oleh Agus Mustofa pada 19 Oktober 2012 pukul 11:32
Seorang kawan saya, sepulang dari haji heboh bercerita pengalamannya
di tanah suci. Dia tunjukkanlah foto-fotonya saat berada disana. Ada yang mejeng
di depan hotel berbintang, ada yang berjejer dengan artis papan atas, ada pula yang
sedang makan ramai-ramai di sebuah resto terkenal. Seorang tetangga nyeletuk: "kamu
ini cerita ibadah haji atau darmawisata..?"
Substansi ibadah haji ke masa depan rupanya terancam oleh pendangkalan
makna yang semakin hari semakin memprihatinkan.
Pendangkalan itu terjadi hampir di semua lini, sejak di tanah air sampai di tanah
suci. Lihatlah bagaimana biro-biro perjalanan menawarkan paket ibadah hajinya. Ada
yang menawarkan kenikmatan hotel bintang lima sebagai andalannya, plus keberangkatan
bersama sejumlah artis papan atas.
Ada juga yang menawarkan nikmatnya menu Indonesia selama haji,
plus dengan tenda-tenda mewah yang diset ala pesta kebun saat wuquf di Arafah. Dan
berbagai fasilitas transportasi, akomodasi, dan konsumsi, beserta kemudahan dalam
menjalankan ibadah haji selama di tanah suci. Yang lebih seru, adalah di paket-paket
ibadah umroh. Dimana pendaftarannya menggunakan promo ala
barang-barang konsumtif: “segera daftarkan diri Anda untuk umrah bulan ini. Daftar
bertiga mendapat bonus HP, berempat memperoleh Galaksi Tab, berlima berhadiah Laptop..!’’
Saya yang membacanya langsung saja membayangkan promo di mall-mall
yang menjual barang-barang konsumtif. Kok, promo ibadah haji dan umrah seperti
itu ya? Kenapa tidak menawarkan substansi ibadah? Bahwa dengan haji dan umrah itu
kita bisa memperoleh banyak hikmah yang berguna untuk meningkatkan kualitas spiritualitas
jamaah dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Di tanah suci sendiri, kondisinya agak memiriskan hati. Berbagai
situs yang memiliki nilai sejarah tinggi justru semakin pudar, dan berganti dengan
hotel-hotel berbintang, restoran-restoran cepat saji, dan pusat-pusat perbelanjaan
modern. Sekeliling masjid Al Haram sudah mirip dengan kota-kota metropolitan di
Amerika ataupun Eropa. Bukannya saya anti kemodernan, tetapi semua itu bisa menghilangkan
suasana kesejarahan yang menjadi atmosfer penting bagi jamaah haji.
Dari Hilton Tower kita bisa menyaksikan halaman tengah masjid
Al Haram, dimana Kakbah berada. Karena towernya memang jauh lebih tinggi dari bangunan
masjid yang terbuka di bagian tengahnya itu. Demikian pula dari Hotel Grand Zam-Zam,
dimana kami beberapa kali menginap disana. Suara sang imam shalat terdengar sangat
jelas di kamar-kamar, karena memang dihubungkan dengan sound system yang berkualitas
bagus.
Sehingga, tak jarang ada jamaah Indonesia maupun lainnya yang
melakukan shalat bermakmum ke masjidil Haram sambil tetap berada di dalam kamar
atau terasnya. Alasannya, ia bisa melihat suasana di sekitar Kakbah dan mendengar
suara sang Imam. Toh, banyak jamaah yang hanya bisa bermakmum dengan cara berada
di halaman masjid, atau teras Mall di sekeliling masjid. Padahal, mereka kan tidak
bisa melihat, kecuali hanya mendengar suara imam lewat spiker yang menggema di seantero
masjidil Haram.
Kondisi semacam ini merembet ke berbagai ritual haji, mulai
dari wuquf di Arafah, lempar jumrah di Mina, sampai Sa’i di Shafa dan Marwa. Saya
melihat Arafah semakin hijau dan nyaman. Seiring dengan penghijauan yang digalakkan
oleh pemerintah Arab Saudi, kelak padang pasir Arafah itu barangkali akan menjadi
taman yang Indah. Suasananya akan lebih sejuk dengan naungan pepohonan dan air mancur
dimana-mana.
Sekarang, pancaran air itu memang masih disemprotkan dari tiang-tiang
tinggi untuk meningkatkan kadar kelembabannya, agar tidak terjadi dehidrasi atau
heat-shock
pada jamaah haji yang wuquf disana. Kelak, sangat boleh jadi, tiang-tiang
penyemprot kabut air itu diganti dengan air mancur dan kolam-kolam yang indah. Sehingga,
Padang Arafah berangsur-angsur akan menjadi Camping Ground sebagaimana di tempat-tempat
wisata yang menawarkan kenyamanan. Jauh dari suasana dimana Nabi Ibrahim dan keluarganya
melakukan perenungan saat menghadapi ujian kesabaran dari Allah.
Di tempat lempar jumrah, kondisinya juga semakin nyaman. Dulu
banyak korban berjatuhan saat berebut melempar tugu simbol sifat-sifat setan itu.
Saat saya berhaji di tahun 2000, saya menyaksikan jamaah yang kepalanya berdarah-darah
terkena lemparan batu dari arah berseberangan. Sehingga ia pun membalas dengan lemparan
batu pula ke arah seberang. Saya menyaksikan banyak orang kesetanan justru saat
melempar simbol setan. Saya membayangkan, sang Iblis beserta pasukan setan yang
sesungguhnya sedang tertawa-tawa menyaksikan jamaah yang kesetanan itu.
Kini, kondisinya sudah jauh lebih nyaman. Alur kedatangan dan
kepulangan jamaah yang akan melempar jumrah sudah jauh lebih tertib. Tugu jamarat
yang dulu bentuknya seperti pensil berdiri, sudah diganti dengan dinding lebar.
Sehingga, menutup kemungkinan bagi lolosnya batu dari arah seberang ke kepala jamaah.
Juga sudah dibikin bertingkat tiga. Jamaah bisa memilih tempat yang paling aman
dan nyaman. Bahkan, sudah dilengkapi dengan eskalator pula.
Tentang eskalator ini, saya khawatir akan ditambah di masa
depan. Bukan hanya untuk menaiki tangga, melainkan juga disediakan eskalator mendatar
yang melintasi tugu-tugu jamarat. Sehingga, boleh jadi, kelak jamaah haji melempar
jumrah sambil naik lantai berjalan tanpa harus bersusah payah seperti sekarang,
yang seringkali menguras tenaga untuk memasuki medan kerumunan jutaan orang yang
sedang menuju ke titik yang sama.
Tetapi, jika itu benar-benar terjadi kelak, saya membayangkan
betapa berbedanya suasana kebatinan yang terjadi antara kita dengan keluarga Ibrahim.
Sebuah ritual napak tilas perjuangan antara hidup dan mati, yang kelak mungkin akan
menjadi sebuah wisata yang menyenangkan. Meskipun wisata itu dibungkus dengan nama
‘Wisata Ruhani’.
Yang lebih memprihatinkan saya adalah tempat Sa’i. Inilah simbol
perjuangan Siti Hajar yang sekarang sudah tak kelihatan lagi bekasnya. Bukit Shafa
dan Marwa yang asli praktis sudah hilang. Diganti dengan gundukan bebatuan yang
dibungkus akrilik. Mirip tebing buatan di rumah-rumah kita dimana kita biasa membuat
kolam ikan. Jarak antara kedua bukit itu sudah dilapisi dengan lantai marmer yang
halus. Di sepanjang rutenya yang berjarak sekitar 0,5 km dipasangi dengan kipas
angin besar-besar.
Bukan hanya satu lantai, melainkan juga tiga lantai. Kalau
kita melihat keluar masjid yang tampak adalah gedung-gedung perhotelan, mall, dan
pusat-pusat perbelanjaan. Disini disediakan kursi-kursi dorong untuk orang-orang
tua yang tidak mampu berjalan menempuh Shafa-Marwa sebanyak tujuh kali putaran.
Dan, yang menarik perhatian saya, pemerintah Arab Saudi ternyata juga menyediakan
banyak kursi dorong elektrik, yang bisa dikendalikan sendiri oleh penumpangnya.
Saya langsung teringat Bom-Bom Car alias mobil-mobilan listrik,
dimana anak-anak suka bermain di mal-mal.
Entahlah apa jadinya ritual haji ke masa depan, jika pihak-pihak
yang punya otoritas tidak segera menyadari hal ini. Jangan-jangan substansi haji
akan terkubur seiring dengan semakin populernya istilah ‘Wisata Ruhani’. Dan kemabruran
haji cukup diukur dengan kemampuan daya beli jamaah yang bisa berangkat haji ke
tanah suci..?! Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar