oleh Agus Mustofa pada 17 Oktober 2012 pukul 8:40
HARI
RAYA HAJI adalah perayaan akhir tahun. Karena itu, puncaknya ditempatkan di bulan
ke-12 dalam penanggalan Hijriyah: bulan Dzulhijjah. Namun karena bersifat sangat
kolosal dari berbagai penjuru dunia, Al Qur’an memberikan keleluasaan untuk menyelenggarakan
event ini selama
3 bulan. Yakni sejak seusai Ramadan: mulai dari Syawal, Dzulqaidah sampai Dzulhijjah.
Berbeda
dengan perayaan budaya yang hanya bersifat hura-hura, ritual Haji menyajikan prosesi
yang penuh makna. Bukan bertabur tawa, melainkan penuh dengan linangan air mata.
Haru biru antara kesedihan dan kebahagiaan, antara kegelisahan dan keyakinan, antara
rasa berdosa, pertaubatan, dan syukur tiada terkira.
Inilah
hari raya yang sebenarnya lebih besar dari Idul Fitri. Meskipun, di Indonesia justru
hari raya Idul Fitrilah yang lebih besar dibandingkan dengan Idul Adha. Sampai-sampai
pemerintah merasa perlu untuk membuat libur bersama selama berhari-hari. Tak jarang,
sejumlah kantor dan perusahaan masih menambahkan cuti bersama, beberapa hari lagi.
Di Mesir libur Idul Fitri hanya satu hari.
Islam
mengajarkan Idul Fitri itu sebagai Idul
Shaghir alias ‘hari raya kecil’. Demikianlah yang dipraktekkan di Arab
Saudi, Mesir, atau negara-negara Islam lainnya. Mereka lebih membesarkan Idul Adha
sebagai Hari Raya Besar. Yang di Jawa pun disebut sebagai Riyoyo Besar. Namun entahlah,
bagaimana awalnya, Idul Fitri di Indonesia lantas bergeser atau setidak-tidaknya
berkembang menjadi peristiwa budaya, yang lebih menonjolkan kehebohan fisikal.
Kebesaran
Idul Adha dibandingkan dengan Idul Fitri, salah satunya, tampak dari lamanya takbiran, mengumandangkan
puja-puji untuk Tuhan Semesta Alam. Pada saat Idul Fitri, takbiran diselenggarakan
hanya semalam saja. Yakni, seusai Ramadan sampai keesokan harinya menjelang shalat
Id. Sedangkan Idul Adha menggelar takbiran selama empat hari empat malam penuh.
Yakni, tanggal 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah.
Selain
itu, Idul Fitri adalah perayaan yang bersifat lokal bersama handai tolan dan keluarga
dimana kita berada, dan karenanya hisab-rukyatnya dilakukan di tempat masing-masing.
Sementara, Idul Adha adalah perayaan internasional yang dihadiri oleh saudara seiman
dari segala bangsa, dengan beragam budaya dan bahasa. Inilah ritual ibadah yang
tidak mempermasalahkan mazhab ataupun aliran agama. Pokoknya, selama hanya bertuhan
kepada Allah dan berteladan kepada Rasulullah Muhammad SAW, mereka berhak untuk
memperoleh ‘undangan’ datang ke tanah suci mengikuti acara tahunan ini.
Untuk
apa? Apakah untuk berhura-hura dan bersuka ria? Bukan. Mereka diundang untuk hadir
dan merasakan berbagai ritual haji yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Sebuah ritual untuk meneguhkan keyakinan bertuhan hanya kepada Allah, Sang Penguasa
Jagat Semesta. Sang Pencipta kehidupan yang memegang kendali tertinggi atas segala
peristiwa yang kita lakoni.
Selama
beberapa hari di tanah suci itulah jamaah haji dilarutkan ke dalam miniatur kehidupan
manusia secara universal. Menerapkan hablum
minallah – interaksi dengan Allah – sekaligus hablum minannas – interaksi
dengan manusia dalam realitas sehari-hari. Hanya orang-orang yang sudah menyelami
makna ajaran islam dengan baik sajalah yang bisa memadukan dan meleburkan interaksi
ilahiah - insaniah
itu secara simultan. Sungguh, di dalam peleburan kedua macam interaksi itulah terkandung
pelajaran Haji yang sangat kompleks dan mendalam.
Bahwa,
umat Islam mesti bisa bersifat hasanah
kepada sesama makhluk-Nya, sebagai landasan sekaligus puncak penghambaan kita kepada
Allah, Sang Pencipta segala. Karena, sesungguhnya Allah tidak butuh ibadah-ibadah
kita secara individual. Tanpa kita menyembah-Nya sebagai Tuhan pun, Allah tetap
saja menjadi Tuhan atas segala ciptaan-Nya. Yang Allah ‘inginkan’ adalah agar kita
meniru Dia, yang senantiasa berbuat kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa meminta balas
jasa. Semata-mata karena sifat Rahman dan Rahim-Nya belaka.
QS. Al Qashash [28]: 77
‘’...dan berbuat baiklah (kepada siapa saja) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’’
Itulah
sebabnya, selama berada di tanah suci, jamaah haji dilarang untuk berkata-kata tidak
baik, apalagi berbuat kejahatan. Membunuh binatang dan merusak tumbuhan pun diharamkan.
Sebaliknya, justru diperintahkan untuk berbuat kebaikan sambil terus melantunkan
dzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya.
QS. Al Baqarah [2]: 197-198
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats
(berkata-kata buruk), berbuat fasik (jahat) dan bertengkar selama mengerjakan haji.
Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebajikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah,
dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang
yang berakal.
Tidaklah berdosa bagimu untuk mencari karunia Tuhanmu. Maka apabila
kamu telah bertolak dari 'Arafah, berdzikirlah (sebanyak-banyaknya) kepada Allah
di Masy'aril haram. Dan berdzikirlah (kepada) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya
kepadamu; dan sesungguhnya sebelum itu kamu termasuk orang-orang yang tersesat.
Penghayatan
ritual haji dengan sepenuh-penuhnya akan mengantarkan seorang muslim menjadi lebih
utuh dalam menjalankan spiritualitasnya untuk ‘berserah diri’ hanya kepada Allah,
Tuhan yang selalu mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada semesta alam..!
Wallahu a’lam bishshawab. (Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar