oleh Agus Mustofa pada 15 Agustus 2012 pukul 6:17
Seorang kawan saya bertanya: “Benarkah alam semesta
beserta isinya ini bakal lenyap setelah berusia belasan miliar tahun ke
depan?’’ Saya katakan: “agaknya begitu’’. Karena, Al Qur’an sendirilah yang
menceritakan bahwa fase terakhir drama kehidupan manusia memang bukan alam
akhirat, QS. Al-Baqarah [2]: 28, sebagaimana telah kita bahas di tulisan sebelum ini.
Ternyata, alam akhirat baru menempati fase keempat, yang akan segera disusul
fase kelima: runtuhnya alam semesta, lenyap menuju ketiadaan. Yakni, fase
kembali kepada-Nya – ilaihi turja’un.
Kawan saya pun melanjutkan pertanyaannya: “Berarti surga
juga bakal lenyap?’’ Saya menjawab: “Agaknya demikian.’’ Bukankah surga itu
memang bagian dari alam akhirat, dan baru berada di fase keempat? Sehingga
ketika alam semesta digulung oleh-Nya, dengan sendirinya surga dan neraka bakal
ikut lenyap’
QS. Al Anbiyaa’: 104
“(Yaitu) pada hari Kami gulung langit
seperti menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai
penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang
pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.’’
Kawan saya bersungut-sungut: “kalau begitu buat apa saya
beribadah capai-capai begini? Toh surga bakal lenyap?’’ Saya menimpali: “Oh,
jadi ibadahmu selama ini bukan karena Allah toh? Hanya karena surga? Sehingga
ketika surga tidak ada maka engkau pun menjadi malas beribadah untuk menyembah
Allah? Katamu, semua ibadah harus lillahi ta’ala – hanya karena Allah.
Lha kok ternyata hanya karena surga?’’
Dialog diatas hanya sekelumit dari realitas yang banyak
terjadi di sekitar kita. Sebuah gambaran tentang bergesernya kualitas
ketauhidan umat. Ibadah yang semula diperuntukkan Allah semata, mulai
kehilangan orientasi, dan menjadi untuk diri sendiri. Padahal, orientasi ibadah
itu bisa menjadi salah satu parameter kepada siapakah kita bertuhan: kepada
Allah ataukah kepada yang lain – termasuk kepada diri sendiri?
Orang yang ibadahnya karena surga, tentu bukan beribadah
karena Allah. Dia lebih mencintai surga daripada mencintai Allah. Dan lebih
takut neraka daripada takut kepada Allah. Sehingga, Allah tak lebih hanyalah
pihak yang disuruh-suruh untuk memenuhi keinginan kita. Termasuk untuk memberi
kebahagiaan surga dan menghindarkan dari neraka.
Kita mesti berhati-hati, karena tanpa terasa ketauhidan
kita mulai bergeser bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada diri sendiri.
Ternyata, tuhan kita bukan Allah, melainkan diri kita sendiri. Sedangkan Allah
tak lebih hanyalah ‘pelengkap penderita’ yang kita mintai ini-itu saat kita
perlu. Dan ketika segala keinginan itu tidak dipenuhi kita marah-marah dan
‘ngambek’ kepada-Nya. Emangnya kita ini siapa?
Inilah yang dikritisi oleh seorang sufi wanita yang sangat
terkenal di abad pertengahan: Rabi’ah Al Adawiyah. Suatu ketika dia membawa
obor dan seember air melintasi keramaian masyarakat. Ia pun ditanya, untuk
apakah membawa obor dan seember air itu kemana-mana. Ia menjawab, akan membakar
surga dan menyiram api neraka. Tentu saja banyak yang heran dan bertanya
kepadanya tentang jawaban yang aneh itu. Tapi dengan lugas ia menjawab, semua
itu dia lakukan agar umat Islam kembali bertuhan hanya kepada Allah. Dan mencintai
serta mengabdikan segala ibadahnya lillahi ta’ala, hanya karena Allah
semata. Bukan sebaliknya, bertuhan kepada surga dan neraka, sehingga melupakan
Allah sebagai Tuhan. Serta menjadikan-Nya sebagai ‘pelengkap penderita’ belaka.
QS. Al Qashash: 88
“Janganlah kamu sembah bersama Allah,
tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang pantas disembah) selain Dia.
Segala sesuatu bakal binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala ketentuan, dan
hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.’’
Begitulah Allah mengajarkan di dalam Kitab Suci. Itulah
yang disebut sebagai pemurnian tauhid dalam menuhankan Allah. Tidak ada sesuatu
pun yang pantas dipersekutukan dengan-Nya. Meskipun itu adalah surga, malaikat
ataupun nabi. Apalagi diri sendiri. Bertuhan adalah mengikhlaskan hati untuk
hanya mengakui keagungan-Nya. Dan berserah diri menaati segala perintah-Nya.
Dzat Tunggal penguasa jagat semesta raya.
Sedangkan surga dan neraka, tak lebih hanyalah ciptaan
yang bakal diganjarkan kepada siapa saja yang memang pantas memperolehnya. Tak
ada satu pun makhluk yang mampu menghalangi, jika Dia berkehendak memberikan
surga kepada hamba-hamba-Nya, sebagaimana juga tak ada yang bisa menolak jika
Dia memberi ganjaran neraka bagi orang yang berdosa.
Allah Maha Adil atas segala kehendak-Nya. Dia menjadi
sumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan makhluk-Nya. Karena, Dialah Sang
Penguasa jagat raya Yang Maha Mulia, Maha Agung, lagi Maha Bijaksana. “Allaahumma
antassalam waminkassalaam tabaarakta rabbana yaa dzal jalaali wal ikraam – Ya
Allah, Engkaulah kebahagiaan dan kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dan dari
Engkau sajalah bersumber segala kebahagiaan dan kesejahteraan. Maha Suci Engkau
wahai Tuhan kami, Sang Pemilik segala Keagungan dan Kemuliaan...’’
Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar