Sabtu, 22 Januari 2011

BERAGAMA DENGAN ’HATI’ ATAUKAH ’AKAL’

Bagi sebagian orang, pertanyaan tersebut bisa saja masih membingungkan. Tetapi, ketika kita membahasnya dari sisi mekanisme otak dan jantung, mungkin menjadi lebih jelas persoalannya. Bahwa hati adalah getaran jantung yang berasal dari otak, khususnya dari Sistem Limbik. Sedangkan akal adalah fungsi Sistem Limbik yang seimbang antara peranan Amygdala dan Hipocampusnya.

Masalahnya, Sistem Limbik itu memang bisa bekerja tidak seimbang. Yakni, bisa dominan emosi yang dikendalikan amygdala, atau dominan rasionalitas yang dikendalikan oleh hipocampus. Kedua-duanya kurang baik. Yang baik adalah mekanisme Sistem Limbik yang bekerja seimbang.

Olah pikir di bagian cortex harus berjalan maksimum. Baik rasionya, logikanya, analisanya, kreatifitasnya, pusat-pusat penglihatan, pendengaran, bahasa, maupun berbagai mekanisme ilmu pengetahuan lainnya, karena semua itu bakal mewujud menjadi memori rasional di Hipocampus. Lantas, memori Hipocampus itu dipadukan dengan memori emosional yang ada di Amygdala, sampai memunculkan getaran yang disebut sebagai ‘emosi rasional’. Nah, emosi rasional inilah yang menggetarkan jantung sebagai perasaan yang baik.

Jika Sistem Limbik tidak bekerja seimbang, maka kemungkinannya ada dua. Yang pertama, Amygdala terlalu dominan. Maka, muncullah emosi yang ’tidak rasional’, sehingga lepas kendali dan menjadi dorongan ’hawa nafsu’. Yaitu, dorongan yang bersifat merusak. Gejolak Limbik seperti ini akan disalurkan ke jantung dalam bentuk getaran yang bergejolak juga. Getaran jantung dan otak tidak sinkron.

Dari proses ini akan muncul sifat-sifat kasar yang merusak, seperti iri, benci, dendam, serakah, sombong, marah berlebihan, dan lain sebagainya. Cobalah lihat, betapa tidak rasionalnya orang-orang yang sedang diliputi rasa iri dan dengki misalnya. Lha wong orang lain sukses, kok kita kebakaran jenggot. Sebaliknya, kalau orang lain gagal, kita malah bersuka cita. Begitu pula perasaan dendam, serakah, dan lain-lainnya. Itu adalah emosi yang tidak rasional yang tidak diridhai Allah.

QS. Al Baqarah [2]: 90
Alangkah BURUK-nya mereka yang menjual diri dengan keingkaran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena DENGKI bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya...

QS. An Nisaa’ [4]: 135
... Maka janganlah kamu mengikuti HAWA NAFSU karena ingin menyimpang dari kebenaran...

Kemungkinan kedua, Hipocampus yang terlalu dominan sehingga hanya menghasilkan pikiran-pikiran tanpa rasa. Alias rasio yang ’tidak emosional’. Maka, akan muncul perasaan yang ’tidak menggetarkan’. Denyut jantungnya tanpa ’rasa’. Orang-orang yang demikian ini terjebak pada akal pikiran semu yang hambar. Allah mencontohkan, seperti orang yang bersedekah, tanpa diiringi perasaan santun, sehingga menyakiti hati orang yang diberi. Rasional tapi tak berperasaan.

QS. Al Baqarah [2]: 263
Perkataan yang baik dan pemberian ma`af (masih) lebih baik dibandingkan SEDEKAH yang diiringi dengan sesuatu yang MENYAKITKAN (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.

Sebaliknya, jika Sistem Limbik bekerja secara seimbang, ia akan memunculkan ’emosi yang rasional’ atau ’rasio yang emosional’. Keduanya akan menghasilkan getaran yang mengimbas jantung secara terkontrol. Inilah yang oleh al Qur’an disebut sebagai Qalbun Salim. Hati yang tertata secara rasional dan emosional. Contoh yang diambil adalah Nabi Ibrahim, yaitu nabi yang sangat terkenal dengan kekuatan akalnya, sekaligus berhati lembut. Kekuatan akal pikiran Ibrahim diceritakan Al Qur’an dalam bentuk pencariannya terhadap Allah, Sang Penguasa alam semesta, QS. 6: 75-79. Namun, sekaligus, Allah juga memujinya sebagai nabi yang berhati lembut dan santun, QS. 9:114.

QS. Ash Shaaffat [37]: 83-84
Dan sesungguhnya IBRAHIM benar-benar termasuk golongannya (Nuh). Ketika ia datang kepada Tuhannya dengan HATI yang berserah diri (Qalbun Salim).

Qalbun salim adalah hati yang sudah melakukan pembuktian-pembuktian secara ilmiah dalam proses  beragama, sehingga memperoleh perasaan yang menggetarkan, dalam bentuk penyerahan diri kepada Allah. Dalam istilah diatas, adalah ‘rasio yang emosional’ atau ‘emosi yang rasional’. Yakni, penggabungan fungsi Hipocampus dan Amygdala dalam kinerja Sistem Limbik yang seimbang.

Maka, AKAL adalah fungsi keseimbangan antara rasio dan emosi. Atau, antara pikiran dan perasaan. Karena ia berbentuk FUNGSI, maka Akal bukanlah ’benda’. Sehingga, di dalam al Qur’an, kata ’AKAL’ selalu ditampilkan dalam bentuk ’kata kerja’, bukan ’kata benda’.Afala ta’qilun ~ apakah kamu tidak berakal?, misalnya. Atau di kali lain Allah berfirman, ...wayaj’alurrijsa alalladzina laa ya’qiluun ~  ’’...dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.’’

Sedangkan ORANG yang BERAKAL mendapat sebutan ULUL ALBAB. Yakni, orang yang menggabungkan perasaan dengan pikirannya, secara seimbang. Berpikir dengan ilmu pengetahuan dan merasakan dengan emosi yang rasional. Maka, dia akan menemukan Allah sebagai Tuhan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dengan Qalbun Salim-nya.

QS. Ali Imran [3]: 190-191
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ULUL ALBAB), (yaitu) orang-orang yang MERASAKAN hadirnya Allah (yadzkurunallah) sambil berdiri, duduk, dan berbaring, dan mereka BERPIKIR secara ilmiah (yatafakkaruna) tentang penciptaan langit dan bumi (lantas berkesimpulan): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Jadi, kalau ditanya ketegasannya: beragama dengan hati atau dengan akal? Maka, jawabannya pasti: dengan Akal. Fungsi Akal sudah merangkum hati, sedangkan fungsi hati belum merangkum akal. HATI masih bisa tersesat, sedangkan AKAL malah diwajibkan digunakan dalam beragama karena akan membimbing untuk bertemu Tuhan.

Sehingga, dalam berbagai ayat Allah mengatakan: ’’...tidak bisa mengambil pelajaran dari dalam al Qur’an kecuali orang-orang yang menggunakan akalnya...’’ Sementara, di ayat lainnya, Allah malah banyak menceritakan orang-orang yang hatinya berpenyakit, mengeras, dan tertutup, sehingga menjadi orang yang tersesat...!

QS. Al Baqarah [2]: 10
Dalam HATI mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.

QS. Al Baqarah [2]: 7
Allah telah mengunci-mati HATI dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.

QS. Al Maa-idah [5]: 13
karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan HATI mereka keras membatu...

Dan masih banyak lagi ayat-ayat di dalam al Qur’an yang menjelaskan bahwa fungsi hati (Qalb) tidak selalu baik, karena ia hanya berfungsi sebagai alat resonansi dari Sistem Limbik yang sangat mungkin tidak bekerja seimbang antara Amygdala dan Hipocampusnya. Tetapi, jika keduanya bekerja sinkron, Sistem Limbik akan berfungsi sebagai Akal dan menghasilkan getaran Qalb yang seimbang. Dalam penelitian BrainHeart yang sudah kita bahas sebelumnya, akan menghasilkan gelombang yang sinkron antara Otak & Jantung. Dan menjadi Qalbu yang baik.

QS. Al Baqarah [2]: 269
Allah menganugrahkan Al Hikmah (kefahaman yang mendalam tentang Al Qur'an) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang BERAKAL-lah yang dapat mengambil PELAJARAN (dari firman Allah).

QS. Ali Imran [3]: 7
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu...
Dan TIDAK BISA mengambil pelajaran (darinya) KECUALI orang-orang yang BERAKAL.


Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

(bersambung nggak..?, bersambung nggak..?, Kayaknya, bersambung ya..?)


Jumat, 21 Januari 2011

YANG BELUM BERAKAL, TIDAK PERLU BERAGAMA

Syarat pertama seseorang untuk beragama adalah BERAKAL. Inilah yang dalam ilmu Fiqh disebut sebagai Aqil Baligh alias ’sudah sampai akalnya’. Dengan kata lain, yang akalnya belum sampai nggak menjalankan hukum Fiqh pun menjadi tidak apa-apa.

Siapakah orang yang akalnya belum sampai atau tidak sampai itu? 
Ada dua kelompok, yakni anak-anak yang belum dewasa, dimana perkembangan otaknya ’belum sempurna’. 
Dan yang kedua, adalah orang-orang yang mengalami kerusakan otak, sehingga cara berpikirnya ’tidak genap’. Kerusakan otak itu bisa dikarenakan gila, idiot, pikun, dan sejumlah kerusakan otak di bagian memori atau kepribadian lainnya. Baik karena penuaan, penyakit ataupun kecelakaan.

Anak-anak mengalami perkembangan dan penyempurnaan otak sejak masih di dalam rahim sampai beberapa tahun setelah kelahiran. Seiring perkembangan otak, akalnya pun berkembang. Demikian pula jiwanya. Otak, akal, dan jiwa adalah ’bagian’ diri manusia yang terus berkembang, secara fisis dan psikologis

Pada hari pertama pembentukan janin, seorang manusia sudah bersyahadat tentang keberadaan Allah. Hal itu diceritakan di dalam al Qur’an al Karim. Meskipun ia belum punya otak. Lantas siapakah yang bersyahadat itu? Bukankah jiwa seseorang terkait erat dengan keberadaan otaknya? Dan, sudah bisa dipastikan saat itu, otak janin belum terbentuk. Ketika itu, manusia baru berbentuk satu sel induk yang disebut sebagai stem cell, berasal dari penyatuan sel telur ibu dan sel sperma bapak.

Susunan saraf dan cikal bakal otak, baru terbentuk di sekitar hari ke 18. Awalnya, tubuh manusia hanya berbentuk sebuah sel yang terus menerus membelah. Dari satu sel menjadi dua sel, menjadi empat sel, menjadi 8, 16, 32, 64, dan seterusnya. Dan belasan hari kemudian baru mengarah ke pembentukan otak dan saraf-saraf pendukungnya. Lantas, jiwa yang manakah yang dimintai bersyahadat oleh Allah.

QS. Al A’raaf (7): 172
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari punggung (sulbi) mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (nafs) mereka: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul, kami bersaksi". (Yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lalai terhadap hal ini",

Kecerdasan paling awal pada diri manusia sebenarnya memang bukan berada di otaknya, melainkan di susunan genetikanya. Itulah yang ’bersyahadat’ pertamakali, di awal penciptaan manusia. Kecerdasan genetikalah yang diperintah oleh Allah untuk mengendalikan proses pembelahan cikal bakal manusia. Di dalamnya ada program yang menyebabkan seluruh proses pembentukan badan manusia terkontrol dengan sangat teliti. Membentuk tangan, membentuk kaki, badan, kepala, otak, susunan saraf, organ-organ dalam, tulang, kulit, dan lain sebagainya. Sebuah kecerdasan ’bawah sadar’ yang bekerja mengikuti ’fitrah ketuhanan’, karena sudah diminta bersyahadat oleh Allah untuk bertuhan dan taat kepada perintah-Nya.

Sampai sekarang seluruh sel-sel dalam tubuh kita yang jumlahnya puluhan triliun ini tetap bersyahadat dan patuh kepada perintah Allah. Mereka tetap berfungsi sebagai tubuh dengan segala tugasnya. Dan kemudian membentuk sebuah sistem ’kerajaan’ yang berpusat di otak, menjadi sosok jiwa yang lebih sempurna. Sebagai catatan, setiap 1 kg tubuh mengandung sekitar 1 triliun sel.

Jika dulu, jiwa berada di alam ’bawah sadar’, maka kini ia muncul di ’alam sadar’. Meskipun sebagian besarnya tetap berada di alam ’bawah sadar’. Konon, porsi alam bawah sadar manusia jauh lebih besar dibandingkan kemampuan sadarnya. Sebagian besar ahli jiwa mengatakan, sekitar 90 persen jiwa kita berada di alam bawah sadar. Hanya sekitar 10 persen saja yang berada di alam sadar.

Tetapi, menariknya, tanggungjawab beragama pada diri manusia dikaitkan dengan jiwa yang berada di ’alam sadar’. Bukan yang ’bawah sadar’. Keputusan-keputusan saat kondisi sadarlah yang harus dipertanggung-jawabkan sebagai akhir dari proses beragama. Karena itu, lantas sangat terkait dengan perkembangan akal. Dan itu seiring dengan perkembangan otak manusia.

Kecerdasan yang tadinya bekerja di alam 'bawah sadar’ dalam susunan genetika inti sel, lantas bertumbuh menjadi sebuah kecerdasan ’alam sadar’ yang bersemayam di dalam otak. Ia mendewasa seiring dengan proses penyempurnaan struktur otak yang terus berkembang.

Sejak hari ke 18 itulah struktur otak dan susunan saraf menjadi semakin kompleks. Dan, berkembang dengan kecepatan yang luar biasa menakjubkan. Setiap menit, sel-sel otak janin bertambah sekitar 25.000 sel. Sehingga, sembilan bulan kemudian otak memiliki sekitar 100 miliar sel saraf, dan 200 miliar sel glia sebagai sel-sel penunjang fungsi kerjanya. Organ berbentuk bubur dengan bobot sekitar 1,5 kg itu pun menjadi pusat kecerdasan manusia yang tiada ternilai. Dan menghasilkan peradaban manusia yang kita lihat sepanjang sejarah kemanusiaan.

Susunan saraf otak membentuk sirkuit-sirkuit yang sangat rumit, dengan kecanggihan yang tiada terkira, mengalahkan komputer dengan microchip terhebat mana pun yang ada di dunia. Otak menjadi alat penerjemah dari ’sesuatu’ yang berada di ’alam bawah’ sadar, yang porsinya jauh lebih besar itu, ke alam sadar disekitarnya..!

Secara umum, otak dibagi menjadi 3 wilayah besar. Wilayah pertama adalah batang otak dan otak kecil. Bagian ini berfungsi menghubungkan otak dengan susunan saraf yang menghidupi seluruh tubuh manusia, lewat sumsum tulang belakang. Di bagian inilah fungsi vital kehidupan manusia diatur. Diantaranya adalah denyut jantung, gerakan paru-paru, tekanan darah, dan mengatur keseimbangan gerakan. Daerah ini menjadi semacam saklar kehidupan yang mengatur on-off otak, alias mati tidaknya seorang manusia.

Wilayah kedua, adalah Otak Tengah dengan Sistem Limbiknya. Wilayah ini mengatur fungsi luhur manusia yang meliputi fungsi rasional dan emosional. Hasilnya adalah getaran yang meresonansi jantung, dan dikenal sebagai ’perasaan’.

Sedangkan wilayah ketiga, adalah permukaan kulit otak alias cortex cerebri. Inilah wilayah otak yang khas dimiliki oleh manusia, yang dengannya peradaban manusia terbentuk. Permukaan otak ini terbagi menjadi dua belahan, kanan dan kiri. Yang sebelah kanan bekerja secara intuitif dan artistik, tidak runtut. Sedangkan yang sebelah kiri bekerja dengan mekanisme matematis yang lebih runtut mengandalkan rasio, logika dan analisa. Namun, kedua belahan otak itu adalah bagian dari otak yang ’berpikir’. Bukan bagian yang emosional. Memori emosional tetap tersimpan di dalam Amygdala, dalam Sistem Limbik.

Proses penyempurnaan otak janin bukan hanya terjadi saat masih di dalam rahim, melainkan sampai masa kanak-kanak, beberapa tahun setelah kelahiran. Kematangan emosional dan rasionalitas misalnya, berjalan tidak bersamaan. Sampai masa 3 tahun pertama, yang berkembang pada anak-anak adalah Amygdalanya.

Karena itu, proses pembelajaran pada anak di usia tersebut sebaiknya menggunakan pendekatan emosional, sesuai dengan bagian otak yang sedang berkembang. Barulah diatas usia 3 tahun, anak-anak mengalami perkembangan otak rasional secara lebih baik, sehingga pembelajaran bisa disesuaikan secara lebih masuk akal. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan masa perkembangan bagian-bagian otaknya akan menyisakan masalah di masa dewasanya...! (bersambung lagi...)
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 20 Januari 2011 pukul 14:04


Kamis, 20 Januari 2011

PERBEDAAN OTAK MANUSIA & BINATANG

Dalam bahasa Arab ada ungkapan yang sangat terkenal, yakni Al insaanu hayawaan naatiq, yang bermakna: ’manusia adalah hewan yang berakal’. Dengan kata lain, jika manusia tidak menggunakan akalnya akan menjadi seperti binatang. Itu pula yang disebut al Qur’an dalam QS. 7: 179, yakni orang-orang yang tidak menggunakan Hati (Qalb), penglihatan (bashar), dan pendengaran (sama’) untuk memahami dan mengerti suatu masalah yang dihadapinya.

Maka dalam konteks pembahasan otak, kita lantas bisa mencari keterkaitan antara bagian-bagian otak dengan fungsi akal pada manusia. Binatang punya otak, manusia juga punya otak. Tetapi, kenapa binatang yang punya otak itu dikatakan tidak punya akal? Kalau begitu, tidak selalu makhluk yang punya otak disebut ’berakal’. Jadi rupanya, ’fungsi akal’ itu terkait erat dengan keberadaan ’sesuatu’ di otak manusia yang tidak terdapat pada binatang. Apakah bagian di otak manusia yang tidak terdapat pada otak binatang?

Secara sederhana, perbedaan yang mendasar antara otak binatang dan manusia terdapat pada lapisan terluar otaknya. Inilah yang disebut sebagai Cortex Cerebri, atau sering disebut Cortex saja. Disinilah pusat aktifitas ’pikiran’ manusia berada. Dan, ternyata seluruh peradaban manusia dihasilkan oleh aktifitas kulit otak ini. Itu pula, kenapa dunia binatang tidak memiliki peradaban seperti manusia - tidak punya sains, teknologi, seni budaya, bahkan agama - karena mereka tidak mempunyai cortex tersebut di otaknya.

Lebih jauh, adalah menarik mendapati kenyataan bahwa pusat penglihatan dan pendengaran manusia ternyata juga terdapat di cortex-nya. Pusat penglihatan berada di kulit otak bagian belakang, sedangkan pusat pendengaran berada di bagian samping. Berarti, proses 'melihat' dan 'mendengar' itu sebenarnya identik dengan proses berpikir. Orang yang melamun, meskipun bisa melihat dengan mata dan mendengar dengan telinga, dia tidak bisa ’memahami’ apa yang sedang dilihat dan didengarnya. Pada saat demikian, dia tidak sedang mengaktifkan daya pikir cortexnya secara utuh, sehingga bisa disebut setara dengan ’binatang’. Itulah orang yang disebut ’lalai’ oleh al Qur’an.

Penyetaraan manusia dengan binatang bukan hanya dikaitkan dengan fungsi ’melihat’ dan ’mendengar’ yang tanpa berpikir, melainkan juga terkait dengan ’merasakan’ getaran Qalb yang melahirkan ’kepahaman’. Seperti sudah kita bicarakan, getaran Qalb yang ada di jantung merupakan resonansi getaran yang berasal dari Sistem Limbik di otak tengah. Dengan kata lain, Qalb merupakan cerminan apa yang terjadi di Sistem Limbik. Masalahnya, getaran apakah yang paling dominan sedang mengisi Sistem Limbik, maka itulah yang diresonansikan ke jantung.

Apakah Sistem Limbik hanya berisi getaran emosional yang bersumber dari Amygdala? Ternyata tidak, karena Sistem Limbik juga merujuk ke getaran rasional yang bersumber dari Hipocampus. Getaran yang muncul di otak tengah ini sebenarnya sudah merupakan 'perpaduan' antara emosi dan rasio. Itulah yang dikenal sebagai ’perasaan’ yang kemudian menggetarkan jantung.

Pada kenyataannya, Hipocampus merupakan pusat memori yang menyimpan ’kesimpulan’ proses-proses rasional yang terjadi di Cortex. Secara fisiologis, Hipocampus terbentuk dari perluasan kulit otak yang melipat ke bagian dalam otak tengah. Bentuknya seperti huruf C. Dengan demikian, meskipun hipocampus berada di bagian dalam otak, sebenarnya ia adalah bagian dari cortex yang bekerja secara rasional, logis, dan analitis pula.

Maka, proses berpikir lewat penglihatan dan pendengaran yang terjadi di cortex pun bakal masuk dan tersimpan di Hipocampus. Dan setelah dikoordinasikan dengan fungsi amygdala, beserta komponen Sistem Limbik lainnya, ia akan menjadi getaran yang diteruskan ke jantung sebagai desiran Qalb. Saat itulah kita ’merasakan’ sensasi perasaan.

Sehingga, sungguh menarik memahami mekanisme otak terkait dengan yang disebut AKAL. Ternyata akal adalah PERPADUAN antara fungsi utama otak manusia yang ada di kulit luar alias Cortex, dengan emosi yang ada di dalam Amygdala, dan kemudian menimbulkan getaran perasaan yang terasa di jantung (Qalb). Dengan kata lain, di Cortex-lah terjadi proses berpikir, di Sistem Limbik terjadi percampuran antara pikiran rasional dan perasaan emosional, dan di jantunglah indikasi maksimum-tidaknya proses berakal tersebut.

Yang demikian ini diceritakan di dalam al Qur’an, bahwa orang-orang yang berakal adalah orang-orang yang memadukan fungsi antara pikiran (cortex) dan perasaan (sistem limbik) secara maksimum, sehingga ketika memperoleh keyakinan (kesimpulan tertinggi berupa keimanan) bakal menggetarkan jantung-hati (Qalb), yang berada di dalam dada.

QS. Ali Imran (3): 191
(Orang yang berakal adalah) orang-orang yang mengingat (yadzkuruna) Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka berpikir (yatafakkaruna) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

QS. Al Anfaal (8): 2
Sesungguhnya orang-orang yang beriman (yakin seyakin-yakinnya) itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah bergetarlah hati (Qalb) mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,

Maka apakah kesimpulan yang bisa diambil terkait dengan Akal dan Otak?
Ternyata peran akal sangat dipengaruhi oleh keberadaan ’kulit otak’ yang disebut sebagai cortex. Otak binatang tidak memiliki bagian ini, sehingga dia tidak mempunyai akal. Sedangkan ’perasaan’, muncul di otak tengah yang dikenal sebagai Sistem Limbik. Sistem ini tidak hanya terdiri dari emosi yang bersumber pada Amygdala belaka, melainkan juga dipengaruhi oleh pikiran-pikiran rasional yang berasal dari Hipocampus.

Karena itu, kita lantas mengenal adanya 'perasaan yang rasional' dan 'perasaan yang emosional'. Misalnya, ada perasaan sedih yang tidak jelas 'jluntrungannya', tetapi ada juga perasaan sedih yang jelas penyebabnya. Ada perasaan gembira yang tidak jelas asal-usulnya, tapi ada pula yang jelas penyebabnya. Ada perasaan takut dan khawatir yang muncul tiba-tiba, tapi ada yang didahului suatu peristiwa sebelumnya. Dan seterusnya. Namun, sangat jelas bahwa semua perasaan itu tetap saja muncul menjadi getaran Qalb di dalam dada kita...! (Bersambung)

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 19 Januari 2011 pukul 16:28


Rabu, 19 Januari 2011

'PERTARUNGAN’ ANTARA EMOSI vs RASIO

Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, fungsi ’Hati Dalam’ alias Fuad terjadi di otak tengah, di bagian yang dikenal sebagai Sistem Limbik. Disinilah pertarungan antara kubu emosional dan kubu rasional terjadi. Yang emosional diwakili oleh Amygdala, sedangkan yang rasional diwakili oleh Hipocampus.

AMYGDALA ternyata adalah peninggalan otak binatang. Ini merupakan pusat emosi dan insting yang masih tergolong purba. Kemarahan, kebencian, dendam, iri, dengki, kesombongan, keserakahan, dan semacamnya bersemayam disini. Karena itu, Sistem Limbik sebagai pusat fungsi luhur manusia tidak hanya terdiri dari Amygdala sebagai pusat memori emosional melainkan juga ada Hipocampus sebagai pusat memori rasional.

Di dalam HIPOCAMPUS itulah segala memori rasional yang berasal dari proses pembelajaran ilmiah tersimpan. Misalnya memori keadilan, kejujuran, kehati-hatian, kewaspadaan, kesabaran, keikhlasan, dan berbagai pertimbangan yang bersandar pada logika, rasionalitas, dan analisa.

Untuk bisa berlaku adil seseorang harus menggunakan logika, analisa dan rasionalitas. Adil bukanlah produk emosional belaka. Melainkan produk dari sebuah proses ilmiah. Sehingga, adalah sangat sulit bagi seseorang yang hanya menggunakan perasaannya untuk berlaku adil. Pasti dia akan berat sebelah kepada orang yang ’dirasa’ dekat dengannya, atau ’disenanginya’ atau ’dicintainya’.

Kejujuran juga bukan produk perasaan semata. Karena itu kejujuran tersimpan di dalam Hipocampus, bukan di Amygdala. Untuk bisa jujur seseorang harus melakukan perbandingan-perbandingan dengan sesuatu yang disebut ’tidak jujur’. Dan karena dia tahu bahwa ketidakjujuran adalah tidak baik, maka ia pun memilih jujur. Ini adalah proses rasionalitas, dan menggunakan analisa yang logis.

Demikian pula dengan kehati-hatian, kewaspadaan, kesabaran, dan keikhlasan. Semua itu adalah produk dari proses rasional, logika dan analisa. Anda tidak akan bisa bersikap hati-hati, sabar, waspada, dan ikhlas, dengan semata-mata menggunakan emosi. Hasilnya bukan hati-hati tetapi malah ceroboh, tergesa-gesa, dan narsis alias riya’.

Nah, keseimbangan antara memori rasional di Hipocampus dan memori emosional di Amygdala itulah yang membentuk Sistem Limbik. Sehingga memunculkan sifat-sifat dasar yang merupakan perpaduan antara emosi dan pikiran.

Namun, Hippocampus dan Amygdala itu memang hanya berfungsi sebagai pusat memori belaka. Yakni tempat penyimpanan karakter. Ada yang bersifat bawaan, ada pula yang bersifat bentukan dari pengalaman dan pembelajaran. Emosi bisa dibentuk, pikiran juga bisa dibentuk. Keduanya menghasilkan memori yang berbeda di kedua komponen Sistem Limbik itu.

Misalnya, seseorang bisa dilatih untuk menjadi pemarah, atau menjadi penyabar. Dia juga bisa dilatih serakah ataupun dilatih dermawan. Bisa juga dilatih curang, atau dilatih adil, dan seterusnya. Hasil atas latihan itu akan tersimpan di kedua pusat memori itu dan membentuk sifat. Yang emosional berada di Amygdala, sedangkan yang rasional terekam di Hipocampus.

Sehingga ketika proses limbik bekerja, acuan untuk memutuskan suatu sikap adalah dirujukkan ke kedua pusat memori tersebut. Jika emosional merujuknya ke Amygdala, jika rasioanal merujuk ke Hipocampus. Ada orang-orang yang Amygdalanya bekerja secara lebih dominan, maka dia akan menjadi orang yang bertipikal emosional. Sedikit-sedikit marah, suka berkelahi, temperamental, dan semacamnya.

Sebaliknya, ada orang yang untuk marah dia berpikir dulu, untuk berkelahi menimbang-nimbang dulu, untuk menumpahkan emosi mencari waktu dan cara yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Orang yang demikian ini memori Hipocampusnya lebih dominan dibandingkan Amygdalanya. Nah, keduanya bisa dilatih dan dibentuk dengan rekaman-rekaman kejadian sepanjang hidupnya.

Lebih dari itu, Sistem Limbik juga melibatkan komponen lain yang saya sebut di note sebelumnya, yakni: Thalamus, Gyrus Cingulata, Nucleus Basal, dan Prefrontal Cortex. Yang saya sebut terakhir ini memainkan peranan penting dalam proses munculnya kreatifitas peradaban manusia. Cortex adalah lapisan terluar dari otak manusia yang berwarna abu-abu, dimana seluruh karya ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, hikmah, dan peradaban secara menyeluruh dihasilkan.

Semakin luas permukaan otak seorang manusia, semakin pintarlah dia. Disinilah perbedaan otak manusia dan binatang, sehingga binatang tidak bisa menghasilkan peradaban. Sama-sama memiliki sistem limbik, tetapi otak binatang lebih dikuasai oleh Amygdalanya. Hipocampusnya kurang berkembang, karena memori rasionalnya tidak mendapat masukan pengalaman peradaban dari bagiancortex.

Inilah bagian sistem Limbik yang menyebabkan manusia memiliki fungsi luhur sebagai manusia. Yang tanpa itu, manusia tidak memiliki perbedaan dengan binatang. Maka, tidak heran jika Allah mengatakan bahwa manusia akan menjadi seperti binatang jika tidak menggunakan fungsi luhurnya itu. Mereka menggunakan Amygdalanya lebih dominan dibandingkan Hipocampusnya.

QS. Al A’raaf (7): 179
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (Qalb), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (yafqahuna) dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat (yubshiruna), dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar (yasma’una). Mereka itu bagaikan BINATANG ternak, bahkan mereka lebih sesat (rendah) lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (tidak waspada).

Memahami (yafqahuna) dengan hati itu adalah sebuah proses untuk merujuk ke Hipocampus. Karena disinilah proses rasional, logis, dan analitis terjadi. Sedangkan Amygdala sekedar perasaan emosional belaka, tanpa ada proses kepahaman. Hasil olahan Sistem Limbik ini lantas dikirim ke jantung menjadi sebuah desir frekuensi yang khas. Frekuensi sabar berbeda dengan frekuensi marah, desir keikhlasan berbeda dengan desir riya’, getaran rendah hati berbeda dengan getaran kesombongan, dan lain sebagainya.

Karena itu, meskipun proses kecerdasan hati terjadi di Fuad alias Hati Dalam – di Otak, di kepala – tapi perasaan akan kepahaman tetap berdesir di jantung yang berada di dalam dada, alias Qalbu...! Masih bersambung... :)
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 18 Januari 2011 pukul 14:47


Selasa, 18 Januari 2011

’PERASAAN’ PUN KINI BISA DIUKUR

Perasaan adalah hal yang abstrak, agaknya benar. Tetapi, apakah karenanya lantas tidak bisa diukur? Eh, kayaknya nanti dulu. Karena, upaya untuk mengukur perasaan itu kini semakin menunjukkan hasil. Meskipun upaya itu masih terus berproses menuju kualitas yang lebih baik.

Bagaimana cara mengukur perasaan? Tentu saja tidak bisa langsung. Melainkan harus diterjemahkan dulu ke bahasa alat. Mirip dengan mengukur gelombang radio atau televisi misalnya. Kita tidak pernah bisa ’melihat’ gelombang radio dan televisi itu dalam bentuk yang sesungguhnya dengan mata dan telinga. Tetapi, kita lantas bisa melihat dan mendengarnya ketika sudah dilewatkan alat terlebih dahulu.

Tenyata, penelitian mutakhir semakin mengarah kepada kemampuan untuk mengukur perasaan itu. Asal muasalnya, disebabkan oleh munculnya zat-zat biokimiawi yang diproduksi oleh otak seiring dengan berubahnya perasaan seseorang. Namanya neurotransmitter. Ada sangat banyak jenis neurotransmitter, yang ternyata sangat khas terkait dengan jenis-jenis perasaan yang terjadi. Neurotransmitter untuk kemarahan berbeda dengan kesedihan, berbeda dengan kegembiraan, berbeda dengan kemalasan, berbeda dengan kecemasan dan sebagainya.

Nah dengan memanfaatkan zat-zat yang diproduksi oleh sel-sel otak itu, kini ’perasaan’ semakin bisa didefinisikan, dan bahkan kemudian diukur kualitas maupun besarnya. Perasaan gembira misalnya, ternyata adalah identik dengan diproduksinya neurotransmitter bernama enkefalin oleh sel-sel otak. Sedangkan rasa cemas, identik dengan keluarnya adrenalin yang membuat jantung berdebar-debar dan berkeringat dingin. Dan, perasaan malas disebabkan oleh munculnya neurotransmitter GABA danSerotonin.

Proses ini bisa berlaku sebaliknya. Yakni, jika seseorang diinjeksi dengan zat-zat tersebut, yang tadinya tidak gembira bisa menjadi gembira. Yang tadinya tidak cemas bisa menjadi cemas. Yang tadinya tidak malas bisa menjadi malas. Yang tadinya penakut, bisa menjadi pemberani. Yang tadinya sedih bisa menjadi tertawa terus menerus. Dan seterusnya. Wah, ternyata ’perasaan’ mulai bisa dikuantifikasi dengan peralatan...

Sebagian zat itu terkandung di dalam Narkoba. Karena itu, para pemakai narkoba bisa menjadi seperti orang gila dan berperilaku ’aneh’ dikarenakan zat-zat yang terkandung di dalamnya mempengaruhi kerja otaknya. Ada yang terus menerus tertawa, padahal tidak ada yang lucu dari apa yang dilihatnya. Ada yang menjadi tidak punya rasa takut. Ada yang menjadi ’tenang’ berlebihan. Ada pula yang menjadi beringas. Dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, ternyata ’perasaan’ bisa dikonversi menjadi zat-zat neurotransmitter. Dan sebaliknya, zat-zat tersebut bisa dikonversi kembali menjadi perasaan. Dengan demikian, ini bisa dijadikan sebagai media untuk mengukur perasaan. Bukan hanya pada kualitasnya, melainkan juga pada ’dosis’nya secara kuantitatif.

Pengukuran yang lebih maju adalah yang dilakukan secara elektromagnetik. Saya termasuk yang melakukan pengukuran dengan alat semacam itu, yakni menggunakan kamera aura. Dengan mengobservasi getaran tubuh seseorang, ternyata kita bisa mengukur ’suasana hati’ alias perasaannya. Yaitu, setelah diterjemahkan terlebih dahulu menjadi warna-warna cahaya. Tinggi rendahnya frekuensi pada diri seseorang ternyata menggambarkan seberapa besar tingkat emosinya.

Jika emosinya sedang tinggi, maka jantung sebagai ’Hati Luar’ akan bergejolak, berdegup-degup tidak beraturan. Getaran jantung itu merembet ke seluruh tubuh, bisa sampai menyebabkan tangan seseorang gemetaran, bibirnya juga bergetar, dan seluruh tubuhnya menggeletar. Jika dalam kondisi demikian, badan orang itu dihubungkan ke sensor kamera aura, maka bisa dipastikan warna auranya akan merah.

Derajat warna merah itu bermacam-macam, mulai dari yang gelap sampai yang terang. Dan bisa menunjukkan seberapa besar tingkat kemarahannya. Bahkan alat di klinik aura kami, di Surabaya, bisa merekam secara video dalam kurun waktu tertentu. Sehingga akan terlihat perubahan warnanya secara realtime. Pada saat orang tersebut bisa mengendalikan emosinya, warna merahnya memudar, kemudian berganti menjadi warna-warna yang lebih sejuk. Misalnya, hijau, biru, nila, ungu, sampai putih.

Getaran jantung, getaran perasaan di Otak, dan warna-warna aura yang dihasilkan selalu sinkron secara konsisten. Ini menunjukkan, bahwa perasaan di otak yang sangat abstrak itu setelah ditransfer ke jantung menjadi desiran elektromagnetik yang bisa diukur kualitas dan besarnya. Dengan memahami ilmu warna aura, kita lantas bisa menerjemahkan makna warna itu secara psikologis kembali, bahwa seseorang itu sedang berada dalam pengaruh perasaan tertentu.

Sebagai perbandingan, Anda bisa melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh pakar-pakar Brain-Heart dari Institute of Heart Math. Bahwa gelombang jantung dan otak itu ternyata sangat riil hubungannya sehingga bisa diukur langsung dengan menggunakan Electro Cardio Graph (ECG) dan Electro Encephalog Graph (EEG).

Pancaran gelombang perasaan yang berasal dari otak yang masih lemah, akan menjadi berlipat kali lebih kuat ketika getarannya sudah diresonansikan ke jantung. Ini karena kuat medan jantung berlipat-lipat kali lebih besar dibandingkan otak. Sehingga seperti masuk ke dalam amplifier saja layaknya. Dan kemudian bisa menebar keluar dirinya.

Dalam penelitian itu bisa digambarkan Kuat Medan Elektromagnetik yang muncul dari getaran jantung seseorang. Radiasinya bisa diukur sampai jarak 1 meter lebih dari tubuhnya. Sehingga, bisa mengimbas kepada orang-orang yang berada di dekatnya. Inilah penjelasannya, kenapa berdekatan dengan orang yang emosional, Anda akan ikut-ikutan emosional. Dan berdekatan dengan orang-orang yang sabar, Anda akan terimbas menjadi  sabar pula. Ternyata getaran jantung (Qalb) Anda teresonansi oleh getaran jantung (Qalb) seseorang yang ada di dekat Anda itu.

Bukan hanya kuat medannya, ternyata pola gelombangnya pun bisa menjadi sinkron ketika perasaan kita dengan seseorang itu sepaham dan saling mengerti. Disana juga digambarkan gelombang otak dan gelombang jantung orang yang bersalaman. Ketika belum bersalaman, gelombang otak si A berbeda dengan gelombang jantung si B (tentu saja). Tetapi, ketika bersalaman, gelombang otak si A sinkron dengan gelombang jantung si B, dalam bentuk gelombang yang harmonis.

Maka, apa kesimpulannya…?
Ternyata, manusia memancar-mancarkan gelombang elektromagnetik yang berporos pada mekanisme Otak-Jantung yang kita kenal sebagai bahasa Qalbu. Pancaran itu bisa bersifat internal ~ dalam diri sendiri antara dada & kepala ~ maupun eksternal yang mengimbas orang lain di sekitarnya. Perasaan lembut akan menularkan kelembutan, perasaan kasar akan menularkan suasana emosional yang membuat orang di sekitarnya tidak betah, dan kemudian pergi menjauhinya..!

QS. Ali Imran (3): 159
Maka disebabkan perasaan penuh kasih (rahmat) dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 17 Januari 2011 pukul 15:21


Minggu, 16 Januari 2011

SISTEM LIMBIK & ’HATI DALAM’

Setelah beberapa tulisan terdahulu membahas ’Hati Luar’ yang bersemayam di jantung, di dalam dada, maka kini kita mulai membahas ’Hati Dalam’. Yakni, hati yang bersemayam di OTAK. Jika ’Hati Luar’ disebut al Qur’an dengan istilah Qalb, maka ’Hati Dalam’ disebut dengan Fuad.

QS. As Sajdah (32): 9
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya sebagian Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan HATI (Fuad); sedikit sekali kamu bersyukur.

Perhatikanlah ayat di atas. Fuad (Af-idah–jamak) disetarakan dengan ’pendengaran’ dan ’penglihatan’. Dan munculnya adalah seiring dengan peniupan Ruh. Karena memang, ’pendengaran’ dan ’penglihatan’ itu adalah sifat-sifat Allah yang ditularkan kepada manusia melalui Ruh. Bukan mata dan telinga sebagai ’benda’, melainkan pendengaran dan penglihatan sebagai ’fungsi’.

Ini berbeda dengan Qalb yang disetarakan dengan ’telinga’ dan ’mata’, QS. 7:179. Pendengaran dan penglihatan terjadi di OTAK, sebagaimana telah kita bahas di Notes sebelumnya. Maka, fungsi pemahaman oleh ’Hati Dalam’ bukan berada di jantung melainkan berada di otak. Antara Qalb dan Fuad tidak bisa dipisahkan, karena sesungguhnya Qalb hanyalah ’kepanjangan tangan’ bagi Fuad.

Karena penglihatan tidak terjadi di mata melainkan di Otak, maka pusat ’pemahaman’ akan perasaan yang berdesir di jantung pun sebenarnya berada di otak. Yakni di sebuah daerah ’otak tengah’ yang dikenal sebagai Sistem Limbik. Dalam ilmu jiwa, sistem ini dikenal sebagai pusat Fungsi Luhur manusia. Disinilah ’pertarungan’ hal-hal yang rasional dan emosional terjadi.

Sistem Limbik tersusun dari beberapa bagian otak yang saling mempengaruhi. Diantaranya adalah bagian yang disebut Hipocampus, yang berfungsi sebagai pusat memori rasional. Yang kedua, adalah Amygdala yang menjadi pusat memori emosional alias perasaan universal manusia. Selebihnya, ada bagian lain yang bernama Thalamus, Gyrus Cingulata, Nucleus Basal, dan Prefrontal Cortex.

Empat bagian yang terakhir ini tidak kita bahas disini, karena akan menjadi sangat teknis dan melebar. Tetapi, jika Anda ingin memperoleh informasi lebih detil, silakan membaca buku serial ke-4 yang berjudul ’MENYELAM KE SAMUDERA JIWA & RUH’. Dalam artikel yang sangat pendek ini, saya cuma ingin menunjukkan kepada Anda, bahwa ’Hati Dalam’ itu berpusat di Sistem Limbik, yang melibatkan fungsi ’perasaan’ emosional sekaligus ’pikiran’ rasional.

Sesungguhnya perasaan sedih, gembira, marah, benci, malas, sombong, rendah hati, sabar, dan lain sebagainya itu sudah tersimpan di dalam Amygdala sebagai sebuah memori universal. Karena itu, umat manusia di seluruh dunia memiliki rasa yang sama terhadap sifat-sifat tersebut.

Anda tidak perlu mengajari seorang anak tentang rasa gembira, misalnya, karena di dalam memori Amygdalanya sudah ada. Bahkan perasaan gembira bagi orang Indonesia adalah sama dengan orang Eropa, Amerika, Arab, Yahudi, China, dan sebagainya. Yang berbeda hanya pemicunya saja. Misalnya, lucunya lawakan Kartolo Cs dari Surabaya, belum tentu dianggap lucu oleh orang Eropa. Tetapi, perasaan ’lucu’ itu sendiri sama, yakni sesuatu yang mendorong seseorang ingin tertawa. Perasaan universal ini adalah program bawaan yang sudah ada di otak mereka. Pusatnya di Amygdala.

Maka, kita tidak perlu mengajari bangsa mana pun untuk tertawa ketika gembira dan menangis ketika bersedih, mereka pasti sudah bisa dengan sendirinya, karena sudah punya rasa itu di dalam otaknya. Tinggal kadarnya saja yang berbeda-beda. Aktif-tidaknya Amygdala hanya tinggal menunggu sinyal dari luar otak.

Sinyal itu berasal dari panca indera dan indera ke enamnya. Semuanya berupa sinyal-sinyal elektromagnetik, yang masuk ke tempurung kepala. Ada yang lewat saraf ada yang memapar secara radiasi. Tetapi, ujung-ujungnya akan dirujukkan ke Amygdala untuk memunculkan rasa, dan setelah diolah di Sistem Limbik, lantas di-feed-back ke seluruh badan lewat mekanisme sarafi, hormonal, dan radiatif. ’Rasa’ itulah yang lantas muncul di jantung sebagai ’desiran’ yang khas...! (Bersambung)

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 16 Januari 2011 pukul 12:31


KETIKA JANTUNG DITRANSPLANTASIKAN

Suatu ketika Pak Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos yang kini Dirut PLN, melakukan transplantasi liver. Dia lantas menulis sebuah buku berjudul ’Ganti Hati’. Di dalam buku itu dia sempat bertanya-tanya: ’’Apakah sifat-sifat saya akan terpengaruh oleh sifat pemilik liver sebelumnya?’’ Ternyata, menurutnya tidak.

Tetapi, secara fisikal dia mengakui ada pengaruh di dalam tubuhnya. Diantaranya, rambutnya yang dulu mulai memutih, kini menjadi hitam kembali. Kenapa bisa demikian? Karena, pendonor liver yang dicangkokkan kepadanya itu adalah anak muda yang masih berusia 20-an tahun. Sedangkan Pak Dahlan sudah hampir 60 tahun...!

Tentu saja, Pak Dahlan tidak merasakan pengaruh pada perasaannya, karena liver memang bukan organ tubuh yang terkait dengan perasaan. Apalagi sifat. Organ liver cuma ibarat ’dapur umum’ saja dalam tubuh seorang manusia. Ia organ yang memiliki peran sentral dalam proses pencernaan makanan. Karena itu, pengaruhnya bukan pada psikologis, melainkan fisiologis. Itu sudah kita simpulkan di tulisan sebelumnya bahwa HATI (Qalb) bukanlah liver, melainkan jantung.

Lantas, bagaimana jika jantung yang ditransplantasi? Apakah akan terjadi perubahan sifat ataukah sekedar perubahan perasaan? Atau, sekedar dorongan-dorongan psikologis tertentu yang menyertainya? Dan bagaimana pula dengan orang yang mengalami sakit jantung, apakah akan terjadi ’penyakit hati’ secara psikologis?

Kebanyakan penyakit jantung bukan terjadi pada organ psikologisnya, melainkan pada organ mekaniknya. Misalnya, kerusakan klep alias katup jantung. Atau, penyempitan dan  buntunya pembuluh darah. Atau, pembengkakan organ. Atau, ada perubahan tekanan darah. Jadi, bukan pada pusat getaran elektromagnetiknya.

Kebanyakan hanya berkisar pada jantung sebagai alat pompa darah. Sehingga perngaruhnya juga sangat mekanistik, tidak langsung pada perasaan si penderita. Kecuali, berupa rasa khawatir akan penyakitnya, sehingga menyebabkan tekanan darahnya meningkat.

Tentu sangat berbeda antara getaran mekanik dan getaran elektromagnetik. Getaran mekanik bisa dilihat mata karena bendanya bergerak-gerak. Tetapi, getaran elektromagnetik tidak kelihatan. Sumber getarannya berada pada tataran kulit atom. Yakni, berupa aliran dan getaran elektron. Sehingga karenanya muncul tegangan listrik yang tidak kelihatan, dan medan magnet yang juga tidak kelihatan. Gelombang elektromagnetik memang abstrak. Tetapi bisa dilacak posisi keberadaannya, sumbernya, dan efek maupun mekanisme kerjanya.

Ini mirip dengan sistem kerja hand phone, misalnya. Apakah kita bisa melihat sinyal gelombang elektromagnetiknya secara kasat mata? Tentu saja tidak bisa. Tetapi kita bisa mengukurnya dengan alat. Mengetahui besarannya, polanya, kualitasnya, informasi yang terkandung di dalamnya, bahkan lantas bisa memanfaatkan ataupun memanipulasinya. Jadi, kalau ditanya apakah ada gunanya memahami hal yang abstrak begini?Jawabnya: ohh, banyak sekali..! Justru karena para ahli memahami hal yang abstrak inilah, maka kita sekarang bisa memperoleh manfaat yang sangat besar pada handphone. Atau pun jaringan-jaringan komunikasi elektromagnetik lainnya, seperti internet ini.

Kasus yang lebih menarik adalah ketika jantung ditransplantasikan. Bukan yang hanya dicangkok sebagian seperti ganti katup jantung, melainkan yang seluruhnya. Ternyata, efeknya bisa sampai kepada perasaan si penderita. Saya sudah menulis ini panjang lebar di buku ’Heboh Spare-part Manusia’, tentang terjadinya anomali perasaan pada orang-orang yang jantungnya diganti. Baik yang diganti dengan jantung buatan, maupun yang diganti dengan jantung orang lain.

Pada pasien yang jantungnya diganti dengan mesin, ternyata mereka mengalami ’perasaan hampa’ di dalam jiwanya. Memang bukan sama sekali tidak berperasaan, atau terjadi perubahan sifat. Karena sebagaimana telah kita bahas di Note sebelumnya, pusat rasa itu sebenarnya memang berada di otak. Cuma, otak tidak bisa merasakannya. Baru bisa dirasakan setelah ditransfer ke jantung sebagai getaran. Sehingga muncul desiran di dalam dada.

Nah, pada orang yang jantungnya telah diganti dengan mesin, desiran perasaan itu tidak terjadi. Sehingga, tidak terasa adanya perbedaan antara sedih, gembira, marah, sabar, pada organ jantungnya. Karena, jantung buatan itu memang hanya didesain sebagai ’alat pompa’ darah belaka. Termasuk yang sudah diberi sensor elektronik terhadap aktifitas tubuh pun, efeknya hanya terbatas pada perubahan daya pompanya saja.

Tetapi, kasus yang terjadi pada orang yang menjalani transplantasi jantung dari manusia pendonor sangatlah menarik. Suatu ketika saya diundang berceramah di Singapura. Disela-sela acara, saya sempat berdiskusi dengan seorang kawan saya yang sedang kuliah S-3 di bidang Bioteknologi disana. Dia mengungkapkan kisah menarik yang terjadi pada kawannya setelah mengalami transplantasi jantung. Kawannya itu, tanpa sebab, sering merasakan dorongan untuk melakukan bunuh diri. Padahal, dia tidak merasa memiliki masalah apa pun yang menyebabkan ia harus bunuh diri.

Setelah beberapa kali ia curhat kepada kawan saya, maka kawan saya yang memang sedang mendalami Bioteknologi menyarankan agar sang kawan menelusuri asal-muasal jantung yang didonorkan kepadanya. Rupanya kawan saya curiga, jangan-jangan ada kaitannya dengan transplantasi jantung yang dijalaninya. Karena, dorongan itu memang sering muncul setelah menjalani transplantasi.

Sekian lama kemudian, sang kawan kembali menemui kawan saya sambil menceritakan hasil penelusurannya. Ternyata dugaan kawan saya benar. Bahwa dorongan bunuh diri yang muncul dalam perasaannya itu disebabkan oleh jantung yang dicangkokkan ke dalam dadanya. Kenapa bisa demikian? Si pasien itu memperoleh informasi yang benar-benar mengejutkannya, bahwa ternyata jantung yang didonorkan kepadanya itu berasal dari orang yang mati bunuh diri...!

Rupanya sel-sel jantungnya sudah terbiasa dengan getaran frekuensi bunuh diri dari pemilik sebelumnya. Karena, paparan yang terus menerus memang bisa mengaktifkan gen-gen yang tersimpan di dalam inti sel, menjadi semacam memori selular. Dan ketika jantung itu ditransplantasikan, ia masih membawa ’ingatan’ bunuh diri, yang kemudian sering muncul mengimbas ke pusat penginderaan di Otaknya.

Untunglah pikiran sadar dan rasional orang tersebut lebih kuat dari dorongan bunuh dirinya, sehingga ia tidak menurutinya. Cuma ia jadi merasa aneh sendiri, kenapa ada perasaan demikian yang muncul tiba-tiba tanpa ada alasan yang mendahuluinya...!? (Bersambung).

 Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 15 Januari 2011 pukul 13:16