bahagia’. Padahal, sudah sangat jelas bahwa orang yang mengejar kesenangan belum tentu bisa memeroleh kebahagiaan. Meskipun, juga bisa saja memperoleh kedua-duanya dalam sekali usaha. Kesenangan adalah urusan materi, sedangkan kebahagiaan adalah urusan psikologi.

Kita bisa saja senang pada mobil, tetapi belum tentu mobil itu bisa membahagiakan kita. Kita bisa juga senang kepada rumah, jabatan, karier, istri, suami, anak, teman, popularitas, dan lain sebagainya. Tetapi, semua kesenangan itu tidak menjamin hidup kita bahagia. Banyak sekali orang yang sudah menggapai semua yang diinginkan dan disenanginya, tetapi hidupnya tidak bahagia.

Hidupnya seperti mengejar fatamorgana. Semua yang ada di luar dirinya dianggap sebagai sumber kesenangan. Tetapi setelah sampai pada apa yang diinginkannya, dia tidak menemukan apa yang diharapkannya. Membosankan. Dan biasanya, hanya bertahan beberapa minggu atau beberapa bulan saja. Setelah itu, dia bakal mengejar lagi sesuatu yang belum didapatkannya. Mobil tetangga selalu tampak lebih bagus. Rumah tetangga selalu kelihatan lebih mewah. Istri tetangga selalu terkesan lebih cantik.

Saya punya seorang kawan yang sudah memiliki ‘segala-galanya’. Dia orang yang sukses dalam bisnis. Sukses juga berumah tangga. Istrinya cantik, anak-anaknya baik, lulusan luar negeri semua, sudah berkeluarga dan memberinya cucu yang lucu-lucu. Teman dan koleganya sangat banyak. Mobil dan rumahnya beberapa. Karyawannya puluhan ribu. Entah, apalagi yang belum dia punyai. Tetapi hidupnya gelisah.

Suatu ketika dia menelpon saya untuk mengajak diskusi tentang agama. Padahal dia non muslim. Dia ingin menumpahkan kegelisahan hidupnya. Dia merasa ada sesuatu yang belum dia dapatkan. Padahal, dulu dia mengira semua yang kini telah dicapainya itu adalah sumber segala kebahagiaan yang ingin diraihnya. Ternyata tidak.

Setelah semua itu diraihnya, ia malah merasakan kekosongan dalam hidupnya. Masih mending dulu, sebelum semua itu diraihnya, ia masih memiliki ‘harapan’ untuk memperoleh semua yang dianggapnya sebagai sumber kebahagiaan. Kini setelah semua itu diperolehnya, ia malah kebingungan sendiri mau mengejar apa. Dia benar-benar tidak tahu, apakah yang menyebabkan rasa ’kosong’ di dalam jiwanya.

Dia baru menyadari bahwa apa yang dia peroleh itu ternyata bukan sumber kebahagiaan. Melainkan sekedar sumber kesenangan. Dia senang mobil-mobil bagus, dan sudah mendapatkannya. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, dia merasa semua itu menjadi biasa kembali. Tak ada yang istimewa. Kesenangan terhadap mobil itu dia rasakan hanya beberapa saat setelah dia bisa mencapai apa yang diinginkannya. Setelah itu, tak ada beda dengan sebelumnya.

Dia lantas membeli mobil lebih bagus, lebih mahal, dan lebih mewah. Namun, perasaan itu muncul lagi. Dilakukan lagi, begitu lagi. Diulang lagi, bosan lagi, diulang lagi bosan lagi, begitu seterusnya. Sampai akhirnya, ia tak ingin memperoleh kesenangan dari mobil lagi, karena ternyata hanya ’begitu-begitu’ saja.

Rumah yang dulu dikiranya bisa membahagiakan, juga memberikan suasana batin yang sama kepadanya. Mulai dari rumah kecil yang dimilikinya, sampai kini memiliki rumah besar dan mewah di tengah kota Surabaya. Masih ditambah sejumlah hotel dan tempat hiburan terkenal, semua itu tak kunjung membahagiakannya. Dia malah merasa lebih bahagia saat muda. Ketika, ia baru bisa membeli sebuah rumah kecil, setelah sekian lama bercita-cita. Kini, rumahnya besar dan mewah, tetapi rasa bahagianya kalah dengan waktu muda itu.

Untuk mengejar kebahagiaan ia bahkan sempat bertualang dengan wanita, meskipun dia punya isteri yang sah. Dia bisa memperolehnya kapan saja, dimana saja, karena dia mendirikan tempat-tempat hiburan untuk itu. Tetapi kesimpulan yang dia peroleh sama. Begitu-begitu saja. Membosankan dan malah memunculkan masalah. Akhirnya dia bingung sendiri, tentang apa yang sedang dia cari dalam hidup ini. Padahal usianya sudah tidak muda lagi, yakni 68 tahun. Dia merasa sudah hampir sampai waktu menutup usia, tetapi belum menemukan apa yang dia cari.

Ya, dia sudah sampai di FATAMORGANA. Dia sudah membuktikan bahwa semua yang dia bayangkan ternyata adalah SEMU belaka. Hanya orang-orang yang belum sampai di fatamorgana itulah yang mengatakan bahwa semua yang didapatkannya itu sebagai kesuksesan yang membahagiakan.

Menurutnya, hanya orang yang belum kaya saja, yang menganggap kekayaan itu sebagai sebuah kebahagiaan. Hanya orang yang belum berkuasa saja yang menganggap kekuasaan sebagai sumber kebahagiaan. Hanya orang yang belum ‘memiliki’ saja, yang menganggap ‘kepemilikan’ itu sebagai kebahagiaan. Persis seperti sebuah fatamorgana yang dikiranya air, ternyata setelah sampai disana ia tidak menemukan air itu. Justru, ia selalu melihat air berada di kejauhan pandangannya..!

‘’Oh, apakah kebahagiaan itu..?!’’ keluhnya.

Dari beberapa silang sengkarut pendapat tentang ’bahagia’, ada beberapa pendapat yang dikemukakan. Yang pertama, ada orang berpendapat bahwa kebahagiaan adalah ketika semua kebutuhan dan keinginan kita tercapai? Tetapi, benarkah kita bisa memperoleh semua yang kita inginkan? Bukankah begitu banyaknya keinginan kita yang tidak bisa kita capai, karena berbagai alasan?

Sehingga, kalau kebahagiaan itu didefinisikan sebagai ‘terpenuhinya segala keinginan’, sudah bisa dipastikan tidak akan ada seorang pun yang bakal bisa mencapai kebahagiaan..! Karena pada kenyataannya tidak ada orang yang bisa memenuhi segala keinginannya. Keinginan manusia selalu bertumbuh, sampai menjadi jauh lebih besar dari alam semesta sekalipun.

Yang kedua, ada yang berpendapat bahwa kebahagiaan adalah ketika kita bisa hidup tenang dan tentram. Tapi bisakah kita hidup tenang dan tentram itu? Terhindar dari semua masalah yang melingkupi hidup kita? Bukankah hidup ini adalah aliran masalah? Mulai bangun tidur sampai tidur kembali, masalah selalu berdatangan. Mulai dari masalah kesehatan, rezeki, keluarga, tetangga, masyarakat dan negara.

Sehingga kalau kebahagiaan didefinisikan sebagai hidup tenang dan tentram bebas dari masalah, sepertinya tidak akan ada orang yang bisa hidup bahagia..! Sudah pasti, selama kita masih hidup di dunia masalah akan selalu datang untuk dicarikan solusinya.

Yang ketiga, ada juga yang berpendapat bahwa hidup bahagia adalah ketika kita dicintai oleh semua orang yang ada di sekitar kita. Oh, lagi-lagi kita tidak akan bisa memperolehnya. Mana mungkin kita dicintai oleh semua orang, karena sesungguhnya hidup ini penuh dengan perbedaan kepentingan..!

Lantas, apakah itu ‘bahagia’? Dan bagaimana memperolehnya..?!

QS. Al Hadiid (57): 20
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 11 Februari 2011 pukul 9:09


Jumat, 11 Februari 2011

BIARKAN HIDUP SEPERTI AIR MENGALIR? ~ APA YANG KAU CARI (1)

Seorang kawan saya mengatakan: ’’biarkanlah hidup ini menggelinding seperti roda. Saya akan ikuti kemana saja ia bergerak’’. Kawan yang lain mengatakan: ’’hidup adalah seperti aliran air, maka biarkan saja kemana ia mengalir?’’

Saya setuju, tapi hanya sebagian saja. Sebagiannya lagi saya tidak sependapat. Memang, kalau kita rasa-rasakan, hidup ini seperti sebuah gerakan atau aliran yang memiliki arah tertentu. Tetapi, kita tidak boleh membiarkan saja kemana ia bergerak. Kalau Anda punya roda sedang menggelinding, maka Anda tidak boleh membiarkan saja kemana ia bergerak menggelinding. Harus diarahkan. Kalau tidak, bisa membahayakan. Misalnya, kecemplung jurang.

Demikian pula aliran air. Saya setuju air sudah punya arah untuk mengalir, yakni ke bawah. Tetapi, jangan biarkan aliran air itu bergerak semau-maunya. Bisa-bisa membawa korban jiwa. Dan, kita tidak bisa mengambil manfaat darinya. Padahal kalau aliran air itu dikelola dengan baik, ia akan memberikan manfaat yang besar buat kehidupan manusia. Bisa untuk minum, mandi, memasak, mencuci, dan sebagainya, sampai membangkitkan tenaga listrik.

Maka, menurut saya kurang bijak kalau kita hanya mengikuti aliran kehidupan tanpa mengelolanya dengan baik. Justru disinilah bedanya manusia dengan binatang dan tumbuhan. Kita diberi akal untuk memanfaatkan segala potensi yang ada di sekitar kita.

Itulah kenapa Adam sebagai nenek moyang manusia modern diberi akal dan ilmu pengetahuan oleh Allah. Karena, ia dan anak cucunya disuruh MENGELOLA bumi. Mengelola kehidupan. Justru nilai utama seorang manusia adalah pada kemampuannya untuk mengelola kehidupannya. Yang bisa mengelola hidupnya, akan memperoleh pahala besar. Sedangkan yang gagal mengelola hidupnya akan memperoleh penderitaan.

Maka, segala yang diciptakan Allah di muka Bumi ini disediakan Allah bagi manusia untuk dikelola dengan baik. Mulai dari udara, sinar matahari, air, pepohonan, binatang, dan berbagai sumber daya alam. Termasuk segala peristiwa yang menyertainya.

QS. Al Baqarah (2): 29
Dia-lah Allah, yang menjadikan SEGALA yang ada di bumi UNTUK KAMU dan Dia berkehendak menuju langit (atmosfer), lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Nah, setelah ayat diatas, barulah Allah menyusulinya dengan ayat di bawah ini, yaitu yang bercerita tentang misi manusia diciptakan di muka bumi: sebagai khalifah alias PENGELOLA kehidupan planet biru yang indah ini.

QS. Al Baqarah (2): 30
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (pengelola) di muka bumi"...

Maka, keberadaan seorang manusia di bumi ini tidak bisa dipisahkan dari visi utamanya sebagai Sang Pengelola. Dan, tanggungjawab setiap diri adalah pada seberapa besar dia telah melaksanakan tugas untuk mengelola apa yang ada di sekitarnya. Yang itu berarti adalah mengelola hidupnya sendiri, untuk memberi efek pada tatanan kehidupan masyarakat bumi secara global. Itulah yang disebut al Qur’an sebagai tatanan masyarakat yang rahmatan lil alamin.

Jadi, menurut saya, adalah sebuah kesalahan besar jika ada seorang muslim yang mematok hidupnya sebagai air mengalir atau roda menggelinding, tanpa berusaha untuk mengelola gerakan atau aliran itu. Hasilnya bukan manfaat, tetapi malah membawa banyak mudharat. Kalau, ’roda’ itu melindas dan mencelakakan orang lain maka Anda akan dimintai pertanggungjawabannya. Demikian pula jika ’aliran air’ yang tidak kita kelola itu menjadi air bah yang menenggelamkan pemukiman, kita benar-benar akan ikut menanggung akibatnya.

Maka, adalah sangat jelas bagi seorang muslim untuk memenejemeni hidupnya. Bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan supaya bermanfaat buat orang banyak. Bukan hanya untuk hari ini, melainkan untuk hari esok. Dan bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat kelak...

QS. Al Hasyr (59): 18
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri MEMPERHATIKAN apa yang telah DILAKUKANNYA untuk (memperoleh sukses) hari ESOK, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 10 Februari 2011 pukul 10:09