Dzikrullah alias mengingat Allah adalah pelajaran puncak dalam spiritulitas
Islam. Sehingga di dalam Al Qur’an bertaburan pelajaran tentang dzikir itu. Berdzikir
bukan hanya bermakna mengucapkan kalimat dzikir, melainkan menghadirkan Allah dalam
seluruh kesadaran kita. Apa pun yang sedang kita lakukan, tak pernah lepas dari
interaksi dengan-Nya.
Karena itu, selain diperintahkan untuk melakukan dzikir sebanyak-banyaknya,
QS. Al Ahzab [33] : 41
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
Allah juga mengajarkan untuk berdzikir dalam kondisi apa pun. Istilah
Al Qur’an adalah mengingat Allah dalam segala keadaan: berdiri, duduk, maupun berbaring.
QS. Ali Imran [3] : 191
“(yaitu) orang-orang yang berdzikir mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka bertafakur tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan
semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’’.
Ayat di atas menunjukkan bahwa dzikir adalah inti dari semua ibadah.
Shalat mesti mengingat Allah, berpuasa mesti mengingat Allah, demikian pula zakat,
haji, dan apa pun bentuk ibadah yang kita lakukan.
Bahkan bukan hanya ibadah-ibadah khusus seperti itu, melainkan juga
dalam segala kondisi: makan, minum, mandi, berkendara, bekerja, berolahraga, menuntut
ilmu, berdarmawisata, dan segala macam kegiatan sehari-hari, termasuk saat beristirahat
ataupun tidur, semuanya tak pernah lepas dari dzikrullah: menyambungkan hati kepada
Allah.
Karena itu, kita menjadi paham ketika Allah menyebut dzikrullah sebagai amalan yang paling besar dibandingkan
dengan segala ibadah.
QS. Al 'Ankabuut [29]: 45
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an)
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Saya lantas ingat bagaimana ayah saya – yang juga guru tasawuf saya
sendiri – mengajari pentingnya dzikir itu. Beliau menggambarkan begini: kalau kita
ingin selalu berinteraksi dengan Allah, yang harus dilakukan adalah sering-sering
membaca Al Qur’an. Sebab, kitab suci itu berisi ucapan alias firman-firman Allah.
Membaca Al Qur’an dengan khusyu’ sama dengan sedang berdialog dengan Allah.
Tetapi, karena kita tidak mungkin khatam Al Qur’an setiap hari, maka
kita bisa membaca kandungan Al Qur’an itu di dalam ‘ringkasannya’, yaitu surat Al
Fatihah. Itulah sebabnya surat pembuka kitab suci ini disebut sebagai ummul kitab – induk Al Kitab. Isinya mewakili kandungan
Al Qur’an secara global. Membaca Al Fatihah bisa kita lakukan jauh lebih banyak
dibandingkan dengan mengkhatamkan Al Qur’an. Minimal tujuh belas kali sehari semalam,
kita melakukannya saat shalat.
Menurut ayah saya, meskipun surat Al Fatihah itu sudah merupakan
ringkasan dari Al Qur’an, sebenarnya ia masih bisa diringkas lagi, yakni menjadi
kalimat bismillahirrahmanirrahim yang ditempatkan di awal surat itu. Yang karenanya,
kita diajari untuk melafadzkan kalimat basmallah ini lebih banyak dibandingkan membaca Al Fatihah.
Bukan hanya setiap shalat, melainkan setiap mau berbuat apa saja. Mau makan baca bismillah, mau minum baca bismillah, mau bekerja, mau bepergian, mau
belajar, mau tidur, dan apa saja aktivitas sehari-hari yang mau kita lakukan, kita
mesti membacabasmallah.
Namun, kalimat bismillahirrahmanirrahim ini pun sebenarnya memiliki inti kandungan makna,
yang terdapat pada kata “Allah’’. Oleh karena itu, teringat betul bagaimana Bapak
saya mengajari anak-anaknya agar melafadzkan kata ‘Allah’ ini lebih banyak lagi.
Yaitu, seiring dengan helaan nafas:”Allaahu… Allaahu…’’. Maka melafadzkan kata
“Allah’’ itu adalah sama dengan membaca intisari seluruh firman-Nya yang berjumlah
6.236 ayat. Itulah dzikir paling intensif yang bisa dilakukan seorang hamba terhadap
Tuhannya. Ada juga yang masih meringkas kalimat ‘Allahu’ itu menjadi: “Hu… hu..’’ yang bermakna “Dia’’ (Allah), seiring dengan
tarikan dan keluarnya nafas.
Begitulah cara para pelaku dzikir berinteraksi dengan Allah. Mereka
ingin menyambut ajakan Allah agar setiap saat mengisi kesadarannya dengan mengingat
Allah. Dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring, sebagaimana diajarkan dalam
firman-firman-Nya. Tidak harus diucapkan dengan lisan, karena dzikir itu bisa dilafadzkan
di dalam jiwa dan kesadarannya.
Ibarat pelajaran membaca antara anak SD dengan mahasiswa, seorang
anak SD membaca buku-buku pelajarannya dengan cara mengeraskan suara, tetapi para
mahasiswa sudah membacanya di dalam hati dengan penghayatan yang jauh lebih tinggi.
Semua itu hanya soal kebiasaan saja, dan kita semua bisa melakukannya kalau mau.
Orang-orang yang sudah mencapai tataran ini diibaratkan Allah sebagai
orang yang selalu berhadapan dengan Allah dimana pun dia berada. Menghadap ke barat
bertemu Allah, menghadap ke timur juga bertemu Allah. Karena, barat dan timur itu
memang milik Allah, dan seluruh apa yang ada diantaranya sudah diliputi-Nya, tanpa
ada jarak yang memisahkannya.
QS. Qaaf [50] : 16
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.’’
QS. Al Baqarah [2]: 115
“Dan sesungguhnya Kamilah yang telah menciptakan manusia, dan Kami
mengetahui segala yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami lebih dekat kepadanya dari
pada urat lehernya (sendiri).’’
Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar