Sahabat
JERNIH yang (mudah-mudahan) dimuliakan oleh Allah ..
Beberapa
hari terakhir ini grup yang kita cintai ini tiba-tiba suasananya agak “menghangat”
dikarenakan oleh pembahasan klasik seputar Hadits. Sebenarnya berdiskusi tentang
Hadits, atau apa pun, di grup ini adalah suatu kewajaran, akan tetapi menjadi “agak
berbahaya” jika sudah ada saling lempar tuduhan sesat, ingkar sunnah, liberal, dsb.
Permasalahan
ini perlu segera ditengahi!
Sebagian
kelompok memilih untuk menerima tanpa kecuali hadits-hadits yang dianggap shahih,
sebagian lagi menolak tanpa kecuali, dan sebagian lagi berusaha memilah-milah dan
memikirkan posisi dirinya di antara kedua pendapat tersebut.
Kalau
saya sendiri bersikap: Menempatkan Hadits sesuai dengan fungsi dan kapasitasnya!
Selama
ini orang masih rancu membedakan antara Sunnah dengan Hadits.
Sunnah
Nabi memiliki
pengertian: “Segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.”
Sementara Hadits secara harfiah berarti: “Perkataan atau
Berita.”
Dengan
demikian hadits-hadits yang ada saat ini adalah “Berita-berita yang menelusuri tentang
kehidupan Nabi Muhammad, baik perkataan maupun perbuatan beliau.”
Namun
patut diingat, bahwa hadits juga tidak selalu merupakan berita tentang kehidupan
Nabi Muhammad, tapi bisa juga merupakan berita tentang kehidupan keluarga dan sahabat
Nabi, seperti Aisyah, Abu Bakar, Umar, dan Ali.
Hadits-hadits
tentang periwayatan Rasulullah ini mulai dikumpulkan dibukukan kurang lebih dua
abad setelah wafatnya Nabi, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Beberapa
ulama hadits yang terkenal adalah Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, yang hidup di
sekitar abad ke-IX.
Metodenya
adalah mereka mencari seorang narasumber yang memiliki riwayat tentang Nabi. Biasanya
orang itu akan berkata: “Aku mendengarkan riwayat dari ayahku, yang mendengarnya
dari kakekku, yang mendengarnya dari si A, si B, si C,..... si Z yang mendengarnya
dari seorang sahabat Nabi (Abu Hurairah) misalnya.... “
Inilah
rantai periwayatan kisah seputar Nabi yang mundur hingga kurang lebih dua abad ke
belakang ketika Rasulullah masih hidup di abad ke-VII.
Sampai
di sini silakan anda telaah. Apa sebenarnya “Hadits” itu?
Cobalah
berpikir sederhana, dan jangan terjebak oleh istilah-istilah yang terdengar ‘agamis’
sehingga anda begitu takut untuk memikirkannya!
Ya...
Hadits sebenarnya adalah: “Jejak rekam peristiwa Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan
para sahabat” alias CATATAN SEJARAH!
Di sini
saya ingin mengajak para sahabat untuk re-install pemikiran tentang Hadits, bahwa
Hadits adalah sejarah dan BUKAN KITAB SUCI bagi umat Islam!
Namun
sebagian umat Islam tentu merasa keberatan dengan kesimpulan ini, karena mereka
berpegangan dengan sebuah hadits yang mengatakan: “ Aku tinggalkan dua perkara yang
jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al
Qur’an) dan Sunnah-ku.”
Maka dengan
demikian mereka berpendapat bahwa Hadits wajib digunakan dalam berhukum agama.
Akan tetapi
sebagian dari mereka belum tahu bahwa sebenarnya ada tiga versi dari hadits tersebut.
Hadits
yang dituliskan di atas adalah hadits yang menjadi pegangan aliran “Ahlus-Sunnah
(Sunni)”.
Sementara
ada versi hadits yang mengatakan: “Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang
kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan jagalah hubungan
dengan keluargaku.” Ini adalah hadits yang menjadi pegangan aliran “Ahlul-Bait (Syi’ah)”.
Dan ada
versi ketiga yang hanya berbunyi: “Aku tinggalkan perkara yang jika kalian berpegang
kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an).”
Mari kita
bijak dalam menyikapi perbedaan versi pada ketiga hadits ini.
Janganlah
kita secara pongah mengatakan, “Ah.. itu kan haditsnya orang Syi’ah!” Atau sebaliknya,
“Ah.. itu kan katanya orang Sunni!” Hanya gara-gara kita terlahir di tengah-tengah
tradisi Sunni atau Syi’ah, dan sejak kecil didoktrin untuk saling membenci aliran
yang berlainan. Ketidakbijaksanaan menyikapi versi dalam hadits ini nyata-nyata
telah membawa tragedi yang besar bagi umat pilihan Allah ini, yaitu PERPECAHAN!
Bagaimana
mungkin umat Islam yang berpotensi besar menjadi khalifah Allah di bumi ini, harus
tereduksi kekuatannya akibat perpecahan yang bersumber dari versi hadits!
Tidakkah
anda pernah memikirkannya dengan bijak? Ataukah anda justru menjadi bagian dari
orang-orang yang menikmati perpecahan ini dengan mengunggulkan alirannya masing-masing
seperti yang telah Allah firmankan dalam
QS Ar-Ruum
[30]: 31-32
“dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah
kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka
menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada
pada golongan mereka”.
Maka sudah
seharusnya kita mencari tahu jawabannya dengan kembali kepada Al Qur’an. Apakah
Al Qur’an pernah menyatakan ada hukum lain selain dirinya? Apakah Al Qur’an pernah,
walaupun satu ayat saja, mengatakan untuk mengikuti Sunnah Nabi atau Keluarga Nabi
agar orang beriman tidak tersesat?
Bukankah
Al Qur’an secara tegas telah menyatakan dirinya lengkap, detail, dan sempurna? Bukankah
Al Qur’an juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad dilarang untuk mengada-adakan hukum
selain daripada Al Qur’an? Dan bukankah secara tegas, gamblang, dan jelas di beberapa
ayat, Al Qur’an menjelaskan bahwa hanya Sunnah Allah (Sunatullah) yang akan berlaku,
dan tidak akan ada sunnah-sunnah lainnya yang harus dijadikan hukum dalam Islam?
Setelah
anda memikirkan dan mencoba mencari jawaban atas pernyataan dan pertanyaan di paragraf
atas, tentu anda akan sampai pada kesimpulan bahwa versi ketiga yaitu: “Aku tinggalkan
perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah
(Al Qur’an)” adalah yang paling selaras dengan Al Qur’an!
Kalau
begitu, apakah kita tidak boleh menggunakan Hadits?
Tentu
saja boleh! Asalkan anda menempatkan hadits sesuai dengan fungsinya.
Al Qur’an
sudah menjelaskan bahwa ada ayat-ayat yang tersurat maupun tersirat (membutuhkan
penafsiran lebih lanjut) dalam
QS Ali
Imran [3]: 7
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada
kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al
qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari
sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.”
Maka boleh
saja anda gunakan hadits untuk menjelaskan ayat-ayat yang tersirat tersebut. Misalkan
saja, dalam Al Qur’an dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang baik.
Akan tetapi detail-detailnya tidak dijelaskan, maka silakan saja menelusuri detail
tauladan kehidupan Nabi itu lewat media sejarah (hadits).
Jika ada
yang mengatakan bahwa hadits berfungsi untuk menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an, saya
sepakat dengan itu. Tapi harus diingat bahwa “menjelaskan” tidak sama dengan “menambah-nambah
hukum”, karena Al Qur’an dengan tegas MELARANG siapa pun termasuk Nabi untuk mengada-adakan
hukum selain daripada hukum yang ada dalam Al Qur’an
QS An
Nahl [16]: 116
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.
Pernyataan
bahwa Al Qur’an HARUS dijelaskan dengan Hadits juga tidak memiliki landasan yang
kuat. Tidak semua ayat dalam Al Qur’an itu ada penjelasan dengan hadits alias "azbabun
nuzulnya" (tidak sampai sepertiga).
Kemudian
ada ayat-ayat yang tidak mungkin dijelaskan dengan hadits. Ayat tentang perintah
untuk mempelajari bagaimana alam semesta ini diciptakan, misalnya, meskipun anda
sehari semalam mencari dalil-dalilnya dalam hadits, anda tidak akan menemukannya,
karena memang jawabannya bukan di ilmu sejarah (hadits) melainkan di ilmu pengetahuan
alam (IPA).
Sekali
lagi, hadits akan bermanfaat jika anda memperlakukannya sesuai dengan kapasitasnya.
Jika anda memperlakukannya sebagai “kitab suci kedua” dalam beragama Islam, maka
anda sedang membebani hadits tersebut di luar kapasitasnya, dan secara langsung
bertabrakan dengan firman Allah dalam Al Qur’an bahwa tidak ada hukum selain daripada
Sunatullah dan Al Qur’an itu sendiri.
Maka untuk
memudahkan pemahaman tentang bagaimana Hadits itu bisa kita pegang dan jalankan,
saya akan merangkumnya menjadi poin-poin seperti di bawah ini:
- Hadits
adalah sejarah kehidupan Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Dengan demikian
sejarah yang dituliskan itu bisa jadi benar, tapi bisa jadi salah.
- Isi
dari hadits tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an. Jika saja ada yang bertentangan
otomatis hadits itu harus ditolak.
- Hadits
bisa menjelaskan ayat-ayat yang tersirat, akan tetapi tidak boleh menambahi atau
mengurangi hukum-hukum yang ditetapkan dalam Al Qur’an.
- Hadits
yang mengandung pesan-pesan yang mulia, terlepas dari otentik atau tidak, boleh
diikuti. Misalkan saja: “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Atau “Sebaik-baik
manusia adalah orang yang selalu memberi manfaat kepada manusia lain“. Namun jika
isinya tidak masuk akal dan di luar kewajaran maka tinggalkan saja.
- Hadits
yang anda gunakan pun harus dipertimbangkan sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat
zaman Rasulullah SAW hidup. Jadi anda harus mempertimbangkan isi atau hikmah dari
hadits tersebut, ketimbang menerapkannya secara mentah-mentah atau kulitnya saja.
Misalkan
saja, hadits yang memerintahkan untuk bersuci dengan air 7 x dicampur dengan tanah
jika badan terjilat oleh anjing. Substansinya dari hadits ini adalah agar tubuh
kita bersih dari kotoran bukan? Sementara fungsi tanah adalah sebagai zat emulsi,
yaitu pemisah kotoran atau lemak. Maka di zaman ini, kita bisa menggantikan tanah
dengan sabun yang sama-sama memiliki fungsi emulsi.
Sekali
lagi: Perlakukan hadits sesuai dengan kapasitas dan fungsinya, maka anda akan mendapatkan
manfaat daripadanya!
Mudah-mudahan
penjelasan yang singkat ini bisa lebih mempermudah pemahaman sahabat di grup ini
dalam menyikapi diskusi seputar hadits.
Allahu’alam..
Semoga
bermanfaat!