Rabu, 23 November 2011

MENEMPATKAN HADITS SESUAI DENGAN FUNGSINYA

Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dimuliakan oleh Allah ..

Beberapa hari terakhir ini grup yang kita cintai ini tiba-tiba suasananya agak “menghangat” dikarenakan oleh pembahasan klasik seputar Hadits. Sebenarnya berdiskusi tentang Hadits, atau apa pun, di grup ini adalah suatu kewajaran, akan tetapi menjadi “agak berbahaya” jika sudah ada saling lempar tuduhan sesat, ingkar sunnah, liberal, dsb.

Permasalahan ini perlu segera ditengahi!

Sebagian kelompok memilih untuk menerima tanpa kecuali hadits-hadits yang dianggap shahih, sebagian lagi menolak tanpa kecuali, dan sebagian lagi berusaha memilah-milah dan memikirkan posisi dirinya di antara kedua pendapat tersebut.

Kalau saya sendiri bersikap: Menempatkan Hadits sesuai dengan fungsi dan kapasitasnya!

Selama ini orang masih rancu membedakan antara Sunnah dengan Hadits.
Sunnah Nabi memiliki pengertian: “Segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.”
Sementara Hadits secara harfiah berarti: “Perkataan atau Berita.”

Dengan demikian hadits-hadits yang ada saat ini adalah “Berita-berita yang menelusuri tentang kehidupan Nabi Muhammad, baik perkataan maupun perbuatan beliau.”

Namun patut diingat, bahwa hadits juga tidak selalu merupakan berita tentang kehidupan Nabi Muhammad, tapi bisa juga merupakan berita tentang kehidupan keluarga dan sahabat Nabi, seperti Aisyah, Abu Bakar, Umar, dan Ali.

Hadits-hadits tentang periwayatan Rasulullah ini mulai dikumpulkan dibukukan kurang lebih dua abad setelah wafatnya Nabi, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Beberapa ulama hadits yang terkenal adalah Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, yang hidup di sekitar abad ke-IX.

Metodenya adalah mereka mencari seorang narasumber yang memiliki riwayat tentang Nabi. Biasanya orang itu akan berkata: “Aku mendengarkan riwayat dari ayahku, yang mendengarnya dari kakekku, yang mendengarnya dari si A, si B, si C,..... si Z yang mendengarnya dari seorang sahabat Nabi (Abu Hurairah) misalnya.... “

Inilah rantai periwayatan kisah seputar Nabi yang mundur hingga kurang lebih dua abad ke belakang ketika Rasulullah masih hidup di abad ke-VII.

Sampai di sini silakan anda telaah. Apa sebenarnya “Hadits” itu?

Cobalah berpikir sederhana, dan jangan terjebak oleh istilah-istilah yang terdengar ‘agamis’ sehingga anda begitu takut untuk memikirkannya!

Ya... Hadits sebenarnya adalah: “Jejak rekam peristiwa Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat” alias CATATAN SEJARAH!

Di sini saya ingin mengajak para sahabat untuk re-install pemikiran tentang Hadits, bahwa Hadits adalah sejarah dan BUKAN KITAB SUCI bagi umat Islam!

Namun sebagian umat Islam tentu merasa keberatan dengan kesimpulan ini, karena mereka berpegangan dengan sebuah hadits yang mengatakan: “ Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah-ku.”

Maka dengan demikian mereka berpendapat bahwa Hadits wajib digunakan dalam berhukum agama.

Akan tetapi sebagian dari mereka belum tahu bahwa sebenarnya ada tiga versi dari hadits tersebut.
Hadits yang dituliskan di atas adalah hadits yang menjadi pegangan aliran “Ahlus-Sunnah (Sunni)”.

Sementara ada versi hadits yang mengatakan: “Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan jagalah hubungan dengan keluargaku.” Ini adalah hadits yang menjadi pegangan aliran “Ahlul-Bait (Syi’ah)”.

Dan ada versi ketiga yang hanya berbunyi: “Aku tinggalkan perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an).”

Mari kita bijak dalam menyikapi perbedaan versi pada ketiga hadits ini.

Janganlah kita secara pongah mengatakan, “Ah.. itu kan haditsnya orang Syi’ah!” Atau sebaliknya, “Ah.. itu kan katanya orang Sunni!” Hanya gara-gara kita terlahir di tengah-tengah tradisi Sunni atau Syi’ah, dan sejak kecil didoktrin untuk saling membenci aliran yang berlainan. Ketidakbijaksanaan menyikapi versi dalam hadits ini nyata-nyata telah membawa tragedi yang besar bagi umat pilihan Allah ini, yaitu PERPECAHAN!

Bagaimana mungkin umat Islam yang berpotensi besar menjadi khalifah Allah di bumi ini, harus tereduksi kekuatannya akibat perpecahan yang bersumber dari versi hadits!

Tidakkah anda pernah memikirkannya dengan bijak? Ataukah anda justru menjadi bagian dari orang-orang yang menikmati perpecahan ini dengan mengunggulkan alirannya masing-masing seperti yang telah Allah firmankan dalam

QS Ar-Ruum [30]: 31-32
“dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.

Maka sudah seharusnya kita mencari tahu jawabannya dengan kembali kepada Al Qur’an. Apakah Al Qur’an pernah menyatakan ada hukum lain selain dirinya? Apakah Al Qur’an pernah, walaupun satu ayat saja, mengatakan untuk mengikuti Sunnah Nabi atau Keluarga Nabi agar orang beriman tidak tersesat?

Bukankah Al Qur’an secara tegas telah menyatakan dirinya lengkap, detail, dan sempurna? Bukankah Al Qur’an juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad dilarang untuk mengada-adakan hukum selain daripada Al Qur’an? Dan bukankah secara tegas, gamblang, dan jelas di beberapa ayat, Al Qur’an menjelaskan bahwa hanya Sunnah Allah (Sunatullah) yang akan berlaku, dan tidak akan ada sunnah-sunnah lainnya yang harus dijadikan hukum dalam Islam?

Setelah anda memikirkan dan mencoba mencari jawaban atas pernyataan dan pertanyaan di paragraf atas, tentu anda akan sampai pada kesimpulan bahwa versi ketiga yaitu: “Aku tinggalkan perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an)” adalah yang paling selaras dengan Al Qur’an!

Kalau begitu, apakah kita tidak boleh menggunakan Hadits?

Tentu saja boleh! Asalkan anda menempatkan hadits sesuai dengan fungsinya.

Al Qur’an sudah menjelaskan bahwa ada ayat-ayat yang tersurat maupun tersirat (membutuhkan penafsiran lebih lanjut) dalam

QS Ali Imran [3]: 7
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Maka boleh saja anda gunakan hadits untuk menjelaskan ayat-ayat yang tersirat tersebut. Misalkan saja, dalam Al Qur’an dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang baik. Akan tetapi detail-detailnya tidak dijelaskan, maka silakan saja menelusuri detail tauladan kehidupan Nabi itu lewat media sejarah (hadits).

Jika ada yang mengatakan bahwa hadits berfungsi untuk menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an, saya sepakat dengan itu. Tapi harus diingat bahwa “menjelaskan” tidak sama dengan “menambah-nambah hukum”, karena Al Qur’an dengan tegas MELARANG siapa pun termasuk Nabi untuk mengada-adakan hukum selain daripada hukum yang ada dalam Al Qur’an

QS An Nahl [16]: 116
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.

Pernyataan bahwa Al Qur’an HARUS dijelaskan dengan Hadits juga tidak memiliki landasan yang kuat. Tidak semua ayat dalam Al Qur’an itu ada penjelasan dengan hadits alias "azbabun nuzulnya" (tidak sampai sepertiga).

Kemudian ada ayat-ayat yang tidak mungkin dijelaskan dengan hadits. Ayat tentang perintah untuk mempelajari bagaimana alam semesta ini diciptakan, misalnya, meskipun anda sehari semalam mencari dalil-dalilnya dalam hadits, anda tidak akan menemukannya, karena memang jawabannya bukan di ilmu sejarah (hadits) melainkan di ilmu pengetahuan alam (IPA).

Sekali lagi, hadits akan bermanfaat jika anda memperlakukannya sesuai dengan kapasitasnya. Jika anda memperlakukannya sebagai “kitab suci kedua” dalam beragama Islam, maka anda sedang membebani hadits tersebut di luar kapasitasnya, dan secara langsung bertabrakan dengan firman Allah dalam Al Qur’an bahwa tidak ada hukum selain daripada Sunatullah dan Al Qur’an itu sendiri.

Maka untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana Hadits itu bisa kita pegang dan jalankan, saya akan merangkumnya menjadi poin-poin seperti di bawah ini:

- Hadits adalah sejarah kehidupan Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Dengan demikian sejarah yang dituliskan itu bisa jadi benar, tapi bisa jadi salah.

- Isi dari hadits tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an. Jika saja ada yang bertentangan otomatis hadits itu harus ditolak.

- Hadits bisa menjelaskan ayat-ayat yang tersirat, akan tetapi tidak boleh menambahi atau mengurangi hukum-hukum yang ditetapkan dalam Al Qur’an.

- Hadits yang mengandung pesan-pesan yang mulia, terlepas dari otentik atau tidak, boleh diikuti. Misalkan saja: “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Atau “Sebaik-baik manusia adalah orang yang selalu memberi manfaat kepada manusia lain“. Namun jika isinya tidak masuk akal dan di luar kewajaran maka tinggalkan saja.

- Hadits yang anda gunakan pun harus dipertimbangkan sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat zaman Rasulullah SAW hidup. Jadi anda harus mempertimbangkan isi atau hikmah dari hadits tersebut, ketimbang menerapkannya secara mentah-mentah atau kulitnya saja.

Misalkan saja, hadits yang memerintahkan untuk bersuci dengan air 7 x dicampur dengan tanah jika badan terjilat oleh anjing. Substansinya dari hadits ini adalah agar tubuh kita bersih dari kotoran bukan? Sementara fungsi tanah adalah sebagai zat emulsi, yaitu pemisah kotoran atau lemak. Maka di zaman ini, kita bisa menggantikan tanah dengan sabun yang sama-sama memiliki fungsi emulsi.

Sekali lagi: Perlakukan hadits sesuai dengan kapasitas dan fungsinya, maka anda akan mendapatkan manfaat daripadanya!

Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini bisa lebih mempermudah pemahaman sahabat di grup ini dalam menyikapi diskusi seputar hadits.

Allahu’alam..


Semoga bermanfaat!

NABI MUHAMMAD BUKANLAH SEORANG PEDOFILI!!!


Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dirahmati Allah ..

Sudah bukan hal baru jika Nabi Muhammad yang kita cintai senantiasa mendapatkan pelecehan dan hinaan dari orang-orang yang membenci Islam. Dalam pengalaman saya berinteraksi dengan orang-orang itu, salah satu isu yang sering dilontarkan untuk mendiskreditkan Nabi junjungan kita adalah isu pedofili, yaitu tuduhan tentang Rasulullah yang menikahi anak di bawah umur, dalam hal ini Aisyah yang baru berusia 9 tahun.

Akan tetapi bagi saya tidak terlalu mengkhawatirkan jika yang melontarkan tuduhan ini adalah non-muslim. Lebih menyakitkan apabila yang mengatakan adalah seorang muslim, apalagi yang mengaku seorang ustadz, ulama, atau ahli agama! Dan ini saya alami sendiri ketika berdiskusi dengan seorang ulama, yang kebetulan dulu menikahi istri keduanya pada usia 14 tahun. Pak Kyai satu ini begitu bersikukuh bahwa Rasulullah menikahi Aisyah di usia 9 tahun.

Benarkah demikian?

Saya menjelaskan kepadanya, bahwa Rasulullah adalah hamba yang terpilih, dan sangat taat kepada hukum dalam Al Qur’an. Tidak mungkin beliau berani melanggar aturan di dalam Al Qur’an.

QS An Niisa [4] : 6
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka CUKUP UMUR untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…..”

Sayang sekali, pada saat itu pak Kyai berasumsi bahwa kata “cukup umur” berarti adalah “menstruasi pertama.” Saya tidak tahu apakah beliau bersungguh-sungguh dengan asumsinya itu, ataukah hanya memelintir ayat tersebut untuk membenarkan pandangannya tersebut sekaligus meyakini bahwa Rasulullah menikahi anak-anak, dan tidak mentaati Allah.

Dalam pandangan saya, definisi “cukup umur” atau “dewasa” adalah ketika badan berhenti bertumbuh, biasanya memasuki usia 16 sampai 18. Dewasa atau cukup umur itu tidak hanya berkaitan dengan fisik tapi juga kejiwaannya. Namun sekali lagi, pak Kyai tidak puas dengan penjelasan dari ayat Al Qur’an tersebut, seraya mengatakan bahwa hadits Bukhari telah menerangkan bahwa Rasulullah menikahi Aisyah di usia ke-9!

“Diceritakan oleh Aisyah: ‘Bahwa Nabi menikahinya ketika ia berusia enam tahun, dan berhubungan suami istri ketika dia berusia sembilan tahun, dan dia tetap menjadi istriyna selama sembilan tahun (yaitu sampai kematian Nabi).’” (HR Bukhari)

Baik… saya akan membuktikan ketidakbenaran kisah ini dari hadits lain atau rekam sejarah Nabi!

Bukti 1:
Menurut Ibn Hanbal, setelah wafatnya istri pertama Nabi, Siti Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan memintanya untuk menikah lagi. Nabi meminta pendapat Khaulah, dan ia berkata: “Kamu dapat menikahi seorang perawan (bikr) atau seorang wanita yang telah menikah (thayyib).” Nabi bertanya siapakah perawan yang bisa beliau nikahi, maka Khaulah menyodorkan nama Aisyah yang merupakan putri dari Abu Bakar.

Semua orang yang mengerti bahasa Arab tentu paham bahwa kata “bikr” tidak digunakan untuk menyebut seorang gadis 9 tahun yang belum dewasa. Kata “jariyah” lebih tepat digunakan untuk menggambarkan seorang gadis di bawah umur yang masih senang bermain-main. Kata “bikr” lebih tepat digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah. Dan tentu saja… gadis berusia 9 tahun tidak pantas disebut “wanita!”

Bukti 2:
Menurut kitab tafsir Bukhari, Aisyah menikah pada tahun 1 Hijriyah. Dikisahkan pula bahwa ketika surat Al Qamar diwahyukan, Aisyah berkata: “ Aku masih seorang gadis muda (jariyah).”

Perlu diketahui bahwa menurut catatan sejarah, surat Al Qamar diwahyukan sembilan tahun sebelum peristiwa Hijrah. Maka kesimpulannya, Aisyah bukan hanya telah dilahirkan sebelum surat Al Qamar diwahyukan, namun juga seorang gadis muda di bawah umur (jariyah), dan bukan seorang balita (sibyah) pada waktu itu. Dengan demikian, Aisyah adalah seorang gadis muda (jariyah), sembilan tahun sebelum pernikahannya dengan Rasulullah.

Bukti 3:
Asma, kakak Aisyah diriwayatkan berusia sepuluh tahun lebih tua daripada Aisyah. Hal tersebut diriwayatkan dalam kitab sejarah “Taqreeb al-Tehzeeb” dan “Al-Bidayah wa Al-Nihayah”. Kemudian dikisahkan bahwa Asma meninggal dunia pada tahun 73 Hijriyah, pada usia 100 tahun.

Jika Asma berusia 100 tahun pada tahun 73 Hijriyah, maka ia berusia 27 atau 28 tahun pada saat peristiwa Hijrah.
Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun pada saat Hijrah, maka berarti Aisyah berusia 17 atau 18 tahun pada waktu itu (karena terpaut 10 tahun)!
Jika Aisyah menikah pada tahun 1 atau 2 Hijriyah, sesuai catatan sejarah, maka dengan demikian ia menikah antara umur 18-20 tahun!
Usia yang pantas untuk menikah bukan?

Saya katakan kepada pak Kyai, bahwa saya masih bisa memberikan 5 bukti lagi jika ia mau. Sayangnya sekali lagi, pak Kyai ini masih saja keras kepala meyakini bahwa Aisyah dinikahi Nabi di usia ke-9!

Segala bukti logis berdasarkan pendekatan sejarah dan juga ayat Al Qur’an beliau tolak, dengan andalannya yaitu hadits yang diambil dari kitab Bukhari!

Mengapa beliau sangat bersikeras mengenai hal ini? Bukankah lebih bijaksana jika mengakui bahwa Bukhari hanyalah manusia biasa yang mungkin saja membuat kesalahan dalam periwayatan sejarah kehidupan Nabi?

Dan percayalah sahabat sekalian.. Bahwa masih ada banyak orang yang bersikeras mempertahankan kisah yang jelas-jelas memiliki kelemahan historik yang fatal ini! Mereka bakalan sibuk mempersiapkan 1001 macam dalil untuk membenarkan pandangan tersebut!

Kesimpulan apa yang bisa kita dapatkan dari sikap keras kepala ini?
Mereka mempergunakan dalil ini untuk membenarkan hawa nafsu mereka terhadap gadis-gadis di bawah umur! Dan amat sangat disesalkan, bahwa pada kenyataannya tidak jarang kita jumpai orang-orang yang mengaku pintar ilmu agama justru melakukan pernikahan dengan gadis di bawah umur, dengan alasan mereka mengikuti “sunnah Nabi!”

Mari kita bersama-sama membuang jauh-jauh kisah bohong yang disematkan kepada Baginda Rasulullah, Nabi Muhammad SAW yang kita cintai ini!

Saya berharap tulisan ini bisa membantu para sahabat untuk melawan tuduhan keji terhadap Nabi Muhammad, baik yang dilemparkan oleh kaum non-muslim, maupun muslim itu sendiri!

Nabi Muhammad adalah suri tauladan bagi semesta umat, dan tentu saja.. bukanlah seorang pedofili!

Allahu’alam ..

Semoga bermanfaat!


Selasa, 15 November 2011

WAJIBKAH BERJILBAB? OK

Oleh Syekh Subakir pada 15 November 2011 pukul 2:58


Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dirahmati oleh Allah..

Dalam dunia Islam, kewajiban mengenakan jilbab atau hijab adalah salah satu isu yang paling hangat dan seringkali dipertanyakan serta didiskusikan.

Jilbab sendiri sering menjadi tolak ukur kesalehan seorang muslimah, sehingga berdampak kepada pelabelan bahwa seorang muslimah yang tidak berjilbab berarti tidak Islami, dan harus bergelimang dosa setiap hari, bahkan ada yang mengancam dengan api neraka.

Menariknya, meskipun sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa berjilbab bagi wanita itu hukumnya wajib, namun pada kenyataannya lebih banyak muslimah yang tidak berjilbab daripada yang berjilbab.

Nah, bagaimana sebenarnya? Wajibkah berjilbab? Atau tidak?

Yang anda mungkin belum mengetahui, adalah ternyata begitu banyak ulama yang berpendapat bahwa jilbab adalah masalah tradisi, dan bukanlah kewajiban seorang muslimah. Namun biasanya ulama-ulama tersebut sangat berhati-hati dalam menyampaikan gagasan ini, karena sangat berisiko mengundang kecaman dan juga rentan mendapat label sesat, kafir, ataupun liberal.

Misanya, Quraish Shihab (Indonesia) dan Fedwa El Guindi (Mesir) dalam bukunya yang sama-sama berjudul “Jilbab” berusaha secara moderat memaparkan berbagai pandangan ulama masa lalu hingga modern dengan berbagai sudut pandang masing-masing, mulai dari yang paling kaku berpendapat bahwa seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat sehingga harus ditutupi, hingga pendapat yang paling longgar bahwa wanita boleh tidak berjilbab yang penting pakaiannya harus memenuhi kaidah kesopanan.

Namun secara tidak langsung, baik Quraish Shihab maupun Fedwa El Guindi menyampaikan pesan bahwa : JILBAB BUKANLAH KEWAJIBAN MUSLIMAH.

Sementara mantan mufti agung Mesir, Muhammad Said Al-Asymawi malah terang-terangan berani mengatakan bahwa jilbab bukanlah kewajiban dalam bukunya “Haqiqah Al-Hijab Wa Hujjiyyah As-Sunnah” (namun sayangnya, di Indonesia buku ini diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal, sehingga semakin mengukuhkan pelabelan liberal kepada orang-orang yang berpendapat bahwa jilbab bukanlah kewajiban muslimah).

Sebagai anggota JERNIH yang berkomitmen untuk mengatakan sebuah kebenaran (meskipun kebenaran terkadang pahit), saya tidak akan ragu untuk mengatakan: JILBAB ADALAH TRADISI, BUKANLAH KEWAJIBAN MUSLIMAH!

Namun anda harus (mau) memahami bahwa tulisan ini sama sekali BUKANLAH kampanye anti-jilbab ataupun mengajak muslimah yang telah berjilbab untuk melepas jilbabnya. Saya secara pribadi sangat menghormati pilihan muslimah untuk berjilbab, dan saya memandang berjilbab itu baik. Hanya saja kembali kepada topik : “Wajibkah Berjilbab?”

Mari kita dobrak kesalahpahaman umat ini dalam memaknai perintah jilbab, ditinjau dari segala sudut pandang!

JILBAB BUKANLAH PRODUK ISLAM (Baca: produk zaman Nabi Muhammad)

Ada kesalahpahaman di antara sebagian orang dengan mengatakan bahwa jilbab atau kerudung adalah produk dan identitas Islam. Tidak sama sekali!

Jika anda orang yang mempelajari sejarah, anda akan mengetahui bahwa tradisi berjilbab telah ada di hampir seluruh kebudayaan kuno, yaitu: Sumeria, Babilonia, Assyria, Mesir, Yunani, Romawi, Persia, dan tentu saja sangat kuat dalam tradisi Yahudi dan Nasrani.

Di dalam kepercayaan kuno, jilbab adalah simbol ketundukan. Sementara dalam kehidupan sosial, jilbab atau kerudung adalah simbol bagi wanita yang berstatus tinggi, sehingga tidak heran bahwa kaum budak dilarang untuk mengenakan kerudung.

Jika anda kurang puas dengan pendekatan sejarah, anda bisa cek langsung di kitab suci umat Kristen dalam Perjanjian Baru, dan anda dapat mengetahui bahwa jilbab atau kerudung telah disyariatkan oleh Paulus dalam peribadatan.

“Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang TIDAK BERKERUDUNG, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.” (I Korintus 11: 5)

“Pertimbangkanlah sendiri: PATUTKAH perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala tidak BERKERUDUNG?” (I Korintus 11: 13)

Tidak hanya Paulus, juga teolog Kristen terkenal di masa klasik, St. Tertullian dalam bukunya “On The Veiling Of Virgins” juga mengatakan:
“Wanita muda hendaklah engkau mengenakan KERUDUNG saat berada di jalan, demikian pula hendaknya engkau mengenakan di dalam GEREJA, mengenakannya saat berada di antara orang asing dan mengenakannya juga saat berada di antara saudara laki-lakimu.

Saat ini anda tetap bisa menyaksikan non-muslimah yang berkerudung. Tidak usah jauh-jauh, saya yakin anda sering melihat biarawati-biarawati Katolik yang mengenakan kerudung. Anda juga bisa menyaksikan banyak wanita Arab Kristen yang berkerudung. Juga wanita-wanita Yahudi masih banyak yang mentradisikan kerudung atau jilbab.

JILBAB DALAM AL QUR’AN

Sekarang kita coba mencari tahu, apakah benar Al Qur’an memerintahkan muslimah untuk mengenakan jilbab. ]

Saya sekedar mengingatkan bahwa hukum Islam ADALAH Al Qur’an, bukan yang lain!

Anda bisa saja mengutip pandangan ulama dalam kitab karyanya masing-masing, akan tetapi ulama tetaplah manusia (termasuk saya juga), dan apa yang dituliskan dalam kitabnya adalah pandangan subyektif ulama tersebut. Anda boleh saja setuju, namun anda juga boleh memilih untuk tidak setuju. Berbeda dengan Al Qur’an, sebagai orang yang mengaku umat Islam anda mau tidak mau HARUS bersandar kepada Al Qur’an dalam berhukum Islam.

Sebelum kita menginjak kepada pembahasan tentang ayat-ayat (yang dianggap) tentang jilbab dalam Al Qur’an, ada baiknya kita memahami hal-hal berikut.

HIKMAH DALAM AYAT-AYAT AL QUR’AN

Secara umum Al Qur’an berisikan:

- Tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan Allah di alam semesta.

- Perintah kepada orang-orang beriman, yang berlaku secara UNIVERSAL dan yang berlaku dalam SITUASI KONDISI tertentu.

- Kisah kehidupan umat manusia dalam perjalanan sejarah.

Namun harus dipahami, bahwa Allah menghendaki agar kita bisa memetik hikmah dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat Al Qur’an tersebut.

Hikmah adalah isi, hakikat, esensi, kepahaman, kebijaksanaan, pelajaran dan pesan yang terkandung di dalamnya. Ayat-ayat Al Qur’an akan menjadi “mati” jika anda memperlakukannya sebagai benda mati, tanpa mau memikirkan hikmah yang terkandung di dalamnya.

QS Yunus [10] : 1
“Alif Laam Raa. Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung HIKMAH”.

QS Luqman [31] : 2
“Inilah ayat-ayat Al Qur'an yang mengandung HIKMAH,”

QS Yasin [36] : 2
“Demi Al Qur'an yang penuh HIKMAH,”

Hikmah dalam ayat-ayat Al Qur’an HANYA bisa anda dapatkan (anda juga berhak mendapatkan hikmah tersebut, tidak hanya para “ulama”) JIKA anda mau BERPIKIR dan memaksimalkan karunia terbesar Allah kepada umat manusia yaitu AKAL.

QS Al Baqarah [2] : 269
“Allah menganugerahkan HIKMAH kepada SIAPA SAJA yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi HIKMAH itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang BERAKAL yang dapat MENGAMBIL PELAJARAN.”

QS Al An’am [6] : 50
“Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?" Maka apakah kamu TIDAK MEMIKIRKANNYA (nya)?”

QS Ali Imran [3] : 7
“ … Dan tidak dapat MENGAMBIL PELAJARAN (dari ayat-ayat Al Qur’an) melainkan orang-orang yang BERAKAL.”

QS Ath-Thalaq [65] : 10
“Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai AKAL, (yaitu) orang-orang yang BERIMAN… ”

Maka agak aneh jika ada yang mengatakan bahwa haram hukumnya beragama dengan akal (mungkin orang-orang semacam ini sebenarnya malas berpikir), sementara ayat-ayat Al Qur’an secara gamblang memerintahkan orang-orang beriman untuk memaksimalkan akal dan berpikir serta menggali terus hikmah yang terkandung dalam Al Qur’an.

AYAT-AYAT “JILBAB” DALAM AL QUR’AN???

Penting untuk diperhatikan: TIDAK ADA satu pun ayat dalam Al Qur’an yang secara tegas memerintahkan muslimah untuk menutup kepala dengan kerudung atau jilbab!

Adapun ayat-ayat yang sering dijadikan rujukan orang-orang yang berpendapat bahwa jilbab adalah kewajiban yaitu QS An-Nuur [24]: 30-31 dan QS Al-Ahzab [33]: 59.

QS An-Nuur [24] : 30-31
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka MENAHAN PANDANGANNYA, dan MEMELIHARA KEMALUANNYA; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka MENAHAN PANDANGANNYA, dan MEMELIHARA KEMALUANNYA, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan KAIN KUDUNG ke DADANYA, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang BELUM MENGERTI TENTANG AURAT WANITA. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. “

Perhatikan :

1. Anda tidak akan menemui perintah untuk menutup kepala dengan kerudung!

2. Ayat ini ditujukan tidak hanya bagi kaum wanita, tapi juga pria (bahkan pria lebih dahulu disebut). Pesannya sama: yaitu untuk memelihara kemaluan (istilah kerennya “Mr. P” bagi pria, dan “Mrs. V” bagi wanita).

3. Secara khusus kepada kaum wanita, ayat ini mengisyaratkan untuk menutup dada (payudara) dengan kain kerudung. Wajar, karena secara umum masyarakat mana pun menyadari bahwa dada wanita adalah ciri khas seorang wanita dan merupakan bagian sensitif yang bisa mengundang syahwat. Hal ini dipertegas dengan pernyataan: “anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.”

4. Sejarah mencatat bahwa turunnya ayat ini disebabkan oleh kebiasan wanita Arab pada waktu itu, yang mengenakan kerudung di kepala, namun membiarkan belahan dadanya terlihat. Maka ayat ini sebenarnya mengkritisi kesalahan pemakaian kerudung di kalangan wanita Arab zaman itu dengan perintah untuk menutup dada mereka.

5. Maka esensi dari ayat ini adalah : perintah untuk menahan pandangan dari potensi syahwat dan menjaga kemaluan masing-masing, yaitu “Mr. P” bagi kaum pria dan “Mrs. V” dan dada (payudara) wanita (hal yang merupakan kewajaran dan etika universal bagi peradaban dan agama mana pun di dunia ini).

QS Al-Ahzab [33] : 59
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka MENGULURKAN JILBABNYA ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu SUPAYA MEREKA LEBIH MUDAH UNTUK DIKENAL, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”

Perhatikan :
1. Anda tidak akan menemui perintah untuk menutup kepala dengan kerudung! Ada pun kata “jalabib” yang ada dalam ayat itu sangat multitafsir. Jika anda memahami pengertian jilbab seperti zaman sekarang ini, mungkin saja artinya memang jilbab seperti yang kita ketahui bersama, namun bisa jadi arti jilbab pada masa Rasulullah itu tidak seperti apa yang kita pahami sekarang. Dan sekali lagi: tidak ada perintah TEGAS dalam ayat ini untuk menutup kepala dengan jilbab!

2. Untuk mengetahui konteks pada ayat ini, (mengutip perkataan sahabat Umar Al Faruq) maka bacalah dahulu ayat 56-61, maka kita akan memperoleh gambaran bahwa umat Islam di Madinah waktu itu masih sering diganggu oleh mereka yang membencinya. Baik kaum kafir maupun munafik. Nah, agar segera DIKENALI dan segera memperoleh PERTOLONGAN dari sesama mukmin, maka wanita mukminat dianjurkan untuk menggunakan identitas pakaian (jalabiyah), yakni baju kurung panjang, yang sekaligus berfungsi menutupi auratnya.

3. Dengan demikian, ayat ini MERESPON KEADAAN DARURAT pada waktu itu, ketika wanita-wanita mukmin terancam oleh orang-orang kafir. Maka jika keadaan telah kembali normal, maka wanita mukmin (seharusnya) diperbolehkan untuk melepas jilbabnya dan mengenakan pakaian sehari-harinya.

4. Jika anda tidak bisa menerima buah pemikiran kami yang notabene adalah orang yang hidup di zaman ini, dan cenderung untuk memutlakkan kebenaran pandangan “ulama terdahulu”, maka saya juga akan berikan bukti pandangan ulama klasik di zaman itu, yaitu Ibnu Saad (784-845 M) dan Ahmad Ibn Hanbal (781-855 M).

Dalam buku Ibnu Saad yang berjudul: “Kitab Tabaqat Al-Kubra“ dan buku Ahmad Ibn Hanbal yang berjudul: “Musnad“, dikatakan:

“Abu Malik berkata : “Istri-istri Rasulullah biasa keluar di malam hari untuk buang air, dan orang-orang munafik sering mengganggu mereka. Wanita-wanita itu tidak terima dengan perlakuan mereka. Namun orang-orang munafik berkata : ‘Kami biasa melakukannya (melecehkan wanita) terhadap wanita-wanita budak!’ Maka kemudian turunlah ayat-ayat tersebut untuk merespon peristiwa tersebut.’”

“Ibn Ka’ab Al- Qurazi berkata: ‘Seorang pria di antara orang-orang munafik biasa mengganggu dan melecehkan wanita-wanita beriman. Ia telah diperingatkan, namun ia berkata: ‘Aku kira mereka adalah wanita-wanita budak!‘ Maka Allah memerintahkan kepada wanita-wanita tersebut untuk mengenakan busana jalabib (baju kurung panjang) yang akan menutupi seluruh tubuh mereka kecuali kedua mata. Ia berkata: ‘Pakaian ini membuat mereka lebih mudah dikenali dan tidak diganggu.’”

Anda bisa juga melihat pembahasan pada tafsir Al Qur’an karya Abdullah Yusuf Ali (1872-1953) mengenai ayat ini.

Komentar No. 3764: “Ayat ini ditujukan kepada wanita muslimah, termasuk istri-istri Nabi PADA SAAT KEADAAN DARURAT.”

Komentar No. 3765: “Jilbab (tunggal) dan Jalabib (plural): adalah gaun panjang yang menutupi badan, atau jas panjang yang menutupi leher dan dada.”

Komentar No. 3766: “Benda tersebut (jilbab) tidak ditujukan untuk mengekang kebebasan wanita akan tetapi untuk MELINDUNGI mereka dari GANGGUAN dan PENGANIAYAAN dalam KONDISI YANG ADA di MADINAH pada WAKTU ITU.”

Komentar No. 3777: “Aturan ini TIDAK berlaku MUTLAK. Jika kita masih ragu tentangnya, maka kembalikan kepada sifat Allah Yang Maha Pengampun.

Komentar No. 3788: “PENTING UNTUK KITA KEMBALIKAN KEPADA SITUASI YANG TERJADI DI KOTA RASUL PADA WAKTU ITU.

Peringatan ini sangat jelas. Orang-orang “munafik” adalah orang yang berpura-pura masuk Islam, namun perilakunya sangat kontradiktif dengan ajaran Islam. Orang-orang yang “hatinya berpenyakit” dalam ayat ini kemungkinan adalah mereka yang mengganggu wanita-wanita tersebut, yaitu “Orang-orang yang menyebarkan kabar bohong untuk menarik perhatian khalayak ramai”

Maka, MARI KITA BERTANYA KEPADA DIRI KITA SENDIRI: “APAKAH KEADAAN SEPERTI INI MASIH MENIMPA KITA (WANITA-WANITA MUSLIMAH) DI ZAMAN INI? “

5. Seperti yang telah saya jelaskan di atas, bahwa ada perintah Al Qur’an yang sifatnya UNIVERSAL dan ada yang sifatnya SITUASIONAL. Namun tentu saja ada sebagian orang yang bersikeras bahwa semua ayat-ayat Al Qur’an haruslah dijalankan dalam kondisi apa pun tanpa kecuali. Saya akan memberi satu contoh saja, yang akan membuktikan bahwa pandangan mereka itu salah!

QS At-Taubah [9] : 5
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka perangilah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Siapakah orang-orang musyrikin itu?

Mereka adalah orang-orang yang menyekutukan atau menyembah kepada selain Allah.
Bisa jadi mereka adalah umat penyembah berhala. Bisa jadi mereka adalah para koruptor yang memuja harta. Bisa pula mereka adalah tirani penindas rakyat yang memuja kekuasaan.

Maka, jika anda bertemu umat penyembah berhala, atau koruptor, atau tiran di tengah jalan, apakah anda akan mengintai, memerangi, terus kemudian menangkap mereka?

Tentu tidak! Karena ayat ini berlaku SITUASIONAL di tengah-tengah peperangan, dan mengacu pada situasi perang di zaman Rasulullah, dan bisa jadi kelak diterapkan ketika terjadi peperangan antara orang beriman dengan orang kafir musyrikin.

(Sekali lagi) HIKMAH DALAM AL QUR’AN!

Maka saya kembali ingin mengingatkan untuk pandai-pandai mengambil hikmah dalam Al Qur’an. Anda tidak akan memperoleh pembelajaran apa pun jika anda hanya menelan mentah-mentah kata per kata dalam Al Qur’an, dan malas berpikir dan menggali hikmahnya.

Al Qur’an memang diturunkan kepada Nabi Muhammad di jazirah Arab pada abad ke-VI. Namun bukan berarti cara pandang kita harus seperti orang Arab di zaman abad pertengahan. Al Qur’an adalah kitab yang berlaku kepada bangsa mana pun dan di zaman apa pun.

Pada konteks permasalahan jilbab, andai saja Rasulullah terlahir sebagai orang Jepang, maka sudah tentu perintahnya adalah berkimono.

Jika kita terjebak pada simbol-simbol semacam ini, maka kita akan semakin kesulitan mengambil pelajaran dalam ayat-ayat Al Qur’an.

Maka sekarang pilihan ada di tangan anda:

*Menjadikan ayat-ayat Al Qur’an itu benda mati (yang akan mematikan sisi humanis kita) dengan main comot ayat-ayat tersebut dan memaksakannya ke dalam kehidupan tanpa mau berpikir latar belakang, konteks, dan korelasi ayat-ayat tersebut dengan kondisi kekinian?

*Menghidupkan ayat-ayat Al Qur’an tersebut dengan menggali hikmah yang terkandung di dalamnya dan mengambil pelajaran serta memikirkan bagaimana penerapannya dengan kondisi kekinian, sehingga Al Qur’an akan tetap hidup lintas ruang dan waktu sehingga terwujud Islam sebagai “rahmat bagi semesta alam.”

QS Ali Imran [3] : 7
“ … Dan tidak dapat MENGAMBIL PELAJARAN (dari ayat-ayat Al Qur’an) melainkan orang-orang yang BERAKAL.”

Allahu’alam  ..

Semoga bermanfaat!