oleh Agus Mustofa pada 25 September 2010 pukul 9:34
Salah satu akhlak tertinggi
di dalam agama Islam adalah IKHLAS. Lawannya, PAMRIH. Kenapa Islam mengajarkan keikhlasan?
Karena, Allah menghendaki umat Islam menjalani agamanya ‘tanpa pamrih’. Semua aktivitas
hidupnya dilakukan lillahi ta’ala ~ ‘karena Allah semata’.
Bersyahadatnya, karena
Allah. Shalatnya, karena Allah. Puasanya karena Allah. Zakatnya karena Allah. Dan
hajinya pun karena Allah. Demikian pula ketika menolong orang, menuntut ilmu, bekerja,
menjadi pejabat, menjadi ustadz dan ustadzah, menjadi hakim, jaksa, polisi, profesional,
dan apa pun aktivitasnya, semua dijadikan sebagai proses belajar IKHLAS dalam mengagungkan
Allah semata.
Lantas, bagaimanakah membedakan
ibadah yang ikhlas dan ibadah yang penuh pamrih? Pada dasarnya: Orang yang ikhlas,
menjalankan agama KARENA ALLAH semata. Sedangkan orang yang pamrih, melakukan ibadah
karena ingin memperoleh sesuatu untuk keuntungan DIRINYA. Berikut ini adalah beberapa
diantaranya:
Orang yang ikhlas meniatkan
shalatnya karena Allah semata, persis seperti doa iftitah yang dibacanya: ’’inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati
lillahi rabbil alamin ~ sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya
untuk Allah semata’’.
Sedangkan orang yang pamrih,
meniatkan shalatnya untuk mengejar pahala 1x, 27x, 1000x, dan 100.000x. Ada juga
yang melakukan shalat Dhuha karena ingin memperbanyak rezeki. Atau shalat tahajud
agar punya karomah. Dan lain sebagainya.
1). Orang yang ikhlas, menjalankan puasanya karena taat kepada Allah
semata. Karena dengan puasa itu ia akan menjadi jiwa yang lebih suci, sehingga lebih
mudah mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan yang pamrih, melakukan puasa karena
tujuan-tujuan yang selain mendekatkan diri kepada Allah. Misalnya, ada orang berpuasa
agar lulus ujian, agar mendapat jodoh, agar langsing, agar sehat, agar sakti, dlsb.
Padahal, semua itu hanya ’dampak’ saja dari ibadah puasa. Tidak usah dipikirkan
dan apalagi dijadikan tujuan. Kalau puasanya ’karena Allah’ semata, PASTI semua
dampak positif itu akan datang dengan sendirinya.
2). Orang ikhlas menunaikan zakat dan shodaqohnya karena ingin menolong
orang lain, meniru Sifat Allah yang Maha Pemurah. Tetapi, orang yang pamrih mengeluarkan
zakat dan sedekah karena ingin dipuji orang, untuk memunculkan rasa bangga di dalam
hatinya karena bisa menolong orang, atau yang lebih parah lagi adalah berharap balasan
pahala sampai 700 kali dari nominal yang dikeluarkannya. Jadi, ketika dia mengeluarkan
uang Rp 1 juta, yang ada di benaknya adalah berharap mendapat BALASAN Rp 700 juta.
Berdagang dengan Allah..!
3). Orang ikhlas menunaikan haji dan umrohnya, karena ingin memperoleh
pelajaran berkorban, bersabar, keikhlasan, dan ketaatan, dalam mendekatkan diri
kepada Allah. Sedangkan yang pamrih, ingin sekedar BERDARMA WISATA, meskipun diembel-embeli
dengan kata RUHANI. Bahkan saat haji banyak orang yang meniatkan hajinya sekedar
pada titel HAJI, atau penampilan berkopiah haji, panggilan ’Wak Haji’, dan kemudian
membeli sertifikat haji dengan mengubah namanya. Dia berhaji bukan karena Allah,
tetapi karena segala macam tujuan selain Allah.
4). Orang ikhlas mengorientasikan seluruh ibadahnya untuk MENCINTAI ALLAH,
dan merendahkan ego serendah-rendahnya sebagai manifestasi syahadatnya: laa ilaaha
illallah ~ tiada Tuhan selain Allah. Tetapi orang-orang yang pamrih mengorientasikan
ibadahnya untuk mengejar SURGA, sehingga tanpa terasa ia meninggikan egonya, dan
mengesampingkan Allah sebagai fokus ibadahnya. Allah bukan tujuan hidupnya. Tuhannya
sebenarnya bukanlah Allah, melainkan Surga. Karena, ternyata, imajinasi kebahagiaanya
bukan saat dekat dengan Allah, melainkan berada di dalam surga. Yang demikian ini,
justru tidak akan mengantarkannya ke surga. Karena surga itu hanya disediakan bagi
orang-orang yang mengarahkan seluruh kecintaannya hanya kepada Allah semata. Dan
itu tercermin dalam doanya: Allahumma antasalam, waminka salam... ~ Ya Allah,
Engkaulah Kebahagiaan dan Kedamaian Sejati, dan dari-Mu-lah bersumber segala kabahagiaan...
Maka, kawan-kawan, marilah
kita belajar menjalani seluruh aktivitas kehidupan kita ini dengan IKHLAS. Bukan
ikhlas yang diikhlas-ikhlaskan, atau terpaksa ikhlas, melainkan IKHLAS yang dilambari
oleh KEPAHAMAN tentang substansi apa yang akan kita lakukan. Semakin paham Anda
terhadap apa yang akan Anda lakukan, semakin ikhlas pula anda menjalaninya. Sebaliknya,
semakin tidak paham, maka semakin tidak ikhlas pula hati Anda dalam menjalaninya.
Terpaksa Ikhlas, karena takut masuk neraka dan tidak memperoleh surga...
Betapa sayangnya, di dunia
merasa tersiksa karena TERPAKSA mengikhlaskan ibadahnya, sedangkan di akhirat juga
tidak memperoleh buah perbuatannya, karena ia tidak mendasarkan ibadahnya lillahi
ta’ala. Surga yang digambarkan sebagai taman-taman yang indah dengan mata air-mata
air itu tidak memberikan dampak kenikmatan baginya, karena sesungguhnya keindahan
itu dikarenakan KECINTAAN kepada Sang Maha Indah. Mirip dengan orang yang menginap
di hotel bintang lima, tetapi hatinya tidak bisa menikmati dikarenakan ia datang
kesana dengan TERPAKSA...
QS. Yunus [10]: 105
Dan HADAPKAN-lah wajahmu
(orientasi hidupmu) kepada agama dengan TULUS dan IKHLAS dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang musyrik (menduakan Allah sebagai tujuan hidup).
QS. Al A’raaf [7]: 29
... Dan LURUSKANLAH wajahmu
di setiap shalat dan sembahlah ALLAH dengan MENGIKHLASKAN ketaatanmu kepada-Nya...
QS. An Nisaa’ [4]: 125
Dan siapakah yang LEBIH
BAIK agamanya daripada orang yang IKHLAS menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
diapun MENGERJAKAN kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah
mengambil Ibrahim (dan orang-orang yang mengikuti ajarannya) menjadi KESAYANGAN
Allah.
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~