Kamis, 18 Oktober 2012

BERHAJI, RUKUN ISLAM KEDUA ATAU KETUJUH ~ TASAWUF HAJI 2012 (03) ~

oleh Agus Mustofa pada 18 Oktober 2012 pukul 5:13

MESTINYA, ibadah haji adalah rukun Islam kelima. Yaitu, setelah syahadat, shalat, puasa, zakat, kemudian berhaji ke tanah suci. Tetapi, ternyata ada yang menjalankan ibadah haji ini sebagai rukun Islam yang kedua. Yakni, setelah membaca syahadat, langsung menjalankan ibadah haji, karena ia punya duit dan punya kesempatan. Apalagi, ternyata dengan berhaji itu status sosialnya menjadi meningkat di mata masyarakat. Meskipun, ia tidak pernah shalat, berpuasa, ataupun berzakat

Sebaliknya, ada pula orang yang menjadikan ibadah hajinya sebagai rukun Islam yang ketujuh. Setelah bersyahadat, shalat, puasa dan zakat, maka yang kelima adalah beli rumah, yang keenam punya mobil, yang ketujuh baru berhaji ke tanah suci.

Lantas, apakah tidak boleh menjadikan haji sebagai rukun kedua atau ketujuh? Tentu saja tidak ada yang melarang. Tetapi sungguh terkandung pelajaran yang sangat mendalam pada keduanya, terkait dengan kualitas ‘pengorbanan’ sebagai salah satu pelajaran inti ibadah haji.

Saya sendiri awalnya, tanpa terasa, menjadikan haji sebagai rukun Islam ketujuh itu. Sebagaimana kebanyakan umat Islam, saya sudah lama memendam keinginan untuk beribadah ke tanah suci. Tetapi, berbagai macam kesibukan dan alasan menyebabkan saya tidak segera berani untuk pergi haji. Diantaranya, saya ingin memiliki rumah dan mobil terlebih dahulu.

Sebelum usia 30-an tahun saya sudah bisa mencapai keinginan itu. Tetapi, ternyata dengan berbagai alasan saya belum juga memutuskan untuk pergi haji. Sampai di tahun 1998, dimana Indonesia diterpa badai krisis ekonomi yang dahsyat, yang memorak porandakan pemerintahan maupun sendi-sendi bisnis di semua lini. Bisnis sampingan saya pun ikut runtuh. Modal yang tak seberapa hanyut seperti kecemplung air bah. Dan rumah maupun mobil ikut terseret arus.

Dalam kondisi kelimpungan itu saya teringat niatan saya untuk pergi ke tanah suci yang sudah lama terpendam. Saya seperti disadarkan oleh Allah, bahwa pencapaian yang sudah saya peroleh itu tidak boleh menghalangi proses spiritualitas untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Maka, saya pun membulatkan tekat untuk pergi ke tanah suci, justru dalam kondisi yang pas-pasan waktu itu. Rumah yang tadinya milik sendiri, saat itu beralih ke rumah kontrakan. Mobil yang tadinya bagus dan punya beberapa, tinggal satu dengan kualitas seadanya.

Tetapi, justru saat itulah keinginan saya untuk pergi ke tanah suci mendadak menggebu. Padahal, waktu pendaftaran haji sudah habis. Untungnya, siang harinya saya memperoleh kabar batas pendaftaran haji diundur dua minggu, karena kuota masih tersedia banyak. Rupanya, krisis ekonomi yang hebat itu telah menyebabkan begitu banyak calon jamaah haji yang mengurungkan diri. Saya pun bergegas mendaftar bersama istri.

Saya masih teringat pertanyaan istri saat membuat keputusan itu. “Apakah uang tabungan yang tinggal sedikit ini mau kita gunakan untuk pergi haji?’’ Ia khawatir sisanya tidak cukup untuk membeli rumah lagi, apalagi mobil. Tetapi, niatan saya begitu kuat. Saya katakan kepadanya, bahwa rezeki itu urusan Allah. “Kita sudah berusaha untuk meraihnya, tetapi Allah berkehendak lain. Barangkali Dia mengingatkan kita agar tidak menomer duakan proses spiritual untuk mendekatkan diri kepada-Nya...’’Akhirnya, jadilah kami mendaftarkan diri untuk pergi haji di tahun 2000.

Kemudahan demi kemudahan lantas terjadi. Berbagai urusan administrasi yang tadinya belum kami siapkan sama sekali, tiba-tiba menjadi mudah semuanya. Mulai dari KTP yang mati sampai urusan paspor, cek kesehatan, dan berbagai persiapan lain, semuanya mudah. Dan yang paling membuat kami surprised saat itu adalah ini: ada orang menjual rumah dengan harga sangat murah..! Orang itu terbelit hutang di bank, sehingga rumahnya dilelang. Dan ia menawarkan kepada saya. Yang luar biasa, harganya sama persis dengan sisa uang tabungan saya setelah dipakai mendaftar haji..!Subhanallaah.

Saya masih merinding jika ingat peristiwa itu. Keputusan saya untuk mendekatkan diri kepada Allah langsung dijawab. Padahal belum berangkat ke tanah suci. Kekhawatiran istri saya – tidak akan punya rumah – juga langsung direspon oleh-Nya. Bahkan, ’kontan’ beberapa hari sebelum berangkat haji. Tentu saja saya langsung menangkap kesempatan itu, bertransaksi rumah dengan sisa uang tabungan yang ada. Alhamdulillah..

Anda bisa membayangkan betapa mantapnya kami saat berangkat haji. Rasa syukur tiada henti-hentinya kami lantunkan sepanjang perjalanan haji kami. Bukan hanya karena memperoleh rumah kembali dengan harga yang bisa kami jangkau, tetapi karena kami merasa telah mengambil keputusan yang tepat untuk mendahulukan Allah. Sehingga, Allah lantas memberikan solusi atas permasalahan yang sedang menghimpit kami.

Itulah ibadah ke tanah suci yang paling mengharu biru jiwa kami. Sebuah perjalanan yang penuh linangan air mata. Antara rasa berdosa dan pertaubatan. Antara kegelisahan dan keyakinan. Antara penyesalan dan rasa syukur yang tiada tara. Ternyata, ibadah haji seharusnya memang tidak kami tempatkan di urutan ketujuh, melainkan benar-benar menjadi rukun Islam yang kelima..!

QS. Faathir [35]: 34
Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (membalas rasa syukur dengan kebahagiaan yang tiada tara).

Wallahu a’lam bishshawab.
(Bersambung).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar