Rabu, 19 Januari 2011

'PERTARUNGAN’ ANTARA EMOSI vs RASIO

Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, fungsi ’Hati Dalam’ alias Fuad terjadi di otak tengah, di bagian yang dikenal sebagai Sistem Limbik. Disinilah pertarungan antara kubu emosional dan kubu rasional terjadi. Yang emosional diwakili oleh Amygdala, sedangkan yang rasional diwakili oleh Hipocampus.

AMYGDALA ternyata adalah peninggalan otak binatang. Ini merupakan pusat emosi dan insting yang masih tergolong purba. Kemarahan, kebencian, dendam, iri, dengki, kesombongan, keserakahan, dan semacamnya bersemayam disini. Karena itu, Sistem Limbik sebagai pusat fungsi luhur manusia tidak hanya terdiri dari Amygdala sebagai pusat memori emosional melainkan juga ada Hipocampus sebagai pusat memori rasional.

Di dalam HIPOCAMPUS itulah segala memori rasional yang berasal dari proses pembelajaran ilmiah tersimpan. Misalnya memori keadilan, kejujuran, kehati-hatian, kewaspadaan, kesabaran, keikhlasan, dan berbagai pertimbangan yang bersandar pada logika, rasionalitas, dan analisa.

Untuk bisa berlaku adil seseorang harus menggunakan logika, analisa dan rasionalitas. Adil bukanlah produk emosional belaka. Melainkan produk dari sebuah proses ilmiah. Sehingga, adalah sangat sulit bagi seseorang yang hanya menggunakan perasaannya untuk berlaku adil. Pasti dia akan berat sebelah kepada orang yang ’dirasa’ dekat dengannya, atau ’disenanginya’ atau ’dicintainya’.

Kejujuran juga bukan produk perasaan semata. Karena itu kejujuran tersimpan di dalam Hipocampus, bukan di Amygdala. Untuk bisa jujur seseorang harus melakukan perbandingan-perbandingan dengan sesuatu yang disebut ’tidak jujur’. Dan karena dia tahu bahwa ketidakjujuran adalah tidak baik, maka ia pun memilih jujur. Ini adalah proses rasionalitas, dan menggunakan analisa yang logis.

Demikian pula dengan kehati-hatian, kewaspadaan, kesabaran, dan keikhlasan. Semua itu adalah produk dari proses rasional, logika dan analisa. Anda tidak akan bisa bersikap hati-hati, sabar, waspada, dan ikhlas, dengan semata-mata menggunakan emosi. Hasilnya bukan hati-hati tetapi malah ceroboh, tergesa-gesa, dan narsis alias riya’.

Nah, keseimbangan antara memori rasional di Hipocampus dan memori emosional di Amygdala itulah yang membentuk Sistem Limbik. Sehingga memunculkan sifat-sifat dasar yang merupakan perpaduan antara emosi dan pikiran.

Namun, Hippocampus dan Amygdala itu memang hanya berfungsi sebagai pusat memori belaka. Yakni tempat penyimpanan karakter. Ada yang bersifat bawaan, ada pula yang bersifat bentukan dari pengalaman dan pembelajaran. Emosi bisa dibentuk, pikiran juga bisa dibentuk. Keduanya menghasilkan memori yang berbeda di kedua komponen Sistem Limbik itu.

Misalnya, seseorang bisa dilatih untuk menjadi pemarah, atau menjadi penyabar. Dia juga bisa dilatih serakah ataupun dilatih dermawan. Bisa juga dilatih curang, atau dilatih adil, dan seterusnya. Hasil atas latihan itu akan tersimpan di kedua pusat memori itu dan membentuk sifat. Yang emosional berada di Amygdala, sedangkan yang rasional terekam di Hipocampus.

Sehingga ketika proses limbik bekerja, acuan untuk memutuskan suatu sikap adalah dirujukkan ke kedua pusat memori tersebut. Jika emosional merujuknya ke Amygdala, jika rasioanal merujuk ke Hipocampus. Ada orang-orang yang Amygdalanya bekerja secara lebih dominan, maka dia akan menjadi orang yang bertipikal emosional. Sedikit-sedikit marah, suka berkelahi, temperamental, dan semacamnya.

Sebaliknya, ada orang yang untuk marah dia berpikir dulu, untuk berkelahi menimbang-nimbang dulu, untuk menumpahkan emosi mencari waktu dan cara yang sesuai dengan situasi dan kondisinya. Orang yang demikian ini memori Hipocampusnya lebih dominan dibandingkan Amygdalanya. Nah, keduanya bisa dilatih dan dibentuk dengan rekaman-rekaman kejadian sepanjang hidupnya.

Lebih dari itu, Sistem Limbik juga melibatkan komponen lain yang saya sebut di note sebelumnya, yakni: Thalamus, Gyrus Cingulata, Nucleus Basal, dan Prefrontal Cortex. Yang saya sebut terakhir ini memainkan peranan penting dalam proses munculnya kreatifitas peradaban manusia. Cortex adalah lapisan terluar dari otak manusia yang berwarna abu-abu, dimana seluruh karya ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, hikmah, dan peradaban secara menyeluruh dihasilkan.

Semakin luas permukaan otak seorang manusia, semakin pintarlah dia. Disinilah perbedaan otak manusia dan binatang, sehingga binatang tidak bisa menghasilkan peradaban. Sama-sama memiliki sistem limbik, tetapi otak binatang lebih dikuasai oleh Amygdalanya. Hipocampusnya kurang berkembang, karena memori rasionalnya tidak mendapat masukan pengalaman peradaban dari bagiancortex.

Inilah bagian sistem Limbik yang menyebabkan manusia memiliki fungsi luhur sebagai manusia. Yang tanpa itu, manusia tidak memiliki perbedaan dengan binatang. Maka, tidak heran jika Allah mengatakan bahwa manusia akan menjadi seperti binatang jika tidak menggunakan fungsi luhurnya itu. Mereka menggunakan Amygdalanya lebih dominan dibandingkan Hipocampusnya.

QS. Al A’raaf (7): 179
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (Qalb), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (yafqahuna) dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat (yubshiruna), dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar (yasma’una). Mereka itu bagaikan BINATANG ternak, bahkan mereka lebih sesat (rendah) lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (tidak waspada).

Memahami (yafqahuna) dengan hati itu adalah sebuah proses untuk merujuk ke Hipocampus. Karena disinilah proses rasional, logis, dan analitis terjadi. Sedangkan Amygdala sekedar perasaan emosional belaka, tanpa ada proses kepahaman. Hasil olahan Sistem Limbik ini lantas dikirim ke jantung menjadi sebuah desir frekuensi yang khas. Frekuensi sabar berbeda dengan frekuensi marah, desir keikhlasan berbeda dengan desir riya’, getaran rendah hati berbeda dengan getaran kesombongan, dan lain sebagainya.

Karena itu, meskipun proses kecerdasan hati terjadi di Fuad alias Hati Dalam – di Otak, di kepala – tapi perasaan akan kepahaman tetap berdesir di jantung yang berada di dalam dada, alias Qalbu...! Masih bersambung... :)
 
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 18 Januari 2011 pukul 14:47


Selasa, 18 Januari 2011

’PERASAAN’ PUN KINI BISA DIUKUR

Perasaan adalah hal yang abstrak, agaknya benar. Tetapi, apakah karenanya lantas tidak bisa diukur? Eh, kayaknya nanti dulu. Karena, upaya untuk mengukur perasaan itu kini semakin menunjukkan hasil. Meskipun upaya itu masih terus berproses menuju kualitas yang lebih baik.

Bagaimana cara mengukur perasaan? Tentu saja tidak bisa langsung. Melainkan harus diterjemahkan dulu ke bahasa alat. Mirip dengan mengukur gelombang radio atau televisi misalnya. Kita tidak pernah bisa ’melihat’ gelombang radio dan televisi itu dalam bentuk yang sesungguhnya dengan mata dan telinga. Tetapi, kita lantas bisa melihat dan mendengarnya ketika sudah dilewatkan alat terlebih dahulu.

Tenyata, penelitian mutakhir semakin mengarah kepada kemampuan untuk mengukur perasaan itu. Asal muasalnya, disebabkan oleh munculnya zat-zat biokimiawi yang diproduksi oleh otak seiring dengan berubahnya perasaan seseorang. Namanya neurotransmitter. Ada sangat banyak jenis neurotransmitter, yang ternyata sangat khas terkait dengan jenis-jenis perasaan yang terjadi. Neurotransmitter untuk kemarahan berbeda dengan kesedihan, berbeda dengan kegembiraan, berbeda dengan kemalasan, berbeda dengan kecemasan dan sebagainya.

Nah dengan memanfaatkan zat-zat yang diproduksi oleh sel-sel otak itu, kini ’perasaan’ semakin bisa didefinisikan, dan bahkan kemudian diukur kualitas maupun besarnya. Perasaan gembira misalnya, ternyata adalah identik dengan diproduksinya neurotransmitter bernama enkefalin oleh sel-sel otak. Sedangkan rasa cemas, identik dengan keluarnya adrenalin yang membuat jantung berdebar-debar dan berkeringat dingin. Dan, perasaan malas disebabkan oleh munculnya neurotransmitter GABA danSerotonin.

Proses ini bisa berlaku sebaliknya. Yakni, jika seseorang diinjeksi dengan zat-zat tersebut, yang tadinya tidak gembira bisa menjadi gembira. Yang tadinya tidak cemas bisa menjadi cemas. Yang tadinya tidak malas bisa menjadi malas. Yang tadinya penakut, bisa menjadi pemberani. Yang tadinya sedih bisa menjadi tertawa terus menerus. Dan seterusnya. Wah, ternyata ’perasaan’ mulai bisa dikuantifikasi dengan peralatan...

Sebagian zat itu terkandung di dalam Narkoba. Karena itu, para pemakai narkoba bisa menjadi seperti orang gila dan berperilaku ’aneh’ dikarenakan zat-zat yang terkandung di dalamnya mempengaruhi kerja otaknya. Ada yang terus menerus tertawa, padahal tidak ada yang lucu dari apa yang dilihatnya. Ada yang menjadi tidak punya rasa takut. Ada yang menjadi ’tenang’ berlebihan. Ada pula yang menjadi beringas. Dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, ternyata ’perasaan’ bisa dikonversi menjadi zat-zat neurotransmitter. Dan sebaliknya, zat-zat tersebut bisa dikonversi kembali menjadi perasaan. Dengan demikian, ini bisa dijadikan sebagai media untuk mengukur perasaan. Bukan hanya pada kualitasnya, melainkan juga pada ’dosis’nya secara kuantitatif.

Pengukuran yang lebih maju adalah yang dilakukan secara elektromagnetik. Saya termasuk yang melakukan pengukuran dengan alat semacam itu, yakni menggunakan kamera aura. Dengan mengobservasi getaran tubuh seseorang, ternyata kita bisa mengukur ’suasana hati’ alias perasaannya. Yaitu, setelah diterjemahkan terlebih dahulu menjadi warna-warna cahaya. Tinggi rendahnya frekuensi pada diri seseorang ternyata menggambarkan seberapa besar tingkat emosinya.

Jika emosinya sedang tinggi, maka jantung sebagai ’Hati Luar’ akan bergejolak, berdegup-degup tidak beraturan. Getaran jantung itu merembet ke seluruh tubuh, bisa sampai menyebabkan tangan seseorang gemetaran, bibirnya juga bergetar, dan seluruh tubuhnya menggeletar. Jika dalam kondisi demikian, badan orang itu dihubungkan ke sensor kamera aura, maka bisa dipastikan warna auranya akan merah.

Derajat warna merah itu bermacam-macam, mulai dari yang gelap sampai yang terang. Dan bisa menunjukkan seberapa besar tingkat kemarahannya. Bahkan alat di klinik aura kami, di Surabaya, bisa merekam secara video dalam kurun waktu tertentu. Sehingga akan terlihat perubahan warnanya secara realtime. Pada saat orang tersebut bisa mengendalikan emosinya, warna merahnya memudar, kemudian berganti menjadi warna-warna yang lebih sejuk. Misalnya, hijau, biru, nila, ungu, sampai putih.

Getaran jantung, getaran perasaan di Otak, dan warna-warna aura yang dihasilkan selalu sinkron secara konsisten. Ini menunjukkan, bahwa perasaan di otak yang sangat abstrak itu setelah ditransfer ke jantung menjadi desiran elektromagnetik yang bisa diukur kualitas dan besarnya. Dengan memahami ilmu warna aura, kita lantas bisa menerjemahkan makna warna itu secara psikologis kembali, bahwa seseorang itu sedang berada dalam pengaruh perasaan tertentu.

Sebagai perbandingan, Anda bisa melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh pakar-pakar Brain-Heart dari Institute of Heart Math. Bahwa gelombang jantung dan otak itu ternyata sangat riil hubungannya sehingga bisa diukur langsung dengan menggunakan Electro Cardio Graph (ECG) dan Electro Encephalog Graph (EEG).

Pancaran gelombang perasaan yang berasal dari otak yang masih lemah, akan menjadi berlipat kali lebih kuat ketika getarannya sudah diresonansikan ke jantung. Ini karena kuat medan jantung berlipat-lipat kali lebih besar dibandingkan otak. Sehingga seperti masuk ke dalam amplifier saja layaknya. Dan kemudian bisa menebar keluar dirinya.

Dalam penelitian itu bisa digambarkan Kuat Medan Elektromagnetik yang muncul dari getaran jantung seseorang. Radiasinya bisa diukur sampai jarak 1 meter lebih dari tubuhnya. Sehingga, bisa mengimbas kepada orang-orang yang berada di dekatnya. Inilah penjelasannya, kenapa berdekatan dengan orang yang emosional, Anda akan ikut-ikutan emosional. Dan berdekatan dengan orang-orang yang sabar, Anda akan terimbas menjadi  sabar pula. Ternyata getaran jantung (Qalb) Anda teresonansi oleh getaran jantung (Qalb) seseorang yang ada di dekat Anda itu.

Bukan hanya kuat medannya, ternyata pola gelombangnya pun bisa menjadi sinkron ketika perasaan kita dengan seseorang itu sepaham dan saling mengerti. Disana juga digambarkan gelombang otak dan gelombang jantung orang yang bersalaman. Ketika belum bersalaman, gelombang otak si A berbeda dengan gelombang jantung si B (tentu saja). Tetapi, ketika bersalaman, gelombang otak si A sinkron dengan gelombang jantung si B, dalam bentuk gelombang yang harmonis.

Maka, apa kesimpulannya…?
Ternyata, manusia memancar-mancarkan gelombang elektromagnetik yang berporos pada mekanisme Otak-Jantung yang kita kenal sebagai bahasa Qalbu. Pancaran itu bisa bersifat internal ~ dalam diri sendiri antara dada & kepala ~ maupun eksternal yang mengimbas orang lain di sekitarnya. Perasaan lembut akan menularkan kelembutan, perasaan kasar akan menularkan suasana emosional yang membuat orang di sekitarnya tidak betah, dan kemudian pergi menjauhinya..!

QS. Ali Imran (3): 159
Maka disebabkan perasaan penuh kasih (rahmat) dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 17 Januari 2011 pukul 15:21


Minggu, 16 Januari 2011

SISTEM LIMBIK & ’HATI DALAM’

Setelah beberapa tulisan terdahulu membahas ’Hati Luar’ yang bersemayam di jantung, di dalam dada, maka kini kita mulai membahas ’Hati Dalam’. Yakni, hati yang bersemayam di OTAK. Jika ’Hati Luar’ disebut al Qur’an dengan istilah Qalb, maka ’Hati Dalam’ disebut dengan Fuad.

QS. As Sajdah (32): 9
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya sebagian Ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan HATI (Fuad); sedikit sekali kamu bersyukur.

Perhatikanlah ayat di atas. Fuad (Af-idah–jamak) disetarakan dengan ’pendengaran’ dan ’penglihatan’. Dan munculnya adalah seiring dengan peniupan Ruh. Karena memang, ’pendengaran’ dan ’penglihatan’ itu adalah sifat-sifat Allah yang ditularkan kepada manusia melalui Ruh. Bukan mata dan telinga sebagai ’benda’, melainkan pendengaran dan penglihatan sebagai ’fungsi’.

Ini berbeda dengan Qalb yang disetarakan dengan ’telinga’ dan ’mata’, QS. 7:179. Pendengaran dan penglihatan terjadi di OTAK, sebagaimana telah kita bahas di Notes sebelumnya. Maka, fungsi pemahaman oleh ’Hati Dalam’ bukan berada di jantung melainkan berada di otak. Antara Qalb dan Fuad tidak bisa dipisahkan, karena sesungguhnya Qalb hanyalah ’kepanjangan tangan’ bagi Fuad.

Karena penglihatan tidak terjadi di mata melainkan di Otak, maka pusat ’pemahaman’ akan perasaan yang berdesir di jantung pun sebenarnya berada di otak. Yakni di sebuah daerah ’otak tengah’ yang dikenal sebagai Sistem Limbik. Dalam ilmu jiwa, sistem ini dikenal sebagai pusat Fungsi Luhur manusia. Disinilah ’pertarungan’ hal-hal yang rasional dan emosional terjadi.

Sistem Limbik tersusun dari beberapa bagian otak yang saling mempengaruhi. Diantaranya adalah bagian yang disebut Hipocampus, yang berfungsi sebagai pusat memori rasional. Yang kedua, adalah Amygdala yang menjadi pusat memori emosional alias perasaan universal manusia. Selebihnya, ada bagian lain yang bernama Thalamus, Gyrus Cingulata, Nucleus Basal, dan Prefrontal Cortex.

Empat bagian yang terakhir ini tidak kita bahas disini, karena akan menjadi sangat teknis dan melebar. Tetapi, jika Anda ingin memperoleh informasi lebih detil, silakan membaca buku serial ke-4 yang berjudul ’MENYELAM KE SAMUDERA JIWA & RUH’. Dalam artikel yang sangat pendek ini, saya cuma ingin menunjukkan kepada Anda, bahwa ’Hati Dalam’ itu berpusat di Sistem Limbik, yang melibatkan fungsi ’perasaan’ emosional sekaligus ’pikiran’ rasional.

Sesungguhnya perasaan sedih, gembira, marah, benci, malas, sombong, rendah hati, sabar, dan lain sebagainya itu sudah tersimpan di dalam Amygdala sebagai sebuah memori universal. Karena itu, umat manusia di seluruh dunia memiliki rasa yang sama terhadap sifat-sifat tersebut.

Anda tidak perlu mengajari seorang anak tentang rasa gembira, misalnya, karena di dalam memori Amygdalanya sudah ada. Bahkan perasaan gembira bagi orang Indonesia adalah sama dengan orang Eropa, Amerika, Arab, Yahudi, China, dan sebagainya. Yang berbeda hanya pemicunya saja. Misalnya, lucunya lawakan Kartolo Cs dari Surabaya, belum tentu dianggap lucu oleh orang Eropa. Tetapi, perasaan ’lucu’ itu sendiri sama, yakni sesuatu yang mendorong seseorang ingin tertawa. Perasaan universal ini adalah program bawaan yang sudah ada di otak mereka. Pusatnya di Amygdala.

Maka, kita tidak perlu mengajari bangsa mana pun untuk tertawa ketika gembira dan menangis ketika bersedih, mereka pasti sudah bisa dengan sendirinya, karena sudah punya rasa itu di dalam otaknya. Tinggal kadarnya saja yang berbeda-beda. Aktif-tidaknya Amygdala hanya tinggal menunggu sinyal dari luar otak.

Sinyal itu berasal dari panca indera dan indera ke enamnya. Semuanya berupa sinyal-sinyal elektromagnetik, yang masuk ke tempurung kepala. Ada yang lewat saraf ada yang memapar secara radiasi. Tetapi, ujung-ujungnya akan dirujukkan ke Amygdala untuk memunculkan rasa, dan setelah diolah di Sistem Limbik, lantas di-feed-back ke seluruh badan lewat mekanisme sarafi, hormonal, dan radiatif. ’Rasa’ itulah yang lantas muncul di jantung sebagai ’desiran’ yang khas...! (Bersambung)

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 16 Januari 2011 pukul 12:31


KETIKA JANTUNG DITRANSPLANTASIKAN

Suatu ketika Pak Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos yang kini Dirut PLN, melakukan transplantasi liver. Dia lantas menulis sebuah buku berjudul ’Ganti Hati’. Di dalam buku itu dia sempat bertanya-tanya: ’’Apakah sifat-sifat saya akan terpengaruh oleh sifat pemilik liver sebelumnya?’’ Ternyata, menurutnya tidak.

Tetapi, secara fisikal dia mengakui ada pengaruh di dalam tubuhnya. Diantaranya, rambutnya yang dulu mulai memutih, kini menjadi hitam kembali. Kenapa bisa demikian? Karena, pendonor liver yang dicangkokkan kepadanya itu adalah anak muda yang masih berusia 20-an tahun. Sedangkan Pak Dahlan sudah hampir 60 tahun...!

Tentu saja, Pak Dahlan tidak merasakan pengaruh pada perasaannya, karena liver memang bukan organ tubuh yang terkait dengan perasaan. Apalagi sifat. Organ liver cuma ibarat ’dapur umum’ saja dalam tubuh seorang manusia. Ia organ yang memiliki peran sentral dalam proses pencernaan makanan. Karena itu, pengaruhnya bukan pada psikologis, melainkan fisiologis. Itu sudah kita simpulkan di tulisan sebelumnya bahwa HATI (Qalb) bukanlah liver, melainkan jantung.

Lantas, bagaimana jika jantung yang ditransplantasi? Apakah akan terjadi perubahan sifat ataukah sekedar perubahan perasaan? Atau, sekedar dorongan-dorongan psikologis tertentu yang menyertainya? Dan bagaimana pula dengan orang yang mengalami sakit jantung, apakah akan terjadi ’penyakit hati’ secara psikologis?

Kebanyakan penyakit jantung bukan terjadi pada organ psikologisnya, melainkan pada organ mekaniknya. Misalnya, kerusakan klep alias katup jantung. Atau, penyempitan dan  buntunya pembuluh darah. Atau, pembengkakan organ. Atau, ada perubahan tekanan darah. Jadi, bukan pada pusat getaran elektromagnetiknya.

Kebanyakan hanya berkisar pada jantung sebagai alat pompa darah. Sehingga perngaruhnya juga sangat mekanistik, tidak langsung pada perasaan si penderita. Kecuali, berupa rasa khawatir akan penyakitnya, sehingga menyebabkan tekanan darahnya meningkat.

Tentu sangat berbeda antara getaran mekanik dan getaran elektromagnetik. Getaran mekanik bisa dilihat mata karena bendanya bergerak-gerak. Tetapi, getaran elektromagnetik tidak kelihatan. Sumber getarannya berada pada tataran kulit atom. Yakni, berupa aliran dan getaran elektron. Sehingga karenanya muncul tegangan listrik yang tidak kelihatan, dan medan magnet yang juga tidak kelihatan. Gelombang elektromagnetik memang abstrak. Tetapi bisa dilacak posisi keberadaannya, sumbernya, dan efek maupun mekanisme kerjanya.

Ini mirip dengan sistem kerja hand phone, misalnya. Apakah kita bisa melihat sinyal gelombang elektromagnetiknya secara kasat mata? Tentu saja tidak bisa. Tetapi kita bisa mengukurnya dengan alat. Mengetahui besarannya, polanya, kualitasnya, informasi yang terkandung di dalamnya, bahkan lantas bisa memanfaatkan ataupun memanipulasinya. Jadi, kalau ditanya apakah ada gunanya memahami hal yang abstrak begini?Jawabnya: ohh, banyak sekali..! Justru karena para ahli memahami hal yang abstrak inilah, maka kita sekarang bisa memperoleh manfaat yang sangat besar pada handphone. Atau pun jaringan-jaringan komunikasi elektromagnetik lainnya, seperti internet ini.

Kasus yang lebih menarik adalah ketika jantung ditransplantasikan. Bukan yang hanya dicangkok sebagian seperti ganti katup jantung, melainkan yang seluruhnya. Ternyata, efeknya bisa sampai kepada perasaan si penderita. Saya sudah menulis ini panjang lebar di buku ’Heboh Spare-part Manusia’, tentang terjadinya anomali perasaan pada orang-orang yang jantungnya diganti. Baik yang diganti dengan jantung buatan, maupun yang diganti dengan jantung orang lain.

Pada pasien yang jantungnya diganti dengan mesin, ternyata mereka mengalami ’perasaan hampa’ di dalam jiwanya. Memang bukan sama sekali tidak berperasaan, atau terjadi perubahan sifat. Karena sebagaimana telah kita bahas di Note sebelumnya, pusat rasa itu sebenarnya memang berada di otak. Cuma, otak tidak bisa merasakannya. Baru bisa dirasakan setelah ditransfer ke jantung sebagai getaran. Sehingga muncul desiran di dalam dada.

Nah, pada orang yang jantungnya telah diganti dengan mesin, desiran perasaan itu tidak terjadi. Sehingga, tidak terasa adanya perbedaan antara sedih, gembira, marah, sabar, pada organ jantungnya. Karena, jantung buatan itu memang hanya didesain sebagai ’alat pompa’ darah belaka. Termasuk yang sudah diberi sensor elektronik terhadap aktifitas tubuh pun, efeknya hanya terbatas pada perubahan daya pompanya saja.

Tetapi, kasus yang terjadi pada orang yang menjalani transplantasi jantung dari manusia pendonor sangatlah menarik. Suatu ketika saya diundang berceramah di Singapura. Disela-sela acara, saya sempat berdiskusi dengan seorang kawan saya yang sedang kuliah S-3 di bidang Bioteknologi disana. Dia mengungkapkan kisah menarik yang terjadi pada kawannya setelah mengalami transplantasi jantung. Kawannya itu, tanpa sebab, sering merasakan dorongan untuk melakukan bunuh diri. Padahal, dia tidak merasa memiliki masalah apa pun yang menyebabkan ia harus bunuh diri.

Setelah beberapa kali ia curhat kepada kawan saya, maka kawan saya yang memang sedang mendalami Bioteknologi menyarankan agar sang kawan menelusuri asal-muasal jantung yang didonorkan kepadanya. Rupanya kawan saya curiga, jangan-jangan ada kaitannya dengan transplantasi jantung yang dijalaninya. Karena, dorongan itu memang sering muncul setelah menjalani transplantasi.

Sekian lama kemudian, sang kawan kembali menemui kawan saya sambil menceritakan hasil penelusurannya. Ternyata dugaan kawan saya benar. Bahwa dorongan bunuh diri yang muncul dalam perasaannya itu disebabkan oleh jantung yang dicangkokkan ke dalam dadanya. Kenapa bisa demikian? Si pasien itu memperoleh informasi yang benar-benar mengejutkannya, bahwa ternyata jantung yang didonorkan kepadanya itu berasal dari orang yang mati bunuh diri...!

Rupanya sel-sel jantungnya sudah terbiasa dengan getaran frekuensi bunuh diri dari pemilik sebelumnya. Karena, paparan yang terus menerus memang bisa mengaktifkan gen-gen yang tersimpan di dalam inti sel, menjadi semacam memori selular. Dan ketika jantung itu ditransplantasikan, ia masih membawa ’ingatan’ bunuh diri, yang kemudian sering muncul mengimbas ke pusat penginderaan di Otaknya.

Untunglah pikiran sadar dan rasional orang tersebut lebih kuat dari dorongan bunuh dirinya, sehingga ia tidak menurutinya. Cuma ia jadi merasa aneh sendiri, kenapa ada perasaan demikian yang muncul tiba-tiba tanpa ada alasan yang mendahuluinya...!? (Bersambung).

 Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 15 Januari 2011 pukul 13:16


Sabtu, 15 Januari 2011

SISTEM RADIASI GETARAN OTAK-JANTUNG

JADI, ada istilah ’Hati Dalam’ dan ’Hati Luar’ ya ..??
’Hati Luar’ bersemayam di jantung, ’Hati Dalam’ bersemayam di otak.
Lantas, bagaimana mekanismenya? Berikut ini penjelasannya.

QALB alias ’Hati Luar’ adalah indera keenam manusia. Posisinya ada di jantung, di dalam dada. Sedangkan yang lima indera lainnya adalah: mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Posisinya ada di sekitar kepala, dan sekujur permukaan tubuh. Setiap indera memiliki mekanisme kerja yang berbeda. Tetapi semuanya berpusat ke otak lewat mekanisme sarafi. Tujuan utamanya adalah untuk MEMAHAMI kondisi di luar otak, termasuk di luar tubuh manusia.

Mata bekerja berdasar gelombang cahaya yang masuk ke bola mata. Ringkasnya, lensa mata bakal meneruskan bayangan benda sampai ke retina, kemudian diubah menjadi sinyal listrik yang diteruskan ke otak oleh kabel-kabel saraf ke pusat penglihatan. Maka kita bisa ’melihat’ benda tersebut. Jadi, yang melihat itu sebenarnya bukan mata, melainkan otak. Mata hanya menjadi alat, semacam kamera saja. Karena itu, jika mata kita rusak, kelak akan bisa diganti dengan sejenis kamera buatan yang meniru cara kerja mata manusia, yang kemudian disambungkan ke otak. Hasilnya kurang lebih sama.

Telinga bekerja berdasar gelombang suara. Ringkasnya, suara yang berupa gelombang itu masuk ke lubang telinga, kemudian sampai ke membran tipis yang dikenal sebagai gendang telinga. Lantas getaran itu diubah menjadi sinyal listrik yang diteruskan ke otak. Maka, kita pun bisa ’mendengar’. Jadi, yang mendengar itu sebenarnya bukan telinga melainkan otak. Jika dikarenakan sesuatu hal sistem di bagian dalam telinga rusak, maka kini sudah bisa dibuatkan sistem telinga buatan, yang kemudian disambungkan ke pusat pendengaran di otak. Maka, hasilnya pun bisa mendengar.

Penciuman, lidah, dan peraba, bekerja berdasar mekanisme sarafi yang berhubungan dengan zat-zat penebar aroma, rasa, dan tingkat kekasaran dan suhu. Rangsangan pada ujung-ujung saraf itu pun diteruskan ke otak, maka kita bisa merasakan sensasi aroma, rasa dan kasar-halus ataupun panas dingin. Sekali lagi, pelaku utamanya adalah otak.

Sedangkan jantung adalah indera keenam yang bekerja secara getaran elektromagnetik. Bukan lewat cahaya, suara, ataupun ujung-ujung saraf sensorik. Inilah satu-satunya organ di dalam tubuh manusia yang memiliki sistem ’Pembangkit Listrik’ secara mandiri. Sehingga, karenanya, jantung bisa berdegup dan berdenyut sepanjang usia kita. Melayani kebutuhan sirkulasi darah, dan mengirim sinyal-sinyal elektromagnetik yang terkait dengan perubahan perasaan seorang manusia.

Di jantung ada jaringan sel yang secara terus menerus membangkitkan listrik dengan getaran bolak-balik pada frekuensi 72 getaran per menit. Posisi pusat kelistrikan itu berada di atrium kanan jantung. Dekat dengan muara vena cava superior dan inferior. Getaran ini menghasilkan mekanisme pemompaan darah yang menyirkulasi ke seluruh tubuh. Tetapi, sekaligus menyebabkan munculnya medan elektromagnetik sebesar 5x10^(-11) Tesla. Atau sekitar 1 miliar kali medan kemagnetan Bumi. Medan magnet jantung itu bisa diukur dengan menggunakan Magneto Cardio Graph (MCG).

Sementara itu Otak manusia dalam kondisi terjaga memancarkan medan magnet sebesar 10^(-13) Tesla. Atau hanya sekitar seperlimaratus kemagnetan jantung. Juga bisa diukur dengan Magneto Encephalo Graph (MEG). Secara organik hubungan otak dengan jantung itu diatur di batang otak oleh bagian yang disebut kawasan Formasi Retikularis. Disinilah kondisi terjaga dan koma alias tak sadar diatur. Banyak yang menyebut daerah ini sebagai ’pintu gerbang’ antara alam sadar dan alam bawah sadar.

Yang menarik, medan elektromagnetik antara Otak-Jantung ini terhubung secara terus menerus secara dinamis lewat informasi yang disebut sebagai aliran ’perasaan’, baik dalam kondisi sadar maupun tidak sadar. Jika otak memancarkan gelombang sadar Beta, yakni diatas 14 Hz, maka jantung pun akan berdenyut dinamis mengikuti kondisi badan yang beraktifitas secara sadar. Tanpa kita perintah. Karena perintahnnya langsung diatur oleh otak. Dan jika otak bekerja di frekuensi Delta yang lebih rendah dari 4 Hz, maka jantung pun secara otomatis akan bergetar mengikutinya. Bukan hanya secara mekanistis, melainkan juga secara psikologis.

Pada saat otak menangkap persepsi marah misalnya, jantung akan berdenyut lebih kencang menghasilkan medan gelombang yang membesar. Demikian pula ketika menangis, terharu, bersedih, atau senang, gembira, bahagia, dendam, iri, dengki, sabar, tawadhu, dan lain sebagainya. Pancaran gelombangnya akan mengubah sistem keseimbangan Otak-Jantung. Bukan hanya pada sirkulasi darahnya, melainkan juga getaran frekuensi dan kuat medannya. Selain itu, perlu dicermati, di dalam paparan gelombang itu juga terkandung informasi ’perasaan’ yang menumpang di pola gelombangnya.

Ringkas kata, sistem frekuensi yang berporos pada Otak-Jantung menjadi ’sistem radar’ yang bisa menangkap sinyal-sinyal perasaan yang bertebaran di sekitarnya. Baik yang berasal dari luar ataupun dari dalam. Pada orang-orang yang kehilangan fungsi panca indera misalnya, mereka tetap bisa memahami situasi dan kondisi di luar dirinya dengan menggunakan sistem radar ’Otak-Jantung’ itu. Dan biasanya indra keenam tersebut lebih peka, karena memang terlatih secara langsung.

Jantung sebagai ’hati luar’ akan memberikan sinyal-sinyal yang bisa kita rasakan langsung dalam bentuk desir frekuensi. Sedangkan otak berfungsi sebagai organ yang memahami makna. Karena sesungguhnyalah kita tidak bisa ’merasakan’ dengan otak. Yang merasakan adalah jantung yang berada di dalam dada. Sangat nyata rasanya. Kadang dada terasa ’sesak’, kadang pula terasa ’lapang’. Di lain waktu terasa ’pedih’, di waktu lainnya lagi terasa ’lega’. Di satu saat terasa ’panas’, di lain waktu terasa ’dingin’. Dan seterusnya. Itu sebenarnya adalah gejolak frekuensi elektromagnetik belaka. Dengan dibantu mekanisme hormonal tertentu.

Maka, memahami jantung sebagai fungsi HATI, memang tidak bisa berdiri sendiri. Sebagaimana juga kita tidak bisa memahami fungsi ’penglihatan’ hanya dengan memahami mata. Harus dipahami sebagai PAKET antara alat pengindera dan pusat penginderaannya, yakni OTAK. Misalnya: Mata-Otak, Telinga-Otak, Hidung-Otak, Lidah-Otak, Kulit-Otak, dan Jantung-Otak.

Dengan demikian, kita pun bisa memperoleh gambaran lebih jelas tentang mekanisme Hati tersebut. Meskipun belum jelas betul, karena ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab, termasuk fungsi ’Hati Dalam’ yang belum dibahas. Karena itu, bersambung .... :)

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~

oleh Agus Mustofa 14 Januari 2011 pukul 14:14

Jumat, 14 Januari 2011

HATI LUAR & HATI DALAM

Penjelasan tentang ’Hati’ (Qalb) yang sudah kita bahas sebelumnya, mengarahkan kita kepada organ yang kita kenal sebagai jantung. Bukan liver, juga bukan otak. Kok bisa seyakin itu? Tentu saja, karena selain pendekatan sisi bahasa, kita juga mengacu kepada al Qur’an, hadits, dan data-data empiris. Bahwa ternyata ‘hati’ (Qalb) memiliki definisi sebagai: segumpal daging, yang baerada di dalam dada, dan bisa bergetar-getar ketika dikenai perubahan perasaan.

QS. Al Hajj (22): 46
… Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah HATI (Qalb) yang ada di dalam DADA.

QS. Al Anfaal (8): 2
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah BERGETARLAH hati (Qalb) mereka…

‘’Ketahuilah, di dalam jasad ada SEGUMPAL DAGING (mudghah) yang jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika jelek daging itu maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah daging itu adalah hati (Qalb).’’
(HR. Bukhari & Muslim dari Nu’man bin Basyir).

Dengan mengambil tiga acuan diatas kita bisa mendefinsikannya dengan tegas, bahwa hati (Qalb) adalah jantung. Apalagi, hadits tersebut membahasnya secara fisikal, bukan psikologikal. Sehingga istilah yang digunakan pun adalah istilah fisikal, ‘mudghah’ untuk menyebut ‘segumpal daging’, dan ‘jasad’ untuk menyebut ‘tubuh’. Adalah kurang tepat, jika hadits ini digunakan sebagai dasar pembahasan yang bersifat psikologis. Justru hadits ini bersifat medis. Kita disuruh menjaga kesehatan jantung agar jasad alias tubuh kita pun sehat. Sebab, jantung memang organ sentral yang sudah terbukti merenggut banyak nyawa, ketika sakit. Sayang, banyak yang mengutip hadits ini dalam ranah psikologis alias ilmu jiwa.

Tentu saja, Anda boleh berbeda pendapat dengan saya. Cuma, sebaiknya dengan landasan alias dalil ayat Qur’an, atau hadits, atau data-data empiris ilmu pengetahuan yang sesuai. Jika tidak, dengan sendirinya, kesimpulannya menjadi lemah. Karena, hanya berupa pendapat pribadi yang sangat subyektif.

Maka, Hati yang diistilahkan Qalb adalah hati yang bersemayam di dalam dada, dan lebih spesifik lagi bersemayam di organ jantung. Hati yang Qalb adalah sebuah radar yang bisa mendeteksi dan sekaligus memancarkan getaran perasaan seseorang. Getaran sedih dan gembira akan terpancar dengan frekuensi yang berbeda. Getaran marah dan sabar juga terpancar dengan frekuensi yang berbeda.

Ini adalah sebuah pancaran gelombang yang benar-benar bisa diukur dengan menggunakan alat perekam gelombang jantung, ECG (Electro Cardio Graph). Meskipun penelitian dalam bidang ini masih sedang berjalan, tetapi sudah diketahui bahwa pola gelombang yang terekam dalam ECG itu sesungguhnya memiliki informasi yang sangat banyak. Diantaranya adalah ’problem mekanis’ alias kerusakan organ tersebut, sekaligus tentang ’problem psikologis’ alias kualitas perasaan si pemilik jantung.

Sebenarnya, secara awam, hal ini sudah bisa kita rasakan sendiri. Cobalah rasakan dan cermati, bagaimanakah pola getaran jantung Anda ketika sedang marah, sedang sedih, sedang takut, sedang terharu, sedang gembira, dan lain sebagainya? Tentu saja, semuanya berbeda sesuai dengan getaran perasaan yang menyertainya.

Frekuensi dan pola gelombang jantung itu ternyata merupakan ’kepanjangan tangan’ dari sesuatu yang lebih abstrak, yakni ’hati dalam’. Jantung adalah ’hati luar’, yang fungsinya hanya sebagai alat sensor khusus, semacam radar. Tetapi berfungsi timbal balik. Bukan hanya receiver alias penerima getaran, melainkan juga transmitter alias pemancar getaran. Maka, jantung bisa disebut sebagai indratransceiver, yang bekerja secara radiasi  gelombang elektromagnetik. Bukan sekedar dipengaruhi oleh kinerja neurotransmitter dan hormon dalam darah yang membuatnya berdegup lebih kencang.

Sehingga, al Qur’an menyetarakan organ jantung itu dengan mata dan telinga sebagai ’alat pelihat’ dan ’alat pendengar’. Dan bukan pada tataran ’persepsi melihat’ dan ’persepsi mendengar’. Perhatikanlah ayat berikut ini.

QS. Al A’raaf (7): 179
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (Qalb), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Jadi, Qalb disetarakan dengan mata, bukan ’melihat’. Juga disetarakan dengan telinga, bukan ’mendengar’. Karena ’melihat’ dan ’mendengar’ itu memang tidak terjadi di mata dan telinga, melainkan di OTAK, yakni di pusat penglihatan dan pusat pendengaran. Meskipun mata dan telinganya sehat, tetapi jika pusatnya di otak bermasalah, atau pun saraf penghubungnya yang bermasalah, kita tidak akan bisa melihat atau mendengar. Melek tetapi tidak melihat, tidak tuli tetapi tidak bisa mendengar.

Maka, demikianlah, getaran jantung itu menjadi transceiver yang lantas mem-feed-back kembali pola getaran tersebut ke pusat hati yang ada di otak. Dalam istilah al Qur’an disebut sebagai Fu-ad, yakni ’Pusat Kecerdasan Hati’ alias ’Hati Dalam’ ...! (bersambung)

Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~


oleh Agus Mustofa pada 13 Januari 2011 pukul 18:55