oleh Agus Mustofa pada 16 Agustus 2012 pukul 5:56
Suatu ketika Pak Dahlan Iskan (menteri BUMN, red.)
bertanya kepada saya: “Apakah di dalam Al Qur’an ada perintah untuk berdoa
sebanyak-banyaknya?’’ Saya jawab: “tidak ada. Yang ada ialah perintah untuk
BERDZIKIR sebanyak-banyaknya.’’ Rupanya, Pak Dahlan sedang galau
tentang banyaknya orang yang sangat suka berdoa, tetapi kurang berusaha.
Sehingga, terasa kurang menghargai karunia Allah yang telah diberikan kepada
kita untuk bekerja keras dalam menggapai tujuan.
Saya memang tidak menemukan perintah untuk berdoa
sebanyak-banyaknya itu. Bahkan para nabi dan rasul beserta para pengikutnya
yang sedang berjuang menegakkan agama Allah pun ketika sedang menghadapi
masalah tidak diperintahkan untuk berdoa, melainkan disuruh banyak-banyak
berdzikir.
QS. Al Anfaal [8]: 45
"Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan
berdzikirlah menyebut (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu memperoleh
kemenangan.’’
Dan perintah itu diulang-ulang di dalam berbagai ayat
untuk kepentingan yang lebih umum. Bahwa, dalam kondisi apa pun Allah
memerintahkan kepada kita untuk memperbanyak dzikir.
QS. Al Ahzab [33]: 41
“Hai orang-orang yang beriman,
berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.’’
Kenapakah kita disuruh banyak berdzikir dibandingkan minta
tolong? Agaknya kita sudah bisa menebak alasan yang ada di baliknya. Bahwa,
orang yang terlalu sering meminta tolong justru akan memperlemah daya juangnya
sendiri. Sebaliknya, orang yang banyak berdzikir mengingat Allah akan
menguatkan.
Berdzikir memiliki makna selalu merasa dekat dengan Allah
secara lahiriah maupun batiniah. Menyebut dengan lisan maupun mengingat dengan
hati. Ada perasaan selalu bersama dengan-Nya kapan saja dan dimana saja,
sehingga memunculkan rasa tenteram dan percaya diri untuk memperoleh
pertolongan dan perlindungan dari-Nya.
QS. Ar Ra’d [13]: 28
"(yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berdzikir kepada Allah,
Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati manusia menjadi tenteram.’’
Di dalam dzikir itu, sebenarnya sudah terkandung doa
meminta pertolongan dan perlindungan kepada-Nya. Tetapi tidak semata-mata
diungkapkan sebagai permintaan tolong yang berkepanjangan. Yang seringkali,
justru melemahkan motivasi untuk berjuang dan bekerja keras mencapai tujuan.
Allah sudah memberikan segala anugerah berupa kecerdasan, ilmu pengetahuan, kekuatan,
kekuasaan, rezeki, dan sebagainya yang harus kita gunakan secara maksimal.
Dalam kerja keras dan perjuangan itulah Allah bakal menilai kita apakah kita
pantas memperoleh karunia yang lebih besar lagi.
Karena itu tidak heran, Allah menginformasikan kepada kita
bahwa ganjaran surga pun bakal diberikan kepada orang-orang yang telah berusaha
dan bekerja keras. Bukan kepada orang-orang yang gemar berdoa sambil
bemalas-malasan.
QS. Ali Imran [3]: 142
"Apakah kamu mengira akan masuk
surga, padahal belum terbukti bagi Allah orang-orang yang berjuang di antaramu,
dan belum terbukti orang-orang yang sabar.’’
Dengan kata lain, lha wong belum berjuang dan berusaha
keras untuk mencapainya, kok sudah berangan-angan dapat surga.
Demikian pula, belum terbukti bisa menaklukkan masalah dengan penuh kesabaran, kok
sudah berharap kesuksesan. Bukan begitu. Hanya orang-orang yang pantas dapat
kesuksesanlah yang bakal diberi kesuksesan oleh Allah. Dan hanya orang-orang
yang pantas memperoleh kegagalanlah yang akan diberi kegagalan oleh-Nya.
Dalam ayat berikut ini, Allah juga memberikan informasi
semacam itu. Kita dipersilakan untuk memilih menjadi orang yang mau maju atau
mau mundur. Semua bergantung kepada kita sendiri. Setiap diri bertanggungjawab
sepenuhnya atas keputusan yang diambilnya.
QS. Al Mudatstsir [74]: 37-38
Liman syaa-a minkum an yataqaddama au
yata-akhkhar. Kullu nafsin bimaa kasabat rahiinah – Bagi siapa saja diantara
kalian yang mau maju atau mau mundur (silakan). Setiap diri bertanggungjawab
atas apa yang diperbuatnya..!
Maka dalam konteks dzikir dan doa ini, kita diajari untuk
melakukannya secara proporsional. Dzikir dianjurkan dilakukan
sebanyak-banyaknya agar jiwa kita selalu ‘nyambung’ dengan Allah. Maka, ketika
jiwa sudah tersambung kepada-Nya, doa tidak perlu banyak-banyak, sudah sangat
mustajab. Karena jiwanya telah terisi penuh oleh eksistensi Allah.
Sebaliknya, tidak sedikit orang yang berdoa tetapi jiwanya
tidak tersambung kepada Allah. Dzikirnya buruk, karena tidak sepenuh hati,
sehingga jiwanya pun jauh dari Allah. Bagaimana mungkin doa yang demikian bisa
terkabul. Lha wong doa itu hanya meluncur dari lisannya, tanpa
melibatkan hatinya. Sementara itu, Allah mengajari agar kita tidak lalai saat
berdzikir kepada-Nya dengan merendahkan suara maupun berbisik-bisik mesra di
dalam jiwa.
QS. Al A’raaf [7]: 205
“Dan berdzikirlah menyebut (nama) Tuhanmu di dalam
jiwamu, dengan merendahkan diri dan rasa takut serta dengan tidak mengeraskan
suara, di waktu pagi dan petang hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang
yang lalai.’’
Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar