~ AYAT MUTASYABIHAT YANG MUHKAMAT ~
Rasanya aneh juga
membaca judul di atas. Masa ada ayat mustasyabihat yang muhkamat?
Bukankah ayat mustasyabihat itu bermakna ‘samar’ dan butuh penjelasan
panjang serta mendalam? Sedangkan ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang
‘gamblang’ tanpa perlu dijelaskan secara ‘njlimet’, apalagi muter-muter.
Jangan-jangan, nanti ada ayat yang sebaliknya: muhkamat tapi mustasyabihat?
Menurut saya,
memang bisa terjadi demikian. Karena ‘samar’ dan ‘gamblang’ itu memang relatif.
Bagi saya gamblang, bagi Anda belum tentu. Sebaliknya, bagi Anda gamblang, bagi
saya juga belum tentu. Itulah sebabnya, tidak ada seorang ahli tafsir pun yang
berani secara tegas mengelompokkan ayat-ayat mana yang mutasyabihat, dan
ayat-ayat mana yang muhkamat. Bagi saya, semua firman Allah memiliki
makna yang sangat gamblang sekaligus mendalam. Tergantung seberapa luas ilmu
yang kita miliki untuk memahami ayat-ayat tersebut.
Termasuk ayat-ayat
tentang akhirat yang selama sembilan tahun terakhir kontroversial, tetap saja
masuk kategori mutasyabihat dan muhkamat. Yang bagi saya muhkamat,
ternyata bagi orang lain bisa mutasyabihat. Sebaliknya, yang bagi orang
lain muhkamat bagi saya ternyata mutasyabihat. Itulah salah satu
sebab, kenapa saya mengangkat kembali tema akhirat tidak kekal ini. Memang
temanya sama, tetapi banyak penjelasan baru yang tadinya mutasyabihat,
ternyata sekarang semakin muhkamat. Dan saya berharap, ini bisa menjadi
penjelasan tambahan dan syukur-syukur pelengkap, sehingga saya tak perlu lagi
menjelaskan lebih jauh.
Seiring dengan
terbitnya buku ‘’TERNYATA AKHIRAT Masih TIDAK KEKAL’ ini, saya ingin mengangkat
satu ayat utama sebagai pokok bahasan dalam memungkasi tema ‘Akhirat Tidak
Kekal’ yang mutasyabihat ini menjadi lebih muhkamat. Karena
secara logika agama maupun logika ilmu pengetahuan saya sudah bicara cukup
panjang lebar: note 1 s/d 9 (bagi yang belum baca silakan baca dulu di notes
sebelumnya, biar nyambung dengan note pamungkas ini). Bahwa, Tauhid Islam
mengajarkan tidak ada satu pun yang berhak menyandang sifat Allah secara
mutlak, mulai dari sifat melihat, mendengar, berbicara, berkehendak, berkuasa,
dan sebagainya. Termasuk sifat Kekal.
Karena apa yang
dimiliki oleh makhluk pasti TERBATAS dan TERGANTUNG kepada yang lain. Misalnya,
penglihatan dibatasi oleh keberadaan mata, pendengaran dibatasi oleh keberadaan
telinga, berbicara dibatasi oleh keberadaan pita suara, dan sebagainya. Langit
dan bumi beserta segala isinya pun dibatasi oleh keberadaan ruang dan waktu.
Kalau dimensi ruang & waktu dilenyapkan, maka seluruh isinya akan ikut
lenyap. Meskipun, itu langit dan buminya akhirat.
Sementara itu,
Allah bersifat mandiri, yang di dalam istilah Tauhid dikenal sebagai sifat Qiyamuhu
Binafsihi – berdiri sendiri tidak membutuhkan apa pun. Atau di dalam Al
Qur’an disebut dengan istilah laisa kamitslihi syai-un – tak ada
sesuatu pun yang menyamai-Nya, QS. 42: 11. Jika ada seseorang yang masih
menyamakan sifat makhluk dengan sifat Allah, maka patut dipertanyakan kepahaman
Tauhidnya.
Sedangkan secara
logika sains, juga tidak bisa dihindari bahwa alam semesta ini pasti akan
berakhir. Planet Buminya berakhir - dengan cara apa pun - yang sudah saya
jelaskan dalam notes sebelumnya. Dan alam semesta pun bakal berakhir – dengan
cara apa pun – juga sudah saya jelaskan di notes. Kita boleh berbeda pendapat
tentang mekanismenya, tetapi hampir pasti tidak berbeda dalam menyimpulkan
‘bakal kiamatnya’ alam semesta ini. Apalagi cuma planet Bumi, meskipun itu
Buminya Akhirat. Pasti kiamat..!
Kalimat ‘kalau
Allah menghendaki kan bisa saja dikekalkan’ sungguh tak bisa digunakan
sebagai argumentasi untuk mengatakan bahwa akhirat itu kekal. Karena, kalimat
yang sama itu pun bisa digunakan untuk alasan sebaliknya: ‘’Yaah, kalau
Allah menghendaki kan juga bisa menghancurkan akhirat sehingga menjadi tidak
kekal’... :(
Jadi logika tauhid
maupun logika sains memiliki kesimpulan yang sama, bahwa alam semesta – dunia
maupun akhirat – pasti bakal kiamat. Kiamatnya dunia disebut kiamat sughra atau
‘kiamat kecil’, sedangkan kiamatnya akhirat disebut kiamat kubra alias ‘kiamat
besar’.
Yang masih ada
perbedaan itu kan masalah teknis penjelasannya. Mekanismenya. Termasuk
penafsiran ayat-ayat Al Qur’annya. Mereka yang menganggap ini termasuk masalah mutasyabihat,
mencoba menjelaskan dengan segala ‘kerumitannya’. Sedangkan yang menganggap ini
masalah muhkamat, menjelaskan hal ini dengan ‘sederhana’ saja.
Berikut ini adalah
salah satu ‘ayat pokok’ yang menginspirasi saya untuk berkesimpulan bahwa
Akhirat itu memang Tidak Kekal. Bagi saya ayat ini termasuk muhkamat,
karena bisa dijelaskan dengan kaidah bahasa yang sangat sederhana. Bahkan tak
perlu dengan logika tauhid dan sains yang saya uraikan di atas.
QS. Huud [11]: 107-108
Mereka KEKAL di
dalamnya (neraka) SELAMA ada LANGIT dan BUMI, kecuali jika Tuhanmu menghendaki
(yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia
kehendaki.
Adapun orang-orang yang
berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka KEKAL di dalamnya SELAMA ada
LANGIT dan BUMI, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia
yang tiada putus-putusnya.
Kata ‘khaalidiina’
dalam ayat tersebut sengaja saya terjemahkan sebagai ‘KEKAL’, mengikuti
terjemahan pada umumnya, agar kita memperoleh makna yang sesungguhnya tentang
kata KEKAL tersebut. Apakah ia ‘benar-benar kekal’, ataukah ‘kekal yang
terbatas’, yang dengan kata lain sebenarnya ‘tidak kekal’.
Ini mirip dengan
sifat ‘melihat, mendengar, berkehendak, dlsb’ yang melekat pada makhluk. Bahwa
sifat-sifat itu sebenarnya adalah semu. Kita sebenarnya tidak ‘melihat,
mendengar, dan berkehendak’, karena yang sesungguhnya Melihat, Mendengar dan
Berkehendak itu adalah Allah. Sedangkan makhluk itu hanya ‘seakan-akan’ saja.
Atau, setidak-tidaknya ‘terbatas’. Artinya, meskipun melihat ternyata banyak
yang tidak terlihat. Meskipun mendengar banyak yang tak terdengar. Meskipun
berkehendak, ternyata ‘hanya bisa memilih’ dengan segala keterbatasannya.
Karena itu, ketika
bercerita tentang KEKEKALAN surga dan neraka itu pun, Allah MEMBATASI dengan
kalimat SELAMA ADA LANGIT DAN BUMI. Kebanyakan penafsir terkecoh oleh kalimat
ini, sehingga menafsirinya sebagai ungkapan KEKEKALAN. Biasanya ditambahkan
kalimat untuk meyakinkan, bahwa itu adalah ungkapan orang Arab untuk mengatakan
kekekalan. Saya justru berpendapat sebaliknya. Bahwa, kalimat ini menjadi
PEMBATAS kekekalan alam akhirat.
Boleh saja akhirat
dan segala isinya disebut khaaliduun (diterjemahkan ‘kekal’), tetapi
kekalnya itu sebatas keberadaan langit dan bumi. Jika langit dan buminya
dilenyapkan oleh Allah, alam akhirat beserta segala isinya pun bakal ikut
lenyap.
Bagaimana
penjelasannya? Sangat sederhana, yakni dengan menggunakan logika bahasa saja.
Untuk itu, marilah kita bahas ayat tersebut, dengan membaginya dalam 3 frase.
Frase 1: Mereka
kekal di dalam neraka SELAMA ada LANGIT dan BUMI,
Frase 2: KECUALI
jika Tuhanmu menghendaki (yang lain).
Frase 3: Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.
Jika frase 1
dimaknai sebagai ‘kekal selama-lamanya’, maka frase 2 haruslah bermakna
sebaliknya, dikarenakan adanya kata penghubung ‘KECUALI’. Sehingga kalimat itu
menjadi setara dengan kalimat ini:
‘’Mereka KEKAL di
dalam neraka SELAMA-LAMANYA, kecuali jika Tuhanmu menghendaki YANG LAIN (yakni:
menghendaki TIDAK KEKAL)...’’
Atau alternatif
kedua, justru frase 1 itu bermakna TIDAK KEKAL, sehingga kalimatnya akan
menjadi begini:
‘’Mereka KEKAL di
dalam neraka SELAMA ada langit dan bumi (artinya TIDAK KEKAL), kecuali jika
Tuhanmu menghendaki YANG LAIN (yakni: KEKEKALAN)...’’
Kata penghubung
KECUALI mengharuskan kedua frase itu bermakna ‘berlawanan’. Sehingga para
penafsir pun memberikan kalimat penjelas dalam kurung (YANG LAIN). Artinya,
berbalikan dengan frase sebelumnya. Kalau di frase di depannya KEKAL, maka
frase di belakang harus bermakna TIDAK KEKAL. Dan sebaliknya.
Dua altenatif itu
akan sama-sama membawa konsekuensi ketidak-kekalan akhirat.
Alternatif 1:
‘’Mereka KEKAL,
kecuali jika Allah menghendaki TIDAK KEKAL.
Alternatif 2:
‘’mereka TIDAK
KEKAL, kecuali jika Allah menghendaki KEKAL’’.
Silakan Anda pilih
salah satunya, karena Anda tidak bisa memaksakan kedua frase itu KEKAL
SEMUANYA, sehingga kalimat itu menjadi ANEH:
‘’Mereka KEKAL di
dalamnya, KECUALI Allah menghendaki KEKAL...’’ (???)
Nah, masalah ini
akan menjadi semakin jelas, kalau kita membahas ayat selanjutnya, yakni
QS. Huud [11]: 108.
Adapun orang-orang
yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka KEKAL di dalamnya SELAMA
ada LANGIT dan BUMI, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.
Frase 1: Adapun
orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga.
Frase 2: mereka
KEKAL di dalamnya SELAMA ada LANGIT dan BUMI.
Frase 3: kecuali
jika Tuhanmu menghendaki (yang lain);
Frase 4: sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.
Sebagaimana
pembahasan sebelumnya, jika frase ke-2 dimaknai KEKAL, maka kalimat itu menjadi
‘kalimat aneh’ begini:
‘’Mereka KEKAL di
dalam surga selama-lamanya, kecuali jika Tuhanmu menghendaki KEKAL, sebagai
karunia yang TIADA PUTUS-PUTUSNYA.’’ (???)
Kalimat ini
jelas-jelas tidak pada tempatnya. Pilihannya hanya ada dua, dimana keduanya
menempatkan frase ke-2 dan ke-3 dalam makna yang berbalikan:
1.
‘’Mereka TIDAK KEKAL, kecuali jika
Tuhan menghendaki KEKAL.’’ Atau,
2.
‘’Mereka KEKAL kecuali Tuhan
menghendaki TIDAK KEKAL’’.
Tetapi karena frase
4 mengandung kalimat: ‘karunia yang TIADA PUTUS-PUTUSNYA’, maka adalah
lebih masuk akal untuk memaknai frase ke-2 sebagai TIDAK KEKAL. Sehingga,
kalimat di atas, mau tidak mau, harus disetarakan begini:
‘’Mereka TIDAK
KEKAL, kecuali Allah menghendaki ‘kekekalan’, yaitu karunia yang tiada
putus-putusnya.
Sehingga kalimat ‘selama
ada langit dan bumi’ itu justru lebih cocok dimaknai sebagai PEMBATAS
kekekalan (khaalidiina). Yakni: mereka ‘kekal’ di dalam surga/ neraka
SELAMA langit dan buminya masih ada. Jika langit dan buminya hancur, surga dan
neraka pun menjadi ikut hancur.
Kesimpulannya:
Mereka KEKAL di
dalamnya ‘SELAMA ada LANGIT dan BUMI’ = TIDAK KEKAL.
Dengan demikian,
ini meruntuhkan pendapat bahwa kalimat ‘selama langit dan bumi masih ada’
itu bersifat ungkapan ‘kekekalan akhirat’. Yang benar, kalimat itu bermakna
harfiah, bahwa akhirat memang ‘kekal’ KALAU alam semesta MASIH ADA. Ini sama
dengan sifat-sifat makhluk lainnya, seperti sifat hidup, melihat, mendengar,
dan lain sebagainya. Semua sifat itu masih berfungsi JIKA tubuhnya, matanya,
telinganya, dan lain sebagainya masih ada. Kalau semua itu hancur, ya
sifat-sifat itu pun akan ikut lenyap.
Karena, yang KEKAL
memang ya hanya ALLAH semata..!
Wallahu a’lam
bishsawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar