Berikut ini adalah cuplikan dari
buku DTM-35 yang baru terbit. Ada beberapa kasus yang saya angkat di Bab 2, diantaranya
adalah pembahasan tentang substansi realitas alam semesta dalam sudut pandang Theis
dan Atheis. Semoga bermanfaat.
KASUS
PERTAMA: Substansi Materi.
Ribuan tahun para ahli Fisika
mencoba memahami eksistensi alam semesta. Mulai dari eksistensi benda, eksistensi
energi, eksistensi ruang, eksistensi waktu, dan eksistensi informasi. Hasilnya,
sampai sekarang masih jauh dari kata ‘final’.
Apakah yang disebut ‘benda’? Orang
dulu menyebut benda sebagai segala yang tampak oleh mata dan atau bisa dipegang
oleh tangan kita. Begitulah sederhana definisinya. Maka, kita bisa menyebut segala
yang kita namai benda itu, mulai dari bebatuan, pepohonan, pegunungan, air, udara,
sampai benda-benda langit nun jauh disana.
Seiring dengan kemajuan sains,
manusia mulai mempertanyakan, apakah substansi benda itu. Apakah ia berupa ‘gumpalan’
seperti yang kita lihat, ataukah tersusun dari substansi yang lebih mendasar. Maka,
mulailah berkembang berbagai penelitian yang menghasilkan teori-teori ilmiah untuk
mendefinisikan benda atau materi secara lebih substansial.
Bahwa, ternyata semua benda tersusun
dari gumpalan-gumpalan yang lebih kecil yang masih memiliki sifat sama dengan gumpalan
besarnya. Maka, disebutlah ia sebagai molekul. Ada molekul air, molekul udara, molekul
bebatuan, dan sebagainya.
Lebih jauh, molekul-molekul itu
ternyata juga tersusun dari bagian lebih kecil, yang lebih mendasar, yang disebut
sebagai atom, berasal dari kata Yunani atomos yang bermakna
tidak bisa dibagi lagi. Di tingkat atom ini para peneliti menemukan sifat lebih
mendasar yang bisa berbeda dengan gumpalan benda asalnya. Bahwa benda alias materi
itu ternyata tersusun dari kumpulan ‘sesuatu’ yang berbeda-beda yang membentuk sebuah
komposisi khas. Air misalnya, ternyata adalah kumpulan atom hidrogen dan oksigen
dalam komposisi yang khas, yakni 2 atom Hidrogen dan 1 atom oksigen. Sehingga diformulasikan
sebagai H2O.
Kumpulan atom-atom itu membentuk
benda-benda dalam berbagai skala, mulai dari yang sederhana dalam bentuk molekul
unsur seperti Hidrogen, Oksigen, Nitrogen, Besi, Belerang, dan sebagainya sampai
persenyawaan kompleks seperti molekul gula, protein, lemak, kayu, bebatuan, minyak,
berbagai macam mineral, dan sebagainya.
Dalam skala molekul, manusia kini
sudah bisa ‘melihat’ dengan peralatan seperti mikroskop elektron atau teknik kristalografi
lainnya. Tetapi di skala atomik yang lebih kecil, pemahaman atas realitas benda
sudah sedemikian sulit, sehingga harus menggunakan permodelan lewat cara-cara tak
langsung. Meskipun pengamatannya sudah lebih dari dua ratus tahun.
Bentuk benda dalam skala atom,
hanyalah berupa kebolehjadian yang diteorikan belaka, dimana setiap permodelan bisa
menunjukkan hasil yang berbeda. Pendapat tentang bentuk atom itu berkembang terus
mulai dari model Atom Dalton (1803) yang menganggap atom sebagai bola pejal.
Lantas, disempurnakan oleh JJ
Thomson (1897) dengan mengatakan: atom adalah bola pejal yang bermuatan positif,
dan di dalamnya tersebar muatan negatif elektron. Perkembangan selanjutnya diperoleh
Rutherford (1911) yang mengajukan model, bahwa Atom terdiri dari inti atom yang
sangat kecil dan bermuatan positif, dikelilingi oleh elektron yang bermuatan negatif.
Lebih jauh, Niels Bohr (1913)
mengajukan model atom semacam tatasurya, yang intinya dikelilingi oleh elektron-elektron
pada lintasan-lintasan tertentu sebagai kulit atom atau tingkat energi.
Dan akhirnya, model atom modern
diajukan oleh Fisikawan Erwin Schrodinger (1926) berdasar teori kuantum. Ternyata,
model ini tetap tidak bisa memberikan kepastian bentuk atom. Karena mesti dijelaskan
dengan menggunakan mekanika kuantum, yang bertumpu pada ‘teori ketidak-pastian’
Heisenberg.
Bahwa, atom adalah penyusun benda
paling kecil yang berisi inti positif dengan dikelilingi oleh awan elektron bermuatan
negatif, dimana posisinya tidak bisa ditentukan secara tepat. Jadi, teori modern
malah semakin mengukuhkan ketidakpastian bentuk atom.
Dengan kata lain, manusia tidak
bisa menentukan secara persis bentuk benda dalam skala atom. Apalagi di bagian-bagian
yang lebih kecil lagi, kondisinya menjadi sedemikian abstrak. Dan, kemudian hanya
berkutat pada simbol-simbol belaka, tanpa bisa menyaksikan sosoknya.
Jadi, kenyataannya, manusia tidak
bisa melihat atom. Juga tidak bisa melihat inti maupun elektron yang berputaran
di sekelilingnya itu. Tapi kenapa kita percaya akan keberadaannya? Ya, karena kita
bisa melihat efeknya. Bisa merasakan ‘hasil perbuatannya’. Sehingga, kita mengatakan
ia ‘ada’.
Tetapi, kalau kemudian ada yang
meminta bukti, dengan mengatakan: ‘’mana itu
yang disebut atom? Tolong tunjukkan bukti keberadaannya secara kasat mata kepada
saya.’’ Seseorang mungkin hanya akan garuk-garuk kepala.
Karena dia tidak bisa menunjukkan langsung bendanya. Kecuali hanya ‘sifat-sifat’
yang terpantul dari berbagai peristiwa yang terjadi padanya.
Jadi, bagaimana cara membuktikan
keberadaan atom-atom yang tak bisa dijangkau oleh indera manusia itu? Ya, selidiki
dan simpulkan saja ‘bekas-bekas’ keberadaannya dalam berbagai peristiwa. Karena,
dijamin, Anda tidak akan bisa melihatnya. Kalau kemudian itu ditanggapi dengan skeptis
bahkan nggak percaya, bahwa
jejak-jejak itu mewakili ‘keberadaannya’, ya sudah. Mau diapakan lagi, wong pemahamannya
memang baru segitu.
Nah, yang demikian ini semakin
kritis pada wilayah yang semakin halus. Misalnya pada tingkat partikel-partikel
subatomik seperti elektron, proton, neutron bahkan neutrino, dimana jejak-jejaknya
semakin samar untuk dilacak. Apalagi bentuknya.
Para ilmuwan, selain menggunakan
perangkat ilmiah, lantas menggunakan perangkat ‘keimanan’ dalam melacak keberadaan
partikel-partikel tersebut. Jika mereka skeptis dan tidak percaya akan keberadaannya,
mereka bakal betul-betul tidak menemukannya. Asumsinya harus dimulai dari rasa percaya
terlebih dahulu. Dan ‘berharap’ bisa bertemu dengannya. Barulah dikerjakan penelitian
ilmiahnya.
Kalau kemudian ada yang menyebut
ini menyalahi metode ilmiah, dan tidak bisa menerima, ya silakan saja. Bahwa, proses
ilmiah kok dimulai dengan
‘mempercayai’ sesuatu yang belum terbukti. Dan, bahkan ‘berharap’. Ini sikap yang
‘diharamkan’ oleh para penganut skeptisisme.
Tetapi itulah yang terjadi pada
proses penemuan-penemuan ilmiah selama ini. Bahwa asumsi ternyata seringkali dimulai
secara ‘tidak ilmiah’ terlebih dulu, agar memperoleh ‘kebenaran ilmiah’ di fase
selanjutnya. Bagaimana bisa menemukan sesuatu, kalau ia tidak pernah percaya pada
sesuatu itu? Mereka hanya akan berputar-putar di dalam keragu-raguan dan skeptisisme.
Para peneliti tidak pernah meletakkan dasar skeptisisme dalam hidupnya. Mereka adalah
orang yang selalu positive thinking dan open
mind
dalam memahami dan menggali realitas.
Kenapa Stephen Hawking meragukan
keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta? Karena dia bukan peneliti. Dia hanya
teoritisi yang tidak mengamati langsung realitas ciptaan Tuhan yang membuat para
peneliti terkagum-kagum. Hawking hanya utak-atik simbol-simbol matematis di dalam
benaknya sendiri, di dalam persepsinya sendiri, yang sudah skeptis terhadap keberadaan
Allah. Tentu, dia tak bisa merasakan kehadiran-Nya.
Pertanyaan tentang substansi materi
bukan hanya berhenti di level partikel subatomik, tetapi telah menyentuh partikel
penyusun yang disebut sebagai quark. Semakin jelas, para peneliti tidak bisa ‘menangkap’
bentuknya, kecuali hanya bemain-main dengan ‘keimanan’ yang diilmiahkan.
Bahwa quark ini adalah partikel
paling dasar yang tidak bisa dipecah lagi. Bahwa ia berbentuk seperti pilinan energi.
Padahal, kita semua tidak tahu bentuk energi itu seperti apa. Karena, energi memang
bukanlah kuantitas yang berbentuk, melainkan sebuah kualitas. Jadi, bagaimana Anda
bisa ‘percaya’ dengan keberadaan penyusun paling dasar dari materi ini?
Hal itu mirip dengan sifat dualitas
elektron yang sangat ‘membingungkan’. Bahwa elektron memiliki sifat materi dan gelombang
sekaligus. Padahal, materi bukanlah gelombang, dan sebaliknya gelombang bukan materi.
Yang satu kuantitas, yang lainnya kualitas. Ini fakta ataukah opini? Dan, kenapa
Anda percaya saja? Para ilmuwan, akhirnya hanya bisa bersikap ‘beriman’ dengan mengatakan:
ya sudah kita terima saja realitas ini.
Pada level yang semakin halus
dari sebuah eksistensi, memang ‘fakta’ semakin tak bisa dibedakan dan dipisahkan
dengan ‘kepercayaan’ atau ‘keimanan’. Kenapa? Karena kita tidak memiliki perangkat
yang memadai untuk membuktikannya. Kecuali harus mencampurnya dengan kepercayaan,
bahkan harapan.
Orang-orang yang tak punya ‘kepercayaan’,
‘keimanan’ dan ‘harapan’ tidak akan pernah bisa ‘merasakan’ kehadiran eksistensi
yang sedemikian halus itu. Karena telah ada mental
block
yang menghalangi kecerdasannya terhadap realitas.
Begitulah Al Qur’an mengajari
kita untuk merasakan kehadiran Allah, Tuhan yang Maha Halus. Orang-orang yang tidak
memiliki kepercayaan dan harapan untuk bertemu dengan-Nya, tidak akan pernah bisa
membuktikan keberadaan-Nya. Karena, mereka tidak memiliki perangkat yang cukup untuk
‘merasakan’ kehadiran-Nya. Karena eksistensi-Nya jauh Lebih Halus dari eksistensi
apa pun yang sudah sedemikian halus itu. Karena Dia memang Dzat Yang Maha Halus.
QS.
Al An’aam (6): 103
Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan.
Dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
~ wallahu a'lam bishshawab ~
KASUS
KEDUA: Substansi Energi.
Tak jauh beda dengan kasus pertama,
pemahaman manusia terhadap energi mengalami perkembangan menuju substansi yang penuh
misteri.
Awalnya, manusia hanya merasakan
keberadaan ‘kekuatan’ yang berada di balik setiap benda dan peristiwa. Bahwa benda-benda
itu bisa bergerak dan berdinamika karena adanya dorongan kekuatan pada benda itu.
Maka, para peneliti pun mengeksplorasi sumber-sumber energi.
Mulai dari yang paling sederhana,
seperti energi yang terjadi pada benda yang sedang bergerak. Bahwa setiap yang bergerak
ternyata menghasilkan tenaga, meskipun ia juga membutuhkan tenaga. Misalnya, kuda
yang berlari akan menghasilkan tenaga, tapi ia juga mesti diberi sumber tenaga berupa
makanan. Kalau tidak diberi makanan, maka kuda itu pun tidak akan mempunyai tenaga
gerak.
Dari tenaga yang diberi nama energi
mekanik ini kemudian merambah ke segala jenis gerakan benda di sekitar kita, di
alam semesta. Manusia mempelajari berbagai gerakan benda-benda langit di alam makro,
dan kemudian juga mengamati gerakan-gerakan partikel di alam mikro, yang lantas
memunculkan teori-teori energi yang semakin kompleks. Seperti energi kimiawi, energi
listrik, energi magnetik, energi nuklir dan energi gravitasi.
Secara umum energi-energi itu
lantas dikelompokkan menjadi empat energi dasar alam semesta yang kita kenal sebagai
energi elektromagnetik, energi gravitasi, energi nuklir kuat dan energi nuklir lemah.
Energi-energi itu lantas menghasilkan gaya-gaya yang sesuai dengan energi penggeraknya,
yakni gaya elektromagnetik, gaya gavitasi, gaya nuklir kuat dan gaya nuklir lemah.
Dari manakah semua gaya itu bermunculan?
Kenapa kok bisa ada energi yang menghasilkan gaya yang menggerakkan dinamika alam
semesta? Sebab, tanpa adanya gaya-gaya itu, alam semesta ini sudah runtuh, tak sempat
terbentuk.
Tidak akan ada kuda yang berlarian.
Tidak ada gajah, macan, kijang, dan binatang-binatang yang berkejaran. Tidak ada
burung-burung yang berkicau. Tidak ada suara angin, ombak dan hujan. Tidak ada kehidupan.
Tidak ada gerakan. Tidak ada dinamika.
Bahkan tidak ada benda, tidak
ada ruang, tidak ada waktu, tidak ada apa-apa. Karena, semua itu terbentuk oleh
dinamika materi yang digerakkan oleh energi. Jadi energi adalah daya gerak yang
membuat alam semesta dengan segala peristiwanya ini terbentuk. Tanpa adanya energi
itu nothing would exist.
Jangankan di skala makrokosmos,
di skala mikro pun tidak akan ada partikel yang terbentuk. Padahal kalau tidak ada
partikel, berarti tidak ada atom, tidak ada molekul, dan tidak ada benda apa pun.
Sehingga planet-planet, matahari, galaksi dan benda-benda langit tidak akan pernah
ada.
Dari manakah energi itu bersumber,
dan faktor apa yang menyebabkannya menyumber atau bergerak? Karena tanpa ada inisiatif
awal, energi benda akan tetap tersimpan sebagai energi potensial yang tak menghasilkan
gerakan. Memang, setiap kali ada materi, di dalamnya tersimpan energi. Tapi, sekali
lagi, ia hanya akan tersimpan sebagai potensi. Dan baru akan berdinamika ketika
ada yang memunculkan ketidak-seimbangan awal.
Boleh saja Stephen Hawking mengasumsikan
seluruh dinamika alam semesta itu disebabkan oleh adanya ‘fluktuasi kuantum’, yang
secara acak lantas menggerakkan dinamika alam. Tetapi asumsi itu secara ilmiah cacat,
karena hanya bersifat ‘pesanan’ agar hasilnya tidak memunculkan ‘faktor Tuhan’.
Atau, setidak-tidaknya ‘kurang ilmiah’, karena sudah berbekal ‘keimanan’ dan ‘harapan’
dalam menentukan asumsi. Menolak eksistensi Tuhan yang dianggap ‘tidak ilmiah’,
dengan asumsi yang tidak ilmiah.
Lha
wong
ketika ditanya, dari mana atau apa yang menyebabkan terjadinya ‘fluktuasi kuantum’
itu, dia tidak bisa menjawab secara lugas, kecuali hanya mengatakan itu sebagai
efek keseimbangan hukum gravitasi yang sudah menjadi sifat alam semesta. Lagi-lagi
dia mengandalkan ‘keimanan’.
Padahal kita tahu, gravitasi baru
akan ada jika ada materi yang bermassa. Dan materi itu tidak bisa muncul dengan
sendirinya kalau tidak ada inisiatif awal yang memunculkannya. Hawking, menghindari
pertanyaan sulit ini dan tidak mau masuk ke dalamnya. Lantas, mendefinisikan alam
semesta sebagai sekedar ruang dan waktu tanpa mengutak-atik variable materi dan
energi. Tentu saja hasilnya sudah bisa ditebak..!
Begitulah proses yang terjadi,
sehingga menghasilkan kesimpulan yang sebenarnya ‘cacat bawaan’. Jika dikejar terus,
para atheis akan menjadi reaktif dan kemudian mengatakan kepada orang-orang beragama
sebagai memaksa mereka untuk mengakui keberadaan Tuhan. ‘’Setiap tidak bisa menjawab
fenomena alam, orang beragama selalu menyodorkan peran Tuhan. Dan selesai. Itulah
yang menyebabkan umat beragama menjadi bodoh. Yang semestinya dilakukan adalah ini:
lets do better science - mari belajar sains lebih baik,
agar menemukan jawabannya’’.
Ungkapan di atas adalah alasan
klise untuk menghindari faktor Tuhan. Padahal jawaban semacam itu sudah diulang-ulang
sejak dulu, tanpa menemukan ujung pangkalnya. Dan sains memang tidak pernah menemukan
jawaban tuntas atas misteri di balik realitas alam semesta. Apalagi, jika jawaban
itu dikombinasikan dengan skeptisisme yang ada pada kalangan atheis. Hasilnya sudah
bisa ditebak, mereka tidak akan pernah menemukan Tuhan, karena mereka memang ‘tidak
ingin’ bertemu Tuhan.
Sampai disini sebenarnya sudah
jelas persoalannya bahwa menjadi atheis atau theis itu sebenarnya adalah sebuah
pilihan, tanpa harus menjadikan alasan ilmiah sebagai senjata pembenar. Orang-orang
yang skeptis menjadi penganut ateisme bukan karena mereka memperoleh kesimpulan
valid atas tidak adanya Tuhan, melainkan karena mereka telah memilih untuk menjadi
atheis. Sama saja bagi mereka, ada bukti atau tidak, mereka tetap saja tidak bertuhan.
QS.
Al Baqarah (2): 6
Sesungguhnya
orang-orang yang ingkar, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau
tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
~ wallahu a'lam bishshawab ~
KASUS
KETIGA -
Substansi Ruang & Waktu.
Sebenarnya, alam semesta bukan
hanya terdiri dari ruang dan waktu. Karena, ruang dan waktu itu hanya sebagai akibat
saja dari variabel yang lebih substansial yaitu materi dan energi yang telah kita
bahas di bagian sebelum ini.
Ruang dan waktu adalah konsekuensi
dari materi yang berdinamika mengembang ke segala penjuru alam semesta. Karena proses
merenggang antar materi itulah, maka terbentuk ruang. Dengan kata lain, jika materi
tidak merenggang, tidak akan terbentuk ruang. Alias tidak ada ruang. Nol. Dan para
ilmuwan pun ‘kebingungan’ memahami paradoks ini. Karena tanpa ruang, berarti materi
tidak memiliki tempat untuk eksis. Termasuk materi kuantum yang diasumsikan Hawking
mengalami fluktuasi di awal waktu itu. Jika materi kuantum sudah bisa berfluktuasi,
itu artinya sudah ada ruangan. Jadi, kenapa dia menyebut ruang dan waktu terbentuk
dari fluktuasi kuantum? Sebuah asumsi yang sangat rancu.
Demikian pula dengan variabel
‘waktu’, ia terbentuk dikarenakan materi-materi penyusun alam semesta ini bergerak.
Jika materi-materi itu tidak bergerak, alias diam, maka tidak ada waktu. Semua isi
alam semesta menjadi statis. Tidak ada peristiwa. Tidak ada dinamika. Tidak ada
‘waktu’, karena ‘waktu’ adalah penanda dinamika peristiwa.
Kerancuan asumsi Hawking juga
terjadi ketika menyebutkan fluktuasi kuantum bisa menyebabkan munculnya waktu -
bersamaan dengan ruang. Padahal, yang namanya fluktuasi itu adalah besaran yang
bergerak seiring waktu. Artinya, jika materi kuantum sudah bisa berfluktuasi, dengan
sendirinya sudah ada waktu. Lha, definisi ‘fluktuasi’ itu kan‘ perubahan keadaan
seiring waktu’? Bagaimana bisa terjadi fluktuasi jika tidak ada waktu? Sehingga,
asumsi fluktuasi kuantum sebagai penyebab terciptanya alam semesta dengan sendirinya
adalah asumsi yang rancu dan dipaksakan.
Ruang dan waktu mestinya bukan
muncul dari fluktuasi kuantum, melainkan sebelum itu. Dua variabel penyusun alam
semesta itu muncul seiring dengan materi dan energi. Begitu muncul materi, secara
bersamaan muncul juga energi yang menjadi daya penggerak dinamika alam semesta.
Dan seiring dengan dinamika, terbentuklah ruang dan waktu. Sehingga setelah 13,7
miliar tahun kemudian kita bisa menyaksikan alam semesta berbentuk seperti sekarang
ini.
Ilmu pengetahuan atau sains, masih
kebingungan untuk menjelaskan dari mana asal muasal materi yang jumlahnya sangat
besar di alam semesta ini. Dan darimana pula energi raksasa yang menjadi daya penggerak
benda-benda langit secara kolosal itu bersumber, sehingga terbentuk ruang dan waktu.
Maka saya mengusulkan adanya variabel kelima sebagai pembentuk alam semesta itu,
yakni variabel Informasi, sebagaimana telah saya bahas dalam buku-buku saya terdahulu,
diantaranya DTM-21 yang berjudul: MEMBONGKAR TIGA RAHASIA.
Di setiap bagian materi ternyata
selalu tersimpan informasi. Sejak awal keberadaan alam semesta. Sehingga variabel
informasi itu layak disebut sebagai variabel dasar pembentuk alam semesta. Mulai
dari quark sebagai penyusun dasar materi alam semesta, partikel-partikel subatomik,
partikel-partikel kuantum, sampai pada sistem atomik, molekuler, dan seterusnya
yang membentuk benda-benda skala besar dalam dunia makrokosmos, di dalamnya selalu
terdapat infomasi secara inheren.
Karena ada variabel informasi
itulah maka setiap partikel menjadi memiliki fungsi yang khas. Proton berbeda dengan
neutron, berbeda dengan elektron, berbeda dengan neutrino, berbeda dengan foton,
berbeda dengan gluon, dengan W-Z Boson, dengan graviton dan sebagainya. Semua itu
dikarenakan ada informasi pembeda yang inheren.
Jadi, informasi-informasi itulah
yang sebenarnya lebih mendasar dan berperan memunculkan dinamika alam semesta. Memunculkan
materi, memunculkan energi, memunculkan ruang dan waktu. Dan memunculkan alam semesta
dengan segala peristiwanya. Semua itu dipengaruhi oleh sistem informasi yang berdinamika
di dalam segala variabel alam semesta.
Sistem informasi itu berisi perintah-perintah
khas untuk melakukan sesuatu. Partikel kuantum W-Z Boson ‘diperintahkan’ untuk mengikat
sejumlah quark menjadi partikel-partikel subatomik seperti proton dan neutron.
Partikel kuantum Gluon diperintahkan
untuk mengikat sejumlah proton dan neutron itu untuk membentuk sistem atomik dengan
variasi komposisi yang khas. Sehingga di alam semesta ada lebih dari seratus unsur
yang menjadi pondasi dari segala macam benda dan peristiwa.
Partikel kuantum Foton ditugasi
untuk melakukan interaksi antar atom, antar molekul dan benda-benda supaya terjadi
reaksi-reaksi kimia, reaksi kelistrikan, reaksi kemagnetan, dan reaksi-reaksi gerakan
dalam skala menengah. Disinilah peristiwa kehidupan sehari-hari terjadi.
Dan akhirnya partikel graviton
yang sekarang masih dalam penyelidikan diberi tugas untuk mengikat benda-benda langit
dalam skala raksasa untuk tetap berada di dalam sistem universal. Yang jika tugas
ini ‘dilalaikan’ oleh partikel graviton, alam semesta bakal kacau dan runtuh kembali.
Partikel Higgs Bosson yang menjadi trending topic beberapa waktu
yang lalu dipersepsi sebagai partikel Graviton ini, yang bertanggungjawab atas munculnya
materi bermassa di awal terbentuknya alam semesta.
Menarik juga, sebuah partikel
dipersepsi sebagai aktor yang bertanggungjawab atas munculnya materi awal di alam
semesta. Yang jika materi itu tidak muncul, akibatnya tidak akan ada gaya gravitasi.
Dan jika gaya gravitasi tidak ada, maka alam semesta tidak akan ada pula. Karenanya
ruang dan waktu tidak akan pernah terbentuk.
Padahal Higgs Bosson adalah benda
mati, yang tak punya tujuan apa-apa. Tidak punya kehendak sedikit pun. Meskipun
di dalamnya memang ada program berupa komposisi informasi yang menyebabkan dia memiliki
fungsi khas memunculkan gravitasi.
Pertanyaannya, siapa yang menulis
program itu? Siapa yang berada di balik ‘perintah’ yang menjadikan setiap partikel
memiliki tugas sendiri-sendiri tersebut? Ini mengingatkan kita pada penelitian genetika
yang dikemukakan oleh Kazuo Murakami.
Bahwa gen-gen tak lebih adalah
benda mati yang tersusun secara khas. Tapi, susunan benda mati itu ternyata memiliki
makna alias informasi yang berfungsi sebagai perintah untuk membentuk sistem yang
lebih besar. Bukankah mustahil, benda mati bisa memberikan perintah sedemikian kompleks
dan teratur? Siapakah aktor di balik molekul-molekul yang sedang memberikan perintah
itu? Karena, susunannya sedemikian indah dan menakjubkan. Dan lantas menghasilkan
tatanan yang luar biasa mempesona, mengarah kepada sistem yang sangat kompleks dalam
drama kehidupan manusia.
Ya, siapakah yang sedang ‘berkirim
surat’ lewat segala macam partikel penyusun alam semesta ini? Para atheis menghindari
suasana yang sangat mempesona itu, dengan memutus penelusuran lebih dalam kepada
‘Sesuatu’ yang Maha Agung di baliknya.
Semua variabel alam semesta yang
empat itu - ruang, waktu, materi, energi - semata-semata benda mati yang tidak punya
tujuan. Tidak punya program. Dan tidak punya kehendak. Sistem informasi itulah yang
telah menginisiasi empat variabel untuk bergerak secara terprogram mengarah pada
tujuan tertentu.
Bagi orang semacam Murakami, hal
ini sudah cukup menjadi bukti adanya Tuhan. Dan bagi Ibrahim, itu pun sudah cukup
untuk menggetarkan sendi-sendi jiwanya, menyambut ‘uluran tangan’ dari Sang Maha
Cerdas, Maha Berkuasa, lagi Maha Bijaksana..!
QS.
Fushshilat (41): 53-54
Kami
akan memperlihatkan kepada mereka (orang-orang yang percaya kepada Allah) tanda-tanda
(keberadaan) Kami di seluruh penjuru Bumi dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu benar. Tidak cukupkah (bagimu)
bahwa sesungguhnya Tuhanmu menyaksikan segala sesuatu?
Ketahuilah,
sesungguhnya mereka (orang-orang yang tidak percaya Tuhan itu) berada di dalam keraguan
tentang pertemuan dengan-Nya. (Padahal) ingatlah, sesungguhnya Dia (sudah
hadir) meliputi segala sesuatu.
~ wallahu a'lam bishshawab ~
KASUS
KEEMPAT: substansi kehidupan.
Misteri besar lainnya yang menyelimuti
kehidupan manusia adalah tentang munculnya makhluk hidup di planet Bumi. Sebuah
drama kolosal yang sangat menakjubkan, sehingga muncullah berbagai kisah hidup yang
mengharu biru jiwa kita. Termasuk munculnya pro-kontra dalam menyikapi kehidupan
itu sendiri.
Orang-orang atheis menyebutnya
sebagai peristiwa yang terjadi dengan sendirinya lewat seleksi alam secara evolutif.
Sedangkan orang-orang beragama menyebutnya sebagai hasil ciptaan Tuhan. Yang satu
menyebutnya by natural selection, yang lain menyebutnya
sebagai by design. Pemikiran orang
atheis diwakili oleh Richard Dawkins, sedangkan ‘pemikiran’ orang beragama masih
berbeda-beda antara satu agama dengan agama lainnya, yang kemudian menjadikan perdebatan
antara kedua kelompok theis-atheis ini menjadi bias.
Diantaranya, karena Dawkins tak
bisa menghindar dari penyamarataan konsep by design itu, dengan mengambil
mainstream penciptaan ala konsep Kristen, yang
tentu saja berbeda dengan konsep Islam. Meskipun, dia sudah memberikan kata pengantar
bahwa Tuhan dalam berbagai agama adalah berbeda-beda. Karena itu, ketika pemikiran
evolusi ala atheis itu disandingkan dengan konsep penciptaan dalam Islam, kita harus
mendefinisikan kembali secara lebih khusus agar tidak memunculkan bias.
Secara garis besar, Dawkins menggunakan
pendapat umum dalam teori evolusi Darwinian yang telah disesuaikan dengan perkembangan
teori genetika. Bahwa makhluk hidup di planet Bumi ini terbentuk secara bertahap
alias evolutif lewat mekanisme seleksi alam. Siapa yang bisa bertahan dari kondisi
ekstrim, maka merekalah yang akan bisa tetap eksis di alam, hingga kini.
Tidak ada campur tangan dari ‘pihak
lain’ dalam proses ini, karena campur tangan hanya akan menjadikan proses evolusi
menjadi semakin kompleks, dan sulit dijelaskan secara ilmiah. Diantaranya ia memberikan
argumentasi, jika makhluk hidup diciptakan oleh Tuhan maka semestinya semua peristiwa
berjalan dengan sempurna. Tidak ada yang terlahir cacat. Jika masih ada yang terlahir
cacat, berarti Sang Desainer tidak Maha Sempurna. Bahkan tidak adil terhadap makhluk-Nya.
Pada kenyataannya, beragam makhluk hidup di muka Bumi memiliki berbagai kondisi
yang tak sempurna. Sehingga lebih cocok, semua realitas ini terbentuk secara natural
lewat seleksi alam saja.
Tuhan tidak perlu ada dan terlibat
di dalamnya. Meskipun, Dawkins tidak berani meniadakan sama sekali tentang kemungkinan
adanya Tuhan. Sehingga di dalam bukunya The God Delusion, bab 4, ia hanya
berani mengatakan ‘Hampir Pasti Tidak Ada Tuhan’, sambil menyodorkan konsep munculnya
kehidupan itu sebagai akibat dari proses seleksi alam murni.
Mirip dengan yang dikemukakan
oleh Hawking dalam The Grand Design, Dawkins berusaha
‘menghindari kesulitan’ dalam menetapkan asumsi awal, agar konsep seleksi alamnya
cocok dengan yang diharapkan. Menurutnya, keterlibatan Tuhan dalam seleksi alam
hanya akan menimbulkan kompleksitas, maka dia pun menetapkan asumsi: sebaiknya tidak
usah ada Tuhan saja dalam proses kemunculan makhluk hidup ini.
Itulah sebabnya, dia lantas berkesimpulan
bahwa teori alam semesta tanpa Tuhan adalah lebih baik dibandingkan dengan teori
penciptaan yang melibatkan Tuhan. Alasannya, manusia lebih suka yang sederhana daripada
yang kompleks. Yang disebutnya sebagai metode ‘Pisau Cukur Ockham’.
Tentu saja, alasan semacam ini
seharusnya tidak dijadikan dasar atau pijakan membuat kesimpulan yang pasti dalam
menyikapi seleksi alam. Masa, hanya karena kita lebih suka yang sederhana dan menjauhi
yang kompleks, lantas mengorbankan kebenaran realitas. Atau, setidak-tidaknya menghalangi
upaya untuk menemukan kebenaran lebih tinggi.
Ini sangat berbeda dengan Kazuo
Murakami, yang merupakan peneliti andal tanpa pretensi terselubung. Seorang peneliti
sejati tidak akan memiliki mental seperti itu dalam menyikapi realitas. Kazuo Murakami
tidak pernah menolak kompleksitas realitas yang dihadapinya. Bahkan malah menikmatinya.
Karena dia berhadapan dengan fakta dan realitas yang memang demikian adanya. Dan
itulah yang lantas membuatnya merasa kecil dan minder di hadapan alam
semesta yang demikian dahsyat dengan segala kompleksitasnya.
Bisa kita bayangkan, jika para
peneliti memiliki mental menghindari kompleksitas seperti yang dikemukakan oleh
Dawkins, pemetaan genom di dalam genetika manusia mungkin tidak akan terjadi. Ada
sekitar 3-4 miliar kode-kode genetika yang ditemukan di dalam inti sel tubuh manusia,
yang semuanya membentuk komposisi sangat rumit dalam mengendalikan kehidupan, dan
belum sepenuhnya dipahami mekanismenya.
Justru, kompleksitas itulah yang
membuat jiwa Murakami bergetar, merasakan hadirnya Dzat yang Maha Agung di balik
rumitnya realitas. Sehingga, menurutnya, tidak bisa tidak, mesti ada ‘Kecerdasan
Super’ melampaui kecerdasan manusia mana pun, yang mengendalikan dan merancang alam
semesta. Khususnya kode-kode genetika di dalam makhluk hidup, yang menjadi penyebab
munculnya drama kehidupan yang jauh lebih kompleks lagi.
Di dalam buku The
Selfish Gene, Dawkins juga berpendapat bahwa gen adalah kode-kode yang tidak
bisa berubah. Yang bisa berubah itu adalah komposisi pasangannya, sehingga membentuk
kromosom yang berbeda, dan lantas menghasilkan individu yang berbeda-beda pula.
Gen bakal ada selamanya.
Berikut ini adalah ungkapan Dawkins
dalam buku tersebut, yang berasumsi bahwa gen adalah satuan terkecil kehidupan yang
tak bisa berubah:
“Individuals
are not stable things, they are fleeting. Chromosomes too are shuffled to oblivion,
like hands of cards soon after they are dealt. But the cards themselves survive
the shuffling. The cards are the genes. The genes are not destroyed by crossing-over;
they merely change partners and march on. Of course they march on. That is their
business. They are the replicators and we are their survival machines. When we have
served our purpose we are cast aside. But genes are denizens of geological time:
genes are forever.”
‘’Individu-individu
bukanlah sesuatu yang stabil, mereka terus berubah. Kromosom juga diacak sampai
tak bisa diingat lagi, ibarat sekumpulan kartu yang telah dibagi-bagikan. Namun
kartu-kartu itu sendiri tidak berubah oleh pengacakan. Kartu-kartu tersebut adalah
gen. Gen tidak hancur melalui penyilangan. Gen hanya mengubah pasangannya dan akan
terus ada. Tentu saja gen akan terus ada. Karena, itulah tugas mereka. Gen adalah
replikator dan kita adalah mesin pertahanan hidupnya. Ketika kita telah menunaikan
tugas, kita dikesampingkan. Namun gen merupakan penghuni waktu geologis: gen akan
ada selamanya’’
Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan,
bahwa gen sebenarnya bukanlah makhluk hidup. Ia hanya bagian saja di dalam sistem
sel sebagai unit terkecil kehidupan. Gen tak lebih hanya kumpulan molekul-molekul
mati, yang tersusun secara khas, sehingga membentuk informasi. Cuma, anehnya, kumpulan
‘benda mati’ itu bisa memunculkan informasi yang justru memunculkan kehidupan sel.
Sel bisa hidup karena diperintah oleh genetika dari dalam inti sel itu, sehingga
muncul proses-proses biokimiawi dan kelistrikan yang menyebabkan sel bisa hidup
berkelanjutan. Inti sel adalah pusat pemerintahan genetik di dalam bagian terkecil
tubuh manusia itu.
Ibarat sebuah buku cerita, di
dalam inti sel kita ada pesan-pesan pembentuk kehidupan, baik yang bersifat anatomis
maupun perilaku. Buku cerita itu disebut GENOM. Isinya ada 23 bab, yang disebut
sebagai KROMOSOM. Di dalam kromoson itu ada ribuan cerita, yang disebut sebagai
GEN.
Di dalam gen ada paragraf-paragraf
yang disebut EKSON, dengan diselingi cerita-cerita tak terkait yang disebut sebagai
intron. Paragraf tersebut tersusun dari kata-kata yang disebut sebagai KODON. Dan
kata-kata itu tersusun dari huruf-huruf yang disebut BASA.
Nah, huruf-huruf yang disebut
Basa itu berbentuk molekul-molekul kimiawi yang mati, dari senyawa Adenin (A), Guanin
(G), Cytosin (C), dan Timin (T). Komposisi empat huruf A-C-G-T itulah yang akan
memunculkan kode-kode berupa kata (Kodon), menjadi paragraf (ekson), menjadi gen,
membentuk kromosom, dan akhirnya membentuk 'buku cerita' kehidupan bernama Genom.
Jika A-C-G-T mengalami masalah, maka kode-kode itu tentu akan bermasalah juga. Dan
mengganggu proses kehidupan sel.
Akan terjadi penyimpangan pembentukan
Kodon, yang mempengaruhi Ekson, dan lantas menghasilkan penyimpangan genetika. Jadi
genetika bukanlah unit terkecil kehidupan. Karena unit terkecil itu sebenarnya berada
pada level sel yang bisa melakukan aktivitas sebagai makhluk hidup. Sedangkan inti
sel dengan genetikanya adalah sekumpulan ‘benda mati’ belaka, tetapi berisi sistem
informasi yang sangat canggih sehingga mampu mengendalikan jalannya kehidupan sel.
Tentu saja ini sangat aneh. Karena,
molekul-molekul itu tidak memiliki kehendak dan tidak punya tujuan. Sehingga, proses
yang terjadi di dalamnya tak beraturan alias acak. Tapi kondisi acak itu tenyata
bisa menghasilkan cerita lebih kompleks ‘dari bab ke bab’ dalam bentuk kromosom
yang sangat unik, dan kemudian memunculkan ‘buku genom’ yang sangat khas pada setiap
spesies. Sebuah ‘buku cerita’ yang merangkum seluruh karakter sesosok makhluk hidup,
baik karakter fisik maupun perilakunya.
Disinilah saya memberikan kritik
atas kesimpulan Dawkins bahwa kehidupan bisa muncul dengan sendirinya, tanpa ada
campur tangan sesuatu di luar sel. Ada missing link yang tidak bisa
dijelaskan, saat peralihan dari molekul-molekul yang ‘benda mati’ itu menjadi unit
terkecil kehidupan yang disebut sel.
Dawkins tidak ingin memperoleh
kesulitan atau kerumitan di level yang lebih kecil dari genetika. Sehingga meletakkan
asumsinya disini. Bahwa genetika adalah sesuatu yang abadi, dan tak berubah. Karena
yang berubah itu cuma level-level setelah gen yang disebut sebagai kromosom dan
individu-individu.
Dia mengansumsikan gen sebagai
unit terkecil kehidupan yang tidak perlu dipermasalahkan lagi. Atau, digali lagi.
Padahal, kalau kita gali lagi, masalahnya akan menjadi rumit dan kompleks, sebagaimana
dihadapi oleh Kazuo Murakami.
Kok bisa-bisanya, molekul-molekul
yang benda mati itu berkehendak dan mengeluarkan perintah yang sedemikian sistematis
dan terstruktur, untuk mempertahankan kehidupan sel. Dia mesti melakukan proses
metabolisme, mesti menyediakan energi kelistrikan agar proses biokimiawi itu terjadi,
mesti menyaring bahan-bahan baku dari luar sel yang tidak bersifat meracuni sel,
dan sebagainya. Dan kemudian, sel-sel itu bisa mereplikasi dirinya, sehingga berkembang
biak bertambah banyak.
Dan bukan main, jumlah kode-kode
genetika di dalam genom kita itu lebih dari 3 miliar, yang berkolaborasi membentuk
sistem informasi yang sangat canggih. Yang menyebabkan seluruh proses biokimiawi
dalam makhluk hidup bisa berjalan secara berkesinambungan. Sehingga ada dinamika
kromosom dan individu-individu yang terlihat seperti mengalami seleksi alam.
Padahal, kuncinya bukan pada faktor
eksternal makhluk hidup itu, melainkan berada pada sistem genetika, di internal
makhluk hidup itu sendiri. Sehebat apa pun seleksi alam yang muncul di eksternal,
jika sistem genetika di internalnya tidak memiliki sistem informasi yang cerdas,
sel itu tidak akan bisa bertahan hidup. Ada sustainable
mechanism
yang luar biasa canggih di dalamnya.
Dawkins tidak mau ‘ribet’ memasuki area
ini, karena dia bakal bertemu ‘Kecerdasan Super’ yang sangat menakjubkan, tetapi
menyulitkannya. Karena ia lantas tidak bisa berkesimpulan bahwa ‘makhluk hidup muncul
dengan sendirinya tanpa ada campur tangan Tuhan’.
Ya, dia telah memutuskan untuk
berhenti saja pada skala gen yang sudah dianggapnya memiliki ‘kecerdasan bawaan’
dari sono-nya. Sudah given, dan bawaan
alam. Oke, boleh saja. Itu adalah sebuah pilihan, agar kesimpulannya sesuai dengan
yang diprediksikannya.
Tetapi, tentu saja tidak fair kalau kesimpulan
semacam ini lantas digeneralisasikan sebagai ‘kebenaran’ dan ‘fakta ilmiah’ bahwa
makhluk hidup memang bisa memunculkan dirinya sendiri. Dan kemudian menganggap semua
yang berbeda dari kesimpulannya sebagai tidak ilmiah. Karena sesungguhnya dia telah
berlaku unfair dengan meletakkan
asumsi yang bersifat ‘pesanan’ itu dalam skala genetika, demi menghindari ‘Kompleksitas’
yang berada diluar jangkauan kemampuannya. Padahal di kompleksitas itulah sebenarnya
ia berpotensi untuk ‘bertemu’ dengan Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta lagi Maha Berilmu..!
QS.
Al An'aam (6): 95
Sesungguhnya
Allah-lah yang menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang) demikian
itu adalah Allah. Maka mengapa kamu masih berpaling (tak mengakui-Nya)?
~ wallahu a'lam bishshawab ~
KASUS
KELIMA -
Substansi Kesadaran.
Sebagai pakar neuroscience yang atheis,
Sam Harris membangun kesimpulan yang senada dengan kawan-kawannya. Bahwa Tuhan itu
tidak ada. Karena secara neuro-science tidak bisa dibuktikan.
Tuhan hanyalah sebuah konsekuensi
dari ‘keharusan kognitif’ untuk mencari kejelasan dari sesuatu yang tidak diketahui.
Dan kemudian manusia mencoba menghubung-hubungkan dengan asal-usulnya, asal-usul
kehidupan, serta kemana perginya kelak sesudah kematian.
Semua itu, menurutnya, adalah
sesuatu yang tidak jelas dan tidak pasti. Tapi karena kita butuh jawaban, maka dibuatlah
jawaban yang bersifat transendental atau supranatural. Menurutnya semua itu hanya
ilusi belaka. Atau, delusi seperti disimpulkan oleh Dawkins.
Ia meyakini, di masa depan Agama
akan kehilangan posisi seiring dengan semakin menguatnya argumentasi sains. Manusia
akan lebih meyakini bukti-bukti yang empiris daripada yang transendental. Karena
itu keyakinan terhadap Tuhan dan agama sudah selayaknya diakhiri, sebagaimana judul
bukunya: The End of Faith.
Sebenarnya, kalau kita mau menengok
sistem kerja otak manusia dalam memahami realitas ini kita akan berpikir ulang untuk
membuat kesimpulan semacam itu. Sebuah kesimpulan yang menurut saya tergesa-gesa,
untuk mengatakan Tuhan adalah sekedar kebutuhan kognitif belaka. Bahkan, sekedar
delusi.
Otak kita adalah mesin canggih
yang menjadi interface alias media
penghubung antara ‘dunia luar’ yang kita sebut sebagai realitas, dengan ‘dunia dalam’
yang kita sebut sebagai kognisi atau kesadaran. Pada orang-orang atheis, mereka
menyebut kesadaran itu sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari otak. Atau, bahkan
otak itu sendirilah yang disebut sebagai ‘kesadaran’, atau setidak-tidaknya sebagai
‘sumber kesadaran’.
Sedangkan orang beragama, menyebut
otak hanya sebagai media atau pintu gerbang saja untuk memasuki alam kesadaran.
Karena, kesadaran itu bersumber pada sesuatu yang lebih dalam, yakni ruh. Kesadaran
yang identik dengan otak adalah kesadaran rendah yang disebut sebagai jiwa. Sedangkan
kesadaran yang lebih tinggi disebut sebagai kesadaran ruh yang bersumber pada Kesadaran
Semesta, atau kesadaran Ilahiah yang terkait dengan keberadaan Tuhan yang transendental.
Orang-orang atheis membuat kesimpulan bahwa ‘kesadaran identik dengan otak’ berdasar
pada bukti empiris, dimana seseorang yang otaknya mengalami kerusakan, akan mengalami
gangguan kesadaran. Alias gangguan jiwa. Dan sebaliknya, orang yang mengalami gangguan
jiwa juga mengalami kerusakan pada struktur otaknya. Sehingga, mereka menyimpulkan
otak = jiwa, dan jiwa = otak.
Tidak ada istilah ruh dalam kamus
mereka. Karena, kehidupan bukan disebabkan oleh adanya ruh, melainkan muncul sebagai
konsekuensi dari sistem alamiah yang ada di dalam tubuh makhluk hidup. Dengan demikian,
kematian dianggap sebagai terminal terakhir dari perjalanan makhluk hidup. Tidak
ada yang namanya kehidupan sesudah mati. Atau alam berdimensi lebih tinggi sebagai
kelanjutan kehidupan dunia. Semua itu menjadi satu paket dari ketidak percayaan
mereka terhadap Tuhan.
Tetapi, kalau mereka mau membuka
sedikit saja jendela pemikirannya, mereka akan bisa merasakan adanya sesuatu di
balik otak. Bahkan di balik susunan saraf-saraf otak. Atau, lebih kecil lagi di
dalam sel-sel saraf itu, yang kemudian akan
memasuki wilayah genetika sebagai pengendali mekanisme kerja saraf otak manusia.
Pertanyaannya, sebenarnya ‘kesadaran’
itu berada hanya di wilayah otak sebagai organ, ataukah sudah ada di tingkat sel,
ataukah malah sudah ada di tingkat inti sel dan genetikanya? Bahkan, lebih jauh
kita masih bisa menelisik lebih ke dalam lagi.
Memang di dalam tubuh manusia,
kesadaran kemanusiaan kita berada di wilayah otak. Sehingga, seakan-akan kesadaran
identik dengan otak. Tetapi, kalau kita mau mencermati lebih jauh, fungsi otak sebagai
pusat kesadaran itu hanya berhenti pada skala organik.
Otak mengendalikan berbagai aktivitas
tubuh dalam skala organik, seperti mengendalikan jantung, paru-paru, ginjal, organ
pencernaan, dan berbagai kelenjar dalam sistem endokrinologi. Namun, dia tidak mengendalikan
aktivitas di tingkat seluler. Karena, di wilayah ini yang menjadi ‘otaknya’ bukan
lagi otak yang berada di dalam tempurung kepala itu, melainkan sistem kecerdasan
di dalam inti sel dalam bentuk mekanisme genetika itu.
Termasuk di dalam ‘otak kepala’
sendiri. Para ahli neuroscience masih perlu meneliti lebih mendalam, apakah kesadaran
itu berada di tingkat organik ataukah di tingkat seluler, ataukah lebih mendalam
ada di tingkat genetika, ataukah malah besumber dari balik semua yang materialistik
itu?
Karena, sebagaimana kita ketahui,
jika sosok materi ‘dihaluskan’ kuantitasnya sampai menjadi kualitas, ia akan berubah
menjadi energi, mengikuti rumus Einstein, E=mc2. Pemusnahan materi akan menghasilkan
energi. Sebaliknya, ‘pengkristalan’ energi akan menghasilkan materi.
Artinya, ada realitas kontinum
yang bisa mewujudkan materi sebagai kuantitas, menjadi energi sebagai kualitas.
Ibarat deret angka yang memanjang dari sisi positif di sebelah kanan, dan negatif
di sebelah kiri, perubahan keduanya akan melewati angka nol alias ketiadaan. Atau
pemusnahan.
Sehingga perubahan dari suatu
keadaan ‘positif’ berupa materi menjadi suatu keadaan ‘negatif’ berupa energi harus
‘melangkahi’ pemusnahan terlebih dahulu. Itulah yang terjadi pada proses annihilasi
materi menjadi energi.
Maka, kalau kita kaitkan realitas
itu dengan organ otak dan fungsi kesadaran, kita bisa melihat korelasinya dengan
jelas. Bahwa otak adalah materi, sedangkan fungsi kesadaran adalah kualitas atau
energi. Perubahan dari ‘otak materi’ menjadi ‘otak energi’ itu menjadi penjelas
terjadinya kesadaran di dalam otak kita.
Bahwa, kesadaran manusia bukan
hanya disebabkan oleh sistem sarafi dalam skala organ belaka, melainkan lebih mendalam
dari itu, terhubung dengan proses annihilasi materi menjadi energi kesadaran. Sehingga,
sebenarnya, kesadaran itu sudah ada di level yang lebih halus dibandingkan otak
sebagai organ. Dan itulah yang kita lihat dalam skala seluler maupun biomolekuler
di sistem informasi genetika.
‘Kesadaran’ sudah muncul di level
yang lebih kecil dari otak. Sehingga kesadaran otak hanyalah ‘akumulasi kesadaran’
di tingkat yang lebih halus saja. Bagaimana mungkin sel bisa hidup, jika sel-sel
itu tidak memiliki ‘kesadaran’ untuk mempertahankan kehidupannya?
Bagaimana mungkin juga, sistem
genetika itu bisa memberikan perintah-perintah terstruktur, kalau mereka tidak memiliki
kesadaran untuk mencapai tujuan tertentu, yakni membentuk sel, mempertahankannya,
dan bahkan mengembangkan untuk bisa menjadi lebih banyak lagi. Semua itu dikontrol
oleh sebuah ‘kesadaran’.
Adalah sebuah ketergesa-gesaan
jika menyimpulkan kesadaran identik dengan otak belaka. Dan tidak ada sumber kesadaran
yang lebih dalam di balik itu. Karena sesungguhnya, setiap benda dalam skala wujud
materialistiknya memiliki kesadaran sesuai dengan levelnya. Di level organisme,
manusia memiliki kesadaran kemanusiaannya. Di level organ tubuh, setiap organ kita
juga memiliki level kesadaran organiknya. Di level jaringan sel, juga demikian.
Di level seluler, di level genetika, di level molekuler, atomik, partikel-partikel
subatomik, sampai pada quark dan energi, semuanya memiliki kesadaran dalam level
yang sesuai tingkatannya.
Itulah sebabnya, meskipun kesadaran
kemanusiaan kita ‘tidak menyadari’ fungsi jantung, sang jantung tetap saja bekerja
untuk menghidupi tubuh. Demikian juga, berbagai organ seperti ginjal, liver, paru,
dan berbagai organ vital, semuanya bekerja atas dasar kesadarannya sendiri.
Bahkan juga di level jaringan
sel. Mereka, juga tanpa harus diperintah oleh kesadaran kemanusiaan kita, tetap
saja bekerja menjaga koordinasi jaringan sel. Kalau sampai sel-sel itu tidak bekerja
membentuk jaringan yang sesuai, tubuh manusia ini sudah amburadul sejak awal kejadiannya.
Bukan otak yang memerintah sel-sel
untuk membentuk jaringan sel kulit, jaringan sel tulang, jaringan sel rambut, sel
mata, sel darah, dan sekitar 200 jenis sel yang berbeda, melainkan karena adanya
kesadaran di tingkat seluler itu sendiri.
Dan seterusnya, semakin ‘halus’
kita masih selalu menemui tingkat-tingkat kesadaran itu. Bahkan sampai di level
perubahan antara materi dan energi, atau lebih halus lagi antara ‘ada’ dan ‘tiada’,
antara yang wujud dan tak berwujud, selalu ada ‘kesadaran’ yang mengendalikan proses
untuk mencapai tujuan tertentu.
Para ilmuwan atheis membantah
adanya ‘tujuan’ dalam setiap proses alamiah. Tetapi, faktanya setiap level proses
dalam realitas ini memiliki tujuan. Masa, sistem genetika yang jelas-jelas bertujuan
untuk mempertahankan eksistensi sel agar tetap hidup dan bahkan berkembang biak
itu dianggap sebagai tanpa tujuan, dan berproses secara acak?
Masa, jaringan sel yang jelas-jelas
bisa berkelompok sehingga mereka tidak keliru membentuk jenis sel yang dibutuhkan
itu disebut berjalan secara acak? Kenapa sel tulang tidak keliru menjadi sel darah,
tidak keliru menjadi sel rambut, tidak keliru menjadi sel mata dan sebagainya?
Padahal tulang bersebelahan dengan
darah, bersebelahan dengan sel rambut, bersebelahan dengan sel mata, dan seterusnya.
Sudah sangat jelas, mereka mempunyai tujuan. Apa tujuannya? Ya, tentu saja untuk
membentuk jaringan-jaringan sel yang sesuai. Serta menahan diri untuk tidak keliru.
Dan bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu. Bahkan, membiakkan diri dalam skala
yang terkontrol sesuai ‘pesanan’ dari sistem informasi yang ada di dalam genetikanya.
Dan untuk itu, dibutuhkan ‘kesadaran’.
Bukan kesadaran yang dikendalikan otak, karena kesadaran otak itu sendiri dibentuk
dari kesadaran-kesadaran yang lebih halus di tingkat seluler, di tingkat nukleus
dan genetika, di tingkat molekuler, di tingkat atomik, di tingkat partikel quark
dan kuantum, di tingkat energial, serta di tingkat yang lebih halus dari itu semua.
Sebuah ‘Kesadaran Universal’ yang telah meliputi segala eksistensi di alam semesta..!
Begitulah fakta yang kita amati
dari sekitar kita. Sehingga, sekali lagi, adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa
dan ‘gegabah’ jika keberadaan Tuhan hanya dikaitkan dengan kebutuhan kognisi manusia
di level otak. Yang jika kognisi kita tidak mampu menjangkaunya, maka kita anggap
Tuhan hanya sebagai ilusi belaka.
Kata Al Qur’an, hanya ada dua
kemungkinan bagi orang yang demikian. Yang pertama, ilmu mereka memang belum sampai.
Atau, yang kedua, mereka sengaja menyembunyikan fakta dengan meletakkan asumsi yang
‘bersifat pesanan’, agar mereka tidak perlu mengakui adanya Tuhan, Sang Pencipta
yang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana...
QS.
An Naml (27): 65-66
Katakanlah:
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yanggaib,
kecuali Allah”, dan (temasuk) mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.
Sebenarnya
pengetahuan mereka tentang akhirat (dan hal-hal yang gaib) tidak sampai,
bahkan mereka ragu-ragu tentang akhirat (dan
yang gaib) itu, lebih-lebih lagi mereka buta daripadanya.
QS.
Al Ankabuut (29): 44
Allah
menciptakan langit dan bumi dengan benar. Sesungguhnya pada yang demikian
itu terdapat tanda-tanda keberadaan Allah bagi orang-orang yang beriman.
~ wallahu a'lam bishshawab ~
KASUS
KEENAM - Substansi Realitas Sosial.
Serangan keras lainnya terhadap
agama oleh tokoh-tokoh atheis adalah tentang fakta sosial. Hal ini dikemukakan oleh
Christopher Hitchens. Jurnalis yang mengaku telah meliput berbagai peristiwa di
berbagai negara konflik itu mengemukakan kesimpulannya dalam buku best
seller-nya:
‘god is not Great’.
Menurutnya Tuhan tidak Maha Besar, bahkan tidak perlu ada, karena
terbukti membiarkan saja segala keburukan dalam realitas sosial. Banyaknya ketimpangan
dan penderitaan yang dialami manusia menunjukkan bahwa Tuhan memang tidak ada.
Apalagi, menurutnya, ternyata
negara-negara yang menganut agama secara taat ternyata banyak dilanda oleh peperangan,
kriminalitas, penyakit, kemiskinan, korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu, ia
memproklamirkan dirinya sebagai orang yang tidak percaya adanya Tuhan.
Sepintas saja, kita sudah bisa
mengerti kenapa Hitchens mengambil kesimpulan yang ‘serampangan’ seperti itu. Yang
pertama, ia rupanya merasa sakit hati dengan agama atau dengan Tuhan. Inilah yang
dalam terminologi pembahasan atheis disebut sebagai angry
disbeliever - orang yang menjadi atheis karena kecewa. Mereka, pada dasarnya,
tidak benar-benar meyakini tentang tidak adanya Tuhan, melainkan dengan sengaja
meniadakan keberadaan Tuhan dalam hidupnya karena kecewa dan marah.
Dan yang kedua, Hitchens lantas
membuat kesimpulan yang distortif dengan menyamaratakan antara ajaran agama dengan
pemeluknya. Inilah yang saya sebut sebagai kesimpulan yang serampangan itu. Bahwa,
jika penganutnya jahat, maka berarti ajarannya juga jahat.
Hanya ada dua kemungkinan untuk
orang yang bersikap demikian dalam pengambilan kesimpulan. Yang pertama dia tidak
tahu bagaimana cara berpikir ilmiah. Dan yang kedua, dia sengaja melakukan hal itu
karena kecewa.
Tentu saja, tidak ada agama yang
mengajarkan kejahatan. Apa pun agamanya. Sehingga, kalau ada seorang penganut agama
melakukan pencurian, tidak bisa lantas disimpulkan agamanya yang mengajari mencuri.
Atau, kalau mereka melakukan pembunuhan, berarti agamanya juga yang mengajari membunuh,
mengajari korupsi, mengajari miskin, dan seterusnya. Tentu, kita tidak terlalu sulit
untuk menolak kesimpulan yang semacam itu.
Termasuk, ketika Hitchens membuat
kesimpulan bahwa agama adalah racun bagi segala sesuatu termasuk peradaban manusia.
Sebagaimana dia tulis dalam sub judul bukunya: ‘God
is not Great, How Religion Poisons Everything’.
Maka, adalah tidak berlebihan
jika kita menyebut Hitchens sebagai angry disbeliever. Bahwa kesimpulan
dia tentang tidak adanya Tuhan bukan sebuah kesimpulan ilmiah melainkan sekedar
luapan kemarahan dan sakit hati belaka. Karena itu, rasanya kita tidak perlu membuat
ulasan lebih mendalam tentang pemikiran Hitchens di buku ini. Apalagi, secara lebih
detil saya sudah membahasnya dalam buku DTM-20: ‘Beragama dengan Akal Sehat’.
Yang perlu kita tegaskan adalah,
bahwa Islam merupakan agama fitrah yang bersifat universal. Ajaran-ajarannya sesuai
dengan sifat-sifat dasar kemanusiaan. Sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran,
keadilan, kesejahteraan, kebersamaan, kasih sayang, dan berbagai akhlak mulia dalam
menata umat manusia. Yang kemudian secara utuh digambarkan oleh Al Qur’an sebagai
misi ‘rahmatan lil alamin’. Yakni, menebar
rahmat dan kasih sayang bagi seluruh alam.
Kalaupun masih banyak orang Islam
yang miskin, ada yang berbuat kriminal, ada yang suka membuat kerusuhan, merugikan
orang lain, dan sebagainya, maka itu menjadi tugas kita bersama untuk membimbing
mereka mengikuti jalan Tuhan. Karena agama ini memang diturunkan untuk membimbing
umat manusia agar selalu di jalan kebaikan dan meninggalkan segala kejahatan.
QS.
Fushshilat (41): 33-35
Siapakah
yang lebih baik tutur katanya dibandingkan dengan orang yang mengajak ke jalan Allah,
(sambil) mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri (hanya kepada-Nya)?"
Dan
tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara
yang sebaik-baiknya, sehingga orang-orang yang bermusuhan itu (seakan-akan) menjadi
teman setia.
Sifat-sifat
yang baik tidak dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang sabar. Dan tidak
dianugerahkan, kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.
QS.
Al Anbiyaa’ (21): 107
Dan
tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.
~ Wallahu a’lam bishshawab ~
(Mohon maaf, karena beberapa hari
ke depan ada agenda yang harus saya tangani, saya cukupkan sampai disini notes cuplikan
buku DTM-35: ‘IBRAHIM Pernah ATHEIS’ ini. Selanjutnya, bagi yang berminat memahami
lebih mendalam materi buku terkait dengan perjalanan spritualitas Ibrahim dalam
menemukan Tuhan Allah, silakan membaca langsung dari bukunya. Salam.)