Minggu, 25 Maret 2012

AGUNGKAN ALLAH DENGAN PENGAGUNGAN SEMESTINYA

oleh Agus Mustofa pada 24 Maret 2012 pukul 8:56

Alam semesta adalah mahakarya yang luar biasa. Di dalamnya tersimpan berbagai misteri abadi yang tiada habis-habisnya untuk dipelajari. Allah menyebutnya sebagai karunia yang tiada pernah selesai dituliskan, meskipun dengan tinta sebanyak tujuh samudera. Karena sesungguhnya, ilmu Allah tiada bandingnya, dan tak pernah bisa dibayangkan oleh siapa pun makhluk ciptaan-Nya secara utuh.

QS. Luqman (31): 25-27
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah: "Segala puji bagi Allah". Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) sesudahnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat yang berbeda, Allah bahkan menyebut-nyebut penciptaan alam semesta ini lebih kompleks dibandingkan penciptaan manusia. Make sense, karena manusia memang hanya sebagian kecil saja dari eksistensi alam semesta yang mahaluas dan penuh misteri.

QS. An Naazi’at (79): 27-28
Lebih sulit manakah: menciptakanmu ataukah menciptakan langit? Allah telah membangun (langit itu), meninggikannya, (dan) kemudian menyempurnakannya..

Kemegahan alam semesta menjadi salah satu pintu masuk untuk mengenal Sang Pencipta. Baik dari sisi keindahannya, kerumitannya, kekokohannya, keseimbangannya, dan berbagai sisi yang sangat menakjubkan. Karena itu, Allah sangat sering menyebut-nyebut alam semesta untuk memancing perhatian kita dalam memahami Sang Pencipta. Selain, tentu saja, memahaminya lewat kemisteriusan diri manusia sendiri.

QS. Adz Dzaariyaat (51): 20-21
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (eksistensi Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?

QS. Al Mulk (67): 3-4
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat pun, dan melelahkan.

Maka dalam kesempatan ini saya hanya ingin menyampaikan, bahwa apa yang telah saya uraikan dalam serial notes ini adalah dalam rangka mengenal Allah lebih dekat, dengan segala kedahsyatan ilmu-Nya. Yang dengan membahasnya - mudah-mudahan – kita menjadi sadar betapa ringkihnya makhluk bernama manusia ini. Dan betapa Agungnya Sang Maha Pencipta. Pengetahuan dan kemampuan yang harus kita kerahkan untuk memahami realitas yang sekedar proyeksi diri-Nya saja sudah sedemikian canggihnya. Apalagi, untuk memahami eksistensi-Nya.

Allah selalu mendorong kita untuk terus mengeksplorasi ayat-ayat-Nya kauniyah (alam) simultan dengan ayat-ayat qauliyah (firman), agar kita bisa semakin mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya. Karena, banyak diantara kita yang memilih untuk melewatkan begitu saja ilmu-ilmu yang sangat berharga dan penuh hikmah ini.

QS. Yusuf (12): 105
Dan betapa banyaknya tanda-tanda (eksistensi Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak memperhatikannya.

QS. Az Zumar (39): 67
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.

Sebagai penutup serial notes kali ini, saya kira ada baiknya kalau saya sarikan kembali garis besar dari apa yang telah kita bahas, agar kawan-kawan memperoleh pemahaman utuhnya secara lebih sederhana.

  1. Pemahaman terhadap realitas alam semesta ini terus berkembang seiring dengan data-data hasil pengamatan yang dilakukan manusia, dan kemudian melahirkan teori-teori yang saling melengkapi menuju pada kesempurnaan.
  2. Awalnya manusia memandang alam semesta sebagai ruangan yang statis dan terpisah dari waktu. Artinya, ruang dan waktu itu tidak memiliki hubungan apa pun. Dan berdiri sendiri-sendiri sebagai konstanta. Lantas, pada perkembangan berikutnya, ruang dipandang sebagai konstanta, dan waktu sebagai variable yang berjalan sendiri. Juga, tidak ada keterikatan apa-apa diantara keduanya. Sehingga, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya pun dianggap sebagai kejadian yang mandiri.
  3. Revolusi pemahaman mulai terjadi ketika Einstein mengemukan teori relativitasnya dalam memahami alam semesta dengan segala peristiwanya. Menurut Einstein, ruang dan waktu adalah variable yang eksis dalam satu paket. Tidak bisa dipisahkan. Karena, ruangan alam semesta ternyata tidak statis berupa konstanta. Alam semesta terbukti mengembang, seiring dengan waktu yang juga bertambah. Sehingga, menurutnya gerakan ruang dan waktu tidak boleh dipahami sendiri-sendiri. Setiap perubahan ruang akan menghasilkan perubahan waktu, dan demikian pula sebaliknya. Konsekuensinya setiap benda yang bergerak dalam ruang dan waktu akan mengalami relativitas. Bisa waktunya yang relative, atau bisa juga ruangnya yang relative. Waktu dan ruang bukan lagi konstanta, melainkan variable yang bisa mulur-mungkret seiring dengan kecepatan pengamat. Dan batas kecepatan pengamat tidak dimungkinkan untuk lebih dari kecepatan cahaya. Karena itu Einstein memasukkan konstanta kecepatan cahaya dalam rumus-rumus relativitasnya. Jika kecepatan pengamatan melebihi cahaya, ia akan berada dalam dimensi imajiner, alias tak mungkin.
  4. Teori Einstein telah berjasa mengubah atau lebih tepatnya menyempurnakan pemahaman manusia menjadi ‘lebih realistik’ dalam memandang realitas. Meskipun teori-teori klasik Newtonian masih juga sangat bermanfaat untuk digunakan bersamaan dengan teori Einstein. Teori klasik masih bisa digunakan dalam kondisi yang parsial dan kecepatan rendah. Sedangkan teori Einstein bisa digunakan dalam kondisi yang lebih holistik termasuk yang berkecepatan tinggi. Dengan kata lain, jika teori Einstein digunakan dalam kondisi kecepatan rendah, hasilnya sama dengan yang diprediksikan oleh teori klasik Newtonian. Sebaliknya, teori Newtonian tidak bisa digunakan dalam kondisi pengamat yang bergerak dengan kecepatan tinggi.
  5. Sebagaimana teori klasik Newtonian, teori Einstein ternyata memiliki kelemahan dalam menjelaskan kondisi tertentu. Khususnya, terkait dengan adanya fakta bahwa partikel-partikel sub atomik bisa berinteraksi secara real-time dalam kondisi tertentu - tidak bergantung pada jarak. Jika teori Einstein diterapkan disini, hasilnya akan memunculkan kecepatan melebihi cahaya. Sebuah prinsip dasar yang tidak diizinkan dalam teori Einsteinian. Maka muncullah teori baru, yakni teori holografik seperti yang saya uraikan dalam note sebelumnya. Bahwa, fakta real-time yang tak bergantung ruang-waktu itu hanya bisa dijelaskan, jika alam semesta ini merupakan sebuah ilusi. Serta memiliki hubungan tak terbatas di dimensi ruang yang lebih tinggi.
  6. Dari perkermbangan teori yang semakin menyempurna itulah saya memahami informasi-informasi Al Qur’an – ayat-ayat qauliyah – tentang realitas.

Yang pertama, kurva ruang dan waktu yang melengkung itu membawa konsekuensi adanya dimensi lebih tinggi: ruangan langit di dalam ruangan langit yang lebih besar. Yang oleh Al Qur’an disebut sebagai langit berlapis tujuh.
Yang kedua, dikarenakan kurva ruang-waktu yang melengkung itu, maka kita mempunyai peluang untuk melihat peristiwa di masa depan pada jarak yang jauh sekalipun. Yakni, dengan menerobos lewat dimensi ruang yang lebih tinggi. Semakin tinggi dimensi langitnya, semakin pendek jalan pintasnya.
Ketiga, peristiwa-peristiwa di alam semesta ini ternyata berlangsung secara bersamaan dalam kanvas ruang-waktu yang baru dimulai, sekaligus sudah diakhiri. Namun demikian, manusia menjalani semua itu sebagai ‘kejadian yang serial’ disebabkan ia terikat oleh dimensi ruang dan waktu dan menjalaninya secara urut. Seandainya manusia tidak terikat dimensi ruang-waktu, maka kita akan bisa melihat seluruh ‘lukisan di atas kanvas’ alam semesta ini secara paralel.
Keempat, teori holografik memecahkan kebuntuan teori Einstein dengan smart. Bahwa, alam semesta ini tak lebih hanyalah proyeksi dari sebuah peristiwa tunggal di alam yang lebih tinggi, yang telah saya jelaskan lewat analogi ‘ikan di dalam aquarium’ di note sebelumnya. Hal ini memberikan penjelasan yang koheren dengan informasi Al Qur’an tentang Lauh Mahfuzh. Bahwa seluruh realitas ini memang sudah ada di dalam kitab induk bernama Lauh Mahfuzh itu. Dengan kata lain, segala peristiwa ini hanyalah proyeksi holografik dari master film bernama Lauh Mahfuzh, dimana seluruh realitas sudah termaktub. Kitab induk itu sendiri pun merupakan proyeksi holografik dari Sang Pencipta, Yang Maha Berilmu dan Maha Bijaksana…

QS. Al Hadiid (57): 22
Tiada suatu bencana (peristiwa) pun yang terjadi di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Kelima, posisi ‘kehendak’ manusia pun merupakan proyeksi holografik dari kehendak Allah. Sehingga setiap kehendak manusia yang disebut sebagai ‘kehendak bebas’ (free will) ini pun sebenarnya berada dalam kehendak Allah. ‘Kebebasan’ yang dimiliki oleh manusia dalam berkehendak itu selalu berada di dalam bingkai ‘kehendak Allah’ yang holistik. Sehingga, seakan-akan manusia bisa memilih takdirnya sendiri. Padahal segala alternative pilihan itu tak pernah keluar dari  frame kehendak-Nya. Disinilah letak kerelatifan manusia dalam memilih takdirnya, dalam memperoleh kebaikan atau keburukan. Setiap takdir adalah baik di sisi Allah, tetapi bisa menjadi buruk di mata manusia, dikarenakan keterbatasan manusia dalam memilih takdir yang dikira terbaik baginya.

QS. An Nisaa’ (4): 79
Segala kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan segala keburukan yang menimpamu berasal dari (keterbatasan)-mu sendiri…

Demikianlah sepenggal catatan saya, tentang secuil misteri alam semesta yang sangat dahsyat. Tentu, masih sangat banyak pertanyaan yang bergelayutan di benak saya maupun benak Anda, menunggu jawaban yang lebih terang benderang. Dengan harapan akan membuka cakrawala pemahaman kita terhadap alam semesta, Ciptaan Allah Sang Maha Perkasa. Semoga Allah membimbing kita semua di jalan yang diridhai-Nya…

Wallahu a’lam bishshawab


~ Salam ~

Jumat, 23 Maret 2012

‘BARU DIAWALI, SEKALIGUS SUDAH DIAKHIRI’


Perpaduan antara teori klasik Einsteinian dan teori holografik cukup bermanfaat untuk menjelaskan berbagai fenomena alam semesta yang selama ini dianggap rumit. Termasuk untuk menjelaskan konsep Takdir yang masih membingungkan sejumlah kalangan.

Dalam sudut pandang Einsteinian, ruang dan waktu adalah dimensi kontinum yang eksistensinya sudah ada secara bersamaan. Ketika kita menyebut variable ruang: disana-disini-disitu, maka dalam konteks yang senada kita pun bisa mengatakan: dulu-sekarang-nanti. Ya, sebagaimana dimensi ruang yang memuat ‘disana-disini-disitu’ secara bersamaan, dimensi waktu pun memuat ‘dulu-sekarang-nanti’ dalam satu paket.

Dengan kata lain, seluruh peristiwa yang terjadi di masa lalu, di waktu sekarang, dan di masa yang akan datang, sebenarnya terjadi secara berbarengan di dalam kontinum ruang-waktu. Atau bisa dikatakan: sebuah peristiwa sedang dimulai, sedang berlangsung, dan sedang diakhiri, terjadi bersamaan..! Pemahaman seperti ini, memang agak membingungkan sejumlah kalangan. Terutama yang ‘terjebak’ pemahaman lama, dimana waktu ‘terkesan’ terjadi secara berurutan: dulu, sekarang, dan nanti.

Bagi mereka yang memahami teori ruang-waktu Einsteinian agaknya bisa mengerti keberadaan dimensi ruang-waktu yang tak terpisahkan itu. Memang, jauh lebih mudah membayangkan dimensi ruang ‘disana-disini-disitu’ secara bersamaan, daripada membayangkan waktu ‘dulu-sekarang-nanti’ yang eksis sepaket. Dalam dimensi ruang, ketika Anda berdiri ‘disini’, maka Anda langsung bisa mengerti jika dikatakan ‘disana’ dan ‘disitu’ terjadi bersamaan. Bahkan Anda bisa menunjuk dengan jari telunjuk Anda posisi yang berbeda itu. Ini berbeda dengan dimensi waktu yang jauh lebih abstrak.

Tapi begitulah, karena perubahan dimensi ruang yang sedang mengembang ini terikat pada pertambahan dimensi waktu, maka konsekuensinya dimensi waktu pun sebenarnya telah eksis di alam semesta sebagai bentuk kontinum dari T = nol sampai T = tak berhingga. Dan akibatnya, seluruh peristiwa yang terjadi di dalam dimensi ruang-waktu itu pun sudah terjadi secara bersamaan ‘disini-disitu-disana’ dalam waktu ‘dulu-sekarang-nanti’ yang juga serentak.

Saya ingin memberikan analogi yang lebih mudah. Marilah kembali kepada grafik tiga dimensi berbentuk globe yang sudah saya jelaskan dalam note-note sebelumnya. Jika alam semesta dianalogikan dengan globe itu, maka alam semesta ini memang sudah mewujud. Wujudnya apa? Ya globe itu. Karena globe itu memang terbentuk dari dimensi waktu dan dimensi ruang secara simultan. Garis bujurnya membentuk dimensi waktu, sedangkan garis lintangnya membentuk dimensi ruang.

Jadi, ketika ruang & waktu belum berubah, globe itu belum terbentuk. Atau dalam realitas alam semesta, ketika ruang dan waktu itu belum bergerak, maka alam semesta ini belum eksis. Padahal alam semesta ini ternyata sudah eksis. Berarti, ruang dan waktu pun sudah eksis. Waktu T = nol, dan volume V = nol, berada di kutub utara globe. Yakni saat, alam semesta berada di awal penciptaan. Sedangkan waktu T = tak berhingga, dan volume V = nol ada di kutub selatan globe, yakni ketika alam semesta mengalami keruntuhan. Volume terbesarnya berada di perut globe, di lingkaran katulistiwa, yakni saat alam semesta bergerak berbalik arah dari mengembang ke mengerut.

Jika Anda ingin berada di dalam ruang yang lebih besar atau berpindah dari ‘sini’ menuju ‘kesana’, maka Anda harus bergerak di dalam waktu yang ‘menua’, yakni bergerak dari kutub utara globe ke kutub selatannya. Tidak bisa tidak. Karena, waktu hanya bergerak searah ke masa depan. Begitu Anda bergerak – ke arah manapun – ke barat, timur, selatan, utara, maka Anda berarti bergeser menuju katulistiwa. Alias menuju ruang alam semesta yang semakin membesar, dimana waktu bergerak menua. Dan jika Anda teruskan lagi, maka Anda akan ‘terseret’ oleh pergerakan waktu menuju ke kutub selatan, dimana volume alam semesta akan mengecil kembali.

Jadi ringkas kata, realitas alam semesta ini ibarat sebuah ‘kanvas peristiwa’, yang terbuat dari dimensi ruang dan waktu. Dimana sang kanvas tidak berhenti alias statis, melainkan dinamis seiring terjadinya peristiwa itu sendiri. Dan terbentuk oleh waktu yang bergerak ke masa depan, seiring volume semesta yang mengembang, dan kemudian mengerut kembali.

Maka, globe sudah terhampar dengan koordinat ruang-waktu dalam bentuk garis-garis lintang dan garis bujurnya. Peristiwa yang akan kita temui pun sudah terhampar di permukaan globe itu. Tinggal, Anda sebagai ‘pengamat sekaligus pelaku’ akan bergerak kemana untuk ‘membentuk sejarah’ Anda masing-masing. Semua bergantung ‘kehendak’ dan keinginan Anda untuk menciptakan sejarah Anda sendiri, di dalam ruang dan waktu yang sebenarnya sudah terhampar beserta segala peristiwanya.

Setiap peristiwa sedang dimulai, dijalani, dan diakhiri oleh setiap orang yang menempuh sejarahnya masing-masing. Tetapi, karena setiap orang harus melewati dimensi waktu secara berurutan, semua peristiwa itu tampak ‘seakan-akan serial’. Padahal semua peristiwa itu sudah eksis di alam semesta ‘secara paralel’.

Di dalam buku MEMBONGKAR TIGA RAHASIA saya menganalogikan sejarah setiap orang itu terbentuk oleh perjalanannya sendiri di ruang angkasa. Bayangkanlah, setiap orang memiliki sebuah sepeda motor luar angkasa yang sangat canggih. Cara menjalankan sepeda motor itu cukup dengan kehendak. Setiap Anda berkehendak maju, maka spontan kendaraan angkasa itu akan maju. Dan kalau Anda berkehendak berhenti, maka seketika itu pula ia akan berhenti. Anda bisa bergerak tiga dimensi di dalam ruang.

Rute perjalanan Anda adalah ke angkasa luar, menjelajah ruang dan waktu. Di ruang angkasa itu terdapat ‘stasiun-stasiun peristiwa’ yang jumlahnya tidak berhingga. Dimana Anda akan membentuk ‘sejarah perjalanan’ Anda sendiri dengan cara mampir ke stasiun-stasiun itu. Maka, ada miliaran manusia yang melesat ke luar angkasa dalam misi perjalanannya.

Lintasan yang Anda tempuh adalah dimensi ruang, dimana Anda boleh menentukan sebebas-bebasnya untuk mengunjungi stasiun peristiwa yang mana pun Anda ingini. Ada yang memulai kunjungannya dari stasiun nomer 1, dan berurutan ke stasiun-stasiun berikutnya sebanyak yang dia bisa capai. Ada pula yang mengunjungi stasiun-stasiun peristiwa itu secara acak, dimulai dari stasiun nomer 100, lantas 20, dilanjutkan ke 75, dst. Atau, ada yang terbengong-bengong belaka.

Tetapi, ingat, setiap pengembara diberi waktu terbatas berdasar bahan bakar yang diisikan ke dalam sepeda motornya. Maka, saat stop watch dipencet bergeraklah seluruh pengendara sepeda motor itu dengan agenda masing-masing untuk mengunjungi stasiun-stasiun peristiwa yang akan membentuk sejarahnya. Setiap orang pasti berbeda sejarah, meskipun ada juga sebagian yang sama. Apalagi, di setiap stasiun itu ternyata pertunjukan yang disajikan terus berganti-ganti. Sehingga setiap orang yang mampir ke stasiun itu berpeluang untuk memperoleh suguhan peristiwa yang berbeda. Sejarah yang berbeda.

Analogi diatas barangkali tidak persis dengan mekanisme sejarah kehidupan yang kita lalui. Tetapi intinya adalah, setiap orang memiliki peluang untuk membangun sejarah masing-masing secara berbeda di dalam ruang dan waktu yang sudah ada. Faktor utama pada setiap orang berada pada kehendak bebasnya. Tetapi, harus diingat, ia hanya bisa berjalan diantara stasiun-stasiun peristiwa yang sudah ada di dalam dimensi ruang-waktu. Sejarah setiap orang ‘hanyalah soal urutan’ mengalami peristiwa yang dia pilih, dari alternative peristiwa berjumlah tak berhingga yang terhampar di kanvas alam semesta.

Lantas bagaimana hubungannya dengan Tuhan Sang Penguasa segala peristiwa? Teori holografik, saya kira, bisa membantu menjelaskannya. Bahwa seluruh peristiwa di alam semesta ini sebenarnya adalah pancaran holografik dari eksistensi Tuhan. Bukan hanya pada variable materi sebagai pembentuk sosok, dan variable energi sebagai penggerak peristiwa. Melainkan, ‘kanvas’ ruang dan waktu pun adalah proyeksi dari eksistensi-Nya. Demikian juga variable informasi yang memicu terjadinya peristiwa. Semua itu adalah proyeksi diri-Nya.

Allah menggambarkan, bahwa seluruh peristiwa memang sudah tersedia dalam bentuk file di kitab induk yang disebut sebagai Lauh Mahfuzh. Tak ada satu peristiwa pun yang tidak termaktub di pusat data alam semesta itu. Dimana data-data inilah yang kemudian diproyeksikan secara holografik ke kanvas ruang-waktu untuk menjadi peristiwa. Data-data di Lauh Mahfuzh itu sendiri merupakan ‘proyeksi’ yang mewakili sifat-sifat dan eksistensi-Nya.

QS. Al An’aam (6): 59
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan. Dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya. Dan tidak jatuh sebutir biji pun di dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

Jadi, kitab induk data alam semesta inilah yang menjadi ‘master film’ hologram yang di putar di layar ruang dan waktu. Bahkan, sebenarnya ruang-waktu itu sendiri pun merupakan hasil proyeksi holografik. Dengan kata lain, semua realitas ini semu belaka. Bagaikan bayang-bayang tiga dimensi dari foto hologram yang sebenarnya merupakan efek holografik yang ditembakkan di lembaran kertas foto yang dua dimensi. Ya, efek tiga dimensi yang terjadi pada lembaran kertas foto itu semu belaka.

Sama dengan realitas kehidupan ini, dimana kanvas alam semesta yang kosong ‘ditembak’ dengan pancaran ‘sinar ilahiah’ melewati ‘master film’ holografik berupa kitab peristiwa Lauh Mahfuzh. Hasilnya adalah efek hologram di kanvas ‘ketiadaan’ yang menghasilkan variable ruang-waktu-materi-energi-informasi. Kombinasi simultan dari berbagai variable itulah yang membentuk berbagai peristiwa sebagai sejarah personal maupun kolektif.

Semua itu tampak nyata, karena Allah menciptakan perangkat ‘kamera dan monitor’ yang sangat canggih berupa panca indera dan otak. Sistem saraf yang dikomandoi otak inilah sebenarnya yang membuat segala efek hologram itu menjadi tampak nyata. Bisa dipahami secara berurutan di dalam ruang dan waktu, serta terlihat berinteraksi secara material dan energial.

Lantas, apa substansi dasar dari eksistensi manusia ini? Jawabnya adalah: ruh. Dengan ruh itulah seseorang ‘berkehendak’ untuk melewati sejarah kehidupannya. Melintasi berbagai peristiwa yang sudah terhampar di alam semesta, untuk membentuk urutan unik secara personal maupun kolektif. Dan menariknya, saya kira Anda pun sudah tahu, bahwa ruh itu ternyata juga hasil ‘proyeksi holografik’ dari sifat-sifat Ilahiah dalam skala makhluk. Saat DIA menghembuskan sebagian ruh-Nya, manusia lantas memperoleh sifat-sifat-Nya, diantaranya adalah ‘berkehendak’.

Maka, kalau kemudian ada yang bertanya: kehendak saya ini bebas ataukah terikat pada kehendak Allah? Saya kira sekarang Anda sudah bisa menjawab sendiri, bahwa segala kehendak ini tak lain hanyalah kehendak Dzat Penguasa Jagat Semesta, Yang Maha Berkehendak dan Maha Bijaksana. Sedangkan kehendak manusia, hanyalah proyeksi holografik dari kehendak Allah yang derajatnya sangat parsial bergantung pada sudut pandang kita dalam melihatnya. Persis gambar-gambar semu hologram yang bisa berubah-ubah ketika dilihat dari sisi yang berbeda..!

QS. Al Maa-idah (5): 17
… Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

QS. Al Baqarah (2): 117
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah". Lalu jadilah ia.

QS. Al Hajj (22): 70
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.

Wallahu a’lam bishshawab

~ Salam Merenungi ‘Eksistensi Semu’ Segala Ciptaan-Nya ~


oleh Agus Mustofa pada 22 Maret 2012 pukul 17:19

Kamis, 22 Maret 2012

SELURUH REALITAS INI HANYA 'BAYANGAN' BELAKA


PENEMUAN Alain Aspect bersama timnya dari Universitas Paris, tentang adanya interaksi antar partikel yang melebihi kecepatan cahaya telah melahirkan teori holografik yang mengubah pemahaman manusia modern terhadap realitas alam semesta. Ini sekaligus menjawab kelemahan teori Einstein tentang kontinum ruang dan waktu.

Tiga dasawarsa yang lalu, Aspect bersama timnya menemukan fakta bahwa partikel-partikel sub-atomik seperti elektron mampu berkomunikasi secara real-time tanpa tergantung jarak. Tidak ada bedanya antara jarak 1 meter dengan 1 milyar tahun cahaya. Dalam kondisi tertentu, ternyata interaksi antar benda bisa berjalan secara serentak.

Tentu saja, hal ini melanggar prinsip dasar teori Einstein yang menyatakan setiap interaksi membutuhkan proses dengan kecepatan tak melebihi cahaya. Dalam skala makrokosmos, Teori Einstein terbukti tidak bisa menjelaskan fenomena: kenapa antara dua benda langit yang berjarak miliaran tahun cahaya bisa terikat oleh gravitasi secara real-time alias serentak. Apakah laju gaya gravitasi memiliki kecepatan melebihi cahaya? Sebuah fakta yang bertolak belakang dengan keyakinan para penganut teori Einstein.

Jawaban atas fenomena ini muncul dari penelitian Aspect cs, yang kemudian memicu munculnya teori holografik yang diajukan oleh pakar Fisika Teoritis dari Universitas London, David Bohm dan pakar neurofisiologi Karl Pribram dari Universitas Stanford. Menurut Bohm, adanya interaksi real-time antar benda itu bisa dijelaskan dengan teori holografik. Yakni, seluruh realitas ini sebenarnya adalah ilusi semata. Sekedar proyeksi dari sebuah realitas yang ‘lebih dalam’, di balik apa yang bisa kita observasi.

Ia menganalogikan demikian. Ada seekor ikan di dalam sebuah aquarium besar. Di semua sisi aquarium itu dipasangi kamera: depan-belakang, kanan-kiri, dan atas-bawah. Keenam kamera itu lantas dihubungkan dengan enam buah monitor di ruangan yang berbeda. Kita, sebagai pengamat, tidak menyaksikan ikan itu secara langsung, melainkan lewat keenam layar monitor. Tentu, seluruh kamera akan menangkap gambar ikan dari sisi yang berbeda-beda: kepala, ekor, sirip atas, bawah, dan samping.

Maka, apakah yang terjadi ketika ikan itu bergerak? Seluruh layar monitor pun akan menampilkan ‘ikan yang berbeda’. Monitor satu, menampilkan gerakan kepala. Monitor dua menampilkan gerakan ekor. Dan monitor-monitor lain menampilkan sirip-sirip, serta bagian tubuh lainnya. Dan lihatlah, semuanya terjadi secara serentak..! Tanpa membutuhkan waktu proses.

Bahkan seandainya seluruh monitor itu dipisahkan dalam jarak miliaran tahun cahaya, seluruh layar monitor akan menampilkan perubahan itu secara real-time, terhadap peristiwa tunggal yang terjadi di dalam aquarium tersebut. Tidak ada interaksi antar-benda yang melebihi kecepatan cahaya disini. Karena, seluruh apa yang kita lihat memang bukan realitas, melainkan sekedar proyeksi dari sesuatu yang tunggal belaka..!

Begitulah realitas alam semesta menurut paradigma holografik. Seluruh materi, energi, ruang, dan waktu ini tak lebih hanya proyeksi dari sebuah ‘Realitas Tunggal’ yang tersembunyi di balik segala yang bisa kita observasi. Kenapa bisa demikian? Jawabannya diberikan oleh pakar Neurofisiologi, Karl Pribram dari Universitas Stanford.

Menurut Pribram, itu dikarenakan otak kita ini bekerja secara holografik. Otak kita dengan sistem sensorik panca indera itulah sebenarnya yang menstransfer ’Realitas Sejati’ di balik alam semesta, bagaikan sebuah kamera, yang kemudian ditampilkan di ’layar monitor’ pemahaman kita. Mirip dengan kamera yang digunakan untuk memantau ikan di dalam aquarium yang saya ceritakan di atas. Seluruh frekuensi yang datang dari mata, telinga, penciuman, lidah, dan kulit diproyeksikan ke dalam ’layar monitor’ di otak kita. Dan kemudian menghasilkan gambar-gambar holografik yang kita pahami sebagai persepsi.

Sebagai gambaran, proses holografik pada benda terjadi karena adanya interferensi sinar dari arah yang berbeda yang berpadu sehingga membentuk gambar semu. Saya kira, Anda pernah melihat gambar hologram. Cara membuatnya begini: sebuah obyek gambar yang ingin dibuat hologramnya dipancarkan dengan sinar laser ke sebuah pelat film. Dalam waktu yang bersamaan pelat film itu juga disinari dengan laser dari sudut yang berbeda. Bisa dengan obyek yang sama, bisa juga dengan obyek yang berbeda.

Maka, ketika pelat film itu dicetak, ia akan menghasilkan gambar hologram tiga dimensi yang semu. Jika obyek yang diproyeksikan sama, Anda akan melihat hasil cetakannya menjadi 'dobel' atau meruang dalam tiga dimensi dipandang dari sudut tertentu. Tetapi jika obyeknya berbeda, Anda akan melihat gambar hologram itu berubah-ubah ketika dipandang dari sudut yang berbeda.

Begitulah kurang lebih cara kerja otak kita. Ia bekerja sebagai layar monitor yang menerima proyeksi dari sistem sensorik, yang kemudian menghasilkan interferensi frekuensi dari berbagai sudut, sehingga menghasilkan image atau persepsi tiga dimensi. Tetapi, sesungguhnya semua itu semu belaka. Karena kita tidak pernah ’melihat’ realitas sesungguhnya di alam semesta ini, kecuali sesudah melewati ’kamera’ panca indera dan ’layar monitor’ sistem saraf di otak kita..!

Mekanisme holografik ini pula yang bisa menjelaskan, kenapa sistem memori di otak kita demikian canggihnya. Bahwa sistem memori itu tidak terjadi secara terpusat di salah satu bagian otak saja, melainkan terpencar ke seluruh bagian otak. Ini sangat sesuai dengan mekanisme holografik, dimana perpaduan gelombang yang berinterferensi itu terjadi di semua titik-titik cahaya yang diproyeksikan. Dan bisa mencapai variasi dalam jumlah tak berhingga, hanya dengan mengubah sedikit sudut pancaran sinar laser yang ditembakkan ke pelat film.

Di setiap perpaduan gelombang itulah memori holografik tersimpan. Dan sudah terbukti dalam berbagai penelitian holografik, bahwa dalam setiap senti meter kubik pelat film hologram bisa tersimpan memori sebesar 10 miliar bit informasi. Sebuah kapasitas memori yang luar biasa besar, yang sangat bersesuaian dengan fenomena kerja memori otak kita.

Dengan teori holografik ini pula bisa dijelaskan, kenapa otak manusia bisa ’melihat’ gelombang suara dan ’mendengar’ gelombang cahaya.  Termasuk bisa menangkap berbagai frekuensi yang memapar seluruh permukaan tubuh ataupun langsung menuju ke otak. Berbagai penelitian menunjukkan ternyata range frekuensi panca indera kita itu jauh lebih lebar dari yang diperkirakan selama ini. Seluruh tubuh kita bisa menangkap frekuensi alam semesta di sekitarnya, dan merekamnya secara holografik di dalam otak kita. Dengan cara ini pula bisa dijelaskan, kenapa seseorang bisa melakukan hubungan-hubungan telepati dengan orang lain, dan menangkap tanda-tanda alam di sekitarnya secara radiatif langsung ke otaknya.

Maka ringkas kata, saya cuma ingin menggambarkan kepada Anda semua, bahwa pemahaman manusia terhadap realitas alam semesta ke masa depan boleh jadi akan mengalami revolusi besar-besaran seiring dengan diterimanya teori holografik secara luas. Pijakannya sangat kuat, didukung oleh berbagai data yang semakin terbukti ke masa depan. Bahwa, segala realitas ini tak lebih hanya sebuah hologram yang diproyeksikan ke kanvas alam semesta dari ’Realitas Sejati’ yang berada di balik segala yang bisa kita observasi..!

Alam semesta dengan segala peristiwanya ini, tak lebih hanya bayangan semu dari Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana..! Hanya manusia yang tinggi hati dan tak tahu diri saja yang merasa dirinya 'ada', apalagi mengira akan 'eksis selama-lamanya'. Dalam berbagai firman-Nya, Allah telah menjelaskan bahwa kehidupan ini sebenarnya semu dan menipu. Allah mengibaratkan diri-Nya sebagai pelita, dan segala ciptaan-Nya sebagai cahaya. Yang nyata tentu saja adalah pelita, sedangkan cahaya hanya pancaran dari sang pelita.

Ya, semua realitas ini, termasuk diri kita ternyata hanyalah hologram dari diri-Nya..!

QS. Al Hadiid (57): 20
... Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

QS. An Nuur (24): 35
Allah mencahayai langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca. Kaca itu bagaikan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya. Yaitu, pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat. Minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Wallahu a’lam bishshawab

~ Salam Merenungi Misteri Alam Semesta ~


oleh Agus Mustofa pada 21 Maret 2012 pukul 10:48

Selasa, 20 Maret 2012

STRUKTUR 'LANGIT DI DALAM LANGIT' YANG MENAKJUBKAN

Kurva tiga dimensi berbentuk globe, yang saya jelaskan di note sebelumnya, saya kira lumayan baik untuk menggambarkan hubungan antara dimensi ruang dan waktu alam semesta. Dengan globe itu kita bisa memperoleh gambaran bahwa kurva waktu berbentuk lengkung, sebagaimana kurva ruang yang juga berbentuk lengkung.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: kemanakah melengkungnya kurva di permukaan bola yang berdimensi dua itu? Seandainya alam semesta ini hanya berdimensi dua, berupa lembaran (bukan ruang angkasa yang bervolume), maka lembaran permukaan globe itu tidak akan bisa melengkung membentuk bola. Bentuk bola hanya terjadi di ruang tiga dimensi. Sedangkan bentuk lembaran terjadi di ruang dua dimensi.

Maka, agar sebuah lembaran bisa dilengkungkan ia harus berada di dalam ruang berdimensi lebih tinggi. Sehingga menjadilah sebuah bola yang bervolume, yang dibentuk dari lembaran berdimensi dua yang dilengkungkan. Pada bola yang berdimensi tiga alias bervolume itulah terkandung permukaan bola yang berdimensi dua berbentuk lembaran tiada bertepi.

Sekarang, tolong Anda jawab pertanyaan ini: apakah permukaan bola memiliki tepi? Bayangkanlah, jika Anda berjalan di atas permukaan globe itu ke arah depan terus menerus, apakah Anda akan bertemu tepinya? Tentu saja tidak. Karena, jika diteruskan, perjalanan Anda itu akan mengelililingi globe dan kembali ke tempat Anda berangkat semula. Terbuktilah, bahwa permukaan bola yang melengkung dan berdimensi dua itu tidak memiliki tepi. Namun tetap terbatas. Permukaan bola itu memiliki batas luasan. Kita bisa menghitung besar luasan permukaan globe itu dengan rumus luas bola =  4 x pi x R^2.

Maka kita menyebut permukaan bola itu sebagai ruang berdimensi dua yang tak punya tepi, tetapi terbatas. Ruang berdimensi dua itu berada di dalam ruang berdimensi tiga, yakni volume bola, dan juga volume ruangan di luar bola. Dengan bahasa awam dikatakan, permukaan bola yang melengkung tak bertepi itu terendam di dalam ruangan dimana ia berada. Baik yang ada di dalam bola maupun yang ada di luarnya.

Perhatikanlah. Ternyata ruang dua dimensi terendam di dalam ruang tiga dimensi. Atau dengan kata lain, bisa juga dikatakan ruang tiga dimensi sebenarnya tersusun dari ruang dua dimensi. Dan ruang dua dimensi pun tersusun dari ruang satu dimensi. Secara awam bisa saya katakan, bahwa sebuah luasan yang berdimensi dua sebenarnya terbentuk dari garis-garis berdimensi satu yang jumlahnya tak berhingga. Karena jika Anda menggambar garis sebanyak-banyaknya secara berimpitan kumpulan garis itu akan membentuk luasan. Sebagaimana pula, kalau Anda menggambar titik-titik secara berimpitan dalam jumlah tak berhingga, akan membentuk sepotong garis.

Sebuah bola yang berdimensi tiga terbentuk dan tersusun dari lembaran-lembaran berdimensi dua dalam jumlah tak berhingga. Lembaran berdimensi dua itu tersusun dari garis-garis berdimensi satu yang jumlahnya juga tak berhingga. Dan garis-garis itu terusun dari titik-titik tak bedimensi yang jumlahnya tak berhingga. Sebuah titik tak berdimensi boleh juga disebut sebagai ‘ketiadaan’. Ada simbolnya, tetapi tak ada kuantitasnya. Seperti angka nol, ada simbolnya tetapi tak ada isinya. Jadi segala yang ada ini sebenarnya tersusun dari 'ketiadaan'.

Apa yang saya ceritakan di atas adalah dalam rangka menerangkan struktur langit, alias alam semesta yang berbentuk lengkung itu. Bahwa, karena ruang alam semesta yang berdimensi tiga ini berbentuk lengkung, maka alam semesta membutuhkan ruang berdimensi lebih tinggi untuk mewadahi kelengkungannya. Ruang berdimensi empat itulah langit kedua, yang mewadahi melengkungnya langit pertama.

Untuk memudahkan penjelasan, proyeksikanlah langit berdimensi tiga ini sebagai sebentuk garis. Proyeksi adalah sebuah cara untuk menurunkan derajat dimensi. Sebagai contoh, badan Anda yang tiga dimensi jika disorot dengan lampu proyektor ke dinding akan menjadi bayangan yang berdimensi dua. Dan bayangan yang berdimensi dua itu jika diproyeksikan lagi akan menjadi sebuah garis. Maka, ambillah hasil proyeksi berupa garis itu sebagai cara untuk memudahkan penjelasan. Bahwa sepotong garis bisa kita gunakan untuk mewakili ruang tiga dimensi alam semesta.

Maka, kalau Anda melengkungkan sepotong garis yang berdimensi tiga (langit pertama) itu sampai ujungnya bertemu dengan ujung lainnya, ia akan membentuk lingkaran. Nah, lingkaran itu adalah ruang berdimensi lebih tinggi, yakni berdimensi empat (langit kedua). Karena, ingat, garis yang menyusun lingkaran itu adalah ruang berdimensi tiga.

Dan jika kita lanjutkan, lingkaran itu kita jejer bertumpukan dalam arah melengkung, maka Anda akan memperoleh terowongan berbentuk donat. Lingkaran-lingkarannya membentuk kulit donat, yang dilengkungkan sampai bertemu ujung donat yang satu dengan ujung lainnya. Itulah langit ketiga yang berdimensi lima. Sebentuk donat yang mewadahi kelengkungan langit pertama berupa garis tiga dimensi, dan langit kedua berupa lingkaran empat dimensi.

Jika proyeksi dimensi alam semesta ini dilanjutkan sampai ke langit ke tujuh yang berdimensi sembilan, dengan cara menjejer donat-donat itu sehingga membentuk ruangan berdimensi lebih tinggi, kita akan memperoleh alam semesta berbentuk pensil atau terompet yang di salah satu ujungnya mengecil, dan di ujung lainnya membesar, disebabkan oleh dimensi waktu bergerak dari T=0 sampai tak berhingga. T = nol menyebabkan ujung pensil atau terompet yang lancip, dan T = tak berhingga membentuk ujung terompet yang membuka.

Yang lebih menarik, sebenarnya adalah struktur dimensi di dalam dimensi itu. Bahwa alam semesta ini ternyata memiliki dimensi-dimensi lebih tinggi yang belum kita pahami sepenuhnya, tetapi memberikan indikasi sangat kuat disebabkan oleh melengkungnya ruang dan waktu. Al Qur’an menyebutnya sebagai langit berlapis tujuh. Yang paling dekat dan paling kecil berdimensi tiga disebut sebagai langit dunia. Yang lebih besar, mewadahi langit dunia adalah langit kedua yang berdimensi empat. Yang lebih tinggi lagi adalah langit ketiga yang berdimensi lima. Dan seterusnya, sampai langit ke tujuh yang berdimensi sembilan. Di langit ke tujuh inilah Rasulullah pernah melihat masa depan alam semesta, dalam bentuk kehidupan surga. Yakni, saat menjalani Isra’ Mi’raj.

Kenapa bisa melihat masa depan? Karena beliau berada di langit berdimensi paling tinggi. Sebagaimana saya jelaskan di depan, bahwa langit yang lebih rendah itu bisa di-bypass dari ruangan berdimensi lebih tinggi. Sebagaimana analogi globe, bahwa permukaan di balik globe bisa dilihat dari permukaan seberangnya, lewat ruang tiga dimensi di dalam globe itu.

Bahkan, jika seseorang memiliki akses untuk menembus kedalaman globe itu, ia akan bisa muncul di permukaan seberang secara tiba-tiba tanpa harus berjalan melingkari permukaan globe. Inilah yang dalam pengetahuan modern disebut sebagai jalur lubang cacing alias wormhole, dimana seseorang bisa ‘lenyap’ - berpindah tempat -  dengan cara menerobos dimensi lebih tinggi.

Meskipun dewasa ini masih dalam skala partikel, penelitian tentang wormhole dan teleportasi ini semakin intens dan akan semakin gamblang ke masa depan. Ini sekaligus akan memberikan penegasan tentang adanya ruang-ruang berdimensi tinggi, selain ruang tiga dimensi yang kita tempati. Dimana langit dunia yang diperkirakan memiliki diameter 30 miliar tahun cahaya ini, sebenarnya hanya sebuah ‘ruangan kecil’ di dalam ruangan langit yang lebih besar yang mewadahinya.

Setiap pertambahan dimensi akan memunculkan perbandingan tak berhingga besarnya. Ibarat, jajaran titik-titik tak berhingga yang menyusun sepotong garis. Atau, jajaran garis berjumlah tak berhingga yang menyusun luasan. Atau, tumpukan tak berhingga luasan yang menyusun volume. Maka, manusia hanyalah sebutir debu di ruang langit pertama berdimensi tiga ini. Padahal, langit pertama ini cuma debu di dalam langit kedua. Dan langit keduanya pun hanya bagaikan debu di dalam langit ketiga. Dan seterusnya, debu bagi langit keempat, kelima, keenam, dan ketujuh.

Puncaknya, langit ketujuh yang berdimensi sembilan itu pun hanyalah sebutir debu atau lebih kecil lagi di dalam Dzat Allah Yang Maha Besar. Yang kebesarannya telah meliputi seluruh ruang dan waktu ciptaan-Nya. Yang wujud-Nya tak akan pernah terbayangkan oleh pikiran manusia. Karena, hanya untuk membayangkan ruang dan waktu sebagai ciptaan-Nya saja pun kita sudah kedodoran. Apalagi Dia Sang Maha Suci dan Maha Agung, yang di ‘tangan-Nya’ tergenggam seluruh realitas jagad semesta.

QS. Nuh (71): 15
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?

QS. Al Mulk (67): 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

QS. Al Israa’ (17): 44
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

QS. Az Zumar (39): 67
Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.

Wallahu a’lam bishshawab..

~ Salam Merenungi Misteri Alam Semesta ~

oleh Agus Mustofa pada 20 Maret 2012 pukul 12:59

MELIHAT MASA DEPAN LEWAT KURVA LENGKUNGNYA


Sejak zaman baheula manusia sudah merasakan dan menyadari adanya ‘sesuatu’ yang menggiring perjalanan hidup mereka menuju ‘terminal-terminal kehidupan’. Terlahir sebagai bayi, menjadi kanak-kanak, remaja, pemuda-pemudi, menua, dan kemudian mati. Bukan hanya pada diri manusia, melainkan juga terjadi pada ‘apa saja’ di lingkungan sekitarnya.

Manusia melihat tetumbuhan dan hewan-hewan juga demikian. Bebatuan, sungai, lembah, dan ngarai. Pegunungan, awan, angin, dan cuaca. Juga bulan, matahari dan bintang-bintang. Semuanya mengalami perubahan dalam fase-fase tertentu. Ya, alam semesta dengan segala peristiwanya sedang bergerak maju, dan tak pernah kembali ke masa lalu.

Apakah yang menggerakkan semua ini? Ilmu pengetahuan akhirnya memahami, bahwa semua benda di alam semesta ini memang tidak ada yang diam. Semuanya bergerak. Baik dalam skala makro maupun mikro. Planet-planet, bulan dan matahari, bintang-bintang dan galaksi, semuanya bergerak saling menjauh, seperti dilontarkan oleh kekuatan maha raksasa di masa lalu.

Demikian pula dalam skala mikrokosmos, molekul-molekul, atom-atom, dan partikel-partikel, semuanya sedang bergerak, bergetar, dan berubah. Semua itu memunculkan wajah alam semesta yang tak pernah sama dari waktu ke waktu. Ya, manusia lantas memahami istilah ‘masa lalu’ dan ‘masa depan’ untuk menandai perubahan yang sedang terjadi. Termasuk pada dirinya sendiri.

Maka, manusia pun menyimpulkan adanya dua variable alam yang sangat erat kaitannya dan tak terpisahkan: ruang dan waktu. Keduanya bergerak tak pernah berhenti. Ruang alam semesta terus membesar, menyebabkan jarak antara benda di skala makro maupun mikro terus menjauh. Sedangkan waktu terus ‘menua’menyebabkan terjadinya ‘masa lalu’ dan ‘masa depan’ untuk menandai semua kejadian yang terjadi dalam pergerakan ruang alam semesta itu.

Dikarenakan ruangan terus membesar, maka jarak antar-benda menjadi semakin menjauh dan memunculkan kekacauan. Bayangkanlah, ada sejumlah bola bilyar ditata berdempetan di atas meja. Dalam kondisi tanpa jarak itu, tak ada peluang untuk kacau. Tetapi, begitu Anda menabrakkan sebuah bola bilyar ke kumpulan bola itu, maka energi tabrakan itu akan melontarkan bola-bola tersebut ke segala arah, menjadi kacau. Sebuah kekacauan yang bertambah seiring waktu yang juga terus bertambah.

Begitulah kurang lebih keadaan alam semesta. Dalam pengamatan menggunakan teleskop, diketahui benda-benda langit bergerak saling menjauh ke segala arah. Ruangan alam bertambah besar. Waktunya semakin menua. Kerapatan materinya semakin rendah. Dan suhu alam semesta semakin mendingin, alias kerapatan energinya semakin turun. Ini sudah berlangsung selama belasan miliar tahun. Sehingga diambil kesimpulan begini: kalau semua benda langit bergerak menjauh, berarti dulunya berada pada posisi lebih dekat. ‘Semakin dulu’, semakin dekat. Dan ‘paling dulu’, di masa lalu, semua benda langit itu sangat dekat, bahkan berhimpitan, dan melebur ke dalam satu formasi tunggal.

Karena adanya energi maha raksasa yang meledakkan pusat alam semesta itulah, maka seluruh materi dan energi terlontar ke segala penjuru ruang yang mengembang, dalam ukuran waktu yang terus bertambah. Keadaan itu dikenal sebagai alam semesta yang memiliki ruangan nol, di waktu ke nol. Atau secara awam disebut ‘tak ada ruang’ dan ‘tak ada waktu’. Alias sebuah ketiadaan.

Maka, kalau kita buat grafik Ruang dan Waktu, kita akan memperoleh bentuk kurva melengkung. Dimana X adalah sumbu mendatar yang menggambarkan perubahan dimensi Waktu, sedangkan Y adalah sumbu tegak yang menggambarkan perubahan dimensi Ruang. Saat Waktu X=nol, maka Ruang Y=nol. Seiring dengan waktu yang terus bertambah (bergerak ke kanan dalam sumbu X), ruang alam semesta juga bertambah (bergerak ke atas dalam sumbu Y). Sehingga kurva pergerakan alam semesta akan bergerak diagonal dalam sumbu Cartesian itu.

Namun, pergerakan itu tidak linear membentuk sudut 45 derajat. Karena pergerakan alam semesta ternyata juga tidak linear, melainkan berubah secara beraturan. Logikanya, perubahan itu terjadi secara melambat. Karena kekuatan ledakan alam semesta mestinya paling besar di saat awal terjadinya ledakan. Setelah itu tinggal gemanya yang menyisakan daya lontar semakin rendah.

Nah, karena daya lontar itu semakin rendah, maka kita akan memperoleh sebuah kurva berbentuk lengkung, mirip bentuk lintasan batu yang dilemparkan oleh seorang atlet lempar martil atau lempar lembing. Awalnya, batu itu dilempar ke depan, bergerak melambat sampai mencapai puncak lemparan di angkasa, lantas si batu akan turun lagi ke tanah dengan gerakan mencepat kembali, dan jatuh di kejauhan sana. Begitulah kurang lebih, bentuk grafik alam semesta jika dilihat dari sisi perubahan Ruang dan Waktunya.

Artinya, dimensi ruang alam semesta ini sekarang sedang mengembang seiring dengan waktu yang terus bertambah. Dan suatu ketika, akan mencapai puncak pengembangannya, lantas jatuh kembali ke pusat alam semesta mirip batu yang dilontarkan tadi. Ini adalah salah satu teori yang paling banyak dianut oleh para ahli kosmologi, disamping teori-teori lain yang masih terus dikembangkan.

Jika Anda ingin memahami kurva Ruang-Waktu itu secara tiga dimensi, Anda bisa membayangkan bola bumi alias globe. Bayangkanlah garis-garis bujurnya sebagai dimensi waktu, dan garis-garis lintangnya sebagai dimensi ruang. Lantas, ibaratkanlah pergerakan alam semesta  terjadi dari kutub utara menuju kutub selatan. Di kutub utara itu dimensi ruang = nol, dan dimensi waktu = nol. Tetapi seiring dengan garis bujur ke arah kutub selatan, kita akan mendapati volume bola bumi itu semakin membesar. Dan kemudian maksimum di bagian perutnya, alias katulistiwa.

Setelah itu, ukurannya akan mengecil kembali seiring dengan posisi menuju ke kutub selatan. Dan ruangannya menjadi nol kembali di kutub selatan. Tetapi, waktu tidak pernah berjalan mundur. Waktu tetap bertambah, dan bergerak maju dari arah kutub utara menuju kutub selatan. Meskipun volumenya berubah dari nol di kutub utara, dan maksimum di bagian katulistiwa, serta mengecil mencapai nol lagi di kutub selatan.

Mudah-mudahan penjelasan saya diatas bisa tertangkap dengan baik, meskipun agak abstrak. Pada intinya, saya cuma ingin mengatakan bahwa dimensi ruang itu memiliki kurva berbentuk lengkung sebagaimana garis lintang di permukaan globe. Dan demikian pula kurva waktu itu juga berbentuk lengkung sebagaimana garis bujur dalam globe.

Nah, karena bentuknya lengkung, maka kita bisa melihat masa depan dari kedalaman ruang bola, kalau globe itu terbuat dari bahan transparan. Inilah yang saya maksudkan, bahwa ruang dua dimensi di permukaan bola itu ternyata bisa di-bypass dari ruang tiga dimensi di dalam bola. Itu pula yang saya jelaskan dalam buku ‘Terpesona di Sidratul Muntaha’, bahwa langit dunia yang berdimensi tiga ini bisa di-bypass dari langit kedua yang berdimensi empat…!

Allah menciptakan ruang dan waktu ini lengkung. Dan membukakan sebagian rahasia masa depan bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.

QS. Al Baqarah (2): 33
… Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

QS. Ath Thalaq (65): 12
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
  
~ Salam Merenungi Misteri Alam Semesta ~

oleh Agus Mustofa pada 19 Maret 2012 pukul 10:23

Minggu, 05 Februari 2012

ANGKA BAGI WARIS YANG UNIK

Oleh Mehdy Riza pada 4 Februari 2012 pukul 15:26
ANGKA BAGI WARIS YANG UNIK .

Angka waris memang unik, berupa pecahan, bukan bilangan bulat positif, yaitu: 1/8, 1/6, ¼, 1/3, ½, dan 2/3. Bagaimanapun juga, angka-angka tersebut disusun membentuk kripto, 7, 19, dan 11. Dan bagaimana cara menggunakan angka tersebut dalam bagi waris?

Klasifikasi: Sulit
Jum’at, 9 September 2011.

Di bulan puasa (Ramadhan) lalu sejumlah  teman meminta dibuatkan  “Note” tentang angka-angka dalam bagi waris dan bagaimana menghitungnya? Rupanya permintaan ini juga berhubungan dengan bahasa kripto, bukan sekedar bagaimana membagi waris. Sebab keterangan cara membagi waris, dalam konsep Islam – cukup banyak ditulis di Net berikut contoh - contohnya.

Bagaimanapun juga, bagi awam terasa  menyulitkan untuk memahami  bagi waris dengan angka-angka tersebut, apa lagi, bagi yang tidak mau bertanya – karena seolah-olah, jika mengikuti begitu saja – tanpa ilmu - maka hasilnya akan selalu lebih besar dari porsi yang tersedia. “Aha… pasti yang membuat ayat-ayat tersebut  adalah makhluk bodoh. Siapapun Dia, tidak pandai berhitung”.  Demikian kesimpulan sebagian pembaca, dengan mengajukan bukti berbagai ilustrasi kasus. Benarkah demikian?

Abad ke-7 di Jazirah Arab, sekitar tahun 627 M, adalah tahun-tahun sulit bagi wanita, orang tua dan anak-anak dalam hal bagi waris. Karena tradisi Arab umumnya, begitu seseorang meninggal, maka yang akan menguasai hartanya adalah saudara laki-laki almarhum. Selama ratusan tahun begitu. Tradisi inilah yang dirombak oleh ayat-ayat Kitab Mulia, dalam pesannya di Medinah. Ringkasnya, mengangkat hak wanita (janda), orang tua dan anak-anak almarhum, yang sebelumnya terpinggirkan. Kisah pertama adalah, asal usul turunnya wahyu, yaitu kisah janda Aus Bin Tsabit yang mengadukan kepada Nabi, tentang kelakuan adik laki-laki almarhum, yang mengambil semua harta waris (An Nisaa’/Wanita, 4:7). Demikian juga kisah janda Perang di Bukit Uhud, Amrah Binti Hazm, yang mengadukan nasibnya, karena tidak mendapat waris (An Nisaa’/Wanita, 4:12) dan perintah Nabi kepada Jabir Bin Abdillah yang kaya ketika sakit keras (sekarat), pedoman umum untuk bagi waris, bagian anak-anak, istri,  orang tua dan saudara-saudaranya (An Nisaa’, 4:11-12). Kini situasinya dibalik, selama ini prioritas utama ada di saudara-saudaranya yang meninggal, terutama laki-laki – tetapi kemudian Kitab Mulia memberi prioritas pada pasangannya (janda), orang tuanya dan kemudian anak-anaknya. Setelah itu, baru saudara-saudara almarhum.

Dibawah ini adalah ringkasan dari pedoman bagi waris yang dijelaskan oleh Kitab Mulia, kita ambil dari bagian penting di Surah An Nisa’ atau Wanita:

Baik pria laki-laki maupun wanita memiliki bagian warisan dari orang tua maupun kerabat dekat (Qs, 4:7), dan ketika pembagian ada kerabat , anak yatim, dan orang miskin hadir mengetahuinya – maka bagilah sekedarnya (Qs, 4:8). Bagian anak lelaki, adalah dua bagian anak wanita. Tetapi jika semua anak wanita, lebih dari dua orang, bagiannya 2/3 dari harta yang ada. Namun jika anak tunggal wanita, bagiannya setengahnya (1/2). Sedangkan orang tuanya, masing-masing 1/6 nya. Demikian juga, ibunya mendapat 1/6, jika yang meninggal tidak punya anak, tetapi mempunyai saudara. Namun jika tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai saudara, bagian ibunya adalah 1/3 nya. Pembagian ini, setelah wasiat dan hutang-hutang yang ada telah dibayarkan. (Qs, 4:11). Pasangan diatur tersendiri, misalnya suami mendapat 1/4nya jika istri meninggal dan mempunyai anak, tetapi jika tidak mempunyai anak mendapat 1/2nya. Sedangkan istri almarhum, masing-masing 1/8 nya ( Qs, 4:12). Penegasan kembali bagi ahli waris, agar pedoman ini dilaksanakan sebaik-baiknya (Qs, 4:33). Kemudian penjelasan lompat ke ayat paling akhir di Surah An Nisaa’, yaitu pembagian waris bagi “Kalaalah”, orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan Bapak. Misalnya, untuk saudara perempuannya adalah 1/2nya, dan jika saudara perempuannya dua orang mendapat 2/3nya, jika tidak mempunyai saudara laki-laki. Tetapi jika ada, pembagian saudara laki-laki dua bagian saudara perempuan. (Qs: 4: 176).

Diatas tadi sudah dijelaskan beberapa kisah yang memberi dasar, mengapa ayat-ayat tentang bagi waris turun. Namun, jika ditanyakan mengapa angkanya, ada ½, 1/3, ¼, 1/6, dan lainnya, maka jawaban biasa  sulit untuk memuaskan semua pihak.

Satu hal yang pasti - bagaimanapun juga, angka-angka diatas dipilih sedemikian rupa hingga variasinya, maupun penempatan ayatnya membentuk kode tersendiri, yang berhubungan dengan bilangan prima. Bilangan istimewa dalam matematika modern. Ada kode, ada isi dan makna, serta Teologi. Kombinasi yang unik.


Kripto Sederhana.

Jika seseorang bertanya apakah ada kripto dalam bagi waris? 
Maka jawabannya, ada! 
Karena Kripto dalam Kitab Mulia adalah pola umum, yang melengkapi semua surah, ayat dan isinya. Pola umum adalah kripto bilangan prima 7, 11 dan 19.
Contoh yang mudah saja adalah penempatan nomor ayat dalam satu surat, yaitu ada di 6 ayat: ayat 7, 8, 11, 12, 33 dan 176. Aneh tidak berurutan, terkesan acak! “Yang menyusun  ayat ini mungkin  bodoh.”
Nomor ayat ini – sebenarnya tidak acak – tetapi membentuk kode khusus  19, karena jumlah nomor ayatnya, sedemikian rupa, merupakan kelipatan 19. Perhatikan: 7 + 8 + 11 + 12 + 33 + 176 =  247, atau 19 x 13.
Bagaimana dengan angka waris sendiri, apakah memiliki kripto juga (kode khusus)?
Angka waris dalam Kitab Mulia ada 6 juga, yaitu disusun dari yang kecil, 1/8, 1/6, ¼, 1/3, ½ dan 2/3.
Sulit dimengerti, mengapa angka-angka tersebut dipilih? Lepas dari masalah porsi waris.

Pertama kali yang harus dilakukan, termasuk untuk bagi waris – angka tersebut harus disamakan bilangan penyebutnya. Artinya, perbandingannya adalah menjadi 3/24, 4/24, 6/24, 8/24, 12/24 dan 16/24 atau lebih sederhana dalam bilangan bulat positif: 3, 4, 6, 8, 12, dan 16. Dengan cara demikian – maka kita memiliki 6 perbandingan.

Kombinasi 6 angka ini membentuk kripto 7, karena jumlahnya merupakan bilangan kelipatan 7. Perhatikan : 3 + 4 + 6 + 8 + 12 + 16= 49 atau 7 x 7
Luar biasa bukan?

Dari sini saja kita bisa menyimpulkan bahwa pemilihan angka bagi waris tadi tidak sembarangan – atau dengan kata lain  baik penempatan ayat maupun pemilihan angka-angka waris dibuat sedemikian rupa hingga membentuk kripto – yaitu kode 19 dan 7.

Manfaatnya bagi para pembaca yang beriman, agar bertambah keimanannya dan lebih yakin (Qs, 74:31).

Bagaimana Cara Membagi Waris ?

Pembaca yang hanya membaca Kitab Mulia saja tanpa membaca Hadist Nabi  atau tidak dilengkapi keterangan para Ulama, akan kebingungan.  Akhirnya, karena ilmu belum sampai - malah menyalahkan - yang membuat aturan.
Dalam bagi waris ada dua klasifikasi:

(1)   Prioritas Utama yang disebut “ashhabul furudh”, misalnya orang tua, pasangannya dan kemudian anak-anak perempuan yang telah ditetapkan besarannya, yaitu dengan angka-angka waris, misalnya 1/2 atau 2/3.
(2)   Prioritas Terakhir yang disebut “’ashabah”, merupakan sisa setelah Prioritas Utama dibagikan. Bisa mendapat lebih besar atau malah lebih kecil, atau tidak sama sekali, bergantung pada variasi jenis waris. Misalnya, untuk kategori saudara kandung dari almarhum.  ‘Ashabah – pun, sebenarnya terdiri dari dua: (1) Karena garis keturunan (Nasabiyah), dan (2) Karena membebaskan seorang ‘hamba sahaya” atau ‘Sabaabiyah”. Kasus terakhir ini, sangat jarang.!

Ada delapan  kasus yang diajukan teman-teman, baik melalui email maupun kelompok diskusi,  sebagian ada kasus yang tertulis di bukunya Prof. Jeffry Lang, tetapi saya akan bahas beberapa saja, hanya sebagai contoh – karena sebenarnya mudah.

KASUS  01.
Almarhum meninggalkan 4 orang anak wanita, orang tua dan istrinya, serta uang Rp 300 juta rupiah (dalam studi kasus hanya 30 juta), setelah dipotong wasiat dan hutang. Asumsi tidak ada anak yatim, orang miskin dan kerabat yang hadir, ketika bagi waris. Kasus serupa ini juga ditemukan oleh Jeffrey Lang (Profesor Matematika di Amerika), penulis buku, “Aku Beriman, maka Aku Bertanya” (Losing My Religion: A Call For Help, Amana Publications, USA 2004).

Inilah pembagian menurut orang awam.
4 orang anak wanita adalah 2/3 bagian atau 200 juta rupiah.
Orang tua, masing-masing 1/6 bagian atau 1/3 bagian, yaitu 100 juta rupiah.
Lalu, janda atau istri almarhum 1/8 bagian atau 37,5 juta rupiah. Jumlah, 337, 5 juta rupiah.”Lho….kok kurang?”.

Dibawah ini diselesaikan dengan kaidah bagi waris yang sebenarnya, kita ambil berdasarkan rujukan Muhammad Ali, Ulama Pakistan penulis “The Religion Islam”.
Baik anak perempuan tanpa saudara laki, orang tua maupun janda almarhum termasuk“ashhabul furudh”, prioritas utama – dengan demikian maka penyelesaiannya harus disamakan dulu penyebut pecahannya.

4 anak wanita adalah 2/3 bagian atau 16/24 bagian.
Orang tua 1/3 bagian atau 8/24 bagian.
Janda almarhum 1/8 atau 3/24 bagian.

Lihat perbandingannya, disederhanakan:  maka 4 anak wanita adalah 16 bagian, orang tua 8 bagian dan janda almarhum 1 bagian. Total semuanya  27 bagian.
Dengan demikian, 4 orang anak mendapat 16/27 x 300 juta rupiah, orang tua mendapat 8/ 27 x 300 juta rupiah dan jandanya mendapat 3 /27 x 300 juta rupiah. Jumlah total akan tepat 300 juta rupiah.

KASUS 02
Seorang wanita meninggal dunia, tidak mempunyai anak, hanya suami, ibunya dan 2 saudara wanitanya. Jumlah harta bersih 300 juta rupiah.
Orang awam akan membagi sebagai berikut:
Suaminya ½ bagian atau  150 juta rupiah.
Dua anak wanita,  2/3 bagian atau 2/3 x 300 juta rupiah, 200 juta rupiah.

Ibunya 1/6 bagian, atau 1/6 x 300 juta rupiah, 50 juta rupiah.
Jumlah total yang diperlukan 400 juta rupiah......kurang ya?

Ini juga sama dengan kasus 01 diatas, semuanya adalah “ashhabul furudh”.

Penyelesaiannya adalah:
Dua anak wanita 2/3 bagian atau 16/24 bagian
Suaminya ½ bagian atau 12/24 bagian dan

Ibunya 1/6 bagian atau 4/24 bagian.
Artinya, dua anak wanita 16 bagian, suaminya 12 bagian, dan ibunya 4 bagian. Total semua 32 bagian.
Dengan demikian, dua anak wanita 16/32 atau 4/8 x 300 juta rupiah, atau 150 juta rupiah.
Suaminya 12/32 bagian atau 3/8 x 300 juta rupiah, atau 112,5 juta rupiah.  
Ibunya 4/32 bagian atau 1/8 x 300 juta rupiah, atau sama dengan 37,5 juta rupiah.

Kasus 01, jika dirubah, menjadi 3 anak wanita dan 1 anak laki, maka akan menjadi kasus 03.

KASUS 03
Almarhum meninggalkan istri, dua orang tua satu putra dan 3 putri. Serta harta bersih 300 juta rupiah.
Kasus 03 lengkap, karena terdapat  kelompok ‘ashhabul furudh” dan juga sekaligus“ashabah”.

Penyelesaiannya.
Ashabul Furudh, Orang Tua mendapatkan  1/3 bagian atau 100 juta rupiah.
Sedangkan jandanya mendapatkan 1/8 bagian atau 37,5 juta rupiah.
Sisanya, atau ‘ashabah adalah 162, 5 juta rupiah, merupakan bagian anak-anaknya, yaitu seorang anak laki 2 bagian, 3 anak wanita 3 bagian. Total 5 bagian.
Anak laki mendapat 2/5 x 162,5 juta rupiah atau 65 juta.
Anak wanita, masing-masing 1/5 x 162,5 juta rupiah atau 32,5 juta.
Ada yang menarik - ketika seorang janda memiliki anak laki, maka bagiannya naik  dari yang awalnya hanya 3/27 atau 1/9 bagian di Kasus 01, menjadi 1/8 bagian di Kasus 03. Jender wanita diwakili oleh ibu almarhum, janda dan anak wanita. Anak wanitapun, ketika tidak mempunyai saudara kandung laki-laki, mereka naik pangkat dari yang tadinya prioritas kedua, menjadi prioritas utama.
Hal-hal seperti ini yang tidak diketahui oleh pembaca awam.


Kripto Yang Lebih Rumit.

Bagi pembaca yang baru mengikuti bahasa kripto di Kitab Mulia, saya anjurkan untuk melihat sejumlah catatan saya sebelum ini, supaya lebih mudah memahaminya.

Saya sendiri baru menyadari tahun ini (2011) bahwa, angka-angka warispun membentuk kripto tersendiri. Tahun kemarin, saya baru memahami sampai tahap bilangan bulat positip di Kitab Mulia, belum sampai ke bilangan pecahan.
Bilangan pecahan yang ditampilkan dalam Kitab Mulia bukan 6 tetapi semuanya 8. Kita ingat bahwa bilangan prima ke 8 adalah 19, dalam matematika. Urutannya: 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, dan 19.
Dua angka lainnya adalah 1/5, yang menjelaskan pembagian pampasan perang (Qs, 8:41) dan angka 1/10, yang menjelaskan bahwa orang-orang yang menolak kebenaran di Mekkah baru menerima kurang dari 1/10 risalah Illahi saja (Qs, 34:45).
Dengan demikian angka pecahan menjadi 8, yaitu: 1/8, 1/6, ¼, 1/3, ½, 2/3 tambahan  1/5 dan 1/10. Membingungkan?

Tetapi bagi ahli kripto tentu saja tidak.

Kita buat sama penyebutnya, maka kita akan dapatkan: 15/120, 20/120, 30/120, 40/120, 60/120, 80/120, 24/120 dan 12/120. Dengan kata lain kita mendapatkan perbandingan angka 15, 20, 30, 40, 60, 80, 24,  dan 12. Ada 16 digit, yang membentuk kode 19. Mengapa begitu? Karena jumlah digit angkanya, merupakan kelipatan 19. Yaitu: 1+5+2+0+3+0+4+0+6+0+8+0+2+4+1+2= 38, atau 19 x 2.
Kebetulan? Tidak, sekali-kali tidak.

Ingat dalam waris kita punya perbandingan: 1/8, 1/6, ¼, 1/3, ½ dan 2/3 atau dalam bilangan bulat 3, 4, 6, 8, 12 dan 16 untuk ‘ashhabul furudh’.

Kita lihat contoh yang sangat rumit, yaitu pedoman waris bagi orang yang mempunyai anak – yang dicatat dalam surah 4, ayat 11. Perhatikan, ini kombinasi nomor surah, nomor ayat dan penyebutan angka-angka waris bagi yang mempunyai anak.

“Allah mewajibkan kepadamu tentang anak-anakmu , yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua (2) orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya  lebih dari dua (2) , maka bagian mereka 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja (1), maka dia memperoleh 1/2nya. Sedangkan untuk kedua orang tua, bagian masing-masing 1/6 dari harta yang ditinggalkan, jika dia meninggalkan anak….”.(Qs, 4:11).

Kita memiliki angka-angka: 4 (nomor surah), 11 (nomor ayat), 2 (bagian laki - dua anak perempuan), 2 (lebih dari dua anak perempuan), 16 (bagian atau 2/3 dari harta), 1 (seorang anak perempuan), 12 (bagian, ½ dari harta) dan 4 (bagian, 1/6 dari harta untuk  masing-masing orang tua ). Kombinasi 11 digit angka tersebut ialah  4 1 1 2 2 1 6 1 1 2 4 merupakan kode bilangan prima 11 juga, karena 4112216124 adalah 11 x 3738378284. Inilah kode waris jika memiliki anak, secara umum.

4 1 1 2 2 1 6 1 1 2 4

Rumit ya…..tidak terbayangkan sebelumnya.
Jika pola penyusunan Kitab Mulia seperti ini, tentunya yang menyusun bukan “makhluk bodoh” – sebagaimana asumsi sebagian pembaca awam.

Contoh yang kompleks adalah kombinasi bilangan ratusan digit angka yang juga merupakan kelipatan bilangan prima 19. Kombinasi susunan 114 surah – yang tentu saja – kurang bermanfaat ditampilkan dalam catatan sederhana ini.

Salam
Arifin Mufti
Bandung.

West Java - Indonesia.