oleh Agus Mustofa pada 12 Desember 2011 pukul 4:44
Banyak
orang berbicara tentang eksistensi Tuhan dengan menggunakan sudut pandang makhluk.
Sehingga hasilnya bukan Tuhan, melainkan tetap makhluk. Pemikiran filsafat tidak
pernah menemukan Tuhan dalam arti yang sesungguhnya, karena ia hanya berputar-putar
dalam sudut pandang kemanusiaan atau makhluk belaka.
Islam
berbicara tentang Tuhan dalam sudut pandang yang lebih holistik, keluar dari kemakhlukan.
Bahwa Tuhan adalah ‘Sesuatu’ yang tidak serupa dengan makhluk apa pun (laisa kamitslihi syai-un). Sehingga setiap
apa pun yang bisa kita persepsi, bukanlah Tuhan. DIA berada dalam wilayah ‘ketidaktahuan’
kita sebagai makhluk. Selama kita masih tahu tentang ‘dia’, maka itu bukanlah DIA.
Yang
kedua, Islam mengajarkan bahwa Tuhan adalah Maha Besar (Allahu Akbar) mewadahi seluruh
makhluk. Maka, selama masih ada sesuatu yang mewadahi ‘tuhan’, dia itu bukanlah
Tuhan. Karena itu, Islam menolak tuhan-tuhan yang masih berada di dalam alam semesta.
Tuhan tidak terwadahi oleh apa pun termasuk alam semesta – ruang, waktu, materi
& energi. Justru alam semesta itulah yang berada di dalam Tuhan. Bahkan juga,
Tuhan tidak terwadahi oleh pikiran manusia ataupun pancaindera. Karena kalau masih
terwadahi, berarti ‘tuhan’ itu masih kalah besar dengan pikiran dan kemampuan indera
kita. Ini menyalahi kaidah Allahu Akbar. Itu pasti bukan Tuhan.
Yang
ketiga, Tuhan sangat dekat dengan makhluk-Nya (aqrabu ilaihi min hablil warid).
Diistilahkan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher kita sendiri. Tentu,
antara kita dengan urat leher tidak berjarak, karena urat leher itu sudah di dalam
tubuh kita. Tetapi Allah menggambarkan Dirinya sebagai lebih dekat daripada yang
tidak ada jaraknya itu. Ini sekaligus membantah orang-orang yang mempersepsi Tuhan
sebagai sosok.
Yang
keempat, Tuhan mewadahi segala yang kontradiktif (huwal awwalu wal akhiru, wazhahiru
wal bathinu). Dulu dan nanti, ada di dalam Dirinya. Kelihatan dan gaib berada di
dalam Dirinya. Disana-disini-disitu juga berada di dalam Dirinya.
Ringkas
kata, kalau kita berbicara tentang eksistensi ketuhanan di dalam islam, ibarat sedang
membicarakan ‘Semesta Pembicaraan’ dalam suatu himpunan angka. Bahwa seluruh angka
yang ada di dalam himpunan itu adalah bagian atau anggota dari semesta pembicaraan.
Berbicara apa pun tentang makhluk, adalah berbicara tentang eksistensi ketuhanan
itu sendiri. Karena sekecil apa pun eksistensi makhluk, ia adalah bagian dari semesta
pembicaraan yang ‘tak berhingga’. Namun, tentu saja, semesta pembicaraan tidaklah
sama dengan apa pun yang ada di dalam himpunan angka.
Jadi,
Tuhan bukanlah sekedar pengisi kekosongan saat ‘tidak tahu’ terhadap sesuatu, karena
kita sedang berbicara totalitas eksistensi. Bahwa ‘kekosongan’ adalah bagian dari
eksistensi ketuhanan, itu adalah iya, sebagaimana ‘keberadaan’ juga adalah bagian
dari eksistensi ketuhanan. Bahwa ‘ketidaktahuan’ adalah berbicara tentang eksistensi
ketuhanan juga iya, sebagaimana ‘ketahuan’ juga berbicara tentang eksistensi ketuhanan.
Karena
itu, untuk menjadi ‘tahu’ bahwa diri kita ‘tidak tahu’, kita harus berproses menjadi
tahu dulu. Disinilah terjadi proses saintifik dari: tidak tahu, belum tahu, lebih
tahu, semakin tahu, tapi tidak akan pernah ‘benar-benar tahu’. Karena ternyata di
balik ‘ketahuan’ selalu muncul ‘ketidak tahuan’ yang baru. Disanalah Tuhan sedang
‘memberi tahu’ tentang kesombongan manusia yang ‘sok tahu’. Sains tidak pernah bisa
menjawab segalanya, karena ia hanya membuka tirai-tirai 'ketidak tahuan' manusia
terhadap realitas yang selalu memunculkan misteri baru di baliknya.
Lebih
dari itu semua, karena Tuhan adalah semesta pembicaraan, dan bukan anggota himpunan,
maka segala operasi bilangan tidak berlaku bagi-Nya. Pertanyaan ‘dimana Tuhan’,
‘bagaimana Tuhan’, ‘sebelum & sesudahnya ada Tuhan apa nggak’, dan seterusnya
tidak akan pernah bisa menggambarkan Tuhan dalam arti sebenarnya.
Untuk
apa kita bertanya ‘Tuhan Ada Dimana’ misalnya. Lha wong, ruang alam semesta ini
berada di dalam-Nya. Pertanyaan ‘dimana’ itu hanya berlaku untuk makhluk, yang sekali
waktu ada disini, disitu, atau disana. Karena Tuhan sudah meliputi seluruh ruang
alam semesta, maka dalam waktu yang bersamaan DIA sudah berada disini, disitu, dan
disana. Jadi buat apa kita bertanya ‘DIA berada dimana?’ Pertanyaan semacam itu
hanya berlaku untuk makhluk yang terikat oleh dimensi ruang.
Sama
juga ketika kita bertanya tentang eksistensi Tuhan dengan pertanyaan ‘Apa, Bagaimana,
dan Kapan’. Tidak bermakna apa-apa, karena seluruh waktu, materi, dan energi sudah
berada di dalam eksistensi-Nya. DIA adalah DIA, yang tidak pernah bisa kita persepsi,
karena eksistensi-Nya berada di luar jangkauan persepsi manusia. Tetapi, kehadiran-Nya
bisa dirasakan dengan hati yang jernih. Kecuali bagi orang-orang yang tidak punya
hati… ;)
Hmm,
bagaimana mungkin kita bisa menceritakan bentuk sebuah gedung yang megah, kalau
kita berada di dalamnya dan tak ada peluang untuk keluar darinya? Paling-paling
kita hanya akan berputar-putar menceritakan interiornya belaka. Itu pun hanya sejauh
kemampuan mata kita memandang.. :)
~
Salam Bertuhan kepada Tuhan yang Benar-Benar Tuhan ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar