Metode yang paling manjur dalam sebuah pembelajaran sebenarnya
sangatlah sederhana: ‘tirulah cara belajar anak kecil’. Tentu saja yang alamiah.
Jangan yang sudah direkayasa oleh para orang dewasa yang ada di sekitarnya. Apalagi
yang sudah dimanipulasi untuk kepentingan tertentu, sehingga menjurus kepada doktrin,
yang menyebabkan anak-anak tidak tumbuh berkembang secara sehat dalam pemikirannya.
Menurut Anda anak-anak itu belajar secara paedagogi ataukah Andragogi?
Cobalah lihat bagaimana proses belajar anak-anak untuk
menjadi pintar.
1). Keingintahuannya sangat besar. Kecuali punya kelainan
bawaan. Segala macam dia eksplore untuk memenuhi rasa keingintahuannya. Dimulai
dari dirinya, dia sering memainkan-mainkan anggota badannya. Misalnya menggerak-gerakkan
tangan dan kakinya. Mengulum-ngulum jari-jarinya. Memegang apa saja yang bisa dipegang
dan seterusnya. Dia sedang mencoba mengenal, mempersepsi, merasakan sensasi, dan
kemudian menyimpannya di dalam memori. Suatu saat, itu berguna untuk memutuskan
sesuatu terkait kejadian yang sedang dia hadapi.
2). Dia tidak mengenal rasa takut dan malu, karena dia
belum punya persepsi terhadap sebuah sistem nilai. Kecuali sudah ditakut-takuti
terlebih dahulu atau ditanamkan sikap terhadap suatu nilai moral tertentu. Yang
ada di benaknya adalah keingintahuan, dan ia ingin melampiaskan sepuas-puasnya.
Nah, pengalaman yang menakutkan, memalukan, menyedihkan, membahagiakan, membuat
tertawa dan menangis, dan sebagainya itulah yang akan menjadi sistem nilai baginya
setelah beranjak dewasa. Jika pengalaman masa kecilnya kurang lengkap terhadap sistem
nilai ini maka biasanya saat dewasa ‘bermasalah’.
3). Tidak mengenal kata ‘sulit’. Karena memang dia tidak
tahu. Yang ada hanyalah, ingin memperoleh sesuatu. Jika dia tidak bisa memperoleh,
dia akan berusaha terus untuk memperolehnya. Sekarang gagal, ya nanti. Nanti gagal,
ya besok. Besok gagal, ya lusa. Dan seterusnya. Orang-orang di sekitarnyalah yang
menyugesti dia untuk menganggapnya sulit. Padahal, sebenarnya bagi dia ‘mudah’ dan
‘sulit’ itu sama saja.
4). Melihat dan meniru apa yang ada di sekitarnya. Sejak
kecil anak-anak tidak tahu apa-apa. Dia menjadi tahu segala sesuatu karena melihat
dan meniru yang ada di sekitarnya. Mulai dari cara tertawa, cara menangis, cara
makam, cara mandi, tidur, bekerja, berpakaian, bergaul, berbahasa, sampai beragama.
Karena itu, kita bisa mengenal asal usul suatu suku bangsa dari cara dia menyikapi
dan melakukan sesuatu. Suku Jawa, suku Madura, Batak, Sunda, atau Cina, Arab, Eropa,
Amerika, dan seterusnya, mereka memiliki kekhasan yang sama karena belajar dari
lingkungan yang sama sejak kecil. Bagi orang Indonesia, bahasa Inggris dan Arab
adalah sulit misalnya, tetapi bagi anak-anak yang terlahir di Inggris dan Arab tidak
ada kata sulit. Demikian pula sebaliknya.
Maka, kalau kita meniru proses pembelajaran pada seorang
anak, kita akan memperoleh analoginya untuk proses pembelajaran dan pendidikan agama
bagi umat Islam. Bahwa cara belajar yang paling efektif itu adalah:
1). Dimulai dari keingintahuan yang besar. Kalau sang pembelajar
sendiri sudah tidak ingin tahu tentang hal tersebut, maka proses pembelajaran dengan
metode apa pun tidak akan efektif. Untuk menjadi efektif, kita harus membangkitkan
dulu rasa keingintahuan mereka. Ini bagi saya syarat utama yang harus dimiliki oleh
seorang pembelajar. Bagaimana caranya membangkitkan keingin tahuan itu? Tentu saja
sangat beragam tergantung situasi dan kondisi yang menyertainya. Tetapi yang paling
efektif, menurut saya, adalah harus melibatkan kepentingan sang pembelajar sendiri.
Kalau dia saja sudah menganggap tidak berkepentingan dengan topik yang sedang dibicarakan,
tentu saja dia tidak akan tertarik. Dan kalau sudah tidak tertarik, tentu tidak
efektif.
Karena itu, untuk bisa mengenal Allah misalnya, kita harus
mengenal diri sendiri. Supaya apa? Supaya kita tahu bahwa diri kita memiliki berbagai
keterbatasan. Kalau sudah tahu dirinya serba terbatas, maka ia akan merasa membutuhkan
’sesuatu’ di luar dirinya yang bisa membuat dia memperoleh kepentingannya. Awalnya
mungkin dia meminta tolong kepada sesama. Tetapi setelah dia tahu bahwa sesamanya
juga memiliki serba keterbatasan, dia akan mencari yang lebih tinggi lagi. ’Sesuatu’
yang memiliki kriteria ’serba hebat’ dalam segala hal. Sehingga ketika dia memperoleh
masalah dia bisa curhat dan minta tolong kepada-Nya. Menjadi tempat bergantung dan
berlindung. Dari sinilah kemudian proses bertuhan itu bergulir secara alamiah. Tentu
saja, melewati tingkatan-tingkatan yang akan menggiringnya sampai ke pertemuan dengan
Sang Penguasa alam semesta secara hakiki.
2). Jangan merasa takut dan malu dalam beragama. Perasaan
takut dan malu ini seringkali dimunculkan oleh pihak-pihak diluar diri kita. Misalnya
oleh guru atau orang tua yang doktrinal. Misalnya, ditanamkan kepadanya, kalau dia
belajar sendiri pasti akan gagal. Akan tersesat. Ditemani setan, dan sebagainya.
Kenapa tidak dikatakan sebaliknya saja. Kalau dia rajin belajar sendiri dia akan
sukses, punya wawasan yang luas yang mengantarkannya pada kesuksesan, dan ditemani
oleh Allah Sang Maha Berilmu. Yang demikian tentu sangat positip buat sang pembelajar.
Kalau belum apa-apa sudah takut dan malu, maka proses pembelajarannya
akan terhenti. Allah pun di dalam al Qur’an selalu memotivasi kita untuk bangkit
dengan semangat yang kuat. Misalnya, dikatakan-Nya bahwa Dia tidak membebankan
apa-apa yang lebih dari kekuatan kita. Dia juga mengajarkan, bahwa Dia mengampuni
dosa-dosa yang dilakukan karena ketidaksengajaan. Dan sebagainya.
QS. Al Baqarah (2): 286
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari) yang dikerjakannya...
QS. Al Baqarah (2): 225
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang
tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh
hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Maka bebaskanlah perasaan dan pikiran kita dalam proses
belajar. Mirip anak kecil yang pingin tahu segala. Yang penting niatnya diluruskan
dulu. Karena, kata Nabi, hasil usaha kita itu akan berbanding lurus dengan niat
yang kita tanamkan sejak awal. Kalau niatnya sudah buruk, hasilnya pasti
buruk. Tetapi, kalau niatnya ingin menjadi lebih baik, Insya Allah hasilnya akan
lebih baik ke masa depan. Yakinlah, jangan ragu sedikitpun.
QS. Faathir (35): 43
...Rencana jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang
merencanakannya sendiri...
Sebagian besar kegagalan sebenarnya disebabkan oleh faktor
internal daripada eksternal. Ada yang disebabkan oleh keragu-raguan dan ketidakyakinan.
Ada yang disebabkan oleh kurang kerasnya usaha. Ada yang disebabkan oleh ketidak
konsistenan dalam mencapainya.
Perbedaan antara orang sukses dan tidak sukses itu sebenarnya
hanya satu saja. Yakni, orang yang tidak sukses: ketika gagal dia tidak bisa bangkit
lagi. Sedangkan orang yang sukses: ketika gagal, dia bangkit lagi. Gagal, bangkit
lagi. Gagal bangkit lagi, dan seterusnya. Sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.
Jika pun dia tidak memperoleh persis seperti apa yang dia harapkan, dia tetap berpuas
diri menerima apa yang telah dicapai dengan usaha kerasnya itu. Dan, dia bisa mengambil
pelajaran dari kegagalan tersebut untuk upaya berikutnya. Pada hakekatnya, dia tetap
sukses memperoleh manfaat dari seluruh upaya yang telah dia lakukan.
3). Perasaan ’sulit’ akan sesuatu sebenarnya ditanamkan
dari luar diri kita. Misalnya, ada yang mengatakan: memahami al Qur’an itu sulit
lho..! Syaratnya banyak, ada belasan. Harus ini dulu, harus itu dulu, dan seterusnya,
barulah boleh mempelajari al Qur’an. Ada pula yang mengatakan shalat khusyuk itu
juga sulit lho..! Harus begini, harus begitu, dan seterusnya baru bisa khusyuk.
Dengan cara begini, sang pembelajar sudah memperoleh ’beban’ dulu. Dan akhirnya,
benar-benar menemui kesulitan. Padahal itu adalah sugesti yang telanjur tertanam
di alam bawah sadarnya.
Kenapa tidak dikatakan saja bahwa belajar agama ini mudah.
Persis seperti yang diajarkan Allah. Bahwa al Qur’an ini mudah untuk dipelajari,
maka pelajarilah. Bahwa beragama ini mudah, dan Allah menghendaki kemudahan bagi
hamba-hamba-Nya, bukan hendak menyulitkannya. Dan seterusnya.
QS. Al Qamar (54): 17
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk
pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?
QS. Al Baqarah (2): 185
... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu...
Sehingga Allah memotivasi kita dengan firmannya, bahwa
bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Dalam istilah lain, sebenarnyalah ’kesulitan’
itu diciptakan satu paket dengan ’kemudahan’. ’Masalah’ diciptakan satu paket dengan
’solusi’. Penyakit diciptakan satu paket dengan obatnya. Dan seterusnya. Tinggal
bagaimana kita bisa menemukan pasangan paket tersebut. Agama adalah sesuatu yang
mudah dan menyenangkan, serta memberikan kemudahan dalam menjalani kehidupan.
QS. Alam Nasyrah (94): 5-6
Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.
4). Proses pembelajaran tidak terlepas dari melihat contoh
dan menirunya. Itulah teknik yang sangat efektif. Belajar bahasa misalnya, lihat
dan amati saja orang-orang yang menggunakan bahasa itu dalam kesehariannya, dan
kemudian tirulah. Maka Anda akan bisa berbicara seperti pengguna aslinya. Demikian
pula belajar ilmu-ilmu lainnya. Amati, pahami, tirukan, biasakan, dan Anda pun menjadi
BISA. Tentu saja ada yang sekedar bisa, tapi ada juga yang ahli, bergantung pada
banyak hal yang menyertai proses pembelajarannya.
Proses beragama juga demikian. Mendidik anak, keluarga,
dan umat harus dengan keteladanan. Tidak bisa hanya dengan omongan. Yang demikian
dikritik keras oleh Allah di dalam al Qur’an. ’Jangan hanya ngomong, sesuatu yang
tidak kita kerjakan’. Karena yang demikian ini tidak memberikan pendidikan secara
efektif. Dan sebaliknya mendidik umat menjadi orang-orang yang munafik.
QS. Ash Shaff (61): 3
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan.
Maka, tanamkanlah proses beragama itu lewat keteladanan.
Cara shalat kita akan ditiru anak-anak kita. Cara berpuasa kita juga ditiru mereka.
Cara berdoa, cara bersedekah, cara bersikap terhadap orang lain, cara bebicara,
cara berpikir, cara menganalisa masalah, cara memutuskan persoalan, cara membuat
perencanaan kemasa depan, sampai pada cara kita ’besikap’ tehadap Tuhan dengan segala
dinamika ujian yang diberikan kepada kita, atau pun mensyukurinya. Kuncinya adalah:
keteladanan, keteladanan dan keteladanan...!
QS. Mumtahanah (60): 4
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada
Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia...
QS. An Nahl (16): 120
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat
dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah
dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan),
QS. Al Ahzab (33): 21
Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu...
Tentu saja yang dimaksud berteladan tidak harus sama persis
secara fisikal. Melainkan ’sejiwa’ secara substantif. Karena, sepersis apa pun kita
meniru orang lain, tidak akan pernah menjadi orang lain itu. Kita tetap akan menjadi
diri kita sendiri. Cuma ’ketularan’ polanya saja.
Maka, bagaimanakah kesimpulan proses pembelajaran yang
efektif bagi umat Islam dalam beragama? Menurut saya sebagai berikut:
1). Jika yang kita didik adalah ANAK-ANAK, maka sebenarnya
itu lebih mudah. Berikan saja keteladanan agar dia meniru apa saja yang sedang kita
ajarkan. Kalau kita mau dia menjadi anak yang ahli ibadah, ajaklah dia bersama-sama
untuk beribadah secara istiqomah. Kalau kita mau anak kita menjadi orang yang santun
dan berakhlak mulia, maka contohilah dia dalam bertutur kata dan bergaul dengan
siapa saja dengan akhlak yang mulia. Jika kita ingin dia menjadi dermawan, maka
ajaklah dia sering-sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kepedulian
kepada kaum dhu’afa. Kalau kita ingin dia menjadi seorang pemikir hebat, maka ajaklah
dia untuk berdiskusi setiap saat tentang segala macam permasalahan sehingga dia
menjadi terbiasa menganalisa, menyimpulkan, memutuskan, dan mengekspresikan. Dan
seterusnya.
Dalam konteks ini, orang tua dan guru harus menjadi pemicu,
pemancing, fasilitator dan TELADAN. Karena sang anak tidak akan meniru apa yang
diomongkan, kalau ternyata dia melihat kontradiksi antara omongan dan perbuatan
guru atau orang tuanya. Atau, setidak-tidaknya dia akan meniru cara melakukan ’kontradiksi’
itu. Misalnya, dia akan menjadi pembohong. Di mulut mengatakan A, di hati B, di
perbuatan C.
Sebagai seorang panutan, tentu guru atau orang tua harus
tampil seutuhnya. Kepandaiannya akan ditiru. Cara menyampaikan gagasan akan ditiru.
Cara menjawab juga ditiru. Cara menghindar dan menyelamatkan diri juga ditiru. Termasuk
cara marah atau sabarnya ketika dikritik juga akan ditiru. Bahkan sampai kualitas
keikhlasan yang terpancar dari sikapnya pun akan ditiru.
Jangan segan untuk menunjukkan ketidaktahuan di hadapan
anak-anak kita. Justru, itu harus dijadikan sebagai momentum untuk mengajarkan kejujuran,
sekaligus motivasi untuk pantang menyerah dalam mencari jawaban atas ketidaktahuan
tersebut. Keteladanan untuk terus belajar, dan tidak malu dengan ketidak tahuan,
asalkan terus berusaha mencari solusinya. Karena sesungguhnya sikap tidak bisa dibentuk
dengan omongan, melainkan dengan keteladanan. Dan kemudian dibiasakan.
2). Jika yang kita hadapi adalah orang dewasa, yang sudah
PUNYA sistem nilai yang terbentuk sebelumnya. Dan sudah menjalankan keyakinannya.
Ini lebih sulit. Karena mereka sudah memilikibarrier alias dinding penghalang
di benaknya, dalam bentuk yang beragam. Sangat bergantung pada masa lalunya. Apakah
dia orang yang terbuka terhadap segala hal yang baru, ataukah dia orang yang tertutup
dan ’keukeuh’ dengan pendapat lamanya. Yang paling sulit, adalah mereka yang
sebelumnya sudah masuk dalam lingkaran doktrinal.
Ada beberapa teknik untuk mengajak mereka belajar agama.
Tetapi pada dasarnya semuanya sama, yakni: melibatkan sang pembelajar untuk mengalami
dan menjiwai sendiri apa yang sedang dipelajari. Kalau tidak, hasilnya dijamin tidak
akan efektif. Biasanya akan muncul sikap acuh tak acuh, merasa tidak butuh, menganggap
remeh, tidak berkepentingan, bahkan buang-buang waktu saja.
Yang ’paling mudah’, dalam kelompok ini, adalah jika mereka
bertanya duluan. Yang demikian ini sudah terpenuhi syarat utamanya, yakni dia ’ingin
tahu’ dan merasa ’membutuhkan’. Kecuali, kalau pertanyaannya hanya untuk ngetes..
:( Pada kelompok pertama ini, halangan psikologisnya
relatif lebih rendah. Kita tinggal memberikan jawaban yang logis dan bisa diterima
oleh akal sehatnya saja, sambil tentu saja tetap menunjukkan keteladanan. Bahwa
kita juga melakukan apa yang menjadi jawaban kita itu.
Yang ’kurang mudah’ adalah mereka yang tidak bertanya tetapi
memiliki pemikiran yang terbuka. Keingin-tahuannya terhadap masalah tersebut agak
kurang, sehingga kita harus pandai-pandai ’menarik perhatiannya’. Supaya dia menganggap
topik pembicaraan kali ini adalah bagian dari kepentingan dan kebutuhannya.
Yang ’agak tidak mudah’, adalah mereka yang membantah dengan
konsep yang berseberangan. Sebenarnya mereka sudah tertarik dengan topik tersebut,
tetapi berbeda pendapat. Kita harus bisa ’menunjukkan’ titik lemah dari pendapat
dia terlebih dahulu, baru kemudian mengajukan konsep kita kepadanya. Jika dia orang
yang terbuka, biasanya bisa menerima dengan lapang dada.
Dan yang ’tidak mudah’ adalah mereka yang ’menyerang’ dengan
konsep yang berbeda, tetapi sambil menutup hati dan pikirannya untuk menerima apa
pun yang berbeda dengan pendapat dia. Yang ini ’sama tidak mudahnya’ dengan mereka
yang tidak bertanya, tapi sambil menutup hati dan pikirannya dari pendapat apa pun
yang berbeda dengannya. Istilahnya cuek bebek... :(
QS. Al Baqarah (2): 88
Dan mereka berkata: "Hati kami tertutup". Sungguh
Allah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; maka sedikit sekali diantara mereka
yang ( bisa) beriman.
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~