Betapa beratnya tertimpa bencana. Harta, benda, nyawa, dan
segala yang kita cintai bisa hilang seketika. Ujiankah atau siksa? Itulah pertanyaan
yang sering berkecamuk dalam hati dan pikiran kita. Tapi, barangsiapa bisa mengambil
hikmah dari bencana, mereka bakal bangkit menjadi umat yang kuat dalam menyusuri
drama kehidupan untuk menuju kepada ridha-Nya.
Banyak yang salah kaprah dan ’agak ceroboh’ dalam melihat sebuah
bencana. Ada yang langsung memvonis sebagai azab Allah. Ada pula yang ’menyelamatkan
diri’ dengan mengatakan ini sekedar ujian, padahal dia sebenarnya ikut menjadi penyebab
bencana. Ketidakjelasan dalam menyimpulkan sebuah musibah atau bencana akan membuat
kita tidak bisa mengambil hikmah yang ada di dalamnya.
Jika kita mau mengambil sudut pandang holistik, Insya Allah
kita bisa melihat sebuah bencana secara lebih proporsional. Bahwa ada 2 jenis bencana
yang bisa melanda manusia. Yang pertama adalah, bencana yang bersifat alamiah. Dan yang kedua, adalah bencana yang disebabkan
oleh kesalahan manusia dalam mengelola alam.
Bencana yang bersifat alamiah, adalah bencana yang memang sudah
menjadi bawaan alam. Bahwa alam semesta ini memang sedang menuju pada kerusakan
yang semakin hari semakin parah. Ibarat manusia, usianya sudah semakin tua. Otot-ototnya
semakin kaku, persendiannya bertambah lemah, otaknya mulai pikun, dan organ-organ
di dalam tubuhnya mulai mengalami mal fungsi. Maka, bermunculanlah penyakit degenerative alias penyakit tua, yang tidak bisa tidak bakal
mengenainya.
Alam pun mengalami hal yang serupa. Bumi kita ini sudah sangat
tua. Diperkirakan sudah berumur sekitar 5 miliar tahun. Sudah mulai ’batuk-batuk’,
dan ’otot-otot’ maupun ’persendiannya’ mulai lemah. Jadi, jangan heran semakin hari
semakin banyak bencana dimana-mana. Mulai dari angin badai, gempa bumi, gunung meletus,
tsunami, berbagai anomali iklim, dan lain sebagainya. Memang sudah bawaan alam.
Bukan hanya bencana alam, melainkan juga musibah yang lain
seperti kecelakaan transportasi, kekacauan sosial-ekonomi-politik, munculnya berbagai
kejahatan, dan lain sebagainya. Inilah yang di dalam Fisika disebut sebagai peningkatan
Entropi alam. Yakni, bertambahnya kekacauan seiring dengan bertambahnya usia alam
semesta.
Rasulullah pun sudah memprediksi sejak awal, bahwa semakin
mendekati hari akhir, tingkat kekacauan dan kejahatan akan semakin besar. Di segala
bidang. Sehingga, kata Rasulullah, berpegang pada petunjuk agama akan menjadi sedemikian
beratnya. Bagaikan memegang bara api. Digenggam terasa panas, dilepas kehilangan
pegangan. Tapi sungguh, siapa yang tetap istiqomah berpegang tali Allah akan selamat
dunia dan akhirat.
QS. Al Baqarah (2): 256
... barangsiapa tidak mengikuti Thaghut
(selain Allah) dan beriman hanya kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
QS. Luqman (31): 22
Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebajikan, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada tali yang kokoh.
Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.
Jadi, kita harus sudah bersiap diri bahwa ke masa depan tingkat
kekacauan akan semakin besar. Tapi, tidak usah gelisah dan khawatir, karena selama
kita tetap berpegang teguh kepada petunjuk Allah, Insya Allah akan selamat. Istilah
ayat di atas adalah: hanya beriman kepada Allah, berserah diri, dan berbuat kebajikan
sebanyak-banyaknya. Segala urusan berada di tangan-Nya, dan terjadi sesuai kehendak-Nya.
Jenis bencana yang kedua, adalah bencana yang ’semata-mata’
disebabkan oleh manusia. Misalnya, banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan,
kekacauan musim disebabkan oleh global warming, berbagai kekacauan dan kecelakaan,
dan semacamnya. Di satu sisi, dipengaruhi oleh entropi alam semesta yang meningkat
sehingga ada ’dorongan’ munculnya kekacauan, disisi lain dalam waktu bersamaan,
manusia menambah ’dorongan’ itu dengan perbuatannya.
Meskipun, kondisi alam semakin tua, sebenarnya jika manusia
banyak berbuat kebajikan dan tidak serakah dalam menjalani hidupnya, jenis bencana
yang kedua ini bisa diminimalisir. Kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, global
warming, dan semacamnya itu mestinya tidak harus terjadi separah ini.
Beberapa penyebab yang memicu bencana-bencana ’buatan’ ini
adalah perusakan hutan yang demikian parah, penggunaan bahan-bahan gas yang merusak
lapisan ozon, emisi panas dari industri dan transportasi yang berlebihan, dan sebagainya.
Sehingga, mengganggu keseimbangan alam. Selain itu, eksploitasi bahan-bahan tambang
dari dalam perut Bumi yang demikian brutal dalam dua abad terakhir, juga memperparah
ketidak-seimbangan planet ini.
Ibarat ban mobil, putaran bumi butuh keseimbangan. Jika ban
mobil sudah tidak seimbang, maka putarannya akan menyebabkan mobil bergetar. Dan
kemudian, harus dilakukan balancing terhadap bannya, dengan menambahkan lempeng-lempeng
timah di velg mobil itu. Dengan demikian, ban akan berputar seimbang kembali.
Bayangkan, jika itu terjadi pada bumi yang sedang berputar
kencang dengan kecepatan rotasi sekitar 1600 km per jam. Tentu akan terjadi ketidak
seimbangan di dalamnya. Memang tidak seterasa pada bodi mobil, karena ukuran bumi
sangat besar dibandingkan dengan kita sebagai penghuni. Tetapi akan muncul getaran
pada bagian dalam bumi, yang bisa menyebabkan gerakan-gerakan lempeng bumi dan magma
lebih aktif dari sebelumnya.
Bumi berusaha mengembalikan keseimbangan dirinya, karena alam
memang memiliki mekanisme keseimbangan dinamis. Dan yang paling cepat bereaksi adalah
bagian-bagian yang cair, lembek, atau mengambang. Mereka akan bergerak menuju ke
tempat-tempat tertentu untuk membangun keseimbangan.
Maka, proses mencari keseimbangan kembali itu akan menyebabkan
magma dalam perut bumi, lempeng tektonik, dan perilaku air menjadi lebih aktif.
Sehingga memicu munculnya gempa tektonik lebih sering dari sebelumnya, gunung-gunung
lebih ’bergairah’ untuk menghasilkan magma dan kemudian meletus, kemungkinan terjadi
tsunami meningkat, serta banjir dimana-mana akibat kacaunya pergerakan air dan hujan.
Ini akan terus terjadi sampai munculnya keseimbangan baru.
QS. Ruum (30): 41
Telah Nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar).
Jadi, meskipun berbagai bencana itu disebabkan oleh alam yang
sedang mengalami kenaikan entropi, manusia juga memiliki saham atas terjadinya semua
bencana ini. Disadari maupun tanpa disadari. Yang demikian ini, baru akan kelihatan
jika kita mau melihat penyebabnya secara holistik.
Kebanyakan kita, terjebak pada penglihatan parsial atau sebagian-sebagian.
Sehingga, kita seringkali mengambinghitamkan alam belaka. Dan menghilangkan faktor
manusia. Khususnya, kejadian-kejadian di abad-abad terakhir. Namun, para ahli dan
pemimpin dunia kini sudah melihat korelasi yang demikian erat antara kerusakan planet
Bumi dengan kesalahan menejemen yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, lantas
muncul berbagai upaya untuk menyelamatkan Bumi. Sayangnya, kepentingan politik dan
keserakahan ekonomi seringkali masih mengalahkan semua upaya itu.
Lantas, bagaimanakah menyikapi bencana? Apakah ini ujian ataukan
Azab Allah? Menurut saya keduanya terjadi pada setiap ada bencana. Bergantung dari
sisi mana kita melihatnya dengan penuh kejujuran. Jika kita memang bersalah dalam
bencana itu, tentu kita harus melihatnya sebagai azab alias balasan atas perbuatan
kita. Supaya kita segera menyadari bahwa ada yang salah dengan perbuatan kita.
Persis seperti peringatan ayat di atas. ’’Kami rasakan kepada mereka sebagian akibat dari perbuatan mereka, agar mereka segera
kembali...”.
Begitulah kata Allah. Sebab, kalau tidak segera kita sadari,
sungguh bencana berikutnya akan lebih besar lagi. Dan akan memakan korban lebih
banyak dari yang sudah terjadi.
Dan celakanya, dampaknya bukan hanya mengena kepada pelaku
kerusakan, melainkan akan menimpa juga kepada orang-orang yang tidak bersalah. Persis
seperti yang diceritakan Allah dalam ayat berikut ini.
QS. Al Anfaal (8): 25
Dan
peliharalah dirimu dari azab yang tidak
khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat
keras siksaan-Nya.
Karena itu, kita diperintahkan Allah untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengajak pada
kebaikan dan mencegah kejahatan. Itulah penyebabnya. Supaya jangan
sampai terjadi kejahatan yang dampaknya akan menimpa kita semua, meskipun kita tidak
ikut-ikut berbuat.
Jika ada orang yang merusak hutan, cegahlah. Karena jika tidak,
maka efek banjir dan tanah longsornya bukan hanya menimpa orang yang merusah hutan.
Melainkan semua orang yang berada di dekatnya. Semakin rusak, semakin besar akibatnya.
Dan bersifat kolektif, bukan hanya orang per orang.
Ini mirip dengan penumpang perahu yang sedang berlayar di lautan.
Kalau ada seorang penumpang yang mau membocori perahu, cegahlah. Sebab kalau tidak
dicegah, dan perahunya tenggelam, yang tenggelam bukan hanya si pembocor perahu.
Melainkan seluruh penumpang. Nah, kita hidup di sebuah planet yang sama. Jika Bumi
ini mengalami kerusakan, maka orang yang tidak berdosa pun akan ikut terkena bencana.
Ketika semua itu menimpa kita, bolehlah itu bisa disebut sebagai
ujian. Karena, kita tidak ikut berbuat kok ikut menerima akibatnya...! Maka, siksa
atau ujian itu bukan dilihat dari bencananya. Melainkan dari sisi kita. Apakah Anda
masuk dalam klasifikasi pelaku kerusakan sehingga menimbulkan bencana, ataukah hanya
sebagai korban saja. Keduanya tentu berbeda di mata Allah.
Jika ada seseorang yang sedang mencuri saat terjadi Tsunami,
dan kemudian ia mati di dalamnya, tentu saja dia mati dalam keadaan berdosa. Sebaliknya,
jika ada orang yang mati di dalamnya saat dia sedang berbuat kebajikan, tentu dia
mati dalam keadaan khusnul khatimah. Tidak seperti sebagian pendapat yang kita dengar,
bahwa orang yang mati dalam sebuah bencana adalah mati dalam keadaan syahid... :(
QS. Asy Syuura (42): 30-31
Dan segala musibah yang menimpa kalian (secara kolektif), adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan itu).
Dan kalian tidak akan dapat melepaskan
diri di muka bumi, dan kalian tidak
akan memperoleh seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong kecuali (memohon perlindungan kepada) Allah.
Dan lebih penting dari semua itu, Allah sedang mengajarkan
kesabaran kepada kita dengan adanya bencana. Jangankan kita yang manusia biasa,
para Nabi dan Rasul pun diuji dengan bencana. Tetapi mereka tetap teguh dan istiqomah
di jalan Allah. Pantang menyerah, terus berbuat kebajikan sampai ajal datang menjemput.
Sungguh Allah menyukai orang-orang yang sabar, dan selalu berbuat kebajikan dalam
kondisi apa pun yang sedang ia terima...
QS. Ali Imran (3): 146
Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah
besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak
menyerah. Allah menyukai orang-orang yang sabar.
Bukan seperti orang yang dikritik Allah dalam ayat berikut
ini. Yaitu, mereka yang berbangga hati dan lupa diri ketika diberi kenikmatan. Serta,
berputus asa ketika diberi cobaan. Bukan. Sungguh, Allah bakal memberikan balasan
terbaiknya hanya kepada orang-orang yang istiqomah dalam kebajikan dan kesabaran...
QS. Huud (11): 9-11
Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu
rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak (tahu) berterima kasih.
Dan jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia
akan berkata: "Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku"; sungguh
dia menjadi sangat gembira lagi berbangga
diri
kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan selalu mengerjakan amal-amal kebajikan; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar