Oleh Muhammad Syafiq Dzulbashor di JERNIH (Berkas)
Sebagaimana
pengetahuan yang sering lita terima dari studi hadits, bahwa hadits adalah
sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang memiliki peranan penting
dalam berbagai disiplin dan dimensi kehidupan.
Rasulullah
selain meninggalkan wahyu (Al-Qur’an) juga As-Sunnah (Hadits) sebagai pegangan
dan penuntun umat Islam dimanapun dan kapanpun.
Walaupun
posisinya nomor dua, tetapi kedudukan hadits sangat penting dalam menjelaskan
dan menjabarkan pesan-pesan atau perintah dan larangan yang ditegaskan oleh Al-Qur’an.
Tulisan ini akan menyajikan tentang sejarah penulisan
hadits. Seperti yang banyak kita jumpai bahwa dari sekian kitab sunnah yang ada
sekarang ini merupakan hasil kerja keras dari proses seleksi yang cukup
panjang. Tak pelak lagi, bahwa dalam sejarah pengumpulan dan penulisan selalu
diwarnai perdebatan panjang dalam rangka menentukan keotentikan hadits. Sikap
kehati-hatian dan kecermatan telah ditunjukkan oleh para penghimpun hadits
dengan cara yang selektif dan penuh pertimbangan.
Sebagian orang berpendapat bahwa pada masa Rasulullah,
periwayatan hadits umumnya hanya dilakukan melalui hafalan dari satu sahabat ke
sahabat lain, bukan melalui tulisan. Pertimbangannya hanya sederhana, yakni
dikhawatirkan akan tercampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Meskipun Al-Qur’an
sendiri pada awalnya juga sama, bukan untuk dibukukan (ditulis). Tetapi secara
tegas, Rasulullah memberikan lampu hijau kepada para sahabat supaya mencatatnya
dengan alat tulis. Sehingga pengumpulan dan penulisan ayat-ayat Al-Qur’an lebih
mudah di bandingkan dengan kondisi hadits.
Sementara pendapat lain mengatakan bahwa pada diri hadits
belum ada ketegasan tentang perintah yang jelas mengenai penulisannya. Bahkan
ada sebuah riwayat yang mengatakan sebaliknya, bahwa para sahabat dilarang
menulis. Atas dasar inilah kemudian tidak semua hadits dapat diterima dengan
serta-merta. Sehingga satu hal yang membuktikan ketidakotentikan hadits yang
dianggap berasal dari Nabi tentang pelarangan penulisan hadits adalah
pernyataan Umar, berkenaan dengan maksud penghimpunan hadits. Umar diriwayatkan
berkata: "saya bermaksud menuliskan hadits Nabi. Tetapi niat itu segera
kusadari bahwa umat terdahulu menulis kitab-kitab tertentu dan mereka
mengabaikan kitab suci. Demi Allah, saya tidak akan membiarkan sesuatu pun yang
dapat mengubah Kitab Allah. "
Riwayat di atas mengungkapkan bahwa khalifah kedualah
yang untuk pertama kali, berniat menulis hadits. Dalam sebagian versi dari
riwayat penulisan ini disebutkan bahwa Umar berembuk dengan para sahabat yang
lain tentang perkara ini dan mereka pun menyetujuinya; tetapi pendiriannya lalu
berubah karena alasan yang telah ia nyatakan, dan bukan berdasarkan larangan
Nabi.
Hal lain yang dapat dikutip sebagai bukti
ketidakotentikan hadits mengenai larangan penulisan hadits ialah pernyataan
Nabi pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya. Pada hari itu, ketika para
sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya, Nabi bersabda kepada mereka:
"Bawakan kepadaku kertas dan tinta, sehingga dapat aku tuliskan sesuatu
untuk kalian, yang tidak akan menyebabkan kalian terjerumus ke dalam
kekeliruan." Ada sebagian orang di bawah pimpinan Umar yang menentangnya
dengan mengatakan, "Cukup bagi kita Kitab Allah." Riwayat ini
menunjukkan kepada kita bahwa penulisan apa pun selain Al-Qur’an bukan saja
tidak dilarang, tetapi penulisan itu bahkan penting menurut pertimbangan Nabi
agar ummah tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesesatan.
Sekitar Penulisan Hadits
Mengkaji tentang seputar penulisan hadits, setidaknya
akan kita jumpai dua perspektif yang berbeda.
Perspektif yang pertama melarang penulisan hadits dengan
memakai dasar kepada hadits yang diyakini dari Rasul.
Sementara perspektif kedua, mengatakan bahwa penulisan
hadits pada masa Nabi diperbolehkan, dengan bersumber pula pada hadits Nabi.
Al-Nawawi dalam bukunya yang berjudul al-Minhaj Syarh
Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, menjelaskan bahwa ada beberapa riwayat tentang
pelarangan menulis hadits pada masa Rasulullah saw. Salah satu hadits yang
diyakini dari Rasulullah diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri.
لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّيْ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْسَحُهُ
Artinya: Jangan kamu sekalian menulis sesuatu dariku, dan
barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia
menghapusnya.
Sejalan dengan hadits di atas, Masjfuk Zuhdi menambahkan
bahwa larangan penulisan ini ada hikmahnya.
Pertama, berhubungan
pada waktu itu sahabat-sahabat Nabi masih banyak yang Ummi (tidak bisa baca
tulis), sedang waktu itu wahyu Ilahi masih turun (Al-Qur’an), jadi Nabi
mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak dapat membedakan qur'an dan hadits,
sehingga terjadi percampuran antara keduanya.
Kedua,
Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuannya mereka
untuk memelihara semua ajarannya tanpa catatan/ulisan danini berarti secara
tidak langsung mendidik mereka untuk percaya pada kemampuan sendiri.
Masih menanggapi hadits Abu Sa'id al-Khudri, menurut
Ja'farian hadits tersebut tidak dapat diterima keshahihannya dengan alasan
berikut;
Pertama,
kalau kita menerima hadits itu, berarti kita tidak dapat membatasi penerapannya
pada masa tertentu saja. Jika penulisan hadits tidak diperbolehkan dan haram,
maka haramnya itu harus untuk setiap saat. Tetapi para perawi hadits tidak
berpegang kepadanya dan pada akhirnya mereka menulis serta menghimpun berbagai
hadits.
Kedua,
perawi ini telah meriwatkan juga hadits yang lain yang menunjukkan boleh
menulis hadits, dan kalau kita menganggap kedua rangkaian hadits ini sama kuat,
kita harus menolak kedua-duanya karena bertentangan. Dalam hal ini keduanya
kehilangan kredibilitasnya, walaupun misalnya, kita tidak dapat membuktikan kelemahan
hadits dengan cara lain.
Ketiga,
Abu Sa'id al-Khudri yang meriwayatkan juga hadits ini, telah menyampaikan
pernyataan lain yang bertentangan dengan ini. Ia berkata; "pada masa itu,
kita tidak menuliskan apa pun kecuali Al-Qur’an dan Tasahhud".
Dari pernyataan ini ada dua hal yang dapat disimpulkan; pertama,
Abu Sa'id al-Khudri tidak berkata bahwa mereka menuliskan hadits atas perintah Nabi,
kerana seandainya demikian, ia harus menunjukkannya, kecuali kalau penjelasan
tersebut bukanlah yang ia maksudkan. Kedua, ditambahkannya kata tasahhud
dalam pernyataan itu tidak sesuai dengan maksud pelarangan penulisan apa pun
kecuali Al-Qur’an.
Perlu diperhatikan bahwa dalam hadits lain yang semua
dari Ibn Mas'ud, istikharah disebut bersama tasahhud. Dan masih banyak alasan
lain yang berkenaan dengan riwayat Abu Sa'id al-Khudri tersebut.
Sebaliknya, di samping ada riwayat yang melarang
penulisan hadits, ada juga yang membolehkannya.
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam bukunya Fath al- Bari Syarh
al-Bukhari dikatakan bahwa riwayat yang membolehkan itu berasal dari Abu
Hurairah. Periwayatan ini, berkaitan dengan terjadinya "fath
al-Makkah".
Pada waktu itu, Rasulullah berdiri untuk menyampaikan
khutbah kepada penduduk Makkah, ketika dalam penyampaian ada seorang dari Yaman
berdiri bernama Abu Syah, tiba-tiba berkata; ya Rasulullah!, tuliskan (khutbah
tersebut) untukku, maka Rasulullah berkata kepada para sahabat; tuliskan
khutbah ini untuknya!
Penjelasan lain yang diungkapkan oleh Hasbi al-Shidiqi,
merujuk kepada kitab "al-Madkhal" yang diriwayatkan oleh Ahmad dan
Baihaqi dari Abu Hurairah;
مَامِنْ أَ حَدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِ ص م، أَكْثَرَ حَدِيْثًا عَنْهُ مِنِّيْ إِلاَّ مَاكَانَ عِنْدَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِوبْنِ العَاصِ فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَنَا أَكْتُبُ
Artinya: Tidak seorang dari sahabat nabi yang demikian banyak (lebih mengetahui)
hadits rasul daripadaku, selain Abdullah ibn Amr ibn Ash. Dia menuliskan apa
yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.
Masih dalam penjelasan al-Shidiqi, bahwa ada pula riwayat
yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya
hukum-hukum diyat yang diberatkan kepada keluarga, dan lain-lain.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat,
Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan.
Penjelasan yang hampir senada juga dikemukakan Zuhdi,
bahwa sebuah riwayat dari Nabi;
اُكْتُبْ عَنِّيْ، فَوَالَّذِي نَفْسِى بِيَدِهِ مَاخَرَجَ مِنْ فَمِّيْ إِلاَّ حَقٌّ
Artinya: Tulislah dariku, demi dzat (Tuhan) yang jiwaku di dalam kekuasaan-Nya,
tidak keluar dari mulutku kecuali yang benar (haq).
Hadits tersebut, merupakan sebuah jawaban terhadap
pertanyaan Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash tentang penulisan sunah-sunah. Sementara
al-Shidiqi, menjelaskan riwayat tersebut bahwa selain Nabi sendiri pernah
mengirim surat kepada sebagian pegawainya menerangkan kadar-kadar zakat Unta
dan Kambing.
Dan pernah dengan tegas Nabi memerintahkan sahabat
menulis hadits.
Secara dhahir, dua versi riwayat di atas betul-betul
bertentangan, karena itu para ulama mengambil suatu pendekatan untuk
mengkompromikan atau mendamaikan (al-jam'u) antara keduanya.
Salah satu cara untuk mengambil jalan tengah dari versi
yang berbeda tersebut adalah dengan cara tarjih, yakni mengambil salah satu
riwayat yang terkuat dari kedua riwayat tersebut.
Pendekatan pertama, seperti yang tertera dalam
Kitab Ibn Hajar bahwa langkah yang harus ditempuh adalah dengan cara
mengkritisi sanad/rawinya. Sedangkan riwayat yang berkenaan dengan larangan
penulisan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri merupakan salah satu
hadits yang sanadnya mauquf, yakni terhenti sampai Abu Sa'id al-Khudri.
Pendekatan
kedua, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Ushul al-Hadits bahwa
perlu dilakukan sebuah langkah pendamaian hadits yang bertentangan.
Hadits riwayat Abu Sa'id al-Khudri, sebetulnya ditujukan
kepada mereka yang menulis hadits dan Al-Qur’an dalam satu shahifah, sebab
selain mereka mendengar ayat yang diturunkan, juga mendengarkan penafsiran yang
dilakukan oleh Nabi, sehingga kalau ditulis dalam satu shahifah akan tercampur.
Pendekatan
ketiga, dalam Ushul al-Hadits dikatakan bahwa larangan penulisan
hadits ditujukan kepada mereka yang mempunyai hafalan yang luar biasa, sehingga
kalau dibolehkan menulis hadits, dikhawatirkan selalu bergantung pada tulisan,
sehingga keringanan (rukshah)menulis hadits, hanya ditujukan kepada mereka yang
lemah hafalannya.
Dari ketiga pendekatan yang dilakukan oleh para ulama
tersebut, al-Khatib mengambil sebuah konklusi bahwa pendekatan pertama tidak
dapat diterima.
Penolakan al-Khatib terhadap hadits itu beralasan bahwa
sanad haditsnya masih belum jelas, bahkan sebagian imam hadits mengatakan
mauquf. Sehingga al-Khatib berpendirian bahwa larangan tersebut berlaku kepada
mereka yang menulis Al-Qur’an dan hadits dalam satu shahifah seperti pada
pendekatan kedua.
Larangan Rasulullah itu beralasan bahwa hanya
dikhawatirkan para shahabat akan sibuk dengan hadits, sementara penulisan Al-Qur’an
ditinggalkan. Begitu pula dengan keringanan (rukhshah), itu bersifat umum (‘am)
dan larangan bersifat khusus (khas).
Dengan demikian, menurut Muhammad ‘Ijaj al-Khatib dan Abd
Rahim ibn al-Husein al-Iraqi yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan di
atas, maka sebenarnya tidak terjadi pertentangan makna yang berarti, karena
keduanya bisa dipadukan dengan alternatif-alternatif di atas, yang intinya
bahwa Rasulullah menginzinkan penulisan hadits.
Hadits
Masa Rasulullah
Al-Zahrani dalam bukunya "Tadwin al-Sunnah
al-Nabawiyah" menyatakan bahwa penulisan hadits sebenarnya telah di mulai
sejak masa Rasulullah.
Dengan adanya hadits-hadits yang mengandung perintah
untuk menulis, yang berarti penulisan hadits sesungguhnya tersebut dimulai
sejak masa Rasulullah, sekalipun yang diperioritaskan adalah wahyu yang turun.
Sementara itu, hadits-hadits yang menyatakan rukshah,
seperti pendapat di atas, juga didukung beberapa ungkapan para sahabat itu
sendiri. Salah satunya adalah Abu Hurairah, yang menyatakan bahwa hafalannya
tidak ada yang melindungi kecuali ‘Abdullah ibn ‘Amr, karena ia tidak menulis
sedangkan Ibnu ‘Amr menulis hadits.
Bukti lain yang serupa adalah bentuk shahifah. Misalnya
ada shahifah Abu Bakr, Shahifah ‘Ali ibn Abi Tahlib, dan shahifah ‘Abdullah ibn
‘Amr ibn ‘Ash, semua itu merupakan bukti yang ada pada diri yang telah banyak
membukukan hadits pada masa Rasulullah.
Hadits Masa Shahabat dan Tabi'in
Akram Dhiya' al-‘Umari sebagai penulis buku Buhuts fi
Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah, menyadari bahwa terjadinya sebuah kontradiksi
yang sangat keras di kalangan sahabat itu diakibatkan pandangan yang masih
bersifat generik. Sebagian yang tidak setuju menulis hadits menolaknya
mentah-mentah dan bahkan sampai ada yang membakarnya. Ada sebagian yang lain
memahami larangan itu sudah di nasakh, ada pula yang menggunakan dua pendapat
dalam waktu berbeda; kadang melarangnya dan kadang membolehkannya.
Kalau begitu, sesungguhnya telah ada sebuah perhatian yang
sangat besar ditunjukkan para sahabat kepada hadits tersebut. Dan ini merupakan
dasar bagi penulisan hadits serta lebih-lebih untuk menjaga kemurnian dan
penyebarannya kepada umat Islam. Ada beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan
para sahabat dalam menjaga kelestarian al-Sunnah al-Nabawiyah, sebagai berikut;
a. Menganjurkan untuk menghafal dengan disertai mengkritisi
teks-teks hadits secara cermat dan tegas. Begitu pula mereka menyuruh para
santrinya manulis teks-teks supaya mudah dalam menghafalnya. Setelah dirasa
hafalnnya sudah mantap, tulisan tersebut dihapus agar tidak tergantung kepada
tulisan dan mengurangi minat menghafal.
b. Saling mengirim tulisan hadits di antara mereka.
Sebagaimana yang di riwayatkan Imam Muslim, yang menyatakan bahwa Jabir ibn
Samurah menuliskan sebagian hadits Rasulullah, kemudian di kirimkan kepada ‘Amr
ibn Said Abi Waqash karena permintaannya.
c. Membukukan hadits dalam bentuk shuhuf dan melalui bentuk
shuhuf inilah akhirnya kegiatan penulisan dan pengumpulan hadits pada masa-masa
berikutnya.
Adapun hadits pada masa tabi'in, tidak jauh berbeda
dengan hadits di masa sahabat. Di sana juga masih ada perbedaan mengenai hukum
menulis hadits Rasulullah.
Meskipun demikian, pada masa ini lahir beberapa ulama
dengan perhatian yang sangat besar terhadap penulisan hadits. Tidak hanya itu,
mereka menjaganya dengan bentuk shahifah. Ulama yang terlibat dalam penulisan
ini, seperti Abi al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Tadrus al-Asadi, yang
menulis beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ibn ‘Abdillah dan dari
yang lainnya.
Pada masa tabi'in, kegiatan tulis-menulis semakin
berkembang pesat. Mereka ramai-ramai menyerbu halaqah al-‘Ilm, bahkan di antara
mereka ada yang sangat memperhatikan terhadap penulisan ilmu yang mereka
terima. Dengan semangat yang tinggi, mereka menyadari bahwa menulis ilmu
merupakan kebutuhan, dan kondisi demikian telah membentuk sikap mereka untuk
menulis dalam setiap halaqah al-‘Ilm.
Menyadari akan pentingnya penulisan ‘ilm (hadits) mereka
berusaha untuk menjaganya. Sehingga berkembangnya penulisan ini juga atas pertimbangan
banyak hal, misalnya;
1)
Meluasnya periwayatan, disertai dengan sanad yang
panjang, yang mencantumkan nama-nama perawi, julukan dan nasabnya,
2)
Para sahabat dan tabi'in tua yang terkenal kuat
hafalannya, banyak yang telah meninggal dunia, tentu akan semakin besar
kemungkinan hadits yang hilang, kalau tidak segera dibukukan,
3)
Kekuatan hafalan yang dimiliki oleh para ummat Islam pada
waktu itu semakin lemah, karena makin banyak ilmu pengetahuan yang membutuhkan
pemikiran juga, dan
4)
Munculnya gerakan-gerakan bid'ah, dan banyaknya
orang-orang yang membuat hadits palsu.
Masa Umar ibn ‘Abd Aziz
Setelah melalui beberapa periode, Umar ibn ‘Abd Aziz
termasuk orang yang mempunyai hasrat besar terhadap pembukuan hadits.
Menurut sejarahnya, semula yang ingin membukukan adalah
ayahnya (‘Abd Aziz ibn Marwan), ketika menjabat sebagai gubernur di Mesir. Pada
waktu itu, ia menulis permohonan kepada Kathir ibn Murrah al-Khadlrami, seorang
tabi'in yang pernah bertemu dengan 70 ahli badr, untuk menulis apa-apa yang
pernah didengar dari hadits-hadits Rasulullah. Namun hasil akhirnya belum dapat
diketahui secara jelas.
Akhirnya, Umar ibn ‘Abd Aziz meneruskan usaha tersebut,
dan segera menulis surat kepada Abu Bakr ibn Hazm, yang intinya meminta
kepadanya untuk menulis hadits-hadits Rasulullah dari Umrah binti ‘Abd
al-Rahman al-Anshariyah dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Selain itu, Umar
juga meminta kepada ulama yang ada diseluruh wilayah Islam. Sebelum selesai penulisan,
Abu Bakr ibn Hazm meninggal dunia.
Setelah itu, usaha yang maksimal baru dikerjakan oleh
Imam Muhammad ibn Syihab al-Zuhri. Ia di tugasi Umar untuk mengumpulkan seluruh
hadits-hadits Rasulullah, yang kemudian dijadikan sebuah buku. Al-Zuhri termasuk
orang pertama kali yang dapat membukukan hadits secara resmi dan menyeluruh.
Hadits Masa Abad Kedua dan Ketiga Hijrah
Pada abad kedua hijrah terdapat dua generasi, yaitu
generasi shighar al-tabi'in dan generasi atba'u al-tabi'in.
Generasi pertama, mereka yang hidup sampai setelah tahun
140 hijrah. Sedangkan generasi kedua, mereka yang hidup setelah periode sahabat
dan tabi'in, dalam tingkatan periwayatan hadits dan penyebaran agama Islam
kepada umat, generasi ini mempunyai peranan sangat besar dalam menghadapi ahl
al-bida' wa al-ahwa', dan berusaha sekuat tenaga dalam menghalau segala bentuk
kebohongan hadits (al-wadl'u fi al-hadits) yang dipelopori oleh kelompok
al-Zanadiyah.
Umumnya, mereka sangat berhati-hati ketika melakukan
seleksi hadits untuk dibukukan dan sekaligus disusunnya dalam bentuk susunan
bab.
Selain itu, keberhasilan mereka adalah menyusu ilm
al-rijal, yang ditandai dengan adanya buku-buku yang ditulis oleh al-Laits ibn
Sa'ad, Ibn al-Mubarak, Dlamrah ibn Rabi'ah dan lain-lain.
Selain itu, di abad kedua juga terkenal dengan banyaknya
ulama yang muncul. Mereka sangat faham tetang kronologis periwayatan hadits,
mereka itu adalah Imam Malik, imam Syafi'I, imam al-Tsauri, Imam al-Auza'I dan
lain-lain. Semua itu adalah figur pertama yang menguasai ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan hadits.
Adapun pada abad ketiga hijrah, kondisinya jauh berbeda
dengan abad sebelumnya. Abad ini sampai dikenal dengan the golden age bagi
perkembangan ilmu pengetahuan Islam, terutama yang berkaitan dengan Hadits.
Perkembangan semacam itu akibat tumbuhnya semangat untuk mengadakan rihlah
ilmiah dalam rangka mencari hadits, dan sebagai kelanjutannya menulis sebuah
ilm al-rijal yang banyak beredar buku-buku kumpulan hadits seperti, al-Kutub
al-Sittah, dan al-Masanid, yang sampai sekarang menjadi rujukan dalam bidang
hadits. Semua buku tersebut merupakan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu
hadits dari ulama yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam Ahmad
ibn Hanbal, Ali ibn al-Madini, al-Bukhari, Imam Muslim, Ishaq ibn Rahwaih dan
lain-lain.
Satu hal lagi, bahwa dari perkembangan yang sangat pesat
itu, telah menjadi tonggak sejarah penulisan dan penyusunan hadits. Dan pada
abad ini pula merupakan batas yang membedakan antara muta'akhirin dan
mutaqaddimin, karena ulama-ulama setelah itu tidak menghasilkan karya seperti
abad sebelumnya. Mereka mungkin hanya berusaha untuk memperbaiki susunannya,
mengadakan tahdzib dan seterusnya.
Catatan Akhir
Dari beberapa riwayat dan argumentasi yang dikemukakan
para ulama di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya kegiatan tulis menulis
---termasuk hadits-- sudah dimulai sejak masa Rasulullah.
Problema yang terjadi pada penulisan hadits hanya didasarkan
pada kekhawatiran belaka. Padahal jika kita cermati secara mendalam, alasan kekhawatiran
tersebut sangat lemah. Sebagaimana penolakan yang ditunjukkan oleh Abu Ruyyah
dalam kitabnya "Adwa' ala Sunnah Muhammadiyah" yang dikutip Rasul
Ja'farian dalam al-Hikmah dikatakan sebagai berikut:
"Alasan demikian mungkin tampak meyakinkan bagi
orang awam, tetapi tidak dapat diterima oleh para peneliti. Sebab, itu berarti
menyamakan keindahan bahasa Al-Qur’an setingkat dengan hadits".
Kekhawatiran tercampurnya hadits dengan Al-Qur’an
mustakhil akan terjadi, karena salah satu letak kemukjizatan Al-Qur’an adalah
keindahan bahasa.
Dan jika kekhawatiran tersebut diyakini, maka berarti
mengingkari keistimewaan (mukzizat) Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an merupakan
mukjizat yang sulit ditandingi oleh bahasa siapa pun, termasuk oleh rasul
sendiri.
Abu Ruyyah menganggap bahwa bukan karena ketakutan
tercampur antara hadits dan ayat Al-Qur’an, akan tetapi ada yang lebih daripada
itu yang belum terketahui.
Lebih lanjut, Ruyyah menyatakan bahwa meyakini adanya
kemungkinan bercampuraduknya Al-Qur’an dengan hadits berarti meyakini adanya
kemungkinan pengurangan ayat dalam Al-Qur’an. Keyakinan ini tidak dibenarkan
karena keaslian Al-Qur’an sudah dijamin oleh Allah.
Sungguh, telah Kami turunkan Al-Qur’an (pemberi
peringatan). Dan Kami jualah memeliharanya (Q.S. 15:9).
Lebih lanjut, Ja'farian menggugat bahwa alasan lain yang
diberikan dalam soal penulisan hadits, kemudian orang akan mengabaikan Al-Qur’an
karena memberikan seluruh perhatiannya kepada hadits.
Argumen ini tidak dapat diterima, sebab hal yang sama
dapat terjadi terhadap Al-Qur’an dan hadits yang disampaikan secara lisan.
Memang benar bahwa perhatian ekslusif terhadap hadits merupakan penyimpangan
yang bagi mereka memiliki kecenderungan ke sana, sehingga harus diperingatkan
dan diminta untuk memberikan perhatian yang sama terhadap Al-Qur’an. Tetapi
larangan terhadap penulisan hadits, yang menimbulkan kerusakan yang sulit
diperbaiki pada kebudayaan Islam, bukanlah cara yang tepat untuk mendapatkan
hasil semacam itu.
*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
Daftar Pustaka
Al-Khatib, Muhammad ‘Ijaj, 1989, Ushul al-hadits; Ulumuhu
wa Musththalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr.Al-Shidiqi, Muhammad Hasbi, 1998,
cet.II, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki
Putra.Al-Zahrani, Muhammad ibn Mathr, 1412 H., Tadwin al-Sunnah
al-Nabawiyah" Thaif: Maktabah al- Shadiq.Rasul Ja'farian, AL-HIKMAH, No.
1, Sya'ban-Dzu al-qa'dah 1410 H.Zuhdi, Masjfuk, 1976, Pengantar Ilmu Hadits,
Surabaya: Pustaka Progressif.Al-Nawawi, Muhyidin, 1995, Al-Minhaj Syar Shahih
Muslim ibn al-Hajjaj, Beirut: Dar al-Ma'rifah.Azami, Muhammad Musthafa, 1980,
Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi, Beirut: al-Maktab
al-Islami, dialibahasakan oleh Ali Mustafa Yaqub dengan judul Hadits Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, cet. II, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.Al-Umari, Akram
Dhiya', 1984, Buhuth fi Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah, Beirut: Bitsah.