oleh Agus Mustofa pada 18
Oktober 2012 pukul 5:13
MESTINYA, ibadah haji adalah rukun Islam kelima. Yaitu,
setelah syahadat, shalat, puasa, zakat, kemudian berhaji ke tanah suci. Tetapi,
ternyata ada yang menjalankan ibadah haji ini sebagai rukun Islam yang kedua.
Yakni, setelah membaca syahadat, langsung menjalankan ibadah haji, karena ia
punya duit dan punya kesempatan. Apalagi, ternyata dengan berhaji itu status
sosialnya menjadi meningkat di mata masyarakat. Meskipun, ia tidak pernah
shalat, berpuasa, ataupun berzakat
Sebaliknya, ada pula orang yang menjadikan ibadah hajinya
sebagai rukun Islam yang ketujuh. Setelah bersyahadat, shalat, puasa dan zakat,
maka yang kelima adalah beli rumah, yang keenam punya mobil, yang ketujuh baru
berhaji ke tanah suci.
Lantas, apakah tidak boleh menjadikan haji sebagai rukun
kedua atau ketujuh? Tentu saja tidak ada yang melarang. Tetapi sungguh
terkandung pelajaran yang sangat mendalam pada keduanya, terkait dengan
kualitas ‘pengorbanan’ sebagai salah satu pelajaran inti ibadah haji.
Saya sendiri awalnya, tanpa terasa, menjadikan haji
sebagai rukun Islam ketujuh itu. Sebagaimana kebanyakan umat Islam, saya sudah
lama memendam keinginan untuk beribadah ke tanah suci. Tetapi, berbagai macam
kesibukan dan alasan menyebabkan saya tidak segera berani untuk pergi haji.
Diantaranya, saya ingin memiliki rumah dan mobil terlebih dahulu.
Sebelum usia 30-an tahun saya sudah bisa mencapai
keinginan itu. Tetapi, ternyata dengan berbagai alasan saya belum juga
memutuskan untuk pergi haji. Sampai di tahun 1998, dimana Indonesia diterpa
badai krisis ekonomi yang dahsyat, yang memorak porandakan pemerintahan maupun
sendi-sendi bisnis di semua lini. Bisnis sampingan saya pun ikut runtuh. Modal
yang tak seberapa hanyut seperti kecemplung air bah. Dan rumah maupun mobil
ikut terseret arus.
Dalam kondisi kelimpungan itu saya teringat niatan saya
untuk pergi ke tanah suci yang sudah lama terpendam. Saya seperti disadarkan
oleh Allah, bahwa pencapaian yang sudah saya peroleh itu tidak boleh
menghalangi proses spiritualitas untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Maka, saya
pun membulatkan tekat untuk pergi ke tanah suci, justru dalam kondisi yang
pas-pasan waktu itu. Rumah yang tadinya milik sendiri, saat itu beralih ke
rumah kontrakan. Mobil yang tadinya bagus dan punya beberapa, tinggal satu
dengan kualitas seadanya.
Tetapi, justru saat itulah keinginan saya untuk pergi ke
tanah suci mendadak menggebu. Padahal, waktu pendaftaran haji sudah habis.
Untungnya, siang harinya saya memperoleh kabar batas pendaftaran haji diundur
dua minggu, karena kuota masih tersedia banyak. Rupanya, krisis ekonomi yang
hebat itu telah menyebabkan begitu banyak calon jamaah haji yang mengurungkan
diri. Saya pun bergegas mendaftar bersama istri.
Saya masih teringat pertanyaan istri saat membuat
keputusan itu. “Apakah uang tabungan yang tinggal sedikit ini mau kita gunakan
untuk pergi haji?’’ Ia khawatir sisanya tidak cukup untuk membeli rumah lagi,
apalagi mobil. Tetapi, niatan saya begitu kuat. Saya katakan kepadanya, bahwa
rezeki itu urusan Allah. “Kita sudah berusaha untuk meraihnya, tetapi Allah
berkehendak lain. Barangkali Dia mengingatkan kita agar tidak menomer duakan
proses spiritual untuk mendekatkan diri kepada-Nya...’’Akhirnya, jadilah kami
mendaftarkan diri untuk pergi haji di tahun 2000.
Kemudahan demi kemudahan lantas terjadi. Berbagai urusan
administrasi yang tadinya belum kami siapkan sama sekali, tiba-tiba menjadi
mudah semuanya. Mulai dari KTP yang mati sampai urusan paspor, cek kesehatan,
dan berbagai persiapan lain, semuanya mudah. Dan yang paling membuat kami surprised
saat itu adalah ini: ada orang menjual rumah dengan harga sangat murah..! Orang
itu terbelit hutang di bank, sehingga rumahnya dilelang. Dan ia menawarkan
kepada saya. Yang luar biasa, harganya sama persis dengan sisa uang tabungan
saya setelah dipakai mendaftar haji..!Subhanallaah.
Saya masih merinding jika ingat peristiwa itu. Keputusan
saya untuk mendekatkan diri kepada Allah langsung dijawab. Padahal belum
berangkat ke tanah suci. Kekhawatiran istri saya – tidak akan punya rumah –
juga langsung direspon oleh-Nya. Bahkan, ’kontan’ beberapa hari sebelum
berangkat haji. Tentu saja saya langsung menangkap kesempatan itu, bertransaksi
rumah dengan sisa uang tabungan yang ada. Alhamdulillah..
Anda bisa membayangkan betapa mantapnya kami saat
berangkat haji. Rasa syukur tiada henti-hentinya kami lantunkan sepanjang
perjalanan haji kami. Bukan hanya karena memperoleh rumah kembali dengan harga
yang bisa kami jangkau, tetapi karena kami merasa telah mengambil keputusan
yang tepat untuk mendahulukan Allah. Sehingga, Allah lantas memberikan solusi
atas permasalahan yang sedang menghimpit kami.
Itulah ibadah ke tanah suci yang paling mengharu biru jiwa
kami. Sebuah perjalanan yang penuh linangan air mata. Antara rasa berdosa dan
pertaubatan. Antara kegelisahan dan keyakinan. Antara penyesalan dan rasa
syukur yang tiada tara. Ternyata, ibadah haji seharusnya memang tidak kami tempatkan
di urutan ketujuh, melainkan benar-benar menjadi rukun Islam yang kelima..!
QS. Faathir [35]: 34
Dan mereka berkata: "Segala puji
bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan kami. Sesungguhnya Tuhan kami
benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (membalas rasa syukur dengan
kebahagiaan yang tiada tara).
Wallahu a’lam bishshawab.
(Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar