Minggu, 05 Desember 2010

SALAH KAPRAH - KENAPA ALLAH MESTI ‘MEWAJIBKAN’ IBADAH


Ketika mendengar kata ’kewajiban’, seringkali kita merasa ’tertekan’. Atau ’terpaksa’. Dan muncul ’keengganan’ pada tingkat tertentu untuk menjalankan perintah itu. Sebaliknya ketika mendengar kata ’dilarang’, kita jadi merasa ingin tahu. Dan ketika mendengar kata ’dibolehkan’, hati kita malah merasa ’biasa-biasa’ saja. Ternyata kita telah salah kaprah dalam memahami ’kecintaan’ Allah kepada hamba-Nya.

Begitulah hati kita. Begitu pula pikiran kita. Selalu ’mengajak’ bermain-main dengan dialektika dalam menjalani kehidupan. Dan itulah memang dinamika keimanan, yang dalam istilah Rasulullah SAW: ’keimanan manusia selalu naik turun’. Dan lantas saya simpulkan: ’kalau tidak naik turun bukanlah manusia’. Mungkin malaikat. Atau sebaliknya, iblis. ’Kejiwaan’ malaikat stabil terus ’di atas’. Sedangkan ’kejiwaan’ iblis stabil terus ’di bawah’. Sedangkan manusia: kadang di atas, kadang di bawah. Agar tidak jemu dan bosan ... :)

Allah memang telah menciptakan Sunnatullah, bahwa segala sesuatu adalan berpasang-pasangan. Ada baik, ada buruk. Ada atas, ada bawah. Ada suka, ada duka. Ada mulia, ada hina. Ada siang, ada malam. Dan lain sebagainya. Nah, di dalam diri manusialah ’medan pertempuran’ antara segala yang berpasangan itu. Jiwanya terus mengalami ’pergolakan’ tiada henti dalam mencari ’Kebenaran Hakiki’: Sang Maha Kontradiksi. Yang Maha Meliputi Segala yang Kontradiksi.

Sementara seluruh makhluk-Nya yang lain sudah menemukan Allah sebagai Tuhannya, dan telah ’bersembahyang’ tiada henti menyembah-Nya (termasuk malaikat dan iblis yang sejak zaman ’baheula’sudah bertuhan kepada Allah), manusia masih terus berkutat dengan segala kontradiksinya. Dan tidak pernah berhenti sampai ajal menjemputnya. Atau, bahkan sampai alam semesta menemui kehancurannya.

QS. An Nuur (24): 41
Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih segala yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Manusia selalu mengalami keraguan dalam dirinya untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini terkait erat dengan pemberian Allah kepada manusia yang namanya ’akal’. Setiap saat kita selalu bertanya-tanya. Kalau tidak pikiran kita yang bertanya dengan gaya ’logika’ dan ’rasionalitas’nya, tentu hati kita yang bertanya-tanya dengan gaya ’perasaan’-nya.

Tidak apa-apa, karena itulah memang pembawaan manusia. Dan ’bisikan’ semacam itu alamiah, agar manusia selalu bisa mengontrol tindakannya. Sehingga akal bisa memutuskan apa yang harus dilakukan dengan lebih terukur. Justru, jika tidak dipertanyakan terlebih dahulu, kita akan menjadi orang yang sembrono, dan biasanya akan membuat kita menyesal di belakang hari.

QS. Al An’aam (6): 2
Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal, dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan yang ada pada sisi-Nya, kemudian kamu masih (selalu) ragu-ragu.

Jangankan kita yang manusia awam, Rasulullah yang sudah setingkat Nabi pun pernah mengalami keragu-raguan itu. Sehingga Allah memerintahkan untuk bertanya kepada siapa saja yang dianggapnya lebih mengerti tentang apa yang diragukan. Dan terbukti dalam sejarah, Rasulullah bersama Siti Khadijah pernah datang bertanya kepada seorang pendeta Ahli Kitab, Waraqah bin Naufal, di awal-awal masa kenabiannya.

QS. Yunus (10): 94
Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu (ahli kitab). Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.

Yang lebih penting, lantas, adalah tidak boleh untuk ragu-ragu. Jika merasa ragu-ragu atas sesuatu, harus segera diklarifikasi. Bisa ditanyakan kepada seseorang yang lebih mengerti, atau mungkin didiskusikan agar muncul pencerahan atasnya. Karena keragu-raguan hanya akan menyebabkan kita tidak berani segera melangkah. Atau, salah tingkah dalam melangkah, yang berujung pada kesalahan.

QS, Al Hujuraat (49): 15
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.

Ketidakmengertian menyebabkan kita berbuat salah kaprah. Bahkan dalam menjalankan ibadah. Baik kita sadari maupun tidak. Perasaan enggan ketika kita mendengar sebuah ’kewajiban’ adalah salah satu dari ketidakmengertian itu. Maka, harus segera diklarifikasi. Sehingga, setelah mengerti maksudnya, kita tidak terus menerus dalam keraguan. Dan bisa menjalankannya dengan penuh kepastian. Itulah keimanan. Dan itulah orang-orang yang benar, kata ayat di atas.

Kenapakah Allah mewajibkan shalat? Kenapa mewajibkan puasa? Kenapa mewajibkan zakat dan haji bagi yang mampu? Dan segala kewajiban-kewajiban lainnya dalam beragama. Tentu saja ada alasannya. Itulah yang harus segera diklarifikasi, tabayyun, agar kita menjadi orang yang berhati yakin.

Kewajiban beribadah, sama sekali bukan untuk Allah. Karena Dia memang Dzat yang tidak membutuhkan apa-apa dari makhluk-Nya. Justru, makhluk-lah yang membutuhkan Dia. Jika semua makhluk di alam semesta tidak menuhankan Dia, Allah tetap saja Tuhan Penguasa seluruh alam. Tidak berkurang sedikit pung keagungan-Nya.

QS. Adz Dzaariyaat (51): 56-58
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak membutuhkan rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.

Lantas, kenapa Allah mewajibkan kita untuk beribadah? Karena, ternyata desain kita ini memang makhluk ibadah. Terbaca dari ayat diatas, bahwa manusia dan jin diciptakan memang sebagai makhluk ibadah. Sehingga, jika tidak beribadah kita akan menemui masalah. Seluruh kewajiban yang kita terima dari Allah itu sebenarnya adalah untuk memaksimumkan seluruh potensi kita sebagai manusia. Dan memunculkan sikap istiqomah alias kestabilan hidup.

Saya sering mencontohkan hal ini dengan analogi ’pabrik mobil’. Sebuah mobil dibuat oleh pabriknya pasti memiliki spesifikasi tertentu. Misalnya, bahan bakarnya harus pertamax. Olinya mesti dengan tingkat keenceran tertentu. Cara menjalankannya harus mengombinasikan antara kopling, gas, rem dan persneling. Dan lain sebagainya.

Maka, jika mobil itu diperlakukan tanpa memperhatikan segala ’kewajiban’ yang diperintahkan oleh pabriknya, tentu mobil itu akan rusak sebelum waktunya. Mobil berbahan bakar pertamax misalnya, Anda isi dengan bahan bakar solar, tentu saja akan rusak. Apalagi, diisi nasi pecel ...! :)

Demikian pula, jika mesin mobil itu diisi dengan oli yang tingkat kekentalannya tidak sesuai, pasti akan bermasalah. Atau, apalagi dijalankan dengan tanpa memperhatikan kombinasi kompling, gas, rem dan persneling yang sesuai, bisa-bisa mobilnya kecemplung jurang... :(

Pertanyaannya adalah: untuk siapakah segala ’kewajiban’ yang diharuskan oleh pabrik mobil itu? Apakah untuk kepentingan pabrik, ataukah untuk kepentingan mobil dan pemiliknya? Tentu dengan sangat mudah kita menjawabnya, bahwa semua kewajiban itu adalah untuk kepentingan mobil dan pemiliknya. Bagi pabrik, sama sekali tidak ada kerugian apa pun kalau Anda tidak menjalankan segala kewajiban itu. Gak Patheken, kata orang Jawa...!

Bahkan, meskipun si pemilik mobil melanggar semua ketentuan itu dengan alasan yang ’baik dan benar’. Tetap, saja ia akan memperoleh efek yang merugikan ketika tidak menjalankan kewajiban. Misalnya, demi alasan ’penghematan’ maka BBM mobil diisi saja minyak tanah yang harganya lebih murah dibandingkan pertamax. Bukankah sama-sama Bahan Bakar Minyak ...? :(

Ada sebuah cerita lucu tentang itu. Seseorang yang tidak pernah punya mobil, membeli mobil baru. Ia sangat menyayangi mobilnya, dan berjanji dalam hati tidak akan menggantinya seumur hidup. Maka, ia memperlakukan mobilnya dengan penuh ’kasih sayang’. Namun sayang, dia tidak membaca buku manual alias buku petunjuknya, sehingga tidak tahu cara memperlakukan mobil.

Pada suatu hari dia menyetir mobil dengan mengajak sahabatnya. Itung-itung sambil pamer mobil baru. Sang teman terheran-heran dengan cara si pemilik mobil itu menjalankan kendaraannya. Karena di sepanjang jalan yang dilaluinya, ia tidak pernah mengganti persneling. Di jalan datar ia menggunakan gigi satu. Di jalan tanjakan, ia juga menggunakan gigi satu. Di jalan tol pun, ia menggunakan gigi satu.

Tak tahan melihatnya, sang kawan bertanya: ’’Dari tadi aku kok melihat kamu tidak pernah mengganti gigi persneling mobilmu, kenapa? Bukankah, ada 5 gigi persneling yang bisa digunakan sesuai kebutuhan?’’

Sang pemilik mobil menjawab dengan santainya: Ya memang, saya pakai dulu yang persneling 1. Kalau sudah rusak, baru nanti saya pakai persneling 2, 3 dan sterusnya. Supaya awet...’ Tentu saja sang kawan bengong mendengarnya. Lantas meledak tawanya... Maksudnya sih baik, tetapi salah kaprah...!

Ibadah adalah kewajiban. Bukan untuk Allah Sang Pencipta, melainkan untuk hamba-hamba-Nya. Shalat kita adalah untuk kita sendiri. Puasa, zakat, haji, dzikir, doa, dan segala macam kebaikan yang kita usahakan, pada hakekatnya adalah untuk kita sendiri. Seluruh alam semesta tak beribadah tak akan mengganggu Eksistensi-Nya sedikit pun. Karena, sungguh segala kewajiban itu semata-mata perwujudan dari Kasih Sayang Allah untuk kebahagiaan semua makhluk-Nya...

QS. Al An’aam (6): 12
Tanyakanlah: "Kepunyaan siapakah segala yang ada di langit dan di bumi?" Jawablah: "Kepunyaan Allah". Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu adalah orang-orang yang tidak beriman.

QS. Al An’aam (6): 54
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka ucapkanlah: "Salaamun-alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, bahwa barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kebodohan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

QS. Al Aadiyaat (100): 6
Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya...

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 4 Desember 2010 pukul 16:49


Tidak ada komentar:

Posting Komentar