Sabtu, 20 Oktober 2012

HAJI MABRUR BUKAN HAJI WISATA ~ TASAWUF HAJI 2012 (04) ~

oleh Agus Mustofa pada 19 Oktober 2012 pukul 11:32

Seorang kawan saya, sepulang dari haji heboh bercerita pengalamannya di tanah suci. Dia tunjukkanlah foto-fotonya saat berada disana. Ada yang mejeng di depan hotel berbintang, ada yang berjejer dengan artis papan atas, ada pula yang sedang makan ramai-ramai di sebuah resto terkenal. Seorang tetangga nyeletuk: "kamu ini cerita ibadah haji atau darmawisata..?"

Substansi ibadah haji ke masa depan rupanya terancam oleh pendangkalan makna yang semakin hari semakin  memprihatinkan. Pendangkalan itu terjadi hampir di semua lini, sejak di tanah air sampai di tanah suci. Lihatlah bagaimana biro-biro perjalanan menawarkan paket ibadah hajinya. Ada yang menawarkan kenikmatan hotel bintang lima sebagai andalannya, plus keberangkatan bersama sejumlah artis papan atas.

Ada juga yang menawarkan nikmatnya menu Indonesia selama haji, plus dengan tenda-tenda mewah yang diset ala pesta kebun saat wuquf di Arafah. Dan berbagai fasilitas transportasi, akomodasi, dan konsumsi, beserta kemudahan dalam menjalankan ibadah haji selama di tanah suci. Yang lebih seru, adalah di paket-paket ibadah umroh. Dimana pendaftarannya menggunakan promo ala barang-barang konsumtif: “segera daftarkan diri Anda untuk umrah bulan ini. Daftar bertiga mendapat bonus HP, berempat memperoleh Galaksi Tab, berlima berhadiah Laptop..!’’

Saya yang membacanya langsung saja membayangkan promo di mall-mall yang menjual barang-barang konsumtif. Kok, promo ibadah haji dan umrah seperti itu ya? Kenapa tidak menawarkan substansi ibadah? Bahwa dengan haji dan umrah itu kita bisa memperoleh banyak hikmah yang berguna untuk meningkatkan kualitas spiritualitas jamaah dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Di tanah suci sendiri, kondisinya agak memiriskan hati. Berbagai situs yang memiliki nilai sejarah tinggi justru semakin pudar, dan berganti dengan hotel-hotel berbintang, restoran-restoran cepat saji, dan pusat-pusat perbelanjaan modern. Sekeliling masjid Al Haram sudah mirip dengan kota-kota metropolitan di Amerika ataupun Eropa. Bukannya saya anti kemodernan, tetapi semua itu bisa menghilangkan suasana kesejarahan yang menjadi atmosfer penting bagi jamaah haji.

Dari Hilton Tower kita bisa menyaksikan halaman tengah masjid Al Haram, dimana Kakbah berada. Karena towernya memang jauh lebih tinggi dari bangunan masjid yang terbuka di bagian tengahnya itu. Demikian pula dari Hotel Grand Zam-Zam, dimana kami beberapa kali menginap disana. Suara sang imam shalat terdengar sangat jelas di kamar-kamar, karena memang dihubungkan dengan sound system yang berkualitas bagus.

Sehingga, tak jarang ada jamaah Indonesia maupun lainnya yang melakukan shalat bermakmum ke masjidil Haram sambil tetap berada di dalam kamar atau terasnya. Alasannya, ia bisa melihat suasana di sekitar Kakbah dan mendengar suara sang Imam. Toh, banyak jamaah yang hanya bisa bermakmum dengan cara berada di halaman masjid, atau teras Mall di sekeliling masjid. Padahal, mereka kan tidak bisa melihat, kecuali hanya mendengar suara imam lewat spiker yang menggema di seantero masjidil Haram.

Kondisi semacam ini merembet ke berbagai ritual haji, mulai dari wuquf di Arafah, lempar jumrah di Mina, sampai Sa’i di Shafa dan Marwa. Saya melihat Arafah semakin hijau dan nyaman. Seiring dengan penghijauan yang digalakkan oleh pemerintah Arab Saudi, kelak padang pasir Arafah itu barangkali akan menjadi taman yang Indah. Suasananya akan lebih sejuk dengan naungan pepohonan dan air mancur dimana-mana.

Sekarang, pancaran air itu memang masih disemprotkan dari tiang-tiang tinggi untuk meningkatkan kadar kelembabannya, agar tidak terjadi dehidrasi atau heat-shock pada jamaah haji yang wuquf disana. Kelak, sangat boleh jadi, tiang-tiang penyemprot kabut air itu diganti dengan air mancur dan kolam-kolam yang indah. Sehingga, Padang Arafah berangsur-angsur akan menjadi Camping Ground sebagaimana di tempat-tempat wisata yang menawarkan kenyamanan. Jauh dari suasana dimana Nabi Ibrahim dan keluarganya melakukan perenungan saat menghadapi ujian kesabaran dari Allah.

Di tempat lempar jumrah, kondisinya juga semakin nyaman. Dulu banyak korban berjatuhan saat berebut melempar tugu simbol sifat-sifat setan itu. Saat saya berhaji di tahun 2000, saya menyaksikan jamaah yang kepalanya berdarah-darah terkena lemparan batu dari arah berseberangan. Sehingga ia pun membalas dengan lemparan batu pula ke arah seberang. Saya menyaksikan banyak orang kesetanan justru saat melempar simbol setan. Saya membayangkan, sang Iblis beserta pasukan setan yang sesungguhnya sedang tertawa-tawa menyaksikan jamaah yang kesetanan itu.

Kini, kondisinya sudah jauh lebih nyaman. Alur kedatangan dan kepulangan jamaah yang akan melempar jumrah sudah jauh lebih tertib. Tugu jamarat yang dulu bentuknya seperti pensil berdiri, sudah diganti dengan dinding lebar. Sehingga, menutup kemungkinan bagi lolosnya batu dari arah seberang ke kepala jamaah. Juga sudah dibikin bertingkat tiga. Jamaah bisa memilih tempat yang paling aman dan nyaman. Bahkan, sudah dilengkapi dengan eskalator pula.

Tentang eskalator ini, saya khawatir akan ditambah di masa depan. Bukan hanya untuk menaiki tangga, melainkan juga disediakan eskalator mendatar yang melintasi tugu-tugu jamarat. Sehingga, boleh jadi, kelak jamaah haji melempar jumrah sambil naik lantai berjalan tanpa harus bersusah payah seperti sekarang, yang seringkali menguras tenaga untuk memasuki medan kerumunan jutaan orang yang sedang menuju ke titik yang sama.

Tetapi, jika itu benar-benar terjadi kelak, saya membayangkan betapa berbedanya suasana kebatinan yang terjadi antara kita dengan keluarga Ibrahim. Sebuah ritual napak tilas perjuangan antara hidup dan mati, yang kelak mungkin akan menjadi sebuah wisata yang menyenangkan. Meskipun wisata itu dibungkus dengan nama ‘Wisata Ruhani’.

Yang lebih memprihatinkan saya adalah tempat Sa’i. Inilah simbol perjuangan Siti Hajar yang sekarang sudah tak kelihatan lagi bekasnya. Bukit Shafa dan Marwa yang asli praktis sudah hilang. Diganti dengan gundukan bebatuan yang dibungkus akrilik. Mirip tebing buatan di rumah-rumah kita dimana kita biasa membuat kolam ikan. Jarak antara kedua bukit itu sudah dilapisi dengan lantai marmer yang halus. Di sepanjang rutenya yang berjarak sekitar 0,5 km dipasangi dengan kipas angin besar-besar.

Bukan hanya satu lantai, melainkan juga tiga lantai. Kalau kita melihat keluar masjid yang tampak adalah gedung-gedung perhotelan, mall, dan pusat-pusat perbelanjaan. Disini disediakan kursi-kursi dorong untuk orang-orang tua yang tidak mampu berjalan menempuh Shafa-Marwa sebanyak tujuh kali putaran. Dan, yang menarik perhatian saya, pemerintah Arab Saudi ternyata juga menyediakan banyak kursi dorong elektrik, yang bisa dikendalikan sendiri oleh penumpangnya. Saya langsung teringat Bom-Bom Car alias mobil-mobilan listrik, dimana anak-anak suka bermain di mal-mal.

Entahlah apa jadinya ritual haji ke masa depan, jika pihak-pihak yang punya otoritas tidak segera menyadari hal ini. Jangan-jangan substansi haji akan terkubur seiring dengan semakin populernya istilah ‘Wisata Ruhani’. Dan kemabruran haji cukup diukur dengan kemampuan daya beli jamaah yang bisa berangkat haji ke tanah suci..?! Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar