oleh Agus Mustofa pada 10 Agustus 2012 pukul 6:24
Bulan Ramadan adalah bulan turunnya Al Qur'an. Inilah
kesempatan kita untuk mengenal kitab suci yang ajaib ini lebih mendalam. Sebuah
kitab yang sangat sesuai dengan kondisi masyarakat modern.
Apakah tanda-tandanya bahwa kitab ini cocok bagi peradaban
zaman?
Yang pertama, inilah kitab suci yang sejak awal sudah
punya perhatian besar pada budaya baca tulis. Karena itu, sejak awal turunnya
di gua Hira’, Al Qur’an sudah mengedepankan budaya membaca. Dan itu diabadikan
oleh Allah di dalam Al Qur’an.
QS. Al ‘Alaq [96]: 1-5
“BACALAH dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari
‘alaq (embrio).
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah.
Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan PENA.
Dia mengajari manusia segala apa yang
tidak diketahuinya.’’
Bukan hanya itu, di wahyu kedua pun Allah memberikan
perhatian kepada budaya baca tulis dengan mewahyukan surat Al Qolam–Surat Pena.
“Nun,
demi pena dan apa yang mereka tuliskan.’’ [QS. Al Qolam: 1]. Ayat
yang dimulai dengan huruf Nun itu menjadi langkah selanjutnya
dari proses pembelajaran Rasulullah yang ummi alias buta huruf itu dalam baca
tulis. Malaikat Jibril-lah yang diutus Allah untuk mengajari beliau lewat wahyu
yang berangsur-angsur selama 23 tahun. Sehingga, tidak heran, dalam puluhan
ayat yang turun selanjutnya Allah mewahyukan berbagai surat yang dimulai dengan
huruf-huruf seperti itu.
Ada yang dimulai dengan satu huruf semisal Qaf, Shad
dan Nun. Ada yang dua huruf seperti Ya Sindan Tha Ha.
Ada yang tiga huruf seumpama alif lam mim dan alif lam
ra. Serta ada pula yang sampai lima huruf sebagaimana kaf Ha Ya
Ain Shad. Semua huruf-huruf itu, selama ini ditafsiri sebagai
sesuatu yang rahasia. Sehingga dalam banyak kitab terjemah cuma diberi
penjelasan dalam kurung (Allah saja yang tahu maksudnya). Tetapi, saya melihat
ini sebagai proses pembelajaran kepada Rasulullah untuk mengenal huruf-huruf Hijaiyah.
Artinya, Rasulullah yang buta huruf sebelum menjadi Nabi itu, kelak memang
menjadi Nabi yang sesuai dengan zaman modern. Yakni sebuah zaman yang berbasis
pada budaya baca-tulis.
Budaya baca tulis itu mulai dari yang berbentuk pahatan
pada batu, kulit dan tulang binatang, pelepah pohon, kertas papirus, sampai
pada peralatan digital seperti berkembang di era komunikasi sekarang. Sehingga
Al Qur’an yang awalnya dituliskan pada media-media konvensional itu pun kini
sudah berkembang menjadi Al Qur’an Digital, dengan berbagai fasilitas
kemudahannya.
Yang kedua, peradaban modern adalah peradaban yang
berbasis pada mekanisme akal dan data-data empirik. Ternyata demikian pulalah
Al Qur’an mengajari manusia dalam beragama. Proses keimanan di dalam Al Qur’an
bukan diajarkan secara dogmatis atau apalagi lewat doktrin-doktrin, melainkan
lewat argumentasi yang jelas. Sehingga, dengan sangat tegas Allah melarang
melakukan pemaksaan dalam beragama. Laa ikraaha fiddiin – tidak ada paksaan dalam
beragama, sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam
QS. Al Baqarah [2]: 256.
“Tidak ada paksaan dalam beragama.
Sungguh sudah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (Tuhan selain Allah) dan hanya beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat
yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’’
Bukan cuma menginformasikan, dalam ayat berikut ini,
bahkan Allah melarang alias mengancam akan menimpakan kemurkaan kepada
orang-orang yang memaksakan kehendak dalam beragama. Allah saja tidak memaksa, kok
kita mau memaksa-maksa orang lain.
QS. Yunus [10]: 99-100
“Dan JIKA Tuhanmu MENGHENDAKI,
pastilah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
(hendak) MEMAKSA manusia supaya mereka BERIMAN semuanya? Tidak ada seorang pun
akan beriman kecuali dengan izin Allah. Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada
orang-orang yang tidak mempergunakan AKALnya.’’
Seiring dengan tidak boleh memaksakan kehendak dalam
beragama itu, Allah juga menegaskan agar kita beragama dengan argumentasi yang
kuat, yang diistilahkan sebagai hujjah. Mulai dari bertuhan kepada
Allah, bernabi kepada Rasulullah Muhammad, berkitab pada Al Qur’an, dan
berbagai macam mekanisme peribadatan kita, semuanya mesti dilakukan berdasar
pada hujjah, alias argumentasi yang kuat. Bukan hanya berpegang
kepada ‘pokoknya harus begini dan begitu’. Dengan kata lain,
keimanan kita memang harus berproses seiring dengan penggunaan akal dan ilmu
pengetahuan.
Karena itulah dengan sangat telak Allah berfirman, bahwa
orang-orang yang tidak menggunakan akalnya tidak akan bisa mengambil pelajaran
dari Al Qur’an Al Karim. Sebagaimana dijelaskan dalam berbagai ayat Qur’an,
diantaranya berikut ini:
QS. Ali Imran [3]: 7
“...wamaa yadzdzakkaru illa uulul
albaab–dan tidak bisa mengambil pelajaran dari (firman-firman) Allah kecuali
orang-orang yang menggunakan akal kecerdasannya.’’
Maka, lewat kisah Nabi Ibrahim sebagai The
Founding Father agama Islam, Allah memberikan pelajaran tentang bagaimana
seharusnya umat Islam memahami dan menjalankan agamanya. Termasuk dalam
menanamkan ketauhidan atas Tuhan satu-satunya di jagat semesta raya ini.
QS. Al Anbiyaa’ [21]: 56
“Ibrahim berkata: "Sebenarnya
Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. Dan aku termasuk
orang yang dapat memberikan BUKTI atas yang demikian itu."
QS. Al An’aam [6]: 83
“Dan itulah hujjah Kami yang Kami
berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami
kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
Berilmu.’’
Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar