Senin, 14 Mei 2012

SEJARAH PENULISAN HADITS


Sebagaimana pengetahuan yang sering lita terima dari studi hadits, bahwa hadits adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an, yang memiliki peranan penting dalam berbagai disiplin dan dimensi kehidupan.

Rasulullah selain meninggalkan wahyu (Al-Qur’an) juga As-Sunnah (Hadits) sebagai pegangan dan penuntun umat Islam dimanapun dan kapanpun.

Walaupun posisinya nomor dua, tetapi kedudukan hadits sangat penting dalam menjelaskan dan menjabarkan pesan-pesan atau perintah dan larangan yang ditegaskan oleh Al-Qur’an.

Tulisan ini akan menyajikan tentang sejarah penulisan hadits. Seperti yang banyak kita jumpai bahwa dari sekian kitab sunnah yang ada sekarang ini merupakan hasil kerja keras dari proses seleksi yang cukup panjang. Tak pelak lagi, bahwa dalam sejarah pengumpulan dan penulisan selalu diwarnai perdebatan panjang dalam rangka menentukan keotentikan hadits. Sikap kehati-hatian dan kecermatan telah ditunjukkan oleh para penghimpun hadits dengan cara yang selektif dan penuh pertimbangan.

Sebagian orang berpendapat bahwa pada masa Rasulullah, periwayatan hadits umumnya hanya dilakukan melalui hafalan dari satu sahabat ke sahabat lain, bukan melalui tulisan. Pertimbangannya hanya sederhana, yakni dikhawatirkan akan tercampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Meskipun Al-Qur’an sendiri pada awalnya juga sama, bukan untuk dibukukan (ditulis). Tetapi secara tegas, Rasulullah memberikan lampu hijau kepada para sahabat supaya mencatatnya dengan alat tulis. Sehingga pengumpulan dan penulisan ayat-ayat Al-Qur’an lebih mudah di bandingkan dengan kondisi hadits.

Sementara pendapat lain mengatakan bahwa pada diri hadits belum ada ketegasan tentang perintah yang jelas mengenai penulisannya. Bahkan ada sebuah riwayat yang mengatakan sebaliknya, bahwa para sahabat dilarang menulis. Atas dasar inilah kemudian tidak semua hadits dapat diterima dengan serta-merta. Sehingga satu hal yang membuktikan ketidakotentikan hadits yang dianggap berasal dari Nabi tentang pelarangan penulisan hadits adalah pernyataan Umar, berkenaan dengan maksud penghimpunan hadits. Umar diriwayatkan berkata: "saya bermaksud menuliskan hadits Nabi. Tetapi niat itu segera kusadari bahwa umat terdahulu menulis kitab-kitab tertentu dan mereka mengabaikan kitab suci. Demi Allah, saya tidak akan membiarkan sesuatu pun yang dapat mengubah Kitab Allah. "

Riwayat di atas mengungkapkan bahwa khalifah kedualah yang untuk pertama kali, berniat menulis hadits. Dalam sebagian versi dari riwayat penulisan ini disebutkan bahwa Umar berembuk dengan para sahabat yang lain tentang perkara ini dan mereka pun menyetujuinya; tetapi pendiriannya lalu berubah karena alasan yang telah ia nyatakan, dan bukan berdasarkan larangan Nabi.

Hal lain yang dapat dikutip sebagai bukti ketidakotentikan hadits mengenai larangan penulisan hadits ialah pernyataan Nabi pada hari Selasa menjelang akhir hayatnya. Pada hari itu, ketika para sahabat berkumpul mengelilingi tempat wafatnya, Nabi bersabda kepada mereka: "Bawakan kepadaku kertas dan tinta, sehingga dapat aku tuliskan sesuatu untuk kalian, yang tidak akan menyebabkan kalian terjerumus ke dalam kekeliruan." Ada sebagian orang di bawah pimpinan Umar yang menentangnya dengan mengatakan, "Cukup bagi kita Kitab Allah." Riwayat ini menunjukkan kepada kita bahwa penulisan apa pun selain Al-Qur’an bukan saja tidak dilarang, tetapi penulisan itu bahkan penting menurut pertimbangan Nabi agar ummah tidak terjebak dalam kekeliruan dan kesesatan.

Sekitar Penulisan Hadits

Mengkaji tentang seputar penulisan hadits, setidaknya akan kita jumpai dua perspektif yang berbeda.
Perspektif yang pertama melarang penulisan hadits dengan memakai dasar kepada hadits yang diyakini dari Rasul.
Sementara perspektif kedua, mengatakan bahwa penulisan hadits pada masa Nabi diperbolehkan, dengan bersumber pula pada hadits Nabi.

Al-Nawawi dalam bukunya yang berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, menjelaskan bahwa ada beberapa riwayat tentang pelarangan menulis hadits pada masa Rasulullah saw. Salah satu hadits yang diyakini dari Rasulullah diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri.

لاَ تَكْتُبُوْا عَنِّيْ، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيْ غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْسَحُهُ
Artinya: Jangan kamu sekalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.

Sejalan dengan hadits di atas, Masjfuk Zuhdi menambahkan bahwa larangan penulisan ini ada hikmahnya.
Pertama, berhubungan pada waktu itu sahabat-sahabat Nabi masih banyak yang Ummi (tidak bisa baca tulis), sedang waktu itu wahyu Ilahi masih turun (Al-Qur’an), jadi Nabi mengkhawatirkan kalau-kalau mereka tidak dapat membedakan qur'an dan hadits, sehingga terjadi percampuran antara keduanya.
Kedua, Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuannya mereka untuk memelihara semua ajarannya tanpa catatan/ulisan danini berarti secara tidak langsung mendidik mereka untuk percaya pada kemampuan sendiri.

Masih menanggapi hadits Abu Sa'id al-Khudri, menurut Ja'farian hadits tersebut tidak dapat diterima keshahihannya dengan alasan berikut;

Pertama, kalau kita menerima hadits itu, berarti kita tidak dapat membatasi penerapannya pada masa tertentu saja. Jika penulisan hadits tidak diperbolehkan dan haram, maka haramnya itu harus untuk setiap saat. Tetapi para perawi hadits tidak berpegang kepadanya dan pada akhirnya mereka menulis serta menghimpun berbagai hadits.

Kedua, perawi ini telah meriwatkan juga hadits yang lain yang menunjukkan boleh menulis hadits, dan kalau kita menganggap kedua rangkaian hadits ini sama kuat, kita harus menolak kedua-duanya karena bertentangan. Dalam hal ini keduanya kehilangan kredibilitasnya, walaupun misalnya, kita tidak dapat membuktikan kelemahan hadits dengan cara lain.

Ketiga, Abu Sa'id al-Khudri yang meriwayatkan juga hadits ini, telah menyampaikan pernyataan lain yang bertentangan dengan ini. Ia berkata; "pada masa itu, kita tidak menuliskan apa pun kecuali Al-Qur’an dan Tasahhud".
Dari pernyataan ini ada dua hal yang dapat disimpulkan; pertama, Abu Sa'id al-Khudri tidak berkata bahwa mereka menuliskan hadits atas perintah Nabi, kerana seandainya demikian, ia harus menunjukkannya, kecuali kalau penjelasan tersebut bukanlah yang ia maksudkan. Kedua, ditambahkannya kata tasahhud dalam pernyataan itu tidak sesuai dengan maksud pelarangan penulisan apa pun kecuali Al-Qur’an.

Perlu diperhatikan bahwa dalam hadits lain yang semua dari Ibn Mas'ud, istikharah disebut bersama tasahhud. Dan masih banyak alasan lain yang berkenaan dengan riwayat Abu Sa'id al-Khudri tersebut.

Sebaliknya, di samping ada riwayat yang melarang penulisan hadits, ada juga yang membolehkannya.
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam bukunya Fath al- Bari Syarh al-Bukhari dikatakan bahwa riwayat yang membolehkan itu berasal dari Abu Hurairah. Periwayatan ini, berkaitan dengan terjadinya "fath al-Makkah".
Pada waktu itu, Rasulullah berdiri untuk menyampaikan khutbah kepada penduduk Makkah, ketika dalam penyampaian ada seorang dari Yaman berdiri bernama Abu Syah, tiba-tiba berkata; ya Rasulullah!, tuliskan (khutbah tersebut) untukku, maka Rasulullah berkata kepada para sahabat; tuliskan khutbah ini untuknya!

Penjelasan lain yang diungkapkan oleh Hasbi al-Shidiqi, merujuk kepada kitab "al-Madkhal" yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah;

مَامِنْ أَ حَدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِ ص م، أَكْثَرَ حَدِيْثًا عَنْهُ مِنِّيْ إِلاَّ مَاكَانَ عِنْدَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِوبْنِ العَاصِ فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلاَ أَنَا أَكْتُبُ
Artinya: Tidak seorang dari sahabat nabi yang demikian banyak (lebih mengetahui) hadits rasul daripadaku, selain Abdullah ibn Amr ibn Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.

Masih dalam penjelasan al-Shidiqi, bahwa ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat yang diberatkan kepada keluarga, dan lain-lain.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa menurut sebuah riwayat, Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan.

Penjelasan yang hampir senada juga dikemukakan Zuhdi, bahwa sebuah riwayat dari Nabi;

اُكْتُبْ عَنِّيْ، فَوَالَّذِي نَفْسِى بِيَدِهِ مَاخَرَجَ مِنْ فَمِّيْ إِلاَّ حَقٌّ
Artinya: Tulislah dariku, demi dzat (Tuhan) yang jiwaku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang benar (haq).

Hadits tersebut, merupakan sebuah jawaban terhadap pertanyaan Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash tentang penulisan sunah-sunah. Sementara al-Shidiqi, menjelaskan riwayat tersebut bahwa selain Nabi sendiri pernah mengirim surat kepada sebagian pegawainya menerangkan kadar-kadar zakat Unta dan Kambing.
Dan pernah dengan tegas Nabi memerintahkan sahabat menulis hadits.
Secara dhahir, dua versi riwayat di atas betul-betul bertentangan, karena itu para ulama mengambil suatu pendekatan untuk mengkompromikan atau mendamaikan (al-jam'u) antara keduanya.
Salah satu cara untuk mengambil jalan tengah dari versi yang berbeda tersebut adalah dengan cara tarjih, yakni mengambil salah satu riwayat yang terkuat dari kedua riwayat tersebut.

Pendekatan pertama, seperti yang tertera dalam Kitab Ibn Hajar bahwa langkah yang harus ditempuh adalah dengan cara mengkritisi sanad/rawinya. Sedangkan riwayat yang berkenaan dengan larangan penulisan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri merupakan salah satu hadits yang sanadnya mauquf, yakni terhenti sampai Abu Sa'id al-Khudri.

Pendekatan kedua, sebagaimana yang termaktub dalam kitab Ushul al-Hadits bahwa perlu dilakukan sebuah langkah pendamaian hadits yang bertentangan.
Hadits riwayat Abu Sa'id al-Khudri, sebetulnya ditujukan kepada mereka yang menulis hadits dan Al-Qur’an dalam satu shahifah, sebab selain mereka mendengar ayat yang diturunkan, juga mendengarkan penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, sehingga kalau ditulis dalam satu shahifah akan tercampur.

Pendekatan ketiga, dalam Ushul al-Hadits dikatakan bahwa larangan penulisan hadits ditujukan kepada mereka yang mempunyai hafalan yang luar biasa, sehingga kalau dibolehkan menulis hadits, dikhawatirkan selalu bergantung pada tulisan, sehingga keringanan (rukshah)menulis hadits, hanya ditujukan kepada mereka yang lemah hafalannya.

Dari ketiga pendekatan yang dilakukan oleh para ulama tersebut, al-Khatib mengambil sebuah konklusi bahwa pendekatan pertama tidak dapat diterima.
Penolakan al-Khatib terhadap hadits itu beralasan bahwa sanad haditsnya masih belum jelas, bahkan sebagian imam hadits mengatakan mauquf. Sehingga al-Khatib berpendirian bahwa larangan tersebut berlaku kepada mereka yang menulis Al-Qur’an dan hadits dalam satu shahifah seperti pada pendekatan kedua.
Larangan Rasulullah itu beralasan bahwa hanya dikhawatirkan para shahabat akan sibuk dengan hadits, sementara penulisan Al-Qur’an ditinggalkan. Begitu pula dengan keringanan (rukhshah), itu bersifat umum (‘am) dan larangan bersifat khusus (khas).

Dengan demikian, menurut Muhammad ‘Ijaj al-Khatib dan Abd Rahim ibn al-Husein al-Iraqi yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan di atas, maka sebenarnya tidak terjadi pertentangan makna yang berarti, karena keduanya bisa dipadukan dengan alternatif-alternatif di atas, yang intinya bahwa Rasulullah menginzinkan penulisan hadits.

Hadits Masa Rasulullah
Al-Zahrani dalam bukunya "Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah" menyatakan bahwa penulisan hadits sebenarnya telah di mulai sejak masa Rasulullah.
Dengan adanya hadits-hadits yang mengandung perintah untuk menulis, yang berarti penulisan hadits sesungguhnya tersebut dimulai sejak masa Rasulullah, sekalipun yang diperioritaskan adalah wahyu yang turun.
Sementara itu, hadits-hadits yang menyatakan rukshah, seperti pendapat di atas, juga didukung beberapa ungkapan para sahabat itu sendiri. Salah satunya adalah Abu Hurairah, yang menyatakan bahwa hafalannya tidak ada yang melindungi kecuali ‘Abdullah ibn ‘Amr, karena ia tidak menulis sedangkan Ibnu ‘Amr menulis hadits.
Bukti lain yang serupa adalah bentuk shahifah. Misalnya ada shahifah Abu Bakr, Shahifah ‘Ali ibn Abi Tahlib, dan shahifah ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash, semua itu merupakan bukti yang ada pada diri yang telah banyak membukukan hadits pada masa Rasulullah.

Hadits Masa Shahabat dan Tabi'in
Akram Dhiya' al-‘Umari sebagai penulis buku Buhuts fi Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah, menyadari bahwa terjadinya sebuah kontradiksi yang sangat keras di kalangan sahabat itu diakibatkan pandangan yang masih bersifat generik. Sebagian yang tidak setuju menulis hadits menolaknya mentah-mentah dan bahkan sampai ada yang membakarnya. Ada sebagian yang lain memahami larangan itu sudah di nasakh, ada pula yang menggunakan dua pendapat dalam waktu berbeda; kadang melarangnya dan kadang membolehkannya.
Kalau begitu, sesungguhnya telah ada sebuah perhatian yang sangat besar ditunjukkan para sahabat kepada hadits tersebut. Dan ini merupakan dasar bagi penulisan hadits serta lebih-lebih untuk menjaga kemurnian dan penyebarannya kepada umat Islam. Ada beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan para sahabat dalam menjaga kelestarian al-Sunnah al-Nabawiyah, sebagai berikut;
a. Menganjurkan untuk menghafal dengan disertai mengkritisi teks-teks hadits secara cermat dan tegas. Begitu pula mereka menyuruh para santrinya manulis teks-teks supaya mudah dalam menghafalnya. Setelah dirasa hafalnnya sudah mantap, tulisan tersebut dihapus agar tidak tergantung kepada tulisan dan mengurangi minat menghafal.
b. Saling mengirim tulisan hadits di antara mereka. Sebagaimana yang di riwayatkan Imam Muslim, yang menyatakan bahwa Jabir ibn Samurah menuliskan sebagian hadits Rasulullah, kemudian di kirimkan kepada ‘Amr ibn Said Abi Waqash karena permintaannya.
c.  Membukukan hadits dalam bentuk shuhuf dan melalui bentuk shuhuf inilah akhirnya kegiatan penulisan dan pengumpulan hadits pada masa-masa berikutnya.

Adapun hadits pada masa tabi'in, tidak jauh berbeda dengan hadits di masa sahabat. Di sana juga masih ada perbedaan mengenai hukum menulis hadits Rasulullah.
Meskipun demikian, pada masa ini lahir beberapa ulama dengan perhatian yang sangat besar terhadap penulisan hadits. Tidak hanya itu, mereka menjaganya dengan bentuk shahifah. Ulama yang terlibat dalam penulisan ini, seperti Abi al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Tadrus al-Asadi, yang menulis beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ibn ‘Abdillah dan dari yang lainnya.

Pada masa tabi'in, kegiatan tulis-menulis semakin berkembang pesat. Mereka ramai-ramai menyerbu halaqah al-‘Ilm, bahkan di antara mereka ada yang sangat memperhatikan terhadap penulisan ilmu yang mereka terima. Dengan semangat yang tinggi, mereka menyadari bahwa menulis ilmu merupakan kebutuhan, dan kondisi demikian telah membentuk sikap mereka untuk menulis dalam setiap halaqah al-‘Ilm.

Menyadari akan pentingnya penulisan ‘ilm (hadits) mereka berusaha untuk menjaganya. Sehingga berkembangnya penulisan ini juga atas pertimbangan banyak hal, misalnya;
1)      Meluasnya periwayatan, disertai dengan sanad yang panjang, yang mencantumkan nama-nama perawi, julukan dan nasabnya,
2)      Para sahabat dan tabi'in tua yang terkenal kuat hafalannya, banyak yang telah meninggal dunia, tentu akan semakin besar kemungkinan hadits yang hilang, kalau tidak segera dibukukan,
3)      Kekuatan hafalan yang dimiliki oleh para ummat Islam pada waktu itu semakin lemah, karena makin banyak ilmu pengetahuan yang membutuhkan pemikiran juga, dan
4)      Munculnya gerakan-gerakan bid'ah, dan banyaknya orang-orang yang membuat hadits palsu.

Masa Umar ibn ‘Abd Aziz
Setelah melalui beberapa periode, Umar ibn ‘Abd Aziz termasuk orang yang mempunyai hasrat besar terhadap pembukuan hadits.
Menurut sejarahnya, semula yang ingin membukukan adalah ayahnya (‘Abd Aziz ibn Marwan), ketika menjabat sebagai gubernur di Mesir. Pada waktu itu, ia menulis permohonan kepada Kathir ibn Murrah al-Khadlrami, seorang tabi'in yang pernah bertemu dengan 70 ahli badr, untuk menulis apa-apa yang pernah didengar dari hadits-hadits Rasulullah. Namun hasil akhirnya belum dapat diketahui secara jelas.

Akhirnya, Umar ibn ‘Abd Aziz meneruskan usaha tersebut, dan segera menulis surat kepada Abu Bakr ibn Hazm, yang intinya meminta kepadanya untuk menulis hadits-hadits Rasulullah dari Umrah binti ‘Abd al-Rahman al-Anshariyah dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr. Selain itu, Umar juga meminta kepada ulama yang ada diseluruh wilayah Islam. Sebelum selesai penulisan, Abu Bakr ibn Hazm meninggal dunia.
Setelah itu, usaha yang maksimal baru dikerjakan oleh Imam Muhammad ibn Syihab al-Zuhri. Ia di tugasi Umar untuk mengumpulkan seluruh hadits-hadits Rasulullah, yang kemudian dijadikan sebuah buku. Al-Zuhri termasuk orang pertama kali yang dapat membukukan hadits secara resmi dan menyeluruh.

Hadits Masa Abad Kedua dan Ketiga Hijrah
Pada abad kedua hijrah terdapat dua generasi, yaitu generasi shighar al-tabi'in dan generasi atba'u al-tabi'in.
Generasi pertama, mereka yang hidup sampai setelah tahun 140 hijrah. Sedangkan generasi kedua, mereka yang hidup setelah periode sahabat dan tabi'in, dalam tingkatan periwayatan hadits dan penyebaran agama Islam kepada umat, generasi ini mempunyai peranan sangat besar dalam menghadapi ahl al-bida' wa al-ahwa', dan berusaha sekuat tenaga dalam menghalau segala bentuk kebohongan hadits (al-wadl'u fi al-hadits) yang dipelopori oleh kelompok al-Zanadiyah.
Umumnya, mereka sangat berhati-hati ketika melakukan seleksi hadits untuk dibukukan dan sekaligus disusunnya dalam bentuk susunan bab.
Selain itu, keberhasilan mereka adalah menyusu ilm al-rijal, yang ditandai dengan adanya buku-buku yang ditulis oleh al-Laits ibn Sa'ad, Ibn al-Mubarak, Dlamrah ibn Rabi'ah dan lain-lain.

Selain itu, di abad kedua juga terkenal dengan banyaknya ulama yang muncul. Mereka sangat faham tetang kronologis periwayatan hadits, mereka itu adalah Imam Malik, imam Syafi'I, imam al-Tsauri, Imam al-Auza'I dan lain-lain. Semua itu adalah figur pertama yang menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.

Adapun pada abad ketiga hijrah, kondisinya jauh berbeda dengan abad sebelumnya. Abad ini sampai dikenal dengan the golden age bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam, terutama yang berkaitan dengan Hadits. Perkembangan semacam itu akibat tumbuhnya semangat untuk mengadakan rihlah ilmiah dalam rangka mencari hadits, dan sebagai kelanjutannya menulis sebuah ilm al-rijal yang banyak beredar buku-buku kumpulan hadits seperti, al-Kutub al-Sittah, dan al-Masanid, yang sampai sekarang menjadi rujukan dalam bidang hadits. Semua buku tersebut merupakan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu hadits dari ulama yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Ali ibn al-Madini, al-Bukhari, Imam Muslim, Ishaq ibn Rahwaih dan lain-lain.

Satu hal lagi, bahwa dari perkembangan yang sangat pesat itu, telah menjadi tonggak sejarah penulisan dan penyusunan hadits. Dan pada abad ini pula merupakan batas yang membedakan antara muta'akhirin dan mutaqaddimin, karena ulama-ulama setelah itu tidak menghasilkan karya seperti abad sebelumnya. Mereka mungkin hanya berusaha untuk memperbaiki susunannya, mengadakan tahdzib dan seterusnya.

Catatan Akhir
Dari beberapa riwayat dan argumentasi yang dikemukakan para ulama di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya kegiatan tulis menulis ---termasuk hadits-- sudah dimulai sejak masa Rasulullah.
Problema yang terjadi pada penulisan hadits hanya didasarkan pada kekhawatiran belaka. Padahal jika kita cermati secara mendalam, alasan kekhawatiran tersebut sangat lemah. Sebagaimana penolakan yang ditunjukkan oleh Abu Ruyyah dalam kitabnya "Adwa' ala Sunnah Muhammadiyah" yang dikutip Rasul Ja'farian dalam al-Hikmah dikatakan sebagai berikut:
"Alasan demikian mungkin tampak meyakinkan bagi orang awam, tetapi tidak dapat diterima oleh para peneliti. Sebab, itu berarti menyamakan keindahan bahasa Al-Qur’an setingkat dengan hadits".

Kekhawatiran tercampurnya hadits dengan Al-Qur’an mustakhil akan terjadi, karena salah satu letak kemukjizatan Al-Qur’an adalah keindahan bahasa.
Dan jika kekhawatiran tersebut diyakini, maka berarti mengingkari keistimewaan (mukzizat) Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an merupakan mukjizat yang sulit ditandingi oleh bahasa siapa pun, termasuk oleh rasul sendiri.
Abu Ruyyah menganggap bahwa bukan karena ketakutan tercampur antara hadits dan ayat Al-Qur’an, akan tetapi ada yang lebih daripada itu yang belum terketahui.
Lebih lanjut, Ruyyah menyatakan bahwa meyakini adanya kemungkinan bercampuraduknya Al-Qur’an dengan hadits berarti meyakini adanya kemungkinan pengurangan ayat dalam Al-Qur’an. Keyakinan ini tidak dibenarkan karena keaslian Al-Qur’an sudah dijamin oleh Allah.

Sungguh, telah Kami turunkan Al-Qur’an (pemberi peringatan). Dan Kami jualah memeliharanya (Q.S. 15:9).

Lebih lanjut, Ja'farian menggugat bahwa alasan lain yang diberikan dalam soal penulisan hadits, kemudian orang akan mengabaikan Al-Qur’an karena memberikan seluruh perhatiannya kepada hadits.
Argumen ini tidak dapat diterima, sebab hal yang sama dapat terjadi terhadap Al-Qur’an dan hadits yang disampaikan secara lisan. Memang benar bahwa perhatian ekslusif terhadap hadits merupakan penyimpangan yang bagi mereka memiliki kecenderungan ke sana, sehingga harus diperingatkan dan diminta untuk memberikan perhatian yang sama terhadap Al-Qur’an. Tetapi larangan terhadap penulisan hadits, yang menimbulkan kerusakan yang sulit diperbaiki pada kebudayaan Islam, bukanlah cara yang tepat untuk mendapatkan hasil semacam itu.

*) Mujtahid, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Daftar Pustaka
Al-Khatib, Muhammad ‘Ijaj, 1989, Ushul al-hadits; Ulumuhu wa Musththalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr.Al-Shidiqi, Muhammad Hasbi, 1998, cet.II, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra.Al-Zahrani, Muhammad ibn Mathr, 1412 H., Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah" Thaif: Maktabah al- Shadiq.Rasul Ja'farian, AL-HIKMAH, No. 1, Sya'ban-Dzu al-qa'dah 1410 H.Zuhdi, Masjfuk, 1976, Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya: Pustaka Progressif.Al-Nawawi, Muhyidin, 1995, Al-Minhaj Syar Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, Beirut: Dar al-Ma'rifah.Azami, Muhammad Musthafa, 1980, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi, Beirut: al-Maktab al-Islami, dialibahasakan oleh Ali Mustafa Yaqub dengan judul Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, cet. II, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000.Al-Umari, Akram Dhiya', 1984, Buhuth fi Tarikh al-Sunnah al-Nabawiyah, Beirut: Bitsah.

Minggu, 13 Mei 2012

Kritik Hadits Sunni

Oleh Bayu Purnomo pada 12 Mei 2012 pukul 14:46
Kritik Hadits Sunni
Oleh Rangga Marshall
Bismillah,

Setelah Nabi Muhammad  wafat dan sejak berkuasanya Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, banyak hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu, untuk memperoleh sejarah Nabi  yang benar (shahih) harus memisahkan fakta dari fiksi dan memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada Muhammad
.
Sunnah adalah apapun yang berupa perkataan, perbuatan dan sikap yang dinisbatkan kepada Nabi .

Siapa itu para pencatat? Manusia biasa. Nah ada kemungkinan usil yang lain. Bukankah mereka para pencatat adalah orang-orang yang tidak selalu benar dan mereka punya potensi melakukan kesalahan. jadi bisa saja para pencatat itu melakukan kekeliruan. Ini sebuah kemungkinan yang masih harus dibuktikan tetapi tidak bisa sepenuhnya ditolak. Mari kita melakukan lompatan ribuan tahun dan kembali ke masa kini. Ada berapa banyak kitab yang memuat Sunnah yang anda ketahui? lumayan banyak baik yang semuanya Shahih(menurut Ulama) atau yang campuran shahih, hasan dhaif dan maudhu’.

Mari pikirkan kemungkinan-kemungkinannya. Nabi Muhammad  hidup 1400 tahun yang lalu artinya kita terpisah ruang dan waktu yang sangat jauh untuk mengakses apa itu sebenarnya Sunnah atau Bagaimana Sang Rasul  sebenarnya.

Banyak riwayat terpercaya melaporkan bahwa Imam Malik telah menghafal tidak kurang dari 100.000 hadis…. Dari jumlah itulah ia menyusun kitab Muwaththa’nya yang sangat ia bangakan dan juga dibanggakan para ulama; para fakih dan muhaddis Ahlusunnah, seperti Imam Syaf’iI dll.

Dalam kesempatan ini saya ingin berbagi informasi tentang banjir hadis di dunia hadis Ahlusunnah…
Jalaluddin as Suyuthi –seorang ulama, pakar haddis, ahhli fikih, dan bahasa- meraangkum laporan untuk kita dalam mukaddimah syarah Muwaththa’nya yang ia beri judul Tanwîr al Hawâlik….

* Qadhi Abu Bakar ibn al Arabi meriwayatkan dalam syarahh at Turmudzi dari Ibnu Hubâb bahwa Malik telah meriwayatkan seratus ribu hadis. Ia menghimpunnya dalam Muwaththa’ sebanyaak sepuluh ribu, kemudian ia terus-menerus menyocokkannya dengan Al Qur’an dan Sunnah dan menguji kualitasnya dengan atsâr dan akhbâr, sehingga ia kembali (hanya menerima) lima ratus hadis saja.”
* Al Kiya al Harâsi berkata, Sesungguhnya Muwaththa’ Malik terdiri dari sembilan ribu hadis, kemudian ia (Malik) terus-menerus memilih dan memilah sehingga tersisa hanya tujuh ratus hadis.”
* Abu al Hasan ibn Fihr, meriwayatkan dari ‘Atîq ibn Ya’qub, ia berkata, “Malik memuat sekitar 10.000 hadis dalam Muwaththa’, lalu ia senantiasa menelitinya setia tahun, dan ia mengugurkan bagian-bagian tertentu darinya, sehingga tersisa yang sekarang ini.”
* Sulaimn ibn Bilâl berkata, “Malik menulis Muwaththa’ dan di dalamnya terdapat empat ribu hadis atau lebih, dan ketika ia mati yang tersisa hanya seribu hadis lebih sedikit. Setiap tahun ia menyortirnya dan menyisakan yang dalam hematnya mengandung maslahat buat kaum Muslimin dan sesuai untuk agama.”

(Baca Tanwîr al Hawâlik,1/6 mukaddimah III)

Dari paparan di atas dapat kita saksikan betapa hadis palsu telah membanjiri dunia hadis Ahlusunnah…. Dari seratus ribu hadis yang diriwayatkan Malik dari para masyâikhnya, yang hampir keseluruhannya adalah berasal dari kota Madinah, ternyata Malik hanya mampu menyisakan sekitaar 1000 hadis saja…

itu pun masih ternyata masih banyak yang tidak layak dikelompokkan sebagai hadis shahih!! Sehingga ada yang mengatakaan andai kematian Imam Malik ditangguhkan hingga setahun kemudian kuat kemungkinan ia akan menggugurkan seluruh isi kitab Muwaththa’ yang ia tulis selama empat puluh tahun itu. (Tentang waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kitab Muwaththa’nya, baca Tanwîr al Hawâlik,1/6)

Ini semua bukti nyata bahwa hadis-hadis palsu telah membanjiri dunia hadis Ahlusunnah dan mereka sedang menghapi krisis hadis yang sangat serius!

Lalu, apa tidak mungkin hadis-hadis yang sekarang beredar atas nama agama itu adalah sebagian dari hadis-hadis palsu yang dibuang Imam Malik itu?
Siapa tau?

Kalau Imam Malik saja sudah kehilangan kepercayaan terhadap 99 persen hadis yang ia riwayatkan sendiri dari para masyâikhnya, lalu kini apa yang masih bisa dipercaya?

Dari 100.000 hadis ternyata hanya 1000 yang dapat selamat!

Legenda :Imam Ahmad bin Hanbal yg hafal 1.000.000 hadits (1 juta hadits) tapi  hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits saja, maka 980.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman???

Logika : Bukhari mengumpulkan 600.000 hadis   tetapi Cuma 7000 yang dia anggap orisinil pasca seleksi ? Nah dari 7000 itulah syi’ah menseleksi dan meninjau ulang mana hadis yang orisinil dan mana hadis yang dibuat buat !

setelah kitab Shahih Bukhari tersusun, muncullah segelintir ulama hadits yang mengkritik isi kitab tersebut. Diantaranya Al-Daaraqutni (wafat 385 H), Abu Ali Al-Ghassani (wafat 365 H), dan lain-lain. Kritikan para ulama ini (yang tertuju tidak lebih dari 100 hadits) dari sudut pandang ilmu-ilmu hadits, yang menurut mereka, terdapat juga di dalamnya hadits yang dhoif.

bahwa hadist yg diriwayatkn oleh Imam Bukhari yg sejak kita belajar Islam sudah ditanamkan bahwa itu hadist sahih- sulit rasanya menerima pandangan yg sebaliknya. Karena suatu hal yg ditanamkan ratusan atau bahkan ribuan tahun, sebagai kebenaran hampir mutlak, butuh keberanian intelektual utk menerima kekritisan cara berpikir yg berbeda dgn pendapat umum Ummat Islam. Karena salah-salah kita bisa dianggap keluar dari millah ini, ujung-ujungnya dikafirkan, ngeri coy.
Pertanyaan :
  1. Apakah Bukhari itu malaikat sehingga kitab hadisnya 100% benar ?
  2. Ada hadis hadis dalam kitab Bukhari yang saling bertentangan, Apakah masuk akal Nabi  mengucapkan sabda sabda yang saling saling berlawanan alias plin plan ???
Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya dimasa mudanya, namun dia hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman ?????? Apakah yang hilang itu benar benar hilang atau cuma mitos legenda ???

Bukhari manusia super ??? 16 tahun adalah 8.409.600 menit, jika dalam tempo 16 tahun Bukhari mampu mengumpulkan 600 ribu hadis saja berarti Bukhari adalah manusia super yang mampu mencari, menyeleksi dan menshahihkan 1 hadis dalam tempo 14 menit !!! itu belum dipotong waktu makan – shalat – tidur – perjalanan… Wow !!

60 menit x 24 jam x365hari x 16 tahun =8.409.600 menit (16 tahun)
hadis yang dikumpul 600,000 dalam tempoh 16 tahun.
8.409.600 dibahagi 600.000 =14 menit untuk 1 hadis
adakah imam bukhari mampu mencari,menyeleksi dan mensahihkan hadith itu dalam tempoh 14 menit?
itu belum ditolak waktu tidur,makan,solat,aktiviti memanah dan lain lain.jika ditolak waktu itu mungkin masanya lagi kurang mungkin sekitar 7 menit saja masa yang tinggal.
belum dikira lagi masa perjalanan dari kota ke kota lain dalam mencari hadith.
kita selalu diberikan angka angka ini untuk mewujudkan kekaguman kepada imam bukhari.tapi adakah angka ini betul setelah dikira berasaskan matematik

Menurut riwayat, Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun dia lebih dikenal dengan nama Bukhari. Dia lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy.

Tempat dia lahir kini termasuk wilayah lepasan Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.

Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu dia mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun dia menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).

Bersama gurunya Syekh Ishaq, Bukhari menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru dia dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.

Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim).

Penelitian Hadits

Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah dia mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah

Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Dia berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah.

Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.

Dizaman dulu, Raja Umayyah Abbasiyah Merusak Islam ! kita bisa mengatakan bahwa hadis pada umumnya adalah palsu atau lemah. Yang valid hanyalah perkecualian saja. Tentu, kita berbicara mengenai era Imam Bukhari. Dengan kata lain, pada zaman itu, betapa pervasif dan luas sekali persebaran hadis-hadis palsu atau minimal lemah. Begitu luasnya persebaran hadis palsu sehingga Abu Rayyah membuat semacam hukum: hadis yang palsu adalah “norm“, sementara hadis yang shahih adalah “exception“.

Yang bisa dipelajari dari perdebatan ini hanya satu: validitas hadis memang masih mengandung masalah di sana-sini. Pangkal masalahnya satu: hadis tidak pernah direkam dalam dokumen tertulis sejak pada masa Nabi yang bisa diverifikasi langsung. Hadis datang ke kita melalui sebuah ingatan. Sebagaimana setiap ingatan, sudah tentu ada masalah di sana menyangkut seberapa jauh validitas ingatan itu dan bagaimana mengeceknya. Seberapapun kuatnya sebuah ingatan, ia tetap sangat “precarious” dan rentan.

Berapa banyak jumlah hadis palsu ini dapat dibayangkan dengan contoh berikut.
Dari 600.000 (enam ratus ribu) hadis yang dikumpulkan Bukhari, ia hanya memilih 2.761 (dua ribu tujuh ratus enam puluh satu) hadis. [1] 
Muslim, dari 300.000 (tiga ratus ribu) hanya memiiih 4.000 (empat ribu). [2] 
Abu Dawud, dari 500.000 (lima ratus ribu) hanya memilih 4.800 (empat ribu delapan ratus) hadis. [3], 
Ahmad bin Hanbal, dari sekitar 1.000.000 (sejuta) hadis hanya memilih 30.000 (tiga puluh ribu) hadis. [4].

Bukhari (194/255 H/810/869 M), Muslim (204/261 H/819/875M), Tirmidzi (209/279 H/824/892 M), Nasa’i (214/303 H/829/915 M), Abu Dawud (203/275 H/818/888 M) dan Ibnu Majah (209/295 H/824/908 M) misalnya telah menyeleksi untuk kita hadishadis yang menurut mereka adalah benar, shahih. Hadis hadis ini telah terhimpun dalam enam buku shahih, ashshihah,assittah, dengan judul kitab masing-masing menurut nama mereka; Shahih BukhariShahih MuslimShahih (Sunan) Ibnu Majah, Shahih (SunanAbu Dawud, Shahih (Jami’) Tirmidzi dan Shahih (Sunan) Nasa’i.[5]

Tetapi, bila kita baca penelitian para ahli yang terkenal dengan nama Ahlul Jarh wa’ Ta’dil, maka masih banyak hadis shahih ini akan gugur, kerana ternyata banyak di antara pelapor hadis, setelah diteliti lebih dalam adalah pembuat hadis palsu. AlAmini, misalnya, telah mengumpulkan tujuh ratus nama pembohong yang diseleksi oleh Ahlu’l Jarh wa Ta’dil Sunni yang selama ini dianggap adil atau jujur, dan hadis yang mereka sampaikan selama ini dianggap shahih dan tertera dalam buku shahih enam.

Ada di antara mereka yang menyampaikan, seorang diri, beriburibu hadis palsu. Dan terdapat pula para “pembohong zuhud” [6] , yang sembahyang, mengaji dan berdoa semalaman dan mulai pagi hari mengajar dan berbohong seharian. Para pembohong zuhud ini, bila ditanyakan kepada mereka, mengapa mereka membuat hadis palsu terhadap Rasul Allah  yang diancam api neraka, mereka mengatakan bahwa mereka tidak membuat hadis terhadap (‘ala) Rasul Allah  tetapi untuk (li) Rasul Allah . Maksudnya, mereka ingin membuat agama Islam lebih bagus. [7], Tidak mungkin mengutip semua. Sebagai contoh, kita ambil seorang perawi secara acak dari 700 orang perawi yang ditulis Amini. [8]

“Muqatil bin Sulaiman alBakhi, meninggal tahun 150 H/767 M. Ia adalah pembohong,dan pemalsu hadis. Nasa’i memasukkannya sebagai seorang pembohong; terkenal sebagai pemalsu hadis terhadap Rasul Allah sa Ia berkata terangterangan kepada khalifah Abu Ja’far alManshur: “Bila Anda suka akan saya buat hadis dari Rasul untukmu”. Ia lalu melakukannya. Dan ia berkata kepada khalifah alMahdi dari Banu Abbas: “Bila Anda suka akan aku buatkan hadis untuk (keagungan) Abbas’. AlMahdi menjawab: “Aku tidak menghendakinya!”[9].
Para pembohong ini bukanlah orang bodoh. Mereka mengetahui sifat-sifat dan cara berbicara para sahabat. Mereka juga memakai nama para tabi’in seperti Ibnu Umar, ‘Urwah bin Zuba sebagai pelapor pertama, dan rantai sanad dipilih dari orang-orang yang dianggap dapat dipercaya. Hadis-hadis ini disusun dengan rapih, kadangkadang dengan rincian yang sangat menjebak. Tetapi kesalahan terjadi tentu saja kerana namanya tercantum di dalam rangkaian perawi. Dengan demikian para ahli tentang cacat tidaknya suatu hadis yang dapat menyusuri riwayat pribadi yang buruk itu, menolak Hadis-hadis tersebut. [10]

Para ahli telah mengumpul para pembohong dan pemalsu dan jumlah hadis yang disampaikan.

Abu Sa’id Aban bin Ja’far, misalnya, membuat hadis palsu sebanyak 300.
Abu Ali Ahmad alJubari 10.000 Ahmad bin Muhammad alQays 3.000
Ahmad bin Muhammad Maruzi 10.000
Shalih bin Muhammad alQairathi 10.000 dan banyak sekali yang lain.
Jadi, bila Anda membaca sejarah, dan nama pembohong yang telah ditemukan para ahli hadis tercantum di dalam rangkaian isnad, Anda harus hatihati.

Ada pula pembohong yang menulis sejarah dan tulisannya dikutip oleh para penulis lain. Sebagai contoh Saif bin Umar yang akan dibicarakan di bagian lain secara sepintas lalu. Para ahli telah menganggapnya sebagai pembohong. Dia menulis tentang seorang tokoh yang bernama Abdullah bin Saba’ yang fiktif sebagai pencipta ajaran Syiah. Dan ia juga memasukkan 150 [13] sahabat yang tidak pernah ada yang semuanya memakai nama keluarganya. Dia menulis di zaman khalifah Harun alRasyid. Bukunya telah menimbulkan demikian banyak bencana yang menimpa antara kaum Sunni-Syiah sampai saat ini.

Jelas sudah bahwa hadits2 yang dibawa ulama2 kaum sunni sampai saat ini adalah palsu belaka, dan layak untuk ndibuang ke tempat sampah,,

Bagaimana dengan anda? Apakah Al Quran Saja sebagai pedoman hidup tidak cukup bagi anda?

Salaam.. :)

Kamis, 10 Mei 2012

APAKAH HADITS MENJELASKAN QUR’AN? ~ MENYINGKAP TABIR HADITS (Bag. 8)

Oleh Yahia Rahman pada 10 Mei 2012 pukul 1:21

Para pembela Hadits mengatakan bahwa Hadits berfungsi untuk menjelaskan Qur’an, yang mana katanya Qur’an tanpa penjelasan Hadits akan menjadi tidak dapat dipahami. Dengan kata lain, tanpa Hadits mereka akan menolak Qur’an, atau setidaknya mengabaikannya.

Para ulama juga mengatakan bahwa kitab “Sahih Bukhari” adalah kitab Hadits terbaik. Akan tetapi saya akan membuktikan betapa mudahnya membuktikan bahwa Hadits tidak menjelaskan Qur’an dengan baik. Dan kitab “Sahih Bukhari” tidaklah sehebat yang didengungkan.

Sebagai referensi bukti otentik, silakan anda merujuk pada kompilasi kitab “Sahih Bukhari” sebanyak 9 volume, yang disusun oleh Dr. Muhammad Muhsin Khan, Islamic University, Madinah Al-Munawarrah, terbitan Kitab Bhavan, New Delhi.

Vol 6 kitab “Sahih Bukhari” adalah bagian tafsir atau penjelasan atas ayat-ayat Qur’an. Sementara delapan volume kitab yang lain membahas hal-hal seperti :

- Meminum air kencing onta untuk menyembuhkan demam (Vol 7, Hadits No. 590)

- Membakar hidup-hidup manusia beserta rumahnya jika mereka tidak tiba di masjid tepat waktu untuk shalat berjamaah (Vol 1, Hadits No. 626)

- Memimpikan wanita tanpa busana (Vol 9, Hadits No. 139-140)

- dan segala cerita omong-kosong dan tidak masuk akal lainnya.

Tapi marilah kita sekarang fokus pada Vol 6: “ Penjelasan ayat-ayat Qur’an oleh Imam Bukhari “

Meskipun secara keseluruhan Qur’an terdiri dari 114 Surah, namun ternyata tidak semua surah ada penjelasannya di dalam kitab Sahih Bukhari.

Surah no 2: Al Baqarah, misalnya, terdiri atas 286 ayat, akan tetapi Bukhari hanya menyediakan Hadits penjelasan untuk 50 ayat saja. Berarti hanya 20% lebih sedikit penjelasan atas Surah Al Baqarah, sementara 80% sisanya dibiarkan di dalam ‘kegelapan’ oleh Bukhari, tanpa penjelasan sama sekali.

Surah no 108: Al Kautsar, hanya memuat 3 ayat saja, dan merupakan surah terpendek di dalam Qur’an. Kali ini usaha Bukhari merasa cukup untuk hanya menterjemahkan arti kata dari ‘Kautsar’ saja, untuk menjelaskan keseluruhan makna dari surah terpendek tersebut. Bukhari berkata ‘Kautsar’ artinya adalah : “Danau yang berada di Surga.“ Padahal arti dari kata ‘Kautsar’ sebenarnya adalah : “Kenikmatan (Kebaikan) yang berlimpah“, sebagaimana yang bisa kita baca sendiri dalam berbagai terjemahan dalam Qur’an. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa Bukhari sebenarnya tidak terlalu memahami bahasa Arab. Faktanya memang Bukhari adalah orang Persia yang sehari-hari berbahasa Parsi. Para ulama dan sejarawan sejauh ini tidak memiliki catatan kapan Imam Bukhari mulai belajar berbahasa Arab.

Tapi hal ini akan kita bahas nanti.
Fakta yang mengagumkan adalah ternyata ada sebanyak 28 surah dalam Qur’an yang tidak diberi ‘penjelasan’ dari Hadits sama sekali! Surah-surah tersebut adalah : 23. Al Mu’minuun, 27. An Naml, 29. Al Ankabuut, 35. Fathir, 51. Adz Dzariyaat, 57. Al Hadiid, 58. Al Mujaadilah, 64. At Taghabuun, 67. Al Mulk, 69. Al Haaqqah, 70. Al Ma’arij, 73. Al Muzzamil, 76. Al Insaan, 81. At Takwir, 82. Al Infithaar, 86. Ath Thaariq, 88. Al Ghaasiyah, 89. Al Fajr, 90. Al Balad, 94. Al Insyirah, 100. Al Aadiyaat, 101. Al Qaariah, 103. Al Ashr, 104. Al Humazah, 105. Al Fiil, 106. Quraisy, 107. Al Mauun, dan 109. Al Kaafiruun.

Menurut pandangan para ulama, hanya Rasulullah yang berhak untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam Qur’an. Dan keberadaan Hadits dimaksudkan sebagai penjelas kandungan dari Qur’an.

Tetapi mengapa 28 ayat tersebut tidak ada Hadits penjelasannya sama sekali?

Para ulama tetap bersikeras bahwa Qur’an harus dijelaskan dengan Hadits! Berarti konsekuensinya adalah 28 surat tersebut HARUS DIBUANG dari kitab suci Qur’an, karena Bukhari tidak memberikan penjelasan sama sekali tentang makna yang terkandung dalam surah-surah tersebut!

Fakta ini jelas menampar muka para ulama pembela Hadits yang mengklaim bahwa siapa saja yang hanya berpegang pada Qur’an, tanpa berpegang pada Hadits, tidak akan dapat memahami isi dari Qur’an tersebut!

Ini membuat situasi bertambah sulit bagi para ulama pembela Hadits, dikarenakan 28 surah tidak ada penjelasannya sama sekali, dan tidak satu pun surah dalam Qur’an yang diberikan penjelasan Hadits secara menyeluruh!

Sekarang mari kita membahas fakta tentang bagaimana Bukhari ternyata tidak terlalu memahami bahasa Arab, sebagaimana telah kita bahas di atas. Ini bisa kita cermati dengan mengetahui bagaimana cara Bukhari menamai sebagian surah yang ada dalam Qur’an. Tentu saja ini adalah fakta yang mengherankan, dan para ulama sendiri bertanya-tanya, mengapa Bukhari melakukan hal tersebut.

Non-Arab biasanya menyebut nama surah dari ayat pertama. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal :

- Mereka tidak mengetahui nama Arab dari surah tersebut.

- Mereka bukanlah ulama yang mempelajari Qur’an secara seksama.

- Atau lebih gampangnya lagi adalah karena mereka bukanlah bangsa Arab.

Bukhari ternyata menunjukkan ciri-ciri yang sama!

Surah 68: An Naba’ diberi judul surah “Amma Yata’asalun”, yang mana ini merupakan ayat pertama dari surah tersebut.

Surah 98: Al Bayyinah diberi judul surah “Lam Yakun”. Lagi-lagi merupakan ayat pertama!

Surah 81: At Takwir diberi judul surah “Idhahs Samsu Kuwirat”. Ini adalah ayat pertama dari surah tersebut, lagi-lagi.

Surah 70: Al Ma’arij diberi judul surah “Sa’ala Sa’ilun”.

Ada pula surah diberi dua ‘alternatif’ judul, misalnya surah 76: Al Insan diberi judul surah “Hal’ata Insani” atau surah “Dahr”.

Pelabelan yang tidak tepat ini hampir selalu terjadi pada pembaca Qur’an non-Arab, yang tidak terlalu memahami bahasa Arab.

Di samping kenyataan bahwa Bukhari adalah seorang berkebangsaan Persia yang berasal dari kota Bukhara, banyak ulama yang meyakini bahwa Bukhari adalah seorang TUNA NETRA alias BUTA sejak kecil.

Pertanyaannya sekarang: SIAPA SEBENARNYA YANG TELAH MENULIS HADITS-HADITS DALAM KITAB SAHIH BUKHARI???

Bukti-bukti lain bisa kita lihat bagaimana cara Bukhari memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat Qur’an, itu pun jika ia merasa perlu untuk memberi penjelasan atau tidak.

Sebagai contoh, ada penjelasan pada ayat Qur’an yang tidak lengkap, atau berakhir dengan kekosongan, yaitu pada Hadits Vol 6 No. 50 yang memberikan penjelasan pada surah 2: 223. Setelah beberapa komentar, kata ‘Nafi’ ditambahkan terkait bunyi ayat ini : “ .....maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”‘ Ibn Umar berkata : “Ini maknanya adalah seseorang hendaknya mendekati istrinya pada .....“

Penjelasan ini tidak berlanjut!

Tapi jangan khawatir, ada catatan kaki untuk menjelaskan kekosongan ini :). Catatan kaki itu bunyinya : “Imam Bukhari tidak membiarkan kalimat tersebut tidak berlanjut, karena beliau TIDAK YAKIN apa yang dikatakan oleh Ibn Umar  (luar biasa)!!!”

Dan mereka tetap bersikeras menyebutnya “SAHIH BUKHARI”!

Mungkin inilah salah satu penyebab betapa seringnya terjadi permasalahan dalam perumusan fikih Islam di kalangan para ulama.

Ada lagi penjelasan aneh dan menggelikan dari Imam Bukhari, terkait surah 11 : 5. Ayat-ayat indah tersebut berbunyi: “Kepada Allah-lah kembalimu, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) menutup hati mereka untuk menyembunyikan diri dari pada-Nya. Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain, Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (11 : 4-6)

Makna dari ayat-ayat tersebut sudah amat sangat jelas! Bahwa tidak ada yang dapat kita sembunyikan dari Allah Yang Maha Mengetahui. Segala sesuatu yang telah kita lakukan, sekecil apa pun, tercatat di dalam kitab Allah (Lauh Mahfuz).

Sekarang, mari kita simak penjelasan ‘aneh’ Imam Bukhari terkait surah 11 : 5! Vol 6 Hadits No. 203 :‘

Diriwayatkan oleh Muhammad bin Abbad bin Jaffar bahwa ia menyaksikan Ibn Abbas membaca penggalan surah: “Ingatlah, sesungguhnya (orang munafik itu) menutup hati mereka untuk menyembunyikan diri daripada-Nya..” Dan ia bertanya kepada Rasulullah makna dari ayat ini. Rasul menjawab : “ Beberapa orang biasa bersembunyi ketika ingin buang air atau tidur di tempat terbuka, dikarenakan malu apabila mereka terlihat dari langit. Itulah mengapa ayat-ayat tersebut diturunkan.”

Dengan demikian, Bukhari berpendapat bahwa tujuan diturunkannya ayat-ayat ini adalah untuk memberitahukan kepada para sahabat bahwa Allah bisa melihat mereka buang air dan tidur di tengah-tengah padang pasir!

Bukhari juga telah memelintir makna pada surah 5 : 87. Untuk menjelaskan ayat tersebut, Bukhari hanya memenggal sebagian ayat saja, tanpa memperhatikan konteks secara keseluruhan ayat tersebut.

“Hai orang-orang yang beriman, JANGANLAH kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu... “ (5 : 87)

Adapun penjelasan Bukhari untuk ayat ini bisa dibaca pada Vol 6 Hadits No. 139 :

‘Diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud: “Kami berperang bersama Rasulullah SAW sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu. Dan kemudian Rasul membacakan ayat tersebut: “Hai orang-orang yang beriman, JANGANLAH kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu...“.

Ada sebuah catatan kaki pada Hadits tersebut: “Pernikahan kontrak (Mut’ah) diizinkan pada masa-masa awal Islam, namun kemudian mulai saat Perang Khaibar pernikahan tersebut dilarang (Allah Maha Mengetahui yang lebih baik).“

Hadits di atas jelas-jelas merupakan kedustaan yang besar terhadap Allah dan Rasul-Nya!

Secara keseluruhan ayat tersebut berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (5 : 87)

Apakah pelacuran adalah termasuk kategori “melampaui batas?” Bukan! Bahkan pelacuran adalah sebuah kejahatan!

Muslim manakah yang mau menyerahkan anak perempuannya, bahkan dengan ‘mahar pakaian’ sekalipun, sebagai pembayaran (mahar) atas pelayanan untuk memuaskan nafsu seksual para sahabat Rasul???

Perhatikan bagaimana Bukhari menceritakan betapa santainya para sahabat ketika berkata : “Bolehkah kami berkebiri?” Seolah-olah itu adalah hal wajar yang dilakukan setiap pagi setelah sarapan pagi.

Pada surah 24 : 33, Allah melalui Rasul-Nya berfirman :“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya...... Dan JANGANLAH KAMU PAKSA wanita-wanitamu untuk melakukan PELACURAN, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).“ (24 : 33)

Dengan kata lain, jangan melakukan seks di luar nikah! Jika anda belum menikah, maka lebih baik menjaga kesucian diri. Kontrol hawa nafsu anda!

Rasulullah SAW mengajarkan untuk tidak memaksa wanita ke dalam pelacuran, akan tetapi Bukhari mengatakan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan wanita agar mau dibeli dengan mahar pakaian untuk menjadi pelayan-pelayan seksual!

Ini adalah kebohongan yang sangat jahat yang diatasnamakan kepada Nabi Muhammad. Menurut Qur’an, Nabi mengajarkan umatnya untuk mengontrol hawa nafsu seksual mereka :

An Nur [24] : 30
Al Baqarah [2] : 79
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.“

Makna dari ayat Qur’an di atas sudah AMAT SANGAT JELAS, namun Bukhari mengajarkan bahwa wanita bisa dibeli dengan mahar pakaian!Boleh jadi, para “ulama” sebenarnya ikut bergembira dengan ajaran ini, terbukti dengan begitu mudahnya mereka mengawini wanita dan menceraikannya seolah-olah mereka adalah komoditi seksual belaka!

Mereka yang bersikeras mengunggul-unggulkan Hadits-Hadits bohong itu dapat kita temukan relevansinya dalam Qur’an, di mana mereka berani mengganti-ganti hukum Allah dengan hukum-hukum buatan panutan mereka seperti Imam Bukhari, tanpa seizin Allah.

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.”

Dengan berpegang pada Hadits-Hadits “aneh” sebagai “kitab suci kedua” yang jelas-jelas telah merusak nama baik Nabi Muhammad, umat Islam telah tergelincir pada penyimpangan yang nyata selama lebih dari 1000 tahun!

Umat Islam hanya bisa memimpikan kembalinya masa-masa kejayaan Islam pada era Nabi Muhammad....

...tapi sedikit di antara mereka yang menyadari bahwa pada masa-masa kejayaan tersebut tidak ada yang namanya Hadits!

HANYA ADA QUR’AN SAJA, SEBAGAI SATU-SATUNYA PETUNJUK!!!

SALAM!


<QUR’AN-ONLY>