Saya sangat mengapresiasi saran sejumlah kawan yang menginginkan
perubahan pada istilah SALAH KAPRAH dalam tema diskusi kita kali ini. Tetapi, setelah
saya pertimbangkan, saya merasa belum waktunya. Saya ingin menuntaskan dulu sejumlah
pokok bahasan ‘Salah Kaprah’ sampai ‘titik’. Atau, setidak-tidaknya ‘titik koma’.
Saya sangat menyadari pemakaian istilah SALAH KAPRAH ini bisa
disalah-kaprahi pula sebagai klaim kebenaran. Seakan-akan saya merasa benar sendiri.
Dan menyalahkan kawan-kawan lain yang berbeda pendapat dengan saya. Tetapi, bukankah
sudah saya jelaskan pada serial salah kaprah ke-10 tentang DISKUSI TASAWUF MODERN
bahwa istilah ini sekedar dimaksudkan untuk membuka ‘ruang diskusi’ diantara kita
selebar-lebarnya. Bukankah semakin ‘berbeda di awal’, diskusinya semakin gayeng?
Kalau, belum apa-apa, saya sudah mengambil ‘jarak’ yang ‘terlalu
dekat’ dengan Anda semua, maka ‘ruang diskusi’ diantara kita akan menjadi demikian
sempit. Tidak ada lagi dinamika dan dialektika yang menyebabkan kita ingin beradu
argumentasi, dan memperjuangkan pendapat. Karena pendapat saya dan Anda ternyata
sudah hampir sama sejak awal. Atau bahkan sudah tidak ada bedanya… :(
Bukankah, disini kita sedang belajar dan menuntut ilmu bareng-bareng?
Dan, koridornya sudah kita sepakati adalah mengikuti QS. 16 : 125. Yakni, ‘bil hikmah’ (dengan substansi yang mendalam), mau’idhatul hasanah (sistematika pembelajaran yang baik), dan ’jadilhum billati hiya ahsan’ (berdiskusilah dengan lebih baik)…
Maka, ayolah kita hilangkan prasangka buruk. Supaya saya tidak
perlu mengulang-ulang klarifikasi, bahwa pendapat yang saya sampaikan ini bukanlah
’kebenaran mutlak’ dalam memahami Islam. Tetapi ini adalah sekedar ’presentasi’
materi keislaman dalam sudut pandang ’saya’. Silakan Anda berbeda pendapat, atau
bahkan menolak sama sekali. Tidak akan menjadi masalah. Saya bukan guru Anda, dan
Anda pun bukan murid saya. Atau sebaliknya. Kita sekedar bersahabat untuk sama-sama
mencari ’jalan pulang’, kepada Yang Terkasih, Ilahi Rabbi. Marilah kita belajar
dewasa dalam hal ini. Supaya umat Islam juga segera dewasa. Dan ini kelak akan sangat
bermanfaat buat perkembangan peradaban Islam ke depan.
Perbedaan diantara kita sudah menjadi sebuah keniscayaan. Karena,
ini adalah Sunnatullah. Hukum Allah, yang dikenal pula sebagai ’hukum alam’ oleh
orang-orang yang tidak menjadikan Islam sebagai pegangan hidupnya. Ya mereka menamakannya
sebagai The Law of Nature, sedangkan
kita menyebutnya sebagai The Law of
God. Meskipun, tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka menggunakan hukum Allah,
yang terbentang sebagai ayat-ayat Kauniyah. Ya, memang, sunnatullah bekerja tidak
hanya untuk umat Islam, melainkan untuk semua makhluk-Nya di alam semesta.
Gravitasi Bumi adalah hukum alam, Kekekalan Energi adalah hukum
alam, Elektromagnetik, Nuklir, ekosistem, sosial-politik, budaya, ekonomi, dan semua
hukum di sekitar kita adalah hukum alam. Yang sekaligus hukum Tuhan. Semua berada
di dalam Grand Law, yang bekerja
berdasar hukum keseimbangan. Karena, ternyata alam semesta ini diciptakan oleh-Nya
dengan menggunakan sistem keseimbangan dinamis.
Jika alam sekitar mengalami ketidak-seimbangan, ia akan dengan
sendirinya ’mencari jalan’ untuk menyeimbangkan diri lagi. Gunung meletus, banjir
bandang, tanah longsor, tsunami, angin badai, perampokan, pencurian, pembunuhan,
penyakit, demonstrasi, bangkrutnya rezim ekonomi dan politik, dan semua peristiwa
di sekitar kita, tak lebih adalah sebuah mekanisme keseimbangan dinamis itu. Sunnatullah,
yang sudah bekerja seiring dengan proses penciptaan sejak dulu kala.
QS. Ar Rahman (55): 7
Dan Allah telah meninggikan langit dan
Dia meletakkan neraca (keseimbangan).
QS. Al Mulk (67): 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali
tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang,
adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
QS. Al Infithaar (82): 7
Yang telah menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang,
Ya, seluruh alam semesta bekerja menurut hukum keseimbangan
itu. Barang siapa menabrak keseimbangan sistem maka ia bakal ‘terpelanting’ seiring
dengan besarnya usaha yang dia lakukan. Dan barangsiapa ’menyatu’ dalam keseimbangan
alam semesta, maka ia akan memperoleh ’harmoni’ yang besarnya berlipat kali dibandingkan
usaha yang dia lakukan. Dalam istilah al Qur’an: siapa berbuat jahat akan kembali
kepada dirinya, dan siapa berbuat baik juga akan kembali kepada dirinya. Itulah
Sunnatullah. Dan sunnatullah tidak akan berubah sampai hancurnya alam semesta.
QS. Al Qashash (28): 84
Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa
yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang
yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu
mereka kerjakan.
QS. Al Mukmin (40): 40
Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat (menabrak keseimbangan), maka dia tidak akan dibalas melainkan
sebanding dengan kejahatan
itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan (harmoni dalam keseimbangan) laki-laki maupun
perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di
dalamnya tanpa perhitungan lagi.
QS. Al Fath (48): 23
Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu kala, kamu sekali-kali tiada akan
menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.
Maka, agaknya kita perlu menyetel mind set alias pola pikir kita kembali tentang cara kerja
alam, alias cara kerja Allah ini. Hukum alam tidak berubah sampai akhir zaman. Dengan
hukum yang stabil inilah manusia bisa memahami mekanisme kerja alam, sekaligus Sang
Pencipta.
Bagaimana Allah menciptakan alam semesta. Bagaimana Allah menciptakan
manusia. Bagaimana Allah menciptakan malaikat, jin, hewan, tumbuhan, dan benda-benda
seluruhnya. Bagaimana Allah menciptakan seluruh peristiwa kehidupan. Bagaimana pula
Allah memelihara dan menjalankan keseimbangan antara semua komponen di dalamnya.
Lantas, bagaimana kelak akan menghancurkan serta melenyapkannya kembali.
Kadang-kadang ada diantara kita yang berpikir bahwa manusia
telah mengintervensi sunnatullah? Atau, bahkan ada yang berpendapat bahwa sesuatu
bisa terjadi di luar sunnatullah. Sesungguhnya, tidak ada satu pun kejadian bisa
terjadi di luar sunnatullah. Selama peristiwa itu terjadi di dalam alam semesta,
ia pasti berjalan mengikuti sunnatullah.
Apakah benda yang jatuh ke atas, misalnya, adalah sunnatullah?
Tentu saja. Karena, ia menghasilkan gaya ’anti-gavitasi’. Apakah, laut terbelah
adalah sunnatullah? Tentu saja, karena terjadi Tsunami misalnya. Apakah seseorang
yang tak mempan dibakar itu juga sunnatullah? Tentu saja, karena tubuh manusia bisa
menghasilkan ’jaket elektromagnetik’ yang bisa melindungi tubuhnya dari energi panasnya
api. Apakah bayi tabung, kloning, stem sel, transplantasi organ, dan rekayasa genetika
itu adalah sunnatullah? Tentu saja, karena mereka sama sekali tidak menciptakan
apa pun, melainkan sekedar ’memanfaatkan’ cara kerja alam. Yakni, cara kerja Allah.
Kalau ada seorang pasien gagal ginjal, kemudian dicangkokkan
ginjal orang lain kepadanya, maka itu sama sekali tidak bekerja di luar sunnatullah.
Karena, dia cuma memanfaatkan mekanisme kerja jaringan di dalam tubuh manusia. Kalau
ada sepasang suami isteri memutuskan ikut program bayi tabung, dan lantas dokternya
mempertemukan sel telur dan spermanya di luar rahim, untuk kemudian dimasukkan lagi
ke dalam rahim si isteri, itu sama sekali bukan berarti dokternya menciptakan bayi
dan menyaingi Tuhan. Dia tetap saja bekerja berdasar sunnatullah, yakni hukum biologi
’bab reproduksi’.
Bahkan, jika seorang ahli biomolekuler berhasil ’menciptakan
manusia’ lewat teknologi kloning pun bukan berarti ia telah bekerja di luar sunnatullah.
Dan lantas menjadi pesaing Allah. Karena sebenarnya, dia cuma memanfaatkan sunnatullah
belaka. Karena, jika ia tidak memahami cara kerja Allah dalam rekayasa genetika
itu, ia tidak akan berhasil melakukan kloning..! Walhasil, tidak ada satu peristiwa
pun di alam semesta ini yang bisa keluar dari sunnatullah. Semuanya berada di dalam
kendali Allah. Dan berjalan atas izin-Nya.
Orang yang berbuat jahat melakukan kejahatannya lewat sunnatullah.
Sebaliknya, orang yang berbuat baik melakukan kebaikannya juga di dalam sunnatullah.
Lantas, apakah itu berarti Allah mengizinkan orang berbuat jahat? Tentu saja. Kalau
tidak diizinkan, pasti dia tidak bisa berbuat jahat. Tetapi, ingat, diizinkan bukan berarti diridhai-Nya.
Siapa saja berbuat jahat, maka ia akan memperoleh balasan kejahatan. Dan siapa saja
berbuat baik, akan memperoleh balasan atas kebaikannya. Semua tetap bekerja di dalam
sunnatullah.
Apakah orang mencuri diizinkan Allah? Tentu saja. Jika tidak
diizinkan, ia pasti tidak bisa mencuri. Tetapi, dari perbuatan jahatnya itu ia bakal
menuai konsekuensi dari sunnatullah yang bekerja. Jadi begitulah, iblis bekerja
berdasar sunnatullah. Sebagai aktor kejahatan, iblis telah diizinkan Allah untuk
merayu manusia berbuat kejahatan. Tetapi ingat, sunnatullah akan bekerja untuk memberikan
balasan yang setimpal kepadanya. Kapan? Bisa hari ini. Bisa besok. Bisa tahun depan.
Bisa ketika kematian datang menjemputnya. Atau, kelak di alam akhirat sebagai balasan
yang berlipat ganda besarnya.
Semakin lama tertunda balasannya, semakin besar konsekuensinya.
Perhatikanlah ketika sekelompok masyarakat merusak hutan. Sesaat setelah hutan ditebangi,
alam akan membalasnya dengan suhu udara yang kering dan panas. Jika ini tidak segera
diatasi, misalnya dengan menanami kembali, maka tahun depan balasannya akan lebih
besar. Mungkin akan terjadi kekeringan di daerah itu. Jika tidak diatasi lagi, maka
tahun depannya akan terjadi tanah longsor. Kemudian waktu berikunya lagi banjir
bandang, dan seterusnya dan seterusnya, semakin lama semakin besar. Orang yang berbuat
dosa, dan tidak segera bertaubat kepada Allah, maka ia sedang menyiapkan balasan
yang lebih besar di masa depannya..!
Maka, sungguh manusia bebas berbuat apa saja. Setiap diri akan
bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Barangsiapa memahami sunnatullah dengan
sempurna, dan mengikuti cara kerjanya, insya Allah dia bakal selamat di dunia dan
akhirat. Dan barangsiapa tidak belajar memahami sunnatullah, dan kemudian menabrak
mekanisme keseimbangannya, maka sungguh ia sedang menyiapkan penderitaan yang akan
menyengsarakannya ...!
QS. Al Mudatstsir (74): 37-38
Bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak maju atau mundur.
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya...
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar