Oleh Syekh Subakir pada 11 Juli 2011 pukul 6:11
QS Abasa [80] : 1-12
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,
karena telah datang seorang buta kepadanya.
Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi
manfaat kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,
maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
sedang ia takut kepada (Allah),
maka kamu mengabaikannya.
Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu
adalah suatu peringatan,
maka barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,
Suatu
ketika Nabi Muhammad berunding dengan pemuka-pemuka suku Quraisy. Di tengah-tengah
perundingan tersebut, datanglah seorang sahabat yang buta dan miskin bernama Ibnu
Ummi Maktum yang meminta kepada Rasulullah untuk membacakan ayat-ayat suci Al Qur'an.
Rasulullah merasa kesal dengan sikap Ibnu Ummi Maktum yang dianggapnya kurang sopan
dan tidak tahu menempatkan diri, di tengah-tengah perundingan penting yang akan
menentukan masa depan hubungan antara kaum Mukmin dan kaum Quraisy Makkah. Karena
kesal, Rasulullah menampakkan wajah masam dan memalingkan muka. Maka turunlah Surah
Abasa ini yang artinya "Ia Bermuka Masam", yang merupakan teguran Allah
kepada Rasulullah yang bersikap seperti itu. Betapa Rasulullah adalah manusia pilihan
yang berjiwa besar dengan mengakui kesalahannya. Beliau segera membacakan ayat-ayat
tersebut di depan hadirin, seraya meminta maaf kepada Ibnu Ummi Maktum.
Apa
hikmah yang bisa kita petik dalam kisah ini?
Ya...
Jangan mudah terjebak oleh tampak luar! Lihat isinya! Kata pepatah Barat "Don't
judge a book by its cover".
Kebanyakan
dari kita seringkali menilai kepribadian seseorang dari tampak luarnya saja. Dalam
hal memberi dan menerima, kita telah terjebak pada hal-hal yang bersifat kulit,
sementara isinya kita abaikan. Kita memberi dan menerima, hanya kepada orang-orang
yang "ideal" menurut sudut pandang kita saja.
Jika
melihat pemuda yang berpakaian gaul, langsung kita berpikir bahwa mereka orang-orang
yang tidak mengerti agama. Sementara melihat orang yang kemana-mana memakai peci,
langsung kita berpikir bahwa ia adalah orang yang saleh. Padahal berapa banyak pemuda
gaul yang hidupnya bermanfaat untuk masyarakat dan lingkungan, dan berapa banyak
orang berpeci yang juga menjadi koruptor?
Pernahkah
kita mengalami perasaan marah atau kesal ketika dinasehati anak atau saudara kita
yang lebih muda? Dengan arogan kita berkata, "Ah! Tau apa kau ini! "Tapi
lucunya, ketika orang lain yang menyampaikan dengan maksud yang sama, kita ternyata
bisa menerima! Inilah ternyata, ketika hawa nafsu dan egoisme mendominasi akal pikiran
dan hati kita, sehingga kita tidak bisa jernih memandang suatu permasalahan sehingga
menjauhkan kita dari hikmah.
Begitu
pula dengan pemahaman agama. Sudah menjadi fakta bahwa umat Islam terlalu sibuk
berputar-putar di ranah kulit, tanpa memahami isi. Beragama dengan simbol, bukan
hikmah! Lebih banyak berdebat mengenai gerakan shalat yang benar seperti apa, tapi
melupakan masalah substansi tujuan shalat yaitu mencegah manusia dari perbuatan
keji.
Ketika
ada generasi muda yang kritis, pandai dalam menangkap intisari ajaran Islam dan
berusaha merumuskannya dalam konteks kekinian, langsung saja mereka dicap ingkar,
bahkan sesat. Dengan arogan mereka diberondong pertanyaan, "Berapa lama mondok
di pesantren? Hafal Al Qur'an dan Hadits gak?" Belum belajar ilmu ini itu kok
udah sok-sokan bicara agama!" Sementara di lain pihak bila seorang "ulama"
yang sudah tua, dengan jenggot lebat, sorban dan jubah, betapa pun provokatifnya
dan betapa pun anti modernitasnya, maka kita serta merta akan menganggapnya sebagai
sebuah kebenaran. Masya Allah! Ternyata simbol agama dianggap lebih penting dari
pada isi agama itu sendiri! Ini namanya taqlid buta, sahabat .
Maka
dari itu, saya tidak akan pernah berhenti menghimbau sahabat-sahabat sekalian untuk
beragama dengan hikmah, bukan simbol. Jangan terlalu banyak habis waktu membahas
seputar syariat, sementara kita melupakan hakikat! Pencarian kebenaran adalah suatu
proses yang tidak akan pernah berhenti sampai ajal menjemput. Maka dari itu dibutuhkan
sikap terbuka dan berbesar hati untuk menerima dan memberi, dengan tidak terjebak
oleh simbol-simbol keagamaan dan kulit luar saja. Dalam mencari kebenaran, tidak
ada guru tidak ada murid. Guru sejati hanyalah Allah semata. Seperti halnya teladan
pada Rasulullah, yang selalu menyebut umantnya sebagai sahabat, karena beliau tidak
pernah memposisikan dirinya sebagai guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar