Rabu, 23 November 2011

MENEMPATKAN HADITS SESUAI DENGAN FUNGSINYA

Sahabat JERNIH yang (mudah-mudahan) dimuliakan oleh Allah ..

Beberapa hari terakhir ini grup yang kita cintai ini tiba-tiba suasananya agak “menghangat” dikarenakan oleh pembahasan klasik seputar Hadits. Sebenarnya berdiskusi tentang Hadits, atau apa pun, di grup ini adalah suatu kewajaran, akan tetapi menjadi “agak berbahaya” jika sudah ada saling lempar tuduhan sesat, ingkar sunnah, liberal, dsb.

Permasalahan ini perlu segera ditengahi!

Sebagian kelompok memilih untuk menerima tanpa kecuali hadits-hadits yang dianggap shahih, sebagian lagi menolak tanpa kecuali, dan sebagian lagi berusaha memilah-milah dan memikirkan posisi dirinya di antara kedua pendapat tersebut.

Kalau saya sendiri bersikap: Menempatkan Hadits sesuai dengan fungsi dan kapasitasnya!

Selama ini orang masih rancu membedakan antara Sunnah dengan Hadits.
Sunnah Nabi memiliki pengertian: “Segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.”
Sementara Hadits secara harfiah berarti: “Perkataan atau Berita.”

Dengan demikian hadits-hadits yang ada saat ini adalah “Berita-berita yang menelusuri tentang kehidupan Nabi Muhammad, baik perkataan maupun perbuatan beliau.”

Namun patut diingat, bahwa hadits juga tidak selalu merupakan berita tentang kehidupan Nabi Muhammad, tapi bisa juga merupakan berita tentang kehidupan keluarga dan sahabat Nabi, seperti Aisyah, Abu Bakar, Umar, dan Ali.

Hadits-hadits tentang periwayatan Rasulullah ini mulai dikumpulkan dibukukan kurang lebih dua abad setelah wafatnya Nabi, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.
Beberapa ulama hadits yang terkenal adalah Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, yang hidup di sekitar abad ke-IX.

Metodenya adalah mereka mencari seorang narasumber yang memiliki riwayat tentang Nabi. Biasanya orang itu akan berkata: “Aku mendengarkan riwayat dari ayahku, yang mendengarnya dari kakekku, yang mendengarnya dari si A, si B, si C,..... si Z yang mendengarnya dari seorang sahabat Nabi (Abu Hurairah) misalnya.... “

Inilah rantai periwayatan kisah seputar Nabi yang mundur hingga kurang lebih dua abad ke belakang ketika Rasulullah masih hidup di abad ke-VII.

Sampai di sini silakan anda telaah. Apa sebenarnya “Hadits” itu?

Cobalah berpikir sederhana, dan jangan terjebak oleh istilah-istilah yang terdengar ‘agamis’ sehingga anda begitu takut untuk memikirkannya!

Ya... Hadits sebenarnya adalah: “Jejak rekam peristiwa Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat” alias CATATAN SEJARAH!

Di sini saya ingin mengajak para sahabat untuk re-install pemikiran tentang Hadits, bahwa Hadits adalah sejarah dan BUKAN KITAB SUCI bagi umat Islam!

Namun sebagian umat Islam tentu merasa keberatan dengan kesimpulan ini, karena mereka berpegangan dengan sebuah hadits yang mengatakan: “ Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan Sunnah-ku.”

Maka dengan demikian mereka berpendapat bahwa Hadits wajib digunakan dalam berhukum agama.

Akan tetapi sebagian dari mereka belum tahu bahwa sebenarnya ada tiga versi dari hadits tersebut.
Hadits yang dituliskan di atas adalah hadits yang menjadi pegangan aliran “Ahlus-Sunnah (Sunni)”.

Sementara ada versi hadits yang mengatakan: “Aku tinggalkan dua perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an) dan jagalah hubungan dengan keluargaku.” Ini adalah hadits yang menjadi pegangan aliran “Ahlul-Bait (Syi’ah)”.

Dan ada versi ketiga yang hanya berbunyi: “Aku tinggalkan perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an).”

Mari kita bijak dalam menyikapi perbedaan versi pada ketiga hadits ini.

Janganlah kita secara pongah mengatakan, “Ah.. itu kan haditsnya orang Syi’ah!” Atau sebaliknya, “Ah.. itu kan katanya orang Sunni!” Hanya gara-gara kita terlahir di tengah-tengah tradisi Sunni atau Syi’ah, dan sejak kecil didoktrin untuk saling membenci aliran yang berlainan. Ketidakbijaksanaan menyikapi versi dalam hadits ini nyata-nyata telah membawa tragedi yang besar bagi umat pilihan Allah ini, yaitu PERPECAHAN!

Bagaimana mungkin umat Islam yang berpotensi besar menjadi khalifah Allah di bumi ini, harus tereduksi kekuatannya akibat perpecahan yang bersumber dari versi hadits!

Tidakkah anda pernah memikirkannya dengan bijak? Ataukah anda justru menjadi bagian dari orang-orang yang menikmati perpecahan ini dengan mengunggulkan alirannya masing-masing seperti yang telah Allah firmankan dalam

QS Ar-Ruum [30]: 31-32
“dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.

Maka sudah seharusnya kita mencari tahu jawabannya dengan kembali kepada Al Qur’an. Apakah Al Qur’an pernah menyatakan ada hukum lain selain dirinya? Apakah Al Qur’an pernah, walaupun satu ayat saja, mengatakan untuk mengikuti Sunnah Nabi atau Keluarga Nabi agar orang beriman tidak tersesat?

Bukankah Al Qur’an secara tegas telah menyatakan dirinya lengkap, detail, dan sempurna? Bukankah Al Qur’an juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad dilarang untuk mengada-adakan hukum selain daripada Al Qur’an? Dan bukankah secara tegas, gamblang, dan jelas di beberapa ayat, Al Qur’an menjelaskan bahwa hanya Sunnah Allah (Sunatullah) yang akan berlaku, dan tidak akan ada sunnah-sunnah lainnya yang harus dijadikan hukum dalam Islam?

Setelah anda memikirkan dan mencoba mencari jawaban atas pernyataan dan pertanyaan di paragraf atas, tentu anda akan sampai pada kesimpulan bahwa versi ketiga yaitu: “Aku tinggalkan perkara yang jika kalian berpegang kepadanya tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al Qur’an)” adalah yang paling selaras dengan Al Qur’an!

Kalau begitu, apakah kita tidak boleh menggunakan Hadits?

Tentu saja boleh! Asalkan anda menempatkan hadits sesuai dengan fungsinya.

Al Qur’an sudah menjelaskan bahwa ada ayat-ayat yang tersurat maupun tersirat (membutuhkan penafsiran lebih lanjut) dalam

QS Ali Imran [3]: 7
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”

Maka boleh saja anda gunakan hadits untuk menjelaskan ayat-ayat yang tersirat tersebut. Misalkan saja, dalam Al Qur’an dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah suri tauladan yang baik. Akan tetapi detail-detailnya tidak dijelaskan, maka silakan saja menelusuri detail tauladan kehidupan Nabi itu lewat media sejarah (hadits).

Jika ada yang mengatakan bahwa hadits berfungsi untuk menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an, saya sepakat dengan itu. Tapi harus diingat bahwa “menjelaskan” tidak sama dengan “menambah-nambah hukum”, karena Al Qur’an dengan tegas MELARANG siapa pun termasuk Nabi untuk mengada-adakan hukum selain daripada hukum yang ada dalam Al Qur’an

QS An Nahl [16]: 116
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.

Pernyataan bahwa Al Qur’an HARUS dijelaskan dengan Hadits juga tidak memiliki landasan yang kuat. Tidak semua ayat dalam Al Qur’an itu ada penjelasan dengan hadits alias "azbabun nuzulnya" (tidak sampai sepertiga).

Kemudian ada ayat-ayat yang tidak mungkin dijelaskan dengan hadits. Ayat tentang perintah untuk mempelajari bagaimana alam semesta ini diciptakan, misalnya, meskipun anda sehari semalam mencari dalil-dalilnya dalam hadits, anda tidak akan menemukannya, karena memang jawabannya bukan di ilmu sejarah (hadits) melainkan di ilmu pengetahuan alam (IPA).

Sekali lagi, hadits akan bermanfaat jika anda memperlakukannya sesuai dengan kapasitasnya. Jika anda memperlakukannya sebagai “kitab suci kedua” dalam beragama Islam, maka anda sedang membebani hadits tersebut di luar kapasitasnya, dan secara langsung bertabrakan dengan firman Allah dalam Al Qur’an bahwa tidak ada hukum selain daripada Sunatullah dan Al Qur’an itu sendiri.

Maka untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana Hadits itu bisa kita pegang dan jalankan, saya akan merangkumnya menjadi poin-poin seperti di bawah ini:

- Hadits adalah sejarah kehidupan Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya. Dengan demikian sejarah yang dituliskan itu bisa jadi benar, tapi bisa jadi salah.

- Isi dari hadits tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an. Jika saja ada yang bertentangan otomatis hadits itu harus ditolak.

- Hadits bisa menjelaskan ayat-ayat yang tersirat, akan tetapi tidak boleh menambahi atau mengurangi hukum-hukum yang ditetapkan dalam Al Qur’an.

- Hadits yang mengandung pesan-pesan yang mulia, terlepas dari otentik atau tidak, boleh diikuti. Misalkan saja: “Kebersihan adalah sebagian dari iman”. Atau “Sebaik-baik manusia adalah orang yang selalu memberi manfaat kepada manusia lain“. Namun jika isinya tidak masuk akal dan di luar kewajaran maka tinggalkan saja.

- Hadits yang anda gunakan pun harus dipertimbangkan sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat zaman Rasulullah SAW hidup. Jadi anda harus mempertimbangkan isi atau hikmah dari hadits tersebut, ketimbang menerapkannya secara mentah-mentah atau kulitnya saja.

Misalkan saja, hadits yang memerintahkan untuk bersuci dengan air 7 x dicampur dengan tanah jika badan terjilat oleh anjing. Substansinya dari hadits ini adalah agar tubuh kita bersih dari kotoran bukan? Sementara fungsi tanah adalah sebagai zat emulsi, yaitu pemisah kotoran atau lemak. Maka di zaman ini, kita bisa menggantikan tanah dengan sabun yang sama-sama memiliki fungsi emulsi.

Sekali lagi: Perlakukan hadits sesuai dengan kapasitas dan fungsinya, maka anda akan mendapatkan manfaat daripadanya!

Mudah-mudahan penjelasan yang singkat ini bisa lebih mempermudah pemahaman sahabat di grup ini dalam menyikapi diskusi seputar hadits.

Allahu’alam..


Semoga bermanfaat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar