oleh Agus Mustofa pada 15 Oktober
2012 pukul 9:44
Memasuki bulan Haji 1433 H, Kaltim Post
menurunkan rubrik khusus bertajuk: TASAWUF HAJI. Rubrik yang akan berlangsung selama
puncak musim Haji ini akan diisi oleh AGUS
MUSTOFA, yang kita kenal sebagai penulis buku ‘Serial Diskusi Tasawuf Modern’.
Penulis yang sangat produktif dengan puluhan
judul buku itu, diantaranya telah menulis buku best seller ‘Pusaran Energi Ka’bah’,
‘Menjadi Haji Tanpa Berhaji’, dan ‘Makrifat di Padang Arafah’. Dengan pengalamannya
belasan kali beribadah ke tanah suci, mantan wartawan Jawa Pos ini akan mengajak
pembaca untuk memperoleh makna haji secara mendalam, meskipun belum berkesempatan
untuk berhaji.
Siapa tahu, dengan cara ini Anda telah
menjadi ‘lebih haji’ dibandingkan dengan jamaah haji yang pulang dari tanah suci.
Terutama mereka yang tidak menyelami makna ibadahnya, sehingga hajinya tak lebih
hanya berdarmawisata belaka. Salam bertasawuf Haji disini..!
-------------------------------------------------------------------------------------------
TAHUKAH ANDA berapa persen umat Islam Indonesia yang bisa berangkat
haji ke tanah suci, setiap tahunnya? Ternyata hanya sekitar 0,1 persen saja! Yakni,
200 ribu orang diantara 200 juta umat Islam Indonesia. Yang 99,9 persen harus rela
‘berhaji’ di tanah air, dikarenakan berbagai alasan, terutama: karena tidak punya
biaya atau tak punya kesempatan.
Padahal, kita semua tahu bahwa haji adalah ibadah puncak dalam
rukun Islam. Sebuah pertanda bahwa seseorang telah menjalankan keislamannya secara
paripurna. Tetapi kenapa hanya ‘diperuntukkan’ 0,1 persen umat Islam saja? Apakah
memang demikian pemahamannya? Betapa beruntungnya orang-orang yang punya duit dan
punya kesempatan, mereka bisa ‘membeli’ kesempurnaan ibadahnya kepada Allah..!
Tetapi, benarkah mereka yang pulang haji itu telah menjadi
haji secara maknawi? Jangan-jangan hanya menjadi haji secara simbolis? Karena, ternyata
mereka belum memperoleh puncak pelajaran haji: berserah diri hanya kepada Allah
semata.
Berhaji bukanlah sekedar bepergian ke tanah suci semata. Karena
rukun Islam kelima ini menjadi simbol puncak kualitas keislaman seseorang. Diharapkan,
orang yang sudah menjalani ibadah haji akan memperoleh tingkat spritualitas yang
tinggi sebagaimana ikon utama agama Islam, yakni Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dimana
Nabi Muhammad SAW adalah salah satu keturunan Nabi Ibrahim dari jalur Nabi Ismail.
Apakah yang bisa dipetik dari sejarah Nabi Ibrahim dan keluarganya
itu? Ada beberapa pelajaran penting yang akan menjadi pondasi sekaligus kesempurnaan
bagi keislaman kita. Yang paling utama adalah pelajaran tauhid. Yakni, kesungguhan
untuk hanya bertuhan kepada Allah, Sang Penguasa Jagat Semesta. Itulah warisan utama
dari agama Ibrahim ini.
Ya, ternyata Islam disebut sebagai agama Ibrahim. Bukan agama
Muhammad. Dan bahkan Nabi Muhammad diperintah Allah untuk mengikuti agama Ibrahim,
nenek moyang beliau sendiri. Al Qur’an-lah yang menceritakan semua itu, diantaranya
ayat-ayat berikut ini.
QS. Al Baqarah [2]: 130-132
‘’Dan tidak ada yang benci kepada agama
Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah
memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang
yang saleh.’’
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: Berislamlah!"
Ibrahim menjawab: "Aku berserah diri kepada Tuhan semesta alam". Dan Ibrahim
telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula (kepada) Ya'qub
(cucunya). (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih
agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan berislam".
Sehingga tidak heran Allah pun memerintahkan kepada Nabi Muhammad,
sebagai keturunan Ibrahim, untuk mengikuti agama nenek moyangnya.
QS. An Nahl [16]: 123
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad):
Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus). Dan bukanlah dia termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan.
Itulah sebabnya, puncak kualitas keislaman seseorang disandarkan
pada ibadah haji yang ritualnya adalah napak tilas sejarah keluarga Nabi Ibrahim.
Tetapi, bukan hanya dengan datang ke tanah suci dimana peristiwa ritual haji itu
terjadi. Melainkan lebih mendalam dari itu. Dimana pun kita berada, kita bisa memperoleh
substansi pelajaran puncak keislaman itu. Meskipun, idealnya adalah bagi mereka
yang menyelami substansi sambil berada di tanah suci. Tapi, sungguh tak sedikit
diantara kita yang bisa menjadi ‘lebih haji’ dibandingkan mereka yang pulang dari
tanah suci..! (Bersambung).
NB: ulasan TASAWUF HAJI ini saya tulis untuk koran KALTIM POST.
Agar memberikan manfaat lebih besar, saya muat juga di forum ini. Mudah-mudahan
memperoleh barokah dan ridha-Nya. Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar