Minggu, 05 Desember 2010

SALAH KAPRAH - KENAPA ALLAH MESTI ‘MEWAJIBKAN’ IBADAH


Ketika mendengar kata ’kewajiban’, seringkali kita merasa ’tertekan’. Atau ’terpaksa’. Dan muncul ’keengganan’ pada tingkat tertentu untuk menjalankan perintah itu. Sebaliknya ketika mendengar kata ’dilarang’, kita jadi merasa ingin tahu. Dan ketika mendengar kata ’dibolehkan’, hati kita malah merasa ’biasa-biasa’ saja. Ternyata kita telah salah kaprah dalam memahami ’kecintaan’ Allah kepada hamba-Nya.

Begitulah hati kita. Begitu pula pikiran kita. Selalu ’mengajak’ bermain-main dengan dialektika dalam menjalani kehidupan. Dan itulah memang dinamika keimanan, yang dalam istilah Rasulullah SAW: ’keimanan manusia selalu naik turun’. Dan lantas saya simpulkan: ’kalau tidak naik turun bukanlah manusia’. Mungkin malaikat. Atau sebaliknya, iblis. ’Kejiwaan’ malaikat stabil terus ’di atas’. Sedangkan ’kejiwaan’ iblis stabil terus ’di bawah’. Sedangkan manusia: kadang di atas, kadang di bawah. Agar tidak jemu dan bosan ... :)

Allah memang telah menciptakan Sunnatullah, bahwa segala sesuatu adalan berpasang-pasangan. Ada baik, ada buruk. Ada atas, ada bawah. Ada suka, ada duka. Ada mulia, ada hina. Ada siang, ada malam. Dan lain sebagainya. Nah, di dalam diri manusialah ’medan pertempuran’ antara segala yang berpasangan itu. Jiwanya terus mengalami ’pergolakan’ tiada henti dalam mencari ’Kebenaran Hakiki’: Sang Maha Kontradiksi. Yang Maha Meliputi Segala yang Kontradiksi.

Sementara seluruh makhluk-Nya yang lain sudah menemukan Allah sebagai Tuhannya, dan telah ’bersembahyang’ tiada henti menyembah-Nya (termasuk malaikat dan iblis yang sejak zaman ’baheula’sudah bertuhan kepada Allah), manusia masih terus berkutat dengan segala kontradiksinya. Dan tidak pernah berhenti sampai ajal menjemputnya. Atau, bahkan sampai alam semesta menemui kehancurannya.

QS. An Nuur (24): 41
Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih segala yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Manusia selalu mengalami keraguan dalam dirinya untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ini terkait erat dengan pemberian Allah kepada manusia yang namanya ’akal’. Setiap saat kita selalu bertanya-tanya. Kalau tidak pikiran kita yang bertanya dengan gaya ’logika’ dan ’rasionalitas’nya, tentu hati kita yang bertanya-tanya dengan gaya ’perasaan’-nya.

Tidak apa-apa, karena itulah memang pembawaan manusia. Dan ’bisikan’ semacam itu alamiah, agar manusia selalu bisa mengontrol tindakannya. Sehingga akal bisa memutuskan apa yang harus dilakukan dengan lebih terukur. Justru, jika tidak dipertanyakan terlebih dahulu, kita akan menjadi orang yang sembrono, dan biasanya akan membuat kita menyesal di belakang hari.

QS. Al An’aam (6): 2
Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal, dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan yang ada pada sisi-Nya, kemudian kamu masih (selalu) ragu-ragu.

Jangankan kita yang manusia awam, Rasulullah yang sudah setingkat Nabi pun pernah mengalami keragu-raguan itu. Sehingga Allah memerintahkan untuk bertanya kepada siapa saja yang dianggapnya lebih mengerti tentang apa yang diragukan. Dan terbukti dalam sejarah, Rasulullah bersama Siti Khadijah pernah datang bertanya kepada seorang pendeta Ahli Kitab, Waraqah bin Naufal, di awal-awal masa kenabiannya.

QS. Yunus (10): 94
Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu (ahli kitab). Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.

Yang lebih penting, lantas, adalah tidak boleh untuk ragu-ragu. Jika merasa ragu-ragu atas sesuatu, harus segera diklarifikasi. Bisa ditanyakan kepada seseorang yang lebih mengerti, atau mungkin didiskusikan agar muncul pencerahan atasnya. Karena keragu-raguan hanya akan menyebabkan kita tidak berani segera melangkah. Atau, salah tingkah dalam melangkah, yang berujung pada kesalahan.

QS, Al Hujuraat (49): 15
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.

Ketidakmengertian menyebabkan kita berbuat salah kaprah. Bahkan dalam menjalankan ibadah. Baik kita sadari maupun tidak. Perasaan enggan ketika kita mendengar sebuah ’kewajiban’ adalah salah satu dari ketidakmengertian itu. Maka, harus segera diklarifikasi. Sehingga, setelah mengerti maksudnya, kita tidak terus menerus dalam keraguan. Dan bisa menjalankannya dengan penuh kepastian. Itulah keimanan. Dan itulah orang-orang yang benar, kata ayat di atas.

Kenapakah Allah mewajibkan shalat? Kenapa mewajibkan puasa? Kenapa mewajibkan zakat dan haji bagi yang mampu? Dan segala kewajiban-kewajiban lainnya dalam beragama. Tentu saja ada alasannya. Itulah yang harus segera diklarifikasi, tabayyun, agar kita menjadi orang yang berhati yakin.

Kewajiban beribadah, sama sekali bukan untuk Allah. Karena Dia memang Dzat yang tidak membutuhkan apa-apa dari makhluk-Nya. Justru, makhluk-lah yang membutuhkan Dia. Jika semua makhluk di alam semesta tidak menuhankan Dia, Allah tetap saja Tuhan Penguasa seluruh alam. Tidak berkurang sedikit pung keagungan-Nya.

QS. Adz Dzaariyaat (51): 56-58
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak membutuhkan rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.

Lantas, kenapa Allah mewajibkan kita untuk beribadah? Karena, ternyata desain kita ini memang makhluk ibadah. Terbaca dari ayat diatas, bahwa manusia dan jin diciptakan memang sebagai makhluk ibadah. Sehingga, jika tidak beribadah kita akan menemui masalah. Seluruh kewajiban yang kita terima dari Allah itu sebenarnya adalah untuk memaksimumkan seluruh potensi kita sebagai manusia. Dan memunculkan sikap istiqomah alias kestabilan hidup.

Saya sering mencontohkan hal ini dengan analogi ’pabrik mobil’. Sebuah mobil dibuat oleh pabriknya pasti memiliki spesifikasi tertentu. Misalnya, bahan bakarnya harus pertamax. Olinya mesti dengan tingkat keenceran tertentu. Cara menjalankannya harus mengombinasikan antara kopling, gas, rem dan persneling. Dan lain sebagainya.

Maka, jika mobil itu diperlakukan tanpa memperhatikan segala ’kewajiban’ yang diperintahkan oleh pabriknya, tentu mobil itu akan rusak sebelum waktunya. Mobil berbahan bakar pertamax misalnya, Anda isi dengan bahan bakar solar, tentu saja akan rusak. Apalagi, diisi nasi pecel ...! :)

Demikian pula, jika mesin mobil itu diisi dengan oli yang tingkat kekentalannya tidak sesuai, pasti akan bermasalah. Atau, apalagi dijalankan dengan tanpa memperhatikan kombinasi kompling, gas, rem dan persneling yang sesuai, bisa-bisa mobilnya kecemplung jurang... :(

Pertanyaannya adalah: untuk siapakah segala ’kewajiban’ yang diharuskan oleh pabrik mobil itu? Apakah untuk kepentingan pabrik, ataukah untuk kepentingan mobil dan pemiliknya? Tentu dengan sangat mudah kita menjawabnya, bahwa semua kewajiban itu adalah untuk kepentingan mobil dan pemiliknya. Bagi pabrik, sama sekali tidak ada kerugian apa pun kalau Anda tidak menjalankan segala kewajiban itu. Gak Patheken, kata orang Jawa...!

Bahkan, meskipun si pemilik mobil melanggar semua ketentuan itu dengan alasan yang ’baik dan benar’. Tetap, saja ia akan memperoleh efek yang merugikan ketika tidak menjalankan kewajiban. Misalnya, demi alasan ’penghematan’ maka BBM mobil diisi saja minyak tanah yang harganya lebih murah dibandingkan pertamax. Bukankah sama-sama Bahan Bakar Minyak ...? :(

Ada sebuah cerita lucu tentang itu. Seseorang yang tidak pernah punya mobil, membeli mobil baru. Ia sangat menyayangi mobilnya, dan berjanji dalam hati tidak akan menggantinya seumur hidup. Maka, ia memperlakukan mobilnya dengan penuh ’kasih sayang’. Namun sayang, dia tidak membaca buku manual alias buku petunjuknya, sehingga tidak tahu cara memperlakukan mobil.

Pada suatu hari dia menyetir mobil dengan mengajak sahabatnya. Itung-itung sambil pamer mobil baru. Sang teman terheran-heran dengan cara si pemilik mobil itu menjalankan kendaraannya. Karena di sepanjang jalan yang dilaluinya, ia tidak pernah mengganti persneling. Di jalan datar ia menggunakan gigi satu. Di jalan tanjakan, ia juga menggunakan gigi satu. Di jalan tol pun, ia menggunakan gigi satu.

Tak tahan melihatnya, sang kawan bertanya: ’’Dari tadi aku kok melihat kamu tidak pernah mengganti gigi persneling mobilmu, kenapa? Bukankah, ada 5 gigi persneling yang bisa digunakan sesuai kebutuhan?’’

Sang pemilik mobil menjawab dengan santainya: Ya memang, saya pakai dulu yang persneling 1. Kalau sudah rusak, baru nanti saya pakai persneling 2, 3 dan sterusnya. Supaya awet...’ Tentu saja sang kawan bengong mendengarnya. Lantas meledak tawanya... Maksudnya sih baik, tetapi salah kaprah...!

Ibadah adalah kewajiban. Bukan untuk Allah Sang Pencipta, melainkan untuk hamba-hamba-Nya. Shalat kita adalah untuk kita sendiri. Puasa, zakat, haji, dzikir, doa, dan segala macam kebaikan yang kita usahakan, pada hakekatnya adalah untuk kita sendiri. Seluruh alam semesta tak beribadah tak akan mengganggu Eksistensi-Nya sedikit pun. Karena, sungguh segala kewajiban itu semata-mata perwujudan dari Kasih Sayang Allah untuk kebahagiaan semua makhluk-Nya...

QS. Al An’aam (6): 12
Tanyakanlah: "Kepunyaan siapakah segala yang ada di langit dan di bumi?" Jawablah: "Kepunyaan Allah". Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu adalah orang-orang yang tidak beriman.

QS. Al An’aam (6): 54
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka ucapkanlah: "Salaamun-alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, bahwa barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kebodohan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

QS. Al Aadiyaat (100): 6
Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya...

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 4 Desember 2010 pukul 16:49


Sabtu, 04 Desember 2010

SALAH KAPRAH - MEMAHAMI SUNNATULLAH SEBAGAI ‘CARA KERJA’ ALLAH


Saya sangat mengapresiasi saran sejumlah kawan yang menginginkan perubahan pada istilah SALAH KAPRAH dalam tema diskusi kita kali ini. Tetapi, setelah saya pertimbangkan, saya merasa belum waktunya. Saya ingin menuntaskan dulu sejumlah pokok bahasan ‘Salah Kaprah’ sampai ‘titik’. Atau, setidak-tidaknya ‘titik koma’.

Saya sangat menyadari pemakaian istilah SALAH KAPRAH ini bisa disalah-kaprahi pula sebagai klaim kebenaran. Seakan-akan saya merasa benar sendiri. Dan menyalahkan kawan-kawan lain yang berbeda pendapat dengan saya. Tetapi, bukankah sudah saya jelaskan pada serial salah kaprah ke-10 tentang DISKUSI TASAWUF MODERN bahwa istilah ini sekedar dimaksudkan untuk membuka ‘ruang diskusi’ diantara kita selebar-lebarnya. Bukankah semakin ‘berbeda di awal’, diskusinya semakin gayeng?

Kalau, belum apa-apa, saya sudah mengambil ‘jarak’ yang ‘terlalu dekat’ dengan Anda semua, maka ‘ruang diskusi’ diantara kita akan menjadi demikian sempit. Tidak ada lagi dinamika dan dialektika yang menyebabkan kita ingin beradu argumentasi, dan memperjuangkan pendapat. Karena pendapat saya dan Anda ternyata sudah hampir sama sejak awal. Atau bahkan sudah tidak ada bedanya… :(

Bukankah, disini kita sedang belajar dan menuntut ilmu bareng-bareng? Dan, koridornya sudah kita sepakati adalah mengikuti QS. 16 : 125. Yakni, bil hikmah’ (dengan substansi yang mendalam), mau’idhatul hasanah (sistematika pembelajaran yang baik), dan ’jadilhum billati hiya ahsan’ (berdiskusilah dengan lebih baik)…

Maka, ayolah kita hilangkan prasangka buruk. Supaya saya tidak perlu mengulang-ulang klarifikasi, bahwa pendapat yang saya sampaikan ini bukanlah ’kebenaran mutlak’ dalam memahami Islam. Tetapi ini adalah sekedar ’presentasi’ materi keislaman dalam sudut pandang ’saya’. Silakan Anda berbeda pendapat, atau bahkan menolak sama sekali. Tidak akan menjadi masalah. Saya bukan guru Anda, dan Anda pun bukan murid saya. Atau sebaliknya. Kita sekedar bersahabat untuk sama-sama mencari ’jalan pulang’, kepada Yang Terkasih, Ilahi Rabbi. Marilah kita belajar dewasa dalam hal ini. Supaya umat Islam juga segera dewasa. Dan ini kelak akan sangat bermanfaat buat perkembangan peradaban Islam ke depan.

Perbedaan diantara kita sudah menjadi sebuah keniscayaan. Karena, ini adalah Sunnatullah. Hukum Allah, yang dikenal pula sebagai ’hukum alam’ oleh orang-orang yang tidak menjadikan Islam sebagai pegangan hidupnya. Ya mereka menamakannya sebagai The Law of Nature, sedangkan kita menyebutnya sebagai The Law of God. Meskipun, tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka menggunakan hukum Allah, yang terbentang sebagai ayat-ayat Kauniyah. Ya, memang, sunnatullah bekerja tidak hanya untuk umat Islam, melainkan untuk semua makhluk-Nya di alam semesta.

Gravitasi Bumi adalah hukum alam, Kekekalan Energi adalah hukum alam, Elektromagnetik, Nuklir, ekosistem, sosial-politik, budaya, ekonomi, dan semua hukum di sekitar kita adalah hukum alam. Yang sekaligus hukum Tuhan. Semua berada di dalam Grand Law, yang bekerja berdasar hukum keseimbangan. Karena, ternyata alam semesta ini diciptakan oleh-Nya dengan menggunakan sistem keseimbangan dinamis.

Jika alam sekitar mengalami ketidak-seimbangan, ia akan dengan sendirinya ’mencari jalan’ untuk menyeimbangkan diri lagi. Gunung meletus, banjir bandang, tanah longsor, tsunami, angin badai, perampokan, pencurian, pembunuhan, penyakit, demonstrasi, bangkrutnya rezim ekonomi dan politik, dan semua peristiwa di sekitar kita, tak lebih adalah sebuah mekanisme keseimbangan dinamis itu. Sunnatullah, yang sudah bekerja seiring dengan proses penciptaan sejak dulu kala.

QS. Ar Rahman (55): 7
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan).

QS. Al Mulk (67): 3
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

QS. Al Infithaar (82): 7
Yang telah menciptakan kamu, lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang,

Ya, seluruh alam semesta bekerja menurut hukum keseimbangan itu. Barang siapa menabrak keseimbangan sistem maka ia bakal ‘terpelanting’ seiring dengan besarnya usaha yang dia lakukan. Dan barangsiapa ’menyatu’ dalam keseimbangan alam semesta, maka ia akan memperoleh ’harmoni’ yang besarnya berlipat kali dibandingkan usaha yang dia lakukan. Dalam istilah al Qur’an: siapa berbuat jahat akan kembali kepada dirinya, dan siapa berbuat baik juga akan kembali kepada dirinya. Itulah Sunnatullah. Dan sunnatullah tidak akan berubah sampai hancurnya alam semesta.

QS. Al Qashash (28): 84
Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.

QS. Al Mukmin (40): 40
Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat (menabrak keseimbangan), maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan (harmoni dalam keseimbangan) laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa perhitungan lagi.

QS. Al Fath (48): 23
Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu kala, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.

Maka, agaknya kita perlu menyetel mind set alias pola pikir kita kembali tentang cara kerja alam, alias cara kerja Allah ini. Hukum alam tidak berubah sampai akhir zaman. Dengan hukum yang stabil inilah manusia bisa memahami mekanisme kerja alam, sekaligus Sang Pencipta.

Bagaimana Allah menciptakan alam semesta. Bagaimana Allah menciptakan manusia. Bagaimana Allah menciptakan malaikat, jin, hewan, tumbuhan, dan benda-benda seluruhnya. Bagaimana Allah menciptakan seluruh peristiwa kehidupan. Bagaimana pula Allah memelihara dan menjalankan keseimbangan antara semua komponen di dalamnya. Lantas, bagaimana kelak akan menghancurkan serta melenyapkannya kembali.

Kadang-kadang ada diantara kita yang berpikir bahwa manusia telah mengintervensi sunnatullah? Atau, bahkan ada yang berpendapat bahwa sesuatu bisa terjadi di luar sunnatullah. Sesungguhnya, tidak ada satu pun kejadian bisa terjadi di luar sunnatullah. Selama peristiwa itu terjadi di dalam alam semesta, ia pasti berjalan mengikuti sunnatullah.

Apakah benda yang jatuh ke atas, misalnya, adalah sunnatullah? Tentu saja. Karena, ia menghasilkan gaya ’anti-gavitasi’. Apakah, laut terbelah adalah sunnatullah? Tentu saja, karena terjadi Tsunami misalnya. Apakah seseorang yang tak mempan dibakar itu juga sunnatullah? Tentu saja, karena tubuh manusia bisa menghasilkan ’jaket elektromagnetik’ yang bisa melindungi tubuhnya dari energi panasnya api. Apakah bayi tabung, kloning, stem sel, transplantasi organ, dan rekayasa genetika itu adalah sunnatullah? Tentu saja, karena mereka sama sekali tidak menciptakan apa pun, melainkan sekedar ’memanfaatkan’ cara kerja alam. Yakni, cara kerja Allah.

Kalau ada seorang pasien gagal ginjal, kemudian dicangkokkan ginjal orang lain kepadanya, maka itu sama sekali tidak bekerja di luar sunnatullah. Karena, dia cuma memanfaatkan mekanisme kerja jaringan di dalam tubuh manusia. Kalau ada sepasang suami isteri memutuskan ikut program bayi tabung, dan lantas dokternya mempertemukan sel telur dan spermanya di luar rahim, untuk kemudian dimasukkan lagi ke dalam rahim si isteri, itu sama sekali bukan berarti dokternya menciptakan bayi dan menyaingi Tuhan. Dia tetap saja bekerja berdasar sunnatullah, yakni hukum biologi ’bab reproduksi’.

Bahkan, jika seorang ahli biomolekuler berhasil ’menciptakan manusia’ lewat teknologi kloning pun bukan berarti ia telah bekerja di luar sunnatullah. Dan lantas menjadi pesaing Allah. Karena sebenarnya, dia cuma memanfaatkan sunnatullah belaka. Karena, jika ia tidak memahami cara kerja Allah dalam rekayasa genetika itu, ia tidak akan berhasil melakukan kloning..! Walhasil, tidak ada satu peristiwa pun di alam semesta ini yang bisa keluar dari sunnatullah. Semuanya berada di dalam kendali Allah. Dan berjalan atas izin-Nya.

Orang yang berbuat jahat melakukan kejahatannya lewat sunnatullah. Sebaliknya, orang yang berbuat baik melakukan kebaikannya juga di dalam sunnatullah. Lantas, apakah itu berarti Allah mengizinkan orang berbuat jahat? Tentu saja. Kalau tidak diizinkan, pasti dia tidak bisa berbuat jahat. Tetapi, ingat, diizinkan bukan berarti diridhai-Nya. Siapa saja berbuat jahat, maka ia akan memperoleh balasan kejahatan. Dan siapa saja berbuat baik, akan memperoleh balasan atas kebaikannya. Semua tetap bekerja di dalam sunnatullah.

Apakah orang mencuri diizinkan Allah? Tentu saja. Jika tidak diizinkan, ia pasti tidak bisa mencuri. Tetapi, dari perbuatan jahatnya itu ia bakal menuai konsekuensi dari sunnatullah yang bekerja. Jadi begitulah, iblis bekerja berdasar sunnatullah. Sebagai aktor kejahatan, iblis telah diizinkan Allah untuk merayu manusia berbuat kejahatan. Tetapi ingat, sunnatullah akan bekerja untuk memberikan balasan yang setimpal kepadanya. Kapan? Bisa hari ini. Bisa besok. Bisa tahun depan. Bisa ketika kematian datang menjemputnya. Atau, kelak di alam akhirat sebagai balasan yang berlipat ganda besarnya.

Semakin lama tertunda balasannya, semakin besar konsekuensinya. Perhatikanlah ketika sekelompok masyarakat merusak hutan. Sesaat setelah hutan ditebangi, alam akan membalasnya dengan suhu udara yang kering dan panas. Jika ini tidak segera diatasi, misalnya dengan menanami kembali, maka tahun depan balasannya akan lebih besar. Mungkin akan terjadi kekeringan di daerah itu. Jika tidak diatasi lagi, maka tahun depannya akan terjadi tanah longsor. Kemudian waktu berikunya lagi banjir bandang, dan seterusnya dan seterusnya, semakin lama semakin besar. Orang yang berbuat dosa, dan tidak segera bertaubat kepada Allah, maka ia sedang menyiapkan balasan yang lebih besar di masa depannya..!

Maka, sungguh manusia bebas berbuat apa saja. Setiap diri akan bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Barangsiapa memahami sunnatullah dengan sempurna, dan mengikuti cara kerjanya, insya Allah dia bakal selamat di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa tidak belajar memahami sunnatullah, dan kemudian menabrak mekanisme keseimbangannya, maka sungguh ia sedang menyiapkan penderitaan yang akan menyengsarakannya ...!

QS. Al Mudatstsir (74): 37-38
Bagi siapa saja di antaramu yang berkehendak maju atau mundur. Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya...

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 3 Desember 2010 pukul 21:45