Ketika mendengar kata ’kewajiban’, seringkali kita merasa ’tertekan’.
Atau ’terpaksa’. Dan muncul ’keengganan’ pada tingkat tertentu untuk menjalankan
perintah itu. Sebaliknya ketika mendengar kata ’dilarang’, kita jadi merasa ingin
tahu. Dan ketika mendengar kata ’dibolehkan’, hati kita malah merasa ’biasa-biasa’
saja. Ternyata kita telah salah kaprah dalam memahami ’kecintaan’ Allah kepada hamba-Nya.
Begitulah hati kita. Begitu pula pikiran kita. Selalu ’mengajak’
bermain-main dengan dialektika dalam menjalani kehidupan. Dan itulah memang dinamika
keimanan, yang dalam istilah Rasulullah SAW: ’keimanan manusia selalu naik turun’.
Dan lantas saya simpulkan: ’kalau tidak naik turun bukanlah manusia’. Mungkin malaikat.
Atau sebaliknya, iblis. ’Kejiwaan’ malaikat stabil terus ’di atas’. Sedangkan ’kejiwaan’
iblis stabil terus ’di bawah’. Sedangkan manusia: kadang di atas, kadang di bawah.
Agar tidak jemu dan bosan ... :)
Allah memang telah menciptakan Sunnatullah, bahwa segala sesuatu
adalan berpasang-pasangan. Ada baik, ada buruk. Ada atas, ada bawah. Ada suka, ada
duka. Ada mulia, ada hina. Ada siang, ada malam. Dan lain sebagainya. Nah, di dalam
diri manusialah ’medan pertempuran’ antara segala yang berpasangan itu. Jiwanya
terus mengalami ’pergolakan’ tiada henti dalam mencari ’Kebenaran Hakiki’: Sang
Maha Kontradiksi. Yang Maha Meliputi Segala yang Kontradiksi.
Sementara seluruh makhluk-Nya yang lain sudah menemukan Allah
sebagai Tuhannya, dan telah ’bersembahyang’ tiada henti menyembah-Nya (termasuk
malaikat dan iblis yang sejak zaman ’baheula’sudah bertuhan kepada Allah),
manusia masih terus berkutat dengan segala kontradiksinya. Dan tidak pernah berhenti
sampai ajal menjemputnya. Atau, bahkan sampai alam semesta menemui kehancurannya.
QS. An Nuur (24): 41
Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya
bertasbih segala yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya.
Masing-masing telah mengetahui sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka kerjakan.
Manusia selalu mengalami keraguan dalam dirinya untuk melakukan
apa yang seharusnya dilakukan. Ini terkait erat dengan pemberian Allah kepada manusia
yang namanya ’akal’. Setiap saat kita selalu bertanya-tanya. Kalau tidak pikiran kita yang bertanya dengan gaya
’logika’ dan ’rasionalitas’nya, tentu hati kita yang bertanya-tanya dengan gaya ’perasaan’-nya.
Tidak apa-apa, karena itulah memang pembawaan manusia. Dan
’bisikan’ semacam itu alamiah, agar manusia selalu bisa mengontrol tindakannya.
Sehingga akal bisa memutuskan apa yang harus dilakukan dengan lebih terukur. Justru,
jika tidak dipertanyakan terlebih dahulu, kita akan menjadi orang yang sembrono,
dan biasanya akan membuat kita menyesal di belakang hari.
QS. Al An’aam (6): 2
Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal,
dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan yang ada pada sisi-Nya, kemudian kamu masih
(selalu) ragu-ragu.
Jangankan kita yang manusia awam, Rasulullah yang sudah setingkat
Nabi pun pernah mengalami keragu-raguan itu. Sehingga Allah memerintahkan untuk
bertanya kepada siapa saja yang dianggapnya lebih mengerti tentang apa yang diragukan.
Dan terbukti dalam sejarah, Rasulullah bersama Siti Khadijah pernah datang bertanya
kepada seorang pendeta Ahli Kitab, Waraqah bin Naufal, di awal-awal masa kenabiannya.
QS. Yunus (10): 94
Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka
tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu (ahli kitab). Sesungguhnya telah
datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
Yang lebih penting, lantas, adalah tidak boleh untuk ragu-ragu.
Jika merasa ragu-ragu atas sesuatu, harus segera diklarifikasi. Bisa ditanyakan
kepada seseorang yang lebih mengerti, atau mungkin didiskusikan agar muncul pencerahan
atasnya. Karena keragu-raguan hanya akan menyebabkan kita tidak berani segera melangkah.
Atau, salah tingkah dalam melangkah, yang berujung pada kesalahan.
QS, Al Hujuraat (49): 15
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah,
mereka itulah orang-orang yang benar.
Ketidakmengertian menyebabkan kita berbuat salah kaprah. Bahkan
dalam menjalankan ibadah. Baik kita sadari maupun tidak. Perasaan enggan ketika
kita mendengar sebuah ’kewajiban’ adalah salah satu dari ketidakmengertian itu.
Maka, harus segera diklarifikasi. Sehingga, setelah mengerti maksudnya, kita tidak
terus menerus dalam keraguan. Dan bisa menjalankannya dengan penuh kepastian. Itulah
keimanan. Dan itulah orang-orang yang benar, kata ayat di atas.
Kenapakah Allah mewajibkan shalat? Kenapa mewajibkan puasa?
Kenapa mewajibkan zakat dan haji bagi yang mampu? Dan segala kewajiban-kewajiban
lainnya dalam beragama. Tentu saja ada alasannya. Itulah yang harus segera diklarifikasi, tabayyun, agar kita menjadi orang yang
berhati yakin.
Kewajiban beribadah, sama sekali bukan untuk Allah. Karena
Dia memang Dzat yang tidak membutuhkan apa-apa dari makhluk-Nya. Justru, makhluk-lah
yang membutuhkan Dia. Jika semua makhluk di alam semesta tidak menuhankan Dia, Allah
tetap saja Tuhan Penguasa seluruh alam. Tidak berkurang sedikit pung keagungan-Nya.
QS. Adz Dzaariyaat (51): 56-58
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak membutuhkan rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
Lantas, kenapa Allah mewajibkan kita untuk beribadah? Karena,
ternyata desain kita ini memang makhluk ibadah. Terbaca dari ayat diatas, bahwa
manusia dan jin diciptakan memang sebagai makhluk ibadah. Sehingga, jika tidak beribadah
kita akan menemui masalah. Seluruh kewajiban yang kita terima dari Allah itu sebenarnya
adalah untuk memaksimumkan seluruh potensi kita sebagai manusia. Dan memunculkan
sikap istiqomah alias kestabilan hidup.
Saya sering mencontohkan hal ini dengan analogi ’pabrik mobil’.
Sebuah mobil dibuat oleh pabriknya pasti memiliki spesifikasi tertentu. Misalnya,
bahan bakarnya harus pertamax. Olinya mesti dengan tingkat keenceran tertentu. Cara
menjalankannya harus mengombinasikan antara kopling, gas, rem dan persneling. Dan
lain sebagainya.
Maka, jika mobil itu diperlakukan tanpa memperhatikan segala
’kewajiban’ yang diperintahkan oleh pabriknya, tentu mobil itu akan rusak sebelum
waktunya. Mobil berbahan bakar pertamax misalnya, Anda isi dengan bahan bakar solar,
tentu saja akan rusak. Apalagi, diisi nasi pecel ...! :)
Demikian pula, jika mesin mobil itu diisi dengan oli yang tingkat
kekentalannya tidak sesuai, pasti akan bermasalah. Atau, apalagi dijalankan dengan
tanpa memperhatikan kombinasi kompling, gas, rem dan persneling yang sesuai, bisa-bisa
mobilnya kecemplung jurang... :(
Pertanyaannya adalah: untuk siapakah segala ’kewajiban’ yang
diharuskan oleh pabrik mobil itu? Apakah untuk kepentingan pabrik, ataukah untuk
kepentingan mobil dan pemiliknya? Tentu dengan sangat mudah kita menjawabnya, bahwa
semua kewajiban itu adalah untuk kepentingan mobil dan pemiliknya. Bagi pabrik,
sama sekali tidak ada kerugian apa pun kalau Anda tidak menjalankan segala kewajiban
itu. Gak Patheken, kata orang Jawa...!
Bahkan, meskipun si pemilik mobil melanggar semua ketentuan
itu dengan alasan yang ’baik dan benar’. Tetap, saja ia akan memperoleh efek yang
merugikan ketika tidak menjalankan kewajiban. Misalnya, demi alasan ’penghematan’
maka BBM mobil diisi saja minyak tanah yang harganya lebih murah dibandingkan pertamax.
Bukankah sama-sama Bahan Bakar Minyak ...? :(
Ada sebuah cerita lucu tentang itu. Seseorang yang tidak pernah
punya mobil, membeli mobil baru. Ia sangat menyayangi mobilnya, dan berjanji dalam
hati tidak akan menggantinya seumur hidup. Maka, ia memperlakukan mobilnya dengan
penuh ’kasih sayang’. Namun sayang, dia tidak membaca buku manual alias buku petunjuknya,
sehingga tidak tahu cara memperlakukan mobil.
Pada suatu hari dia menyetir mobil dengan mengajak sahabatnya. Itung-itung sambil pamer mobil baru. Sang teman terheran-heran
dengan cara si pemilik mobil itu menjalankan kendaraannya. Karena di sepanjang jalan
yang dilaluinya, ia tidak pernah mengganti persneling. Di jalan datar ia menggunakan
gigi satu. Di jalan tanjakan, ia juga menggunakan gigi satu. Di jalan tol pun, ia
menggunakan gigi satu.
Tak tahan melihatnya, sang kawan bertanya: ’’Dari tadi aku
kok melihat kamu tidak pernah mengganti gigi persneling mobilmu, kenapa? Bukankah,
ada 5 gigi persneling yang bisa digunakan sesuai kebutuhan?’’
Sang pemilik mobil menjawab dengan santainya: Ya memang, saya
pakai dulu yang persneling 1. Kalau sudah rusak, baru nanti saya pakai persneling
2, 3 dan sterusnya. Supaya awet...’ Tentu saja sang kawan bengong mendengarnya. Lantas meledak tawanya... Maksudnya sih baik, tetapi salah kaprah...!
Ibadah adalah kewajiban. Bukan untuk Allah Sang Pencipta, melainkan
untuk hamba-hamba-Nya. Shalat kita adalah untuk kita sendiri. Puasa, zakat, haji,
dzikir, doa, dan segala macam kebaikan yang kita usahakan, pada hakekatnya adalah
untuk kita sendiri. Seluruh alam semesta tak beribadah tak akan mengganggu Eksistensi-Nya
sedikit pun. Karena, sungguh segala kewajiban itu semata-mata perwujudan dari Kasih
Sayang Allah untuk kebahagiaan semua makhluk-Nya...
QS. Al An’aam (6): 12
Tanyakanlah: "Kepunyaan siapakah
segala yang ada di langit dan di bumi?" Jawablah: "Kepunyaan Allah".
Dia telah menetapkan atas diri-Nya kasih
sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak
ada keraguan terhadapnya. Orang-orang yang merugikan
dirinya, mereka itu adalah orang-orang yang tidak beriman.
QS. Al An’aam (6): 54
Apabila orang-orang yang beriman kepada
ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka ucapkanlah: "Salaamun-alaikum. Tuhanmu
telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, bahwa barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kebodohan, kemudian
ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
QS. Al Aadiyaat (100): 6
Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar tidak berterima kasih kepada Tuhannya...
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~