oleh Agus Mustofa pada 9 Agustus 2012 pukul 8:47
Banyak umat Islam yang memperlakukan Al Qur’an dengan
salah kaprah. Sehingga, kitab suci yang amat hebat ini tidak ditempatkan atau
difungsikan sebagaimana mestinya. Kesalah-kaprahan itu semakin terlihat di
bulan suci Ramadan. Sebuah bulan dimana kandungan hikmah Al Qur’an –yang masih
berada di Lauh Mahfuzh– itu diturunkan ke Bumi.
Saya sering menyebutnya dengan istilah ‘umat Islam jauh
dari Al Qur’an’. Meskipun, secara fisik kitab suci itu dibawa kemana-mana.
Seorang kawan saya protes dengan istilah ‘jauh dari Al Qur’an’ itu. ‘’Saya ini
dekat mas dengan Al Qur’an. Setiap saat kitab suci ini tak pernah jauh dari
saya. Selalu saya bawa kemana pun saya pergi.’’
Ia memang mempunyai Al Qur’an saku yang dibawa kemana pun
ia pergi. Ia juga punya Al Qur’an digital yang kini semakin ngetren,
diinstal di HP dan laptopnya. Bahkan, di perpustakaan pribadinya ia memiliki
sejumlah Al Qur’an terjemahan berbagai bahasa. Ya, dia memang ‘dekat’ dengan
fisik Al Qur’an, tetapi belum tentu dekat dengan isi Al Qur’an. Apalagi hikmah
yang terkandung di dalamnya.
Kedekatan kita dengan Al Qur’an bukan diukur secara
fisikal, melainkan pada tataran penerapan isi kandungannya dalam kehidupan
sehari-hari. Karena kesalah-kaprahan dalam memahami kedekatan inilah, umat
Islam mengalami kemunduran dalam peradaban dunia. Dulu, umat Islam di bawah
kepemimpinan Rasulullah SAW yang diteruskan oleh para sahabat dan penerusnya, bisa
menjadi pusat peradaban dunia. Negara superpower seperti Romawi dan Persia
pun akhirnya tenggelam digantikan zaman keemasan Islam, selama ratusan tahun.
Sayangnya sejak abad ke 14 umat Islam mengalami kemunduran
luar biasa, sekitar 700 tahun, sampai kini. Salah satu penyebabnya adalah SDM
Islam tidak dibangun berdasarkan petunjuk-petunjuk Al Qur’an. Kitab ini hanya
dijadikan pajangan-pajangan di rak-rak perpustakaan, diinstal di HP dan laptop,
dilombakan bacaan indahnya dan dibaca khatam ‘cepet-cepetan’, bahkan tidak sedikit
yang cuma menjadikannya sebagai mantera azimat alias pusaka penyelamat.
Allah sudah sangat jelas mengajarkan di dalam firman-Nya,
bahwa Bacaan Mulia yang diturunkan di bulan suci Ramadan ini penuh dengan
hikmah. Dan berisi petunjuk-petunjuk untuk menjadi solusi atas segala macam
masalah manusia. Di dalamnya terdapat penjelasan-penjelasan atas petunjuk
tersebut.
QS. Al Baqarah [2]: 185
‘‘...bulan Ramadan, adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran
sebagai PETUNJUK bagi manusia dan berisi PENJELASAN-PENJELASAN mengenai
petunjuk itu...’’
Sayangnya, yang terjadi bukan menggali petunjuk-petunjuk
itu dalam berbagai seminar atau kajian-kajian intensif, melainkan lebih kepada
membaca indah, khatam bolak-balik tanpa memahami maksudnya, atau sekedar
menjadi mantera-mantera tersebut. Apalagi di bulan Ramadan. Cobalah bandingkan
seberapa banyakkah orang-orang yang mengkaji Al Qur’an terkait dengan isi dan
hikmah yang terkandung di dalamnya? Bandingkan dengan orang-orang yang
membacanya sekedar untuk mengejar target khatam berkali-kali. Sedikit sekali.
Lebih jauh, sebagian kita malah menjadikan Al Qur’an itu
sebagai ‘sumber kesaktian’ tanpa memahami makna yang seharusnya. Misalnya,
seorang kawan saya demikian kuatnya berpegang pada ayat Al Qur’an yang
mengatakan bahwa energi Qur’an ini sangat besar, sehingga jika diturunkan ke
gunung, gunung itu bisa hancur berantakan.
QS. Al Hasyr [59]: 21
'’ Kalau sekiranya Kami turunkan
Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk hancur
berantakan disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan PERUMPAMAAN-PERUMPAMAAN
itu Kami buat untuk manusia supaya mereka BERPIKIR.’’
Ada kesalahan mendasar yang dilakukannya dalam memahami
ayat ini. Yakni, ia mengabaikan informasi Allah, bahwa cerita di atas adalah
sebuah perumpamaan. Dia menanggapinya secara harfiah. Karena itu, ketika ada
seorang kawannya yang membawa mushaf Al Qur’an ditaruh di atas sebuah gunung,
gunung itupun tidak hancur. Karena, ayat di atas memang sudah menjelaskan bahwa
itu adalah sebuah perumpamaan, dan kita disuruh berpikir untuk mengetahui
maksudnya.
Saya katakan, energi Al Qur’an memang sangat besar dan
bisa mengubah dunia seperti yang telah terjadi ratusan tahun yang lalu. Tetapi,
energi tersebut bukan terletak di tulisan atau lembaran-lembarannya secara
harfiah seperti itu. Sehingga, lantas ada yang menggunting lembaran-lembaran
kitab Al Qur’an untuk dijadikan jimat. Atau, malah ada yang membakarnya, dan
abunya diminum segala. Dan dia sudah merasa memperoleh energi dari dalam Al
Qur’an. Bukan begitu. Energi yang besar di dalam kitab suci ini bukan terdapat
di tulisannya itu, melainkan di dalam maknanya.
Barangsiapa memahami maknanya, dan kemudian menjalankannya
dalam kehidupan nyata, maka sungguh dia telah memperoleh energi ilahiah yang
luar biasa besarnya. Dia akan memiliki kemampuan hebat untuk mengubah
peradaban. Baik secara fisikal maupun secara moral. Dialah pemimpin yang telah
memperoleh petunjuk Sang Maha Berilmu dan Maha Berkuasa dalam segala tataran
wilayah perbuatannya. ‘
QS. Al Israa’ [17]: 9
’Sesungguhnya Al Quran ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang
beriman yang mengerjakan amal kebajikan. Bagi mereka ada pahala yang besar.’’
Wallahu a'lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar