Selasa, 15 November 2011

WAJIBKAH BERJILBAB? OK

Oleh Syekh Subakir pada 15 November 2011 pukul 2:58


Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dirahmati oleh Allah..

Dalam dunia Islam, kewajiban mengenakan jilbab atau hijab adalah salah satu isu yang paling hangat dan seringkali dipertanyakan serta didiskusikan.

Jilbab sendiri sering menjadi tolak ukur kesalehan seorang muslimah, sehingga berdampak kepada pelabelan bahwa seorang muslimah yang tidak berjilbab berarti tidak Islami, dan harus bergelimang dosa setiap hari, bahkan ada yang mengancam dengan api neraka.

Menariknya, meskipun sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa berjilbab bagi wanita itu hukumnya wajib, namun pada kenyataannya lebih banyak muslimah yang tidak berjilbab daripada yang berjilbab.

Nah, bagaimana sebenarnya? Wajibkah berjilbab? Atau tidak?

Yang anda mungkin belum mengetahui, adalah ternyata begitu banyak ulama yang berpendapat bahwa jilbab adalah masalah tradisi, dan bukanlah kewajiban seorang muslimah. Namun biasanya ulama-ulama tersebut sangat berhati-hati dalam menyampaikan gagasan ini, karena sangat berisiko mengundang kecaman dan juga rentan mendapat label sesat, kafir, ataupun liberal.

Misanya, Quraish Shihab (Indonesia) dan Fedwa El Guindi (Mesir) dalam bukunya yang sama-sama berjudul “Jilbab” berusaha secara moderat memaparkan berbagai pandangan ulama masa lalu hingga modern dengan berbagai sudut pandang masing-masing, mulai dari yang paling kaku berpendapat bahwa seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat sehingga harus ditutupi, hingga pendapat yang paling longgar bahwa wanita boleh tidak berjilbab yang penting pakaiannya harus memenuhi kaidah kesopanan.

Namun secara tidak langsung, baik Quraish Shihab maupun Fedwa El Guindi menyampaikan pesan bahwa : JILBAB BUKANLAH KEWAJIBAN MUSLIMAH.

Sementara mantan mufti agung Mesir, Muhammad Said Al-Asymawi malah terang-terangan berani mengatakan bahwa jilbab bukanlah kewajiban dalam bukunya “Haqiqah Al-Hijab Wa Hujjiyyah As-Sunnah” (namun sayangnya, di Indonesia buku ini diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal, sehingga semakin mengukuhkan pelabelan liberal kepada orang-orang yang berpendapat bahwa jilbab bukanlah kewajiban muslimah).

Sebagai anggota JERNIH yang berkomitmen untuk mengatakan sebuah kebenaran (meskipun kebenaran terkadang pahit), saya tidak akan ragu untuk mengatakan: JILBAB ADALAH TRADISI, BUKANLAH KEWAJIBAN MUSLIMAH!

Namun anda harus (mau) memahami bahwa tulisan ini sama sekali BUKANLAH kampanye anti-jilbab ataupun mengajak muslimah yang telah berjilbab untuk melepas jilbabnya. Saya secara pribadi sangat menghormati pilihan muslimah untuk berjilbab, dan saya memandang berjilbab itu baik. Hanya saja kembali kepada topik : “Wajibkah Berjilbab?”

Mari kita dobrak kesalahpahaman umat ini dalam memaknai perintah jilbab, ditinjau dari segala sudut pandang!

JILBAB BUKANLAH PRODUK ISLAM (Baca: produk zaman Nabi Muhammad)

Ada kesalahpahaman di antara sebagian orang dengan mengatakan bahwa jilbab atau kerudung adalah produk dan identitas Islam. Tidak sama sekali!

Jika anda orang yang mempelajari sejarah, anda akan mengetahui bahwa tradisi berjilbab telah ada di hampir seluruh kebudayaan kuno, yaitu: Sumeria, Babilonia, Assyria, Mesir, Yunani, Romawi, Persia, dan tentu saja sangat kuat dalam tradisi Yahudi dan Nasrani.

Di dalam kepercayaan kuno, jilbab adalah simbol ketundukan. Sementara dalam kehidupan sosial, jilbab atau kerudung adalah simbol bagi wanita yang berstatus tinggi, sehingga tidak heran bahwa kaum budak dilarang untuk mengenakan kerudung.

Jika anda kurang puas dengan pendekatan sejarah, anda bisa cek langsung di kitab suci umat Kristen dalam Perjanjian Baru, dan anda dapat mengetahui bahwa jilbab atau kerudung telah disyariatkan oleh Paulus dalam peribadatan.

“Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang TIDAK BERKERUDUNG, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.” (I Korintus 11: 5)

“Pertimbangkanlah sendiri: PATUTKAH perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala tidak BERKERUDUNG?” (I Korintus 11: 13)

Tidak hanya Paulus, juga teolog Kristen terkenal di masa klasik, St. Tertullian dalam bukunya “On The Veiling Of Virgins” juga mengatakan:
“Wanita muda hendaklah engkau mengenakan KERUDUNG saat berada di jalan, demikian pula hendaknya engkau mengenakan di dalam GEREJA, mengenakannya saat berada di antara orang asing dan mengenakannya juga saat berada di antara saudara laki-lakimu.

Saat ini anda tetap bisa menyaksikan non-muslimah yang berkerudung. Tidak usah jauh-jauh, saya yakin anda sering melihat biarawati-biarawati Katolik yang mengenakan kerudung. Anda juga bisa menyaksikan banyak wanita Arab Kristen yang berkerudung. Juga wanita-wanita Yahudi masih banyak yang mentradisikan kerudung atau jilbab.

JILBAB DALAM AL QUR’AN

Sekarang kita coba mencari tahu, apakah benar Al Qur’an memerintahkan muslimah untuk mengenakan jilbab. ]

Saya sekedar mengingatkan bahwa hukum Islam ADALAH Al Qur’an, bukan yang lain!

Anda bisa saja mengutip pandangan ulama dalam kitab karyanya masing-masing, akan tetapi ulama tetaplah manusia (termasuk saya juga), dan apa yang dituliskan dalam kitabnya adalah pandangan subyektif ulama tersebut. Anda boleh saja setuju, namun anda juga boleh memilih untuk tidak setuju. Berbeda dengan Al Qur’an, sebagai orang yang mengaku umat Islam anda mau tidak mau HARUS bersandar kepada Al Qur’an dalam berhukum Islam.

Sebelum kita menginjak kepada pembahasan tentang ayat-ayat (yang dianggap) tentang jilbab dalam Al Qur’an, ada baiknya kita memahami hal-hal berikut.

HIKMAH DALAM AYAT-AYAT AL QUR’AN

Secara umum Al Qur’an berisikan:

- Tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan Allah di alam semesta.

- Perintah kepada orang-orang beriman, yang berlaku secara UNIVERSAL dan yang berlaku dalam SITUASI KONDISI tertentu.

- Kisah kehidupan umat manusia dalam perjalanan sejarah.

Namun harus dipahami, bahwa Allah menghendaki agar kita bisa memetik hikmah dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Al Qur’an tersebut.

Hikmah adalah isi, hakikat, esensi, kepahaman, kebijaksanaan, pelajaran dan pesan yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat Al Qur’an akan menjadi “mati” jika anda memperlakukannya sebagai benda mati, tanpa mau memikirkan hikmah yang terkandung di dalamnya.

QS Yunus [10] : 1
“Alif Laam Raa. Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung HIKMAH”.

QS Luqman [31] : 2
“Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung HIKMAH,”

QS Yasin [36] : 2
“Demi Al Qur'an yang penuh HIKMAH,”

Hikmah dalam ayat-ayat Al Qur’an HANYA bisa anda dapatkan (anda juga berhak mendapatkan hikmah tersebut, tidak hanya para “ulama”) JIKA anda mau BERPIKIR dan memaksimalkan karunia terbesar Allah kepada umat manusia yaitu AKAL.

QS Al Baqarah [2] : 269
“Allah menganugerahkan HIKMAH kepada SIAPA SAJA yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi HIKMAH itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang BERAKAL yang dapat MENGAMBIL PELAJARAN.”

QS Al An’am [6] : 50
“Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu TIDAK MEMIKIRKANNYA (nya)?”

QS Ali Imran [3] : 7
“ … Dan tidak dapat MENGAMBIL PELAJARAN (dari ayat-ayat Al Qur’an) melainkan orang-orang yang BERAKAL.”

QS Ath-Thalaq [65] : 10
“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai AKAL, (yaitu) orang-orang yang BERIMAN… ”

Maka agak aneh jika ada yang mengatakan bahwa haram hukumnya beragama dengan akal (mungkin orang-orang semacam ini sebenarnya malas berpikir), sementara ayat-ayat Al Qur’an secara gamblang memerintahkan orang-orang beriman untuk memaksimalkan akal dan berpikir serta menggali terus hikmah yang terkandung dalam Al Qur’an.

AYAT-AYAT “JILBAB” DALAM AL QUR’AN???

Penting untuk diperhatikan: TIDAK ADA satu pun ayat dalam Al Qur’an yang secara tegas memerintahkan muslimah untuk menutup kepala dengan kerudung atau jilbab!

Adapun ayat-ayat yang sering dijadikan rujukan orang-orang yang berpendapat bahwa jilbab adalah kewajiban yaitu QS An-Nuur [24]: 30-31 dan QS Al-Ahzab [33]: 59.

QS An-Nuur [24] : 30-31
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka MENAHAN PANDANGANNYA, dan MEMELIHARA KEMALUANNYA; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka MENAHAN PANDANGANNYA, dan MEMELIHARA KEMALUANNYA, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan KAIN KUDUNG ke DADANYA, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang BELUM MENGERTI TENTANG AURAT WANITA. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. “

Perhatikan :

1. Anda tidak akan menemui perintah untuk menutup kepala dengan kerudung!

2. Ayat ini ditujukan tidak hanya bagi kaum wanita, tapi juga pria (bahkan pria lebih dahulu disebut). Pesannya sama: yaitu untuk memelihara kemaluan (istilah kerennya “Mr. P” bagi pria, dan “Mrs. V” bagi wanita).

3. Secara khusus kepada kaum wanita, ayat ini mengisyaratkan untuk menutup dada (payudara) dengan kain kerudung. Wajar, karena secara umum masyarakat mana pun menyadari bahwa dada wanita adalah ciri khas seorang wanita dan merupakan bagian sensitif yang bisa mengundang syahwat. Hal ini dipertegas dengan pernyataan: “anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.”

4. Sejarah mencatat bahwa turunnya ayat ini disebabkan oleh kebiasan wanita Arab pada waktu itu, yang mengenakan kerudung di kepala, namun membiarkan belahan dadanya terlihat. Maka ayat ini sebenarnya mengkritisi kesalahan pemakaian kerudung di kalangan wanita Arab zaman itu dengan perintah untuk menutup dada mereka.

5. Maka esensi dari ayat ini adalah : perintah untuk menahan pandangan dari potensi syahwat dan menjaga kemaluan masing-masing, yaitu “Mr. P” bagi kaum pria dan “Mrs. V” dan dada (payudara) wanita (hal yang merupakan kewajaran dan etika universal bagi peradaban dan agama mana pun di dunia ini).

QS Al-Ahzab [33] : 59
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka MENGULURKAN JILBABNYA ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu SUPAYA MEREKA LEBIH MUDAH UNTUK DIKENAL, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”

Perhatikan :
1. Anda tidak akan menemui perintah untuk menutup kepala dengan kerudung! Ada pun kata “jalabib” yang ada dalam ayat itu sangat multitafsir. Jika anda memahami pengertian jilbab seperti zaman sekarang ini, mungkin saja artinya memang jilbab seperti yang kita ketahui bersama, namun bisa jadi arti jilbab pada masa Rasulullah itu tidak seperti apa yang kita pahami sekarang. Dan sekali lagi: tidak ada perintah TEGAS dalam ayat ini untuk menutup kepala dengan jilbab!

2. Untuk mengetahui konteks pada ayat ini, (mengutip perkataan sahabat Umar Al Faruq) maka bacalah dahulu ayat 56-61, maka kita akan memperoleh gambaran bahwa umat Islam di Madinah waktu itu masih sering diganggu oleh mereka yang membencinya. Baik kaum kafir maupun munafik. Nah, agar segera DIKENALI dan segera memperoleh PERTOLONGAN dari sesama mukmin, maka wanita mukminat dianjurkan untuk menggunakan identitas pakaian (jalabiyah), yakni baju kurung panjang, yang sekaligus berfungsi menutupi auratnya.

3. Dengan demikian, ayat ini MERESPON KEADAAN DARURAT pada waktu itu, ketika wanita-wanita mukmin terancam oleh orang-orang kafir. Maka jika keadaan telah kembali normal, maka wanita mukmin (seharusnya) diperbolehkan untuk melepas jilbabnya dan mengenakan pakaian sehari-harinya.

4. Jika anda tidak bisa menerima buah pemikiran kami yang notabene adalah orang yang hidup di zaman ini, dan cenderung untuk memutlakkan kebenaran pandangan “ulama terdahulu”, maka saya juga akan berikan bukti pandangan ulama klasik di zaman itu, yaitu Ibnu Saad (784-845 M) dan Ahmad Ibn Hanbal (781-855 M).

Dalam buku Ibnu Saad yang berjudul: “Kitab Tabaqat Al-Kubra“ dan buku Ahmad Ibn Hanbal yang berjudul: “Musnad“, dikatakan:

“Abu Malik berkata : “Istri-istri Rasulullah biasa keluar di malam hari untuk buang air, dan orang-orang munafik sering mengganggu mereka. Wanita-wanita itu tidak terima dengan perlakuan mereka. Namun orang-orang munafik berkata : ‘Kami biasa melakukannya (melecehkan wanita) terhadap wanita-wanita budak!’ Maka kemudian turunlah ayat-ayat tersebut untuk merespon peristiwa tersebut.’”

“Ibn Ka’ab Al- Qurazi berkata: ‘Seorang pria di antara orang-orang munafik biasa mengganggu dan melecehkan wanita-wanita beriman. Ia telah diperingatkan, namun ia berkata: ‘Aku kira mereka adalah wanita-wanita budak!‘ Maka Allah memerintahkan kepada wanita-wanita tersebut untuk mengenakan busana jalabib (baju kurung panjang) yang akan menutupi seluruh tubuh mereka kecuali kedua mata. Ia berkata: ‘Pakaian ini membuat mereka lebih mudah dikenali dan tidak diganggu.’”

Anda bisa juga melihat pembahasan pada tafsir Al Qur’an karya Abdullah Yusuf Ali (1872-1953) mengenai ayat ini.

Komentar No. 3764: “Ayat ini ditujukan kepada wanita muslimah, termasuk istri-istri Nabi PADA SAAT KEADAAN DARURAT.”

Komentar No. 3765: “Jilbab (tunggal) dan Jalabib (plural): adalah gaun panjang yang menutupi badan, atau jas panjang yang menutupi leher dan dada.”

Komentar No. 3766: “Benda tersebut (jilbab) tidak ditujukan untuk mengekang kebebasan wanita akan tetapi untuk MELINDUNGI mereka dari GANGGUAN dan PENGANIAYAAN dalam KONDISI YANG ADA di MADINAH pada WAKTU ITU.”

Komentar No. 3777: “Aturan ini TIDAK berlaku MUTLAK. Jika kita masih ragu tentangnya, maka kembalikan kepada sifat Allah Yang Maha Pengampun.

Komentar No. 3788: “PENTING UNTUK KITA KEMBALIKAN KEPADA SITUASI YANG TERJADI DI KOTA RASUL PADA WAKTU ITU.

Peringatan ini sangat jelas. Orang-orang “munafik” adalah orang yang berpura-pura masuk Islam, namun perilakunya sangat kontradiktif dengan ajaran Islam. Orang-orang yang “hatinya berpenyakit” dalam ayat ini kemungkinan adalah mereka yang mengganggu wanita-wanita tersebut, yaitu “Orang-orang yang menyebarkan kabar bohong untuk menarik perhatian khalayak ramai”

Maka, MARI KITA BERTANYA KEPADA DIRI KITA SENDIRI: “APAKAH KEADAAN SEPERTI INI MASIH MENIMPA KITA (WANITA-WANITA MUSLIMAH) DI ZAMAN INI? “

5. Seperti yang telah saya jelaskan di atas, bahwa ada perintah Al Qur’an yang sifatnya UNIVERSAL dan ada yang sifatnya SITUASIONAL. Namun tentu saja ada sebagian orang yang bersikeras bahwa semua ayat-ayat Al Qur’an haruslah dijalankan dalam kondisi apa pun tanpa kecuali. Saya akan memberi satu contoh saja, yang akan membuktikan bahwa pandangan mereka itu salah!

QS At-Taubah [9] : 5
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka perangilah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Siapakah orang-orang musyrikin itu?

Mereka adalah orang-orang yang menyekutukan atau menyembah kepada selain Allah.
Bisa jadi mereka adalah umat penyembah berhala. Bisa jadi mereka adalah para koruptor yang memuja harta. Bisa pula mereka adalah tirani penindas rakyat yang memuja kekuasaan.

Maka, jika anda bertemu umat penyembah berhala, atau koruptor, atau tiran di tengah jalan, apakah anda akan mengintai, memerangi, terus kemudian menangkap mereka?

Tentu tidak! Karena ayat ini berlaku SITUASIONAL di tengah-tengah peperangan, dan mengacu pada situasi perang di zaman Rasulullah, dan bisa jadi kelak diterapkan ketika terjadi peperangan antara orang beriman dengan orang kafir musyrikin.

(Sekali lagi) HIKMAH DALAM AL QUR’AN!

Maka saya kembali ingin mengingatkan untuk pandai-pandai mengambil hikmah dalam Al Qur’an. Anda tidak akan memperoleh pembelajaran apa pun jika anda hanya menelan mentah-mentah kata per kata dalam Al Qur’an, dan malas berpikir dan menggali hikmahnya.

Al Qur’an memang diturunkan kepada Nabi Muhammad di jazirah Arab pada abad ke-VI. Namun bukan berarti cara pandang kita harus seperti orang Arab di zaman abad pertengahan. Al Qur’an adalah kitab yang berlaku kepada bangsa mana pun dan di zaman apa pun.

Pada konteks permasalahan jilbab, andai saja Rasulullah terlahir sebagai orang Jepang, maka sudah tentu perintahnya adalah berkimono.

Jika kita terjebak pada simbol-simbol semacam ini, maka kita akan semakin kesulitan mengambil pelajaran dalam ayat-ayat Al Qur’an.

Maka sekarang pilihan ada di tangan anda:

*Menjadikan ayat-ayat Al Qur’an itu benda mati (yang akan mematikan sisi humanis kita) dengan main comot ayat-ayat tersebut dan memaksakannya ke dalam kehidupan tanpa mau berpikir latar belakang, konteks, dan korelasi ayat-ayat tersebut dengan kondisi kekinian?

*Menghidupkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut dengan menggali hikmah yang terkandung di dalamnya dan mengambil pelajaran serta memikirkan bagaimana penerapannya dengan kondisi kekinian, sehingga Al Qur’an akan tetap hidup lintas ruang dan waktu sehingga terwujud Islam sebagai “rahmat bagi semesta alam.”

QS Ali Imran [3] : 7
“ … Dan tidak dapat MENGAMBIL PELAJARAN (dari ayat-ayat Al Qur’an) melainkan orang-orang yang BERAKAL.”

Allahu’alam  ..

Semoga bermanfaat!


Senin, 31 Oktober 2011

MENELADANI SOSOK IBRAHIM


QS. Al An’am [6] : 161
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; AGAMA IBRAHIM YANG LURUS; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik".

Abraham atau Ibrahim. Siapakah dia? Tentu saja setiap umat Yahudi, Nasrani, dan Mukmin sudah tidak asing lagi dengan sosok yang satu ini, yang sering disebut-sebut sebagai "Bapak Agama Samawi", sehingga agama-agama itu disebut sebagai “Agama Ibrahimi (Abrahamic Faith)”, dikarenakan Allah telah meletakkan fondasi-fondasi agama seperti halnya: shalat, zakat, puasa, dan haji di tangan Ibrahim.

Mari kita mencoba untuk mengenal lebih jauh dan mengambil pelajaran berharga dari sosok Ibrahim yang kita cintai dan kita kagumi ini.

Jika kita mempelajari lebih dalam kisah tentang Ibrahim dalam Al Qur’an, maka ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari kehidupan Ibrahim, yang insya Allah jika kita lakukan akan sangat bermanfaat dalam hidup ini.

Menurut beberapa sumber sejarah dan kitab suci, Ibrahim dilahirkan di sekitar kawasan Irak (sumber lain menyebutkan Ibrahim berasal dari sekitar Turki). Ibrahim dilahirkan di tengah-tengah masyarakat dan keluarga penyembah berhala. Ibrahim muda adalah seorang yang cerdas dan kritis. Maka dari itu ia tidak segan-segan mempertanyakan kebiasaan aneh yang dilakukan masyarakat dan keluarganya yang selalu melakukan penyembahan terhadap patung-patung berhala. Bagi Ibrahim, hal ini tidak masuk akal, bahwa patung-patung yang merupakan benda mati harus diperlakukan sebagai “Tuhan-Tuhan” yang harus disembah dan dimintai pertolongan dan berkah.

Maka Ibrahim muda memutuskan untuk melakukan pencarian terhadap Tuhan yang sejati. Ibrahim mengarahkan perhatiannya kepada benda-benda langit yang besar, yang mungkin merupakan jawaban atas pencariannya. Dimulai dari kemunculan bintang, yang dianggap Ibrahim sebagai “Tuhan”. Namun setelah bintang tenggelam dan digantikan bulan, maka Ibrahim menunjuk bulan itu sebagai “Tuhannya”. Namun bulan itu pun tenggelam dan digantikan matahari yang jauh lebih besar, dan segera Ibrahim berkata, “Benda terbesar inilah Tuhanku yang sebenarnya.” Namun sekali lagi, matahari itu pun tenggelam, dan digantikan lagi oleh bintang dan bulan.
Maka akal kecerdasan Ibrahim pun membuat kesimpulan bahwa Tuhan sebenarnya adalah Sang Pencipta bumi dan langit beserta isinya. Kisah ini bisa anda baca pada Surat Al-An’am [6] : 74-79.

Ibrahim segera memulai syi’ar agama, dan dimulai dari masyarakatnya yang menyembah berhala. Pada suatu malam, Ibrahim melakukan penghancuran besar-besaran terhadap berhala-berhala tersebut, dan menyisakan satu patung besar saja dengan mengalungkan kapak yang telah digunakannya untuk menghancurkan patung-patung lainnya.

Maka keesokan harinya, hebohlah masyarakat penyembah berhala tersebut. Dengan marah mereka menuduh Ibrahim, karena mereka tahu bahwa Ibrahim selama ini selalu kritis terhadap kebiasaan penyembahan berhala tersebut. Ibrahim dengan enteng mengatakan, “Patung besar itulah yang telah melakukannya!” Semakin marahlah masyarakat penyembah berhala tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak mungkin patung besar yang merupakan benda mati itu bisa melakukan pengrusakan terhadap patung-patung lainnya. Maka sekali lagi Ibrahim menjawab dengan cerdas, “Jika demikian, kenapa kalian tetap saja menyembah benda-benda mati tersebut yang tidak memiliki daya untuk melakukan apa pun?”. Kisah ini bisa anda baca pada Surat Al-Anbiyaa’ [21] : 51-67, dan Surat Maryam [19] : 42-46.
Ibrahim telah memberikan argumen-argumen cerdas dan kritis, namun tetap disampaikannya dengan cara lemah lembut, terutama kepada ayahnya yang juga merupakan seorang penyembah berhala. Namun, masyarakat sudah terlanjur marah, dan memutuskan untuk membakar Ibrahim hidup-hidup. Ibrahim tidak mundur sedikit pun, dan penuh keyakinan bahwa Allah Yang Maha Kuasa akan melindunginya. Benar saja, bahwa api itu tidak dapat membakar tubuh Ibrahim. Kisah ini bisa anda baca pada Surat Al-Anbiyaa’ [21] : 68-69.

Setelah Ibrahim diselamatkan oleh Allah, maka ia memutuskan untuk meninggalkan kaum dan keluarganya, untuk berdakwah kepada umat manusia. Dalam perjalanannya Ibrahim berkenalan dengan Sarah dan menikahinya. Namun hingga keduanya berusia lanjut, Allah belum mengaruniakan anak. Maka Sarah mengizinkan Ibrahim untuk menikahi seorang budak dari Mesir yang bernama Hajar. Dari Hajar inilah Ibrahim mendapatkan seorang putra yang bernama Ismail. Tidak lama kemudian Allah mengaruniakan seorang putra lagi, kali ini dari rahim Sarah, dan dinamai Ishak. Kelak Ismail menurunkan garis keturunan bangsa Arab, sedangkan Ishak menurunkan garis keturunan bangsa Israel. Al Qur’an tidak secara spesifik menjelaskan tentang kehidupan keluarga Ibrahim ini, namun anda bisa melihat rujukannya pada Kitab Kejadian di Perjanjian Lama.

Di hari tuanya, sekali lagi Ibrahim mendapatkan ujian dari Allah. Sudah sekian lama Ibrahim mendambakan seorang putra. Maka ketika lahir seorang Ismail dari rahim Hajar, sudah tentu Ibrahim sangat menyayangi putra sulungnya itu. Namun tiba-tiba Allah memerintahkan kepada Ibrahim, melalui mimpinya, untuk mengorbankan putra semata wayangnya itu. Ibrahim tentu saja sangat bersedih. Akan tetapi Ibrahim tidak berani untuk menolak perintah Allah itu, karena Ibrahim benar-benar seorang yang penyabar dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Maka Ibrahim dengan penuh keyakinan, memenuhi perintah Allah untuk mengorbankan putranya. Ismail sendiri adalah seorang yang berbakti, dan menguatkan keyakinan ayahnya untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah.

Ketika pisau telah diletakkan di leher Ismail, maka turunlah firman Allah yang memerintahkan Ibrahim untuk menggantikan putranya tersebut dengan seekor domba. Yang nantinya daging hewan tersebut harus dibagikan kepada kaum fakir miskin. Allah melihat ketulusan, kesabaran, dan keikhlasan tiada tara pada seorang Ibrahim untuk mengabdi kepada-Nya, maka Ibrahim lulus dari ujian Allah tersebut. Peristiwa ini setiap tahun diperingati dalam Hari Raya Kurban atau Idul Adha.

Ibrahim juga diberi gelar sebagai orang pertama yang disebut sebagai “muslim” yang artinya : Orang yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Dari garis keturunannya pula lahir nabi-nabi besar yang pernah ada di Bumi ini. Anda bisa baca kisah pengorbanan Ismail ini pada Surat Ash-Shaaffaat [37] : 101-110.

Dari kisah teladan Ibrahim ini, ada beberapa hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik oleh kita:

1). Ibrahim berpendapat bahwa perilaku keluarga dan masyarakat penyembah berhala itu sebagai kebiasaan yang tidak masuk akal. Maka di sini Ibrahim telah menggunakan potensi akal kecerdasannya untuk mencari kebenaran sejati.

2). Meskipun Ibrahim dibesarkan di tengah-tengah keluarga dan masyarakat penyembah berhala, namun Ibrahim berani menentang kebiasaan tersebut dan memilih untuk berpegang kepada agama Allah. Ini adalah sebuah teladan, bahwa dalam beragama tidak boleh sekedar ikut-ikutan. Jadi anda tidak usah khawatir ketika akal dan hati nurani anda sedang “bertabrakan” dengan tradisi masyarakat dan pendapat kebanyakan orang. Ikuti saja apa yang menurut anda paling baik.

3). Ibrahim tidak pernah lelah mencari Tuhan yang sejati, sehingga Allah memberikan jawaban atas pencariannya itu. Sebuah pembelajaran penting, bahwa kebenaran adalah sebuah usaha pencarian tanpa henti. Jangan sampai anda merasa sudah cukup dalam mencari kebenaran, hanya karena anda lahir sebagai seorang “Muslim” dan ber-KTP “Islam”.

4). Ibrahim melakukan syi’ar agama dengan argumen-argumen yang cerdas dan tajam, namun dikemas dalam perkataan yang santun dan penuh kelembutan. Ini adalah pelajaran penting, bahwa dalam berdiskusi kita harus senantiasa menunjukkan bukti-bukti rasional, dengan sopan santun dan penuh kelembutan. Agama bukanlah hal yang bisa dipaksakan dengan doktrin-doktrin, apalagi dengan penyajian yang kasar dan emosional.

5). Ibrahim diselamatkan oleh Allah dari kobaran api. Maka ini adalah sebuah pembelajaran bagi kita, bahwa keyakinan yang tinggi bisa menghasilkan kekuatan dashyat.

6). Ketika bukti-bukti keberadaan Allah telah sedemikian nyata bagi Ibrahim, maka Ibrahim berkomitmen untuk melakukan pengabdian dengan tulus dan ikhlas hanya kepada Allah bukan yang lain.

7). Meskipun Ibrahim telah diangkat menjadi Nabi, namun bukan berarti Allah tidak lagi mengujinya. Justru Allah memberikan ujian terberat yaitu perintah untuk mengorbankan anak satu-satunya, Ismail. Ibrahim terbukti, dengan ketaatan dan keikhlasan luar biasa, lulus dari ujian ini. Maka orang semacam Ibrahim inilah yang layak mendapatkan predikat seorang “Muslim” alias orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah, bukan sekedar 'Muslim label'.

Pelajaran yang bisa kita dapatkan adalah belum layak seorang disebut muslim selama ia belum bisa berkorban demi kemaslahatan umat manusia, atas nama Allah.

Secara garis besar, bisa kita simpulkan bahwa ada keterkaitan yang erat antara akal, keyakinan, ketaatan, dan keikhlasan. Gunakan akal kecerdasan kita untuk mencapai keyakinan. Akal itu akan mengantarkan kita kepada bukti-bukti nyata keberadaan Allah sehingga kita yakin. Kalau kita sudah yakin, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak taat dan ikhlas hanya kepada Allah semata.

Mudah-mudahan kita bisa meneladani seorang Ibrahim, Bapak Agama Samawi, sehingga kita benar-benar akan menjadi seorang Muslim Sejati!

Allahu'alam ..

Semoga bermanfaat!

Senin, 24 Oktober 2011

MAKNA DAN HIKMAH DALAM IBADAH HAJI

Oleh Syekh Subakir pada 24 Oktober 2011 pukul 4:32

Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dirahmati oleh Allah..

Bulan ini, kembali kota suci Makkah dan Madinah akan dikunjungi jutaan mukmin dari seluruh penjuru dunia untuk menunaikan salah satu kewajiban Islam yaitu Ibadah Haji.

Saya tidak pernah berhenti untuk mengingatkan bahwa dalam berislam kita jangan sampai terjebak kepada ritual dan simbol  belaka, melainkan harus dapat memahami makna dan hikmah di balik ritual ibadah yang kita jalankan. Kegagalan memahami makna dan hikmah dalam ritual ibadah, akan menjadikan apa yang kita lakukan itu tidak banyak berarti. Sebagaimana kita lihat bahwa setiap tahun jemaah haji asal Indonesia selalu mencapai jumlah terbanyak, namun sekembalinya mereka dari Tanah Suci ternyata tidak terlalu membawa dampak positif bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama di Tanah Air.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang makna dan hikmah dalam Ibadah Haji, maka saya ingin bertanya kepada anda semua tentang tujuan berhaji.

Ya, apa sebenarnya tujuan anda dalam berhaji?

Demi memenuhi kewajiban agama saja? Ingin berdoa sepuasnya dan mendapatkan berkah dari Allah? Ingin memperoleh gelar haji? Atau ingin berjalan-jalan saja? Ataukah masih ada maksud-maksud lain di balik ibadah haji itu seperti tujuan politis, misalnya?

Jika tujuan anda berhaji masih seputar dari hal-hal di atas, maka anda mungkin belum akan mendapatkan manfaat dari ibadah haji tersebut. Al Qur’an telah dengan jelas menerangkan apa tujuan dari ibadah haji :

QS Al Baqarah [2] : 197
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan HAJI, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekal lah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah TAKWA dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”

QS Al Baqarah [2] : 125
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada IBRAHIM dan ISMAIL: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud".

Tujuan dari ibadah haji adalah untuk meraih ketakwaan, dengan menapaktilasi perjalanan Nabi Ibrahim dan keluarganya.

Ritual dalam Ibadah Haji mencakup lima hal :

1. Ihram.
2. Wuquf di Padang Arafah.
3. Lempar Jumrah di Mina.
4. Tawaf di sekeliling Ka’bah.
5. Sa’i di antara bukit Shafa dan Marwa.

Mari kita bahas lima ritual dalam Ibadah Haji ini secara garis besarnya!

1. IHRAM

Ihram adalah pakaian bagi jamaah Haji yang merupakan kain putih yang tidak berjahit. Baik orang Indonesia, Amerika, Arab, kulit putih, kuning, hitam, kaya, miskin, pejabat, rakyat jelata, semua diwajibkan mengenakan pakaian Ihram. Ini mengandung maksud bahwa di hadapan Allah semua derajat manusia adalah sama, sedangkan yang membedakan adalah kualitas ketakwaannya. Ini sekaligus menegaskan prinsip egalitarian atau persamaan derajat sesama manusia dalam Islam.

QS Al Hujuraat [49] : 13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu SALING MENGENAL. Sesungguhnya orang yang paling MULIA di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling BERTAKWA di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

2. WUQUF

Wuquf adalah kegiatan berdiam diri di Padang Arafah. Pertanyaannya : berdiam diri untuk apa? Hanya menghabiskan waktu untuk bengong tanpa tujuan? Atau “berdiam” sambil makan-makan mewah di tenda-tenda haji tersebut?

Tentu tidak demikian. Bahwa berdiam diri di Padang Arafah itu mengandung maksud untuk introspeksi diri. Mempertanyakan kepada diri sendiri, sejauh mana komitmen kita sebagai makhluk yang diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya. Merenung dan mencoba untuk mengenali jati diri yang sebenarnya dan memahami makna kehidupan. Sehingga ia akan selalu mengingat apa yang telah dilakukannya di masa-masa lalu. Memohon ampun atas segala dosa yang telah diperbuat, seraya berjanji untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik.

3. LEMPAR JUMRAH

Lempar Jumrah di Mina, adalah kegiatan melempar batu kerikil sebanyak tujuh kali ke arah tugu sebagai simbolisasi perlawanan terhadap godaan setan. Nabi Ibrahim melakukannya (melempari setan dengan tujuh batu kerikil), ketika setan berusaha membujuknya untuk membatalkan ujian dari Allah untuk mengorbankan putranya, Ismail.

Maka lakukanlah Lempar Jumrah itu dengan segenap hati, untuk mengusir sifat-sifat setan dalam diri kita, akan tetapi lakukanlah dengan tenang dan tertib. Jangan sampai maksudnya ingin mengusir setan, tapi diri kita malah kesetanan seperti yang sering terjadi bila jemaah melempari tugu itu dengan membabi buta sehingga mengenai jemaah yang lain. Lakukanlah dengan baik, karena sesungguhnya tugu itu bukanlah setan itu sendiri, akan tetapi adalah simbolisasi dari setan. Setan yang sesungguhnya ada di dalam hawa nafsu yang tidak terkendali dan menjelma menjadi perbuatan yang jahat.

4. TAWAF

Tawaf adalah ritual haji mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan berlawanan arah jarum jam. Ada dua makna penting dalam Tawaf ini, yaitu:

(i) Bahwa segala sesuatu di alam semesta ini sebenarnya adalah pusaran energi tanpa henti yang selalu digerakkan oleh Sang Konduktor alam semesta yang tidak lain dan tidak bukan adalah Allah Yang Maha Besar. Allah adalah Dzat Yang Maha Meliputi Segala Sesuatu, yang tidak pernah berhenti memainkan orkestra mulai dari peredaran gugus galaksi yang super luas hingga orkestra terkecil dalam sel tubuh makhluk hidup.

Maka dalam bertawaf, kita sebenarnya sedang meleburkan diri ke dalam orkestrasi Allah dalam pusaran energi Ka’bah, dengan selalu mengingat dan memuji nama-Nya. Setiap putaran selalu dimulai dengan bacaan, “Bismillahi Allahu Akbar” yang artinya “Dengan Nama Allah Yang Maha Besar“. Seperti itulah seharusnya kita menjalani hidup dalam setiap hembusan nafas, dengan mengingat Allah Yang Maha Besar, sehingga potensi kesombongan dalam diri ini bisa diredam.

(ii) Bahwa dalam bertawaf itu kita sekaligus menceburkan diri ke dalam realita hidup di dunia ini yaitu menghadapi berbagai macam karakter manusia.

Coba lihat! Ada jamaah yang bertawaf dengan tergesa-gesa, main tubruk sana tubruk sini seolah-olah tidak mempedulikan jamaah yang lain. Ada juga yang bertawaf sambil berteriak-teriak bangga. Ada yang sangat berhati-hati, saking berhati-hatinya ingin menyelamatkan diri sehingga malah lupa berdzikir kepada Allah. Maka sebaik-baik Tawaf adalah mereka yang mampu melakukannya dengan dzikir khidmat kepada Allah, akan tetapi tetap pada kesadarannya memperhatikan manusia di sekelilingnya. Itulah konsep Islam yaitu ‘habluminallah’ dan ‘habluminannas’, yaitu hubungan vertikal dan horizontal.

5. SA’I

Sa’i adalah berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Ini merupakan napak tilas perjuangan Hajar, istri Nabi Ibrahim, ketika berusaha mencari mata air untuk putranya Ismail yang kehausan.

Ritual Sa’i ini bermakna perjuangan tanpa henti. Usaha dan kerja keras untuk meraih hasil. Maka biasanya, jamaah haji seusai melakukan Sa’i bisa meminum air Zamzam sebagai simbol hasil yang didapat dari jerih payahnya.


Nah, setelah kita mengetahui makna dan hikmah dalam ritual ibadah haji dengan cara menapaktilasi perjuangan Nabi Ibrahim dan keluarganya, mudah-mudahan kita bisa memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya seusai menjalankan ibadah haji.

Pakaian Ihram akan menjadikan kita sebagai seorang yang tidak membeda-bedakan manusia karena suku, ras, agama, pangkat, kekayaan, akan tetapi saling berbagi kasih sayang dan saling mendorong agar kita menjadi orang yang bertakwa.

Wuquf akan menjadikan kita sebagai manusia yang optimis menapak masa depan dengan penuh kebaikan dengan tidak mengulangi kesalahan di masa lalu.

Lempar Jumrah akan menjadikan kita lebih kuat dan gigih dalam memerangi nafsu setan dalam diri kita.

Tawaf akan menjadikan kita selalu mengingat bahwa kita adalah bagian yang sangat kecil yang selalu melebur dalam kekuasaan Allah, dan kita akan siap menghadapi realita kehidupan ini.

Sa’i akan menjadikan kita sebagai pribadi yang pantang menyerah dan giat dalam berusaha.

Mudah-mudahan semangat dalam haji kita akan terus menyala tidak hanya pada saat kita berada di Tanah Suci, melainkan akan terus dinyalakan hingga akhir hayat kita, Sehingga kita akan meraih derajat takwa, dan pada akhirnya akan menjadi orang yang benar-benar berserah diri kepada Allah, sebagaimana diteladankan Nabi Ibrahim

QS Al An’am [6] : 161-163)
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik". Katakanlah: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)".”

Allahu’alam …

Semoga bermanfaat!