Oleh Syekh Subakir pada 15 November 2011 pukul 2:58
Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan)
dirahmati oleh Allah..
Dalam dunia Islam, kewajiban
mengenakan jilbab atau hijab adalah salah satu isu yang paling hangat dan seringkali
dipertanyakan serta didiskusikan.
Jilbab sendiri sering menjadi
tolak ukur kesalehan seorang muslimah, sehingga berdampak kepada pelabelan bahwa
seorang muslimah yang tidak berjilbab berarti tidak Islami, dan harus bergelimang
dosa setiap hari, bahkan ada yang mengancam dengan api neraka.
Menariknya, meskipun sebagian
besar umat Islam berpendapat bahwa berjilbab bagi wanita itu hukumnya wajib, namun
pada kenyataannya lebih banyak muslimah yang tidak berjilbab daripada yang berjilbab.
Nah, bagaimana sebenarnya?
Wajibkah berjilbab? Atau tidak?
Yang anda mungkin belum mengetahui,
adalah ternyata begitu banyak ulama yang berpendapat bahwa jilbab adalah masalah
tradisi, dan bukanlah kewajiban seorang muslimah. Namun biasanya ulama-ulama tersebut
sangat berhati-hati dalam menyampaikan gagasan ini, karena sangat berisiko mengundang
kecaman dan juga rentan mendapat label sesat, kafir, ataupun liberal.
Misanya, Quraish Shihab (Indonesia)
dan Fedwa El Guindi (Mesir) dalam bukunya yang sama-sama berjudul “Jilbab” berusaha
secara moderat memaparkan berbagai pandangan ulama masa lalu hingga modern dengan
berbagai sudut pandang masing-masing, mulai dari yang paling kaku berpendapat bahwa
seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat sehingga harus ditutupi, hingga pendapat
yang paling longgar bahwa wanita boleh tidak berjilbab yang penting pakaiannya harus
memenuhi kaidah kesopanan.
Namun secara tidak langsung,
baik Quraish Shihab maupun Fedwa El Guindi menyampaikan pesan bahwa : JILBAB BUKANLAH
KEWAJIBAN MUSLIMAH.
Sementara mantan mufti agung
Mesir, Muhammad Said Al-Asymawi malah terang-terangan berani mengatakan bahwa jilbab
bukanlah kewajiban dalam bukunya “Haqiqah Al-Hijab Wa Hujjiyyah As-Sunnah” (namun
sayangnya, di Indonesia buku ini diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal, sehingga
semakin mengukuhkan pelabelan liberal kepada orang-orang yang berpendapat bahwa
jilbab bukanlah kewajiban muslimah).
Sebagai anggota JERNIH yang
berkomitmen untuk mengatakan sebuah kebenaran (meskipun kebenaran terkadang pahit),
saya tidak akan ragu untuk mengatakan: JILBAB ADALAH TRADISI, BUKANLAH KEWAJIBAN
MUSLIMAH!
Namun anda harus (mau) memahami
bahwa tulisan ini sama sekali BUKANLAH kampanye anti-jilbab ataupun mengajak muslimah
yang telah berjilbab untuk melepas jilbabnya. Saya secara pribadi sangat menghormati
pilihan muslimah untuk berjilbab, dan saya memandang berjilbab itu baik. Hanya saja
kembali kepada topik : “Wajibkah Berjilbab?”
Mari kita dobrak kesalahpahaman
umat ini dalam memaknai perintah jilbab, ditinjau dari segala sudut pandang!
JILBAB BUKANLAH PRODUK ISLAM
(Baca: produk zaman Nabi Muhammad)
Ada kesalahpahaman di antara
sebagian orang dengan mengatakan bahwa jilbab atau kerudung adalah produk dan identitas
Islam. Tidak sama sekali!
Jika anda orang yang mempelajari
sejarah, anda akan mengetahui bahwa tradisi berjilbab telah ada di hampir seluruh
kebudayaan kuno, yaitu: Sumeria, Babilonia, Assyria, Mesir, Yunani, Romawi, Persia,
dan tentu saja sangat kuat dalam tradisi Yahudi dan Nasrani.
Di dalam kepercayaan kuno,
jilbab adalah simbol ketundukan. Sementara dalam kehidupan sosial, jilbab atau kerudung
adalah simbol bagi wanita yang berstatus tinggi, sehingga tidak heran bahwa kaum
budak dilarang untuk mengenakan kerudung.
Jika anda kurang puas dengan
pendekatan sejarah, anda bisa cek langsung di kitab suci umat Kristen dalam Perjanjian
Baru, dan anda dapat mengetahui bahwa jilbab atau kerudung telah disyariatkan oleh
Paulus dalam peribadatan.
“Tetapi tiap-tiap perempuan
yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang TIDAK BERKERUDUNG, menghina kepalanya,
sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.” (I Korintus 11: 5)
“Pertimbangkanlah sendiri:
PATUTKAH perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala tidak BERKERUDUNG?” (I Korintus 11: 13)
Tidak hanya Paulus, juga
teolog Kristen terkenal di masa klasik, St. Tertullian dalam bukunya “On The Veiling
Of Virgins” juga mengatakan:
“Wanita muda hendaklah engkau
mengenakan KERUDUNG saat berada di jalan, demikian pula hendaknya engkau mengenakan
di dalam GEREJA, mengenakannya saat berada di antara orang asing dan mengenakannya
juga saat berada di antara saudara laki-lakimu.
Saat ini anda tetap bisa
menyaksikan non-muslimah yang berkerudung. Tidak usah jauh-jauh, saya yakin anda
sering melihat biarawati-biarawati Katolik yang mengenakan kerudung. Anda juga bisa
menyaksikan banyak wanita Arab Kristen yang berkerudung. Juga wanita-wanita Yahudi
masih banyak yang mentradisikan kerudung atau jilbab.
JILBAB DALAM AL QUR’AN
Sekarang kita coba mencari
tahu, apakah benar Al Qur’an memerintahkan muslimah untuk mengenakan jilbab. ]
Saya sekedar mengingatkan
bahwa hukum Islam ADALAH Al Qur’an, bukan yang lain!
Anda bisa saja mengutip pandangan
ulama dalam kitab karyanya masing-masing, akan tetapi ulama tetaplah manusia (termasuk
saya juga), dan apa yang dituliskan dalam kitabnya adalah pandangan subyektif ulama
tersebut. Anda boleh saja setuju, namun anda juga boleh memilih untuk tidak setuju.
Berbeda dengan Al Qur’an, sebagai orang yang mengaku umat Islam anda mau tidak mau
HARUS bersandar kepada Al Qur’an dalam berhukum Islam.
Sebelum kita menginjak kepada
pembahasan tentang ayat-ayat (yang dianggap) tentang jilbab dalam Al Qur’an, ada
baiknya kita memahami hal-hal berikut.
HIKMAH DALAM AYAT-AYAT AL
QUR’AN
Secara umum Al Qur’an berisikan:
- Tanda-tanda keberadaan
dan kekuasaan Allah di alam semesta.
- Perintah kepada orang-orang
beriman, yang berlaku secara UNIVERSAL dan yang berlaku dalam SITUASI KONDISI tertentu.
- Kisah kehidupan umat manusia
dalam perjalanan sejarah.
Namun harus dipahami, bahwa
Allah menghendaki agar kita bisa memetik hikmah dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat
Al Qur’an tersebut.
Hikmah adalah isi, hakikat,
esensi, kepahaman, kebijaksanaan, pelajaran dan pesan yang terkandung di dalamnya.
Ayat-ayat Al Qur’an akan menjadi “mati” jika anda memperlakukannya sebagai benda
mati, tanpa mau memikirkan hikmah yang terkandung di dalamnya.
QS Yunus [10] : 1
“Alif Laam Raa. Inilah ayat-ayat
Al Qur'an yang mengandung HIKMAH”.
QS Luqman [31] : 2
“Inilah ayat-ayat Al Qur'an
yang mengandung HIKMAH,”
QS Yasin [36] : 2
“Demi Al Qur'an yang penuh
HIKMAH,”
Hikmah dalam ayat-ayat Al
Qur’an HANYA bisa anda dapatkan (anda juga berhak mendapatkan hikmah tersebut, tidak
hanya para “ulama”) JIKA anda mau BERPIKIR dan memaksimalkan karunia terbesar Allah
kepada umat manusia yaitu AKAL.
QS Al Baqarah [2] : 269
“Allah menganugerahkan HIKMAH
kepada SIAPA SAJA yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi HIKMAH itu,
ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang
BERAKAL yang dapat MENGAMBIL PELAJARAN.”
QS Al An’am [6] : 50
“Katakanlah: "Apakah
sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu TIDAK MEMIKIRKANNYA
(nya)?”
QS Ali Imran [3] : 7
“ … Dan tidak dapat MENGAMBIL
PELAJARAN (dari ayat-ayat Al Qur’an) melainkan orang-orang yang BERAKAL.”
QS Ath-Thalaq [65] : 10
“Allah menyediakan bagi mereka
azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai AKAL,
(yaitu) orang-orang yang BERIMAN… ”
Maka agak aneh jika ada yang
mengatakan bahwa haram hukumnya beragama dengan akal (mungkin orang-orang semacam
ini sebenarnya malas berpikir), sementara ayat-ayat Al Qur’an secara gamblang memerintahkan
orang-orang beriman untuk memaksimalkan akal dan berpikir serta menggali terus hikmah
yang terkandung dalam Al Qur’an.
AYAT-AYAT “JILBAB” DALAM
AL QUR’AN???
Penting untuk diperhatikan:
TIDAK ADA satu pun ayat dalam Al Qur’an yang secara tegas memerintahkan muslimah
untuk menutup kepala dengan kerudung atau jilbab!
Adapun ayat-ayat yang sering
dijadikan rujukan orang-orang yang berpendapat bahwa jilbab adalah kewajiban yaitu
QS An-Nuur [24]: 30-31 dan QS Al-Ahzab [33]: 59.
QS An-Nuur [24] : 30-31
“Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka MENAHAN PANDANGANNYA, dan MEMELIHARA KEMALUANNYA; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka MENAHAN PANDANGANNYA, dan MEMELIHARA KEMALUANNYA, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan KAIN KUDUNG ke DADANYA,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak
yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang BELUM
MENGERTI TENTANG AURAT WANITA. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. “
Perhatikan :
1. Anda tidak akan menemui
perintah untuk menutup kepala dengan kerudung!
2. Ayat ini ditujukan tidak
hanya bagi kaum wanita, tapi juga pria (bahkan pria lebih dahulu disebut). Pesannya
sama: yaitu untuk memelihara kemaluan (istilah kerennya “Mr. P” bagi pria, dan “Mrs.
V” bagi wanita).
3. Secara khusus kepada kaum
wanita, ayat ini mengisyaratkan untuk menutup dada (payudara) dengan kain kerudung.
Wajar, karena secara umum masyarakat mana pun menyadari bahwa dada wanita adalah
ciri khas seorang wanita dan merupakan bagian sensitif yang bisa mengundang syahwat.
Hal ini dipertegas dengan pernyataan: “anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita.”
4. Sejarah mencatat bahwa
turunnya ayat ini disebabkan oleh kebiasan wanita Arab pada waktu itu, yang mengenakan
kerudung di kepala, namun membiarkan belahan dadanya terlihat. Maka ayat ini sebenarnya
mengkritisi kesalahan pemakaian kerudung di kalangan wanita Arab zaman itu dengan
perintah untuk menutup dada mereka.
5. Maka esensi dari ayat
ini adalah : perintah untuk menahan pandangan dari potensi syahwat dan menjaga kemaluan
masing-masing, yaitu “Mr. P” bagi kaum pria dan “Mrs. V” dan dada (payudara) wanita
(hal yang merupakan kewajaran dan etika universal bagi peradaban dan agama mana
pun di dunia ini).
QS Al-Ahzab [33] : 59
“Hai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah
mereka MENGULURKAN JILBABNYA ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian
itu SUPAYA MEREKA LEBIH MUDAH UNTUK
DIKENAL, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi
Maha penyayang.”
Perhatikan :
1. Anda tidak akan menemui
perintah untuk menutup kepala dengan kerudung! Ada pun kata “jalabib” yang ada dalam
ayat itu sangat multitafsir. Jika anda memahami pengertian jilbab seperti zaman
sekarang ini, mungkin saja artinya memang jilbab seperti yang kita ketahui bersama,
namun bisa jadi arti jilbab pada masa Rasulullah itu tidak seperti apa yang kita
pahami sekarang. Dan sekali lagi: tidak ada perintah TEGAS dalam ayat ini untuk
menutup kepala dengan jilbab!
2. Untuk mengetahui konteks
pada ayat ini, (mengutip perkataan sahabat Umar Al Faruq) maka bacalah dahulu ayat
56-61, maka kita akan memperoleh gambaran bahwa umat Islam di Madinah waktu itu
masih sering diganggu oleh mereka yang membencinya. Baik kaum kafir maupun munafik.
Nah, agar segera DIKENALI dan segera memperoleh PERTOLONGAN dari sesama mukmin,
maka wanita mukminat dianjurkan untuk menggunakan identitas pakaian (jalabiyah),
yakni baju kurung panjang, yang sekaligus berfungsi menutupi auratnya.
3. Dengan demikian, ayat
ini MERESPON KEADAAN DARURAT pada waktu itu, ketika wanita-wanita mukmin terancam
oleh orang-orang kafir. Maka jika keadaan telah kembali normal, maka wanita mukmin
(seharusnya) diperbolehkan untuk melepas jilbabnya dan mengenakan pakaian sehari-harinya.
4. Jika anda tidak bisa menerima
buah pemikiran kami yang notabene adalah orang yang hidup di zaman ini, dan cenderung
untuk memutlakkan kebenaran pandangan “ulama terdahulu”, maka saya juga akan berikan
bukti pandangan ulama klasik di zaman itu, yaitu Ibnu Saad (784-845 M) dan Ahmad
Ibn Hanbal (781-855 M).
Dalam buku Ibnu Saad yang
berjudul: “Kitab Tabaqat Al-Kubra“ dan buku Ahmad Ibn Hanbal yang berjudul: “Musnad“,
dikatakan:
“Abu Malik berkata : “Istri-istri
Rasulullah biasa keluar di malam hari untuk buang air, dan orang-orang munafik sering
mengganggu mereka. Wanita-wanita itu tidak terima dengan perlakuan mereka. Namun
orang-orang munafik berkata : ‘Kami biasa melakukannya (melecehkan wanita) terhadap
wanita-wanita budak!’ Maka kemudian turunlah ayat-ayat tersebut untuk merespon peristiwa
tersebut.’”
“Ibn Ka’ab Al- Qurazi berkata:
‘Seorang pria di antara orang-orang munafik biasa mengganggu dan melecehkan wanita-wanita
beriman. Ia telah diperingatkan, namun ia berkata: ‘Aku kira mereka adalah wanita-wanita
budak!‘ Maka Allah memerintahkan kepada wanita-wanita tersebut untuk mengenakan
busana jalabib (baju kurung panjang) yang akan menutupi seluruh tubuh mereka kecuali
kedua mata. Ia berkata: ‘Pakaian ini membuat mereka lebih mudah dikenali dan tidak
diganggu.’”
Anda bisa juga melihat pembahasan
pada tafsir Al Qur’an karya Abdullah Yusuf Ali (1872-1953) mengenai ayat ini.
Komentar No. 3764: “Ayat
ini ditujukan kepada wanita muslimah, termasuk istri-istri Nabi PADA SAAT KEADAAN
DARURAT.”
Komentar No. 3765: “Jilbab
(tunggal) dan Jalabib (plural): adalah gaun panjang yang menutupi badan, atau jas
panjang yang menutupi leher dan dada.”
Komentar No. 3766: “Benda
tersebut (jilbab) tidak ditujukan untuk mengekang kebebasan wanita akan tetapi untuk
MELINDUNGI mereka dari GANGGUAN dan PENGANIAYAAN dalam KONDISI YANG ADA di MADINAH
pada WAKTU ITU.”
Komentar No. 3777: “Aturan
ini TIDAK berlaku MUTLAK. Jika kita masih ragu tentangnya, maka kembalikan kepada
sifat Allah Yang Maha Pengampun.
Komentar No. 3788: “PENTING
UNTUK KITA KEMBALIKAN KEPADA SITUASI YANG TERJADI DI KOTA RASUL PADA WAKTU ITU.
Peringatan ini sangat jelas.
Orang-orang “munafik” adalah orang yang berpura-pura masuk Islam, namun perilakunya
sangat kontradiktif dengan ajaran Islam. Orang-orang yang “hatinya berpenyakit”
dalam ayat ini kemungkinan adalah mereka yang mengganggu wanita-wanita tersebut,
yaitu “Orang-orang yang menyebarkan kabar bohong untuk menarik perhatian khalayak
ramai”
Maka, MARI KITA BERTANYA
KEPADA DIRI KITA SENDIRI: “APAKAH KEADAAN SEPERTI INI MASIH MENIMPA KITA (WANITA-WANITA
MUSLIMAH) DI ZAMAN INI? “
5. Seperti yang telah saya
jelaskan di atas, bahwa ada perintah Al Qur’an yang sifatnya UNIVERSAL dan ada yang
sifatnya SITUASIONAL. Namun tentu saja ada sebagian orang yang bersikeras bahwa
semua ayat-ayat Al Qur’an haruslah dijalankan dalam kondisi apa pun tanpa kecuali.
Saya akan memberi satu contoh saja, yang akan membuktikan bahwa pandangan mereka
itu salah!
QS At-Taubah [9] : 5
“Apabila sudah habis bulan-bulan
Haram itu, maka perangilah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka,
dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika
mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan
kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Siapakah orang-orang musyrikin
itu?
Mereka adalah orang-orang
yang menyekutukan atau menyembah kepada selain Allah.
Bisa jadi mereka adalah umat
penyembah berhala. Bisa jadi mereka adalah para koruptor yang memuja harta. Bisa
pula mereka adalah tirani penindas rakyat yang memuja kekuasaan.
Maka, jika anda bertemu umat
penyembah berhala, atau koruptor, atau tiran di tengah jalan, apakah anda akan mengintai,
memerangi, terus kemudian menangkap mereka?
Tentu tidak! Karena ayat
ini berlaku SITUASIONAL di tengah-tengah peperangan, dan mengacu pada situasi perang
di zaman Rasulullah, dan bisa jadi kelak diterapkan ketika terjadi peperangan antara
orang beriman dengan orang kafir musyrikin.
(Sekali lagi) HIKMAH DALAM
AL QUR’AN!
Maka saya kembali ingin mengingatkan
untuk pandai-pandai mengambil hikmah dalam Al Qur’an. Anda tidak akan memperoleh
pembelajaran apa pun jika anda hanya menelan mentah-mentah kata per kata dalam Al
Qur’an, dan malas berpikir dan menggali hikmahnya.
Al Qur’an memang diturunkan
kepada Nabi Muhammad di jazirah Arab pada abad ke-VI. Namun bukan berarti cara pandang
kita harus seperti orang Arab di zaman abad pertengahan. Al Qur’an adalah kitab
yang berlaku kepada bangsa mana pun dan di zaman apa pun.
Pada konteks permasalahan
jilbab, andai saja Rasulullah terlahir sebagai orang Jepang, maka sudah tentu perintahnya
adalah berkimono.
Jika kita terjebak pada simbol-simbol
semacam ini, maka kita akan semakin kesulitan mengambil pelajaran dalam ayat-ayat
Al Qur’an.
Maka sekarang pilihan ada
di tangan anda:
*Menjadikan ayat-ayat Al
Qur’an itu benda mati (yang akan mematikan sisi humanis kita) dengan main comot
ayat-ayat tersebut dan memaksakannya ke dalam kehidupan tanpa mau berpikir latar
belakang, konteks, dan korelasi ayat-ayat tersebut dengan kondisi kekinian?
*Menghidupkan ayat-ayat Al
Qur’an tersebut dengan menggali hikmah yang terkandung di dalamnya dan mengambil
pelajaran serta memikirkan bagaimana penerapannya dengan kondisi kekinian, sehingga
Al Qur’an akan tetap hidup lintas ruang dan waktu sehingga terwujud Islam sebagai
“rahmat bagi semesta alam.”
QS Ali Imran [3] : 7
“ … Dan tidak dapat MENGAMBIL
PELAJARAN (dari ayat-ayat Al Qur’an) melainkan orang-orang yang BERAKAL.”
Allahu’alam ..
Semoga bermanfaat!