oleh Agus Mustofa pada 1 September 2011 pukul 10:58
Saya melihat, banyak orang ‘pusing’ di sekitar lebaran kali ini. Tapi, saya juga menyaksikan banyak orang ‘happy-happy’ saja. Yang ‘pusing’, kebanyakan adalah orang-orang yang ‘peduli’ kepada nasib umat Islam yang sedang ‘carut-marut’ disebabkan berbagai perbedaan yang semestinya tidak perlu terjadi. Sedangkan yang ‘happy’, terdiri dari dua golongan. Golongan pertama adalah yang ‘tidak peduli’ pada nasib umat. Sedangkan golongan kedua, adalah yang sudah ‘mantap’ dengan pendapat sendiri.
Saya sungguh mengapresiasi golongan yang ‘peduli’ itu. Sebagaimana
saya juga mengapresisasi golongan yang sudah ‘mantap’ dengan pendapat sendiri. Selebihnya,
golongan yang kurang peduli dengan nasib umat, mesti kita ajak untuk lebih peduli,
agar ke masa depan umat Islam ini menjadi umat yang tidak dibingungkan lagi oleh
hal-hal yang semestinya ‘sepele’ dan sederhana seperti ini. Sungguh, masih banyak
persoalan lebih besar, yang menanti uluran tangan dan pikiran kita untuk diselesaikan
demi kemajuan bersama.
Untuk itu, saya ringkaskan inti masalah yang masih mengganjal
di benak kita soal lebaran ini. Mudah-mudahan bisa menjadi klarifikasi dan mengembalikan
pada substansi persoalannya, sehingga tidak berlarut-larut karenanya.
1). Sebagaimana saya tulis dalam NOTE berjudul ‘Kegundahan
di Akhir Ramadan’: Bulan tidak akan pernah berbohong. Karena
ia adalah FAKTA. Yang bisa berbohong itu kan manusia. Karena itu, pertanyaan seputar
‘ketinggian bulan’, dan ‘sekarang tanggal berapa syawal’, sebenarnya bisa Anda jawab
sendiri. Caranya sangat sederhana, yakni dengan melihat bulan di langit sudah seberapa
tinggi. Kalau masih ragu, karena sekarang masih berbentuk sabit, maka dengan mudahnya
Anda bisa melihat saat PURNAMA. Itulah tanggal 15 Syawal. Kemudian hitunglah maju
ke arah AWAL bulan. Maka Anda akan tahu kapankah tanggal 1 syawal yang sebenarnya.
Bulan tidak bisa berbohong, bukan..?
2). Sebenarnya, dua kelompok yang berbeda dalam menetapkan
lebaran itu sudah BISA MENGHITUNG dan tahu semua kok, bahwa akhir
Ramadan (ijtima’ alias posisi segaris antara Bulan-Bumi-Matahari) itu jatuh pada
tanggal 29 Agustus 2011, sekitar jam 11. Sehingga semua juga sependapat bahwa sore/
maghrib itu bulan SUDAH di atas ufuk pada ketinggian di bawah 2 derajat untuk wilayah
Indonesia. SEMUA SEPAKAT. Tidak ada perbedaan sampai disini, bahwa bulan RAMADAN
SUDAH BERAKHIR hari itu. Bahwa bulan memang sudah berganti. Dibuktikan sudah memiliki
ketinggian hampir 2 derajat di atas ufuk.
3). Perbedaan MULAI MUNCUL saat menentukan ‘kapan mengakhiri
PUASA’. (Perhatikan: BUKAN mengakhiri RAMADAN. Karena Ramadan memang sudah berakhir.)
Nah, disinilah terjadi perbedaan dalam menyikapi DATA yang SAMA itu. Kelompok yang
satu mengatakan, bahwa karena Ramadan sudah jelas-jelas BERAKHIR, maka puasa pun
harus DIAKHIRI. Sehingga mereka shalat Idul Fitri tanggal 30 Agustus. Sedangkan
kelompok kedua berpendapat, KARENA hilal belum kelihatan, maka mengacu kepada hadits
Rasulullah: Jika hilal TIDAK KELIHATAN, maka GENAPKANLAH puasa menjadi 30 hari,
shalat Id tanggal 31 Agustus. Nah, ketika digenapkan itu, SUDAH PASTI akan ‘memakan’
awal bulan syawal. Karena, usia bulan Ramadan maksimal memang hanya 29,5 hari. Jadi,
seandainya pun 0,5 harinya itu muncul di akhir-akhir Ramadan, maka penggenapan puasa
menjadi 30 hari itu dengan sendirinya ‘MEMAKAN’ setengah hari awal bulan Syawal.
Sebenarnya TIDAK APA-APA. Itulah yang dilakukan Rasulullah. Beliau pun sudah pasti
tahu, bahwa penggenapan itu akan menggunakan sebagian bulan syawal.
4). Karena itu, pemilihan MENGAKHIRI puasa atau MENGGENAPKAN,
adalah sama-sama BOLEH dan ada dasarnya. Yang satu berdasar hitungan bahwa saat
itu memang Ramadan sudah berakhir. Dan yang lainnya berdasar pada hilal tidak terlihat.
SUDAHLAH, jangan dipermasalahkan karena sesungguhnya persoalannya sudah sangat jelas.
Yang penting, kedua-duanya dilakukan dengan JUJUR dan ingin membangun kemaslahatan
bersama. Bukan karena gengsi ataupun alasan-alasan yang kurang dewasa dalam beragama.
Atau, apalagi MEMAKSAKAN kehendak agar yang lain mengikutinya. Kalau ini yang terjadi
maka sungguh sangat MEMPRIHATINKAN. Karena akan mengarahkan interaksi sosial kita
pada prinsip KALAH-MENANG yang menjadikan umat menjadi TERPECAH BELAH.
5). Karena itu Sahabat…, substansi persoalan perbedaan lebaran
ini sebenarnya bukanlah SALAH-BENAR dalam menghitung atau merukyat, karena kedua-duanya
sudah sama-sama pintarnya. Bagi saya, yang sangat MEMPRIHATINKAN itu adalah: ternyata
pemimpin-pemimpin kita 'belum pintar' membuat keputusan yang menjadikan UMAT ini
bisa BERSATU dalam indahnya kebersamaan yang kita idam-idamkan BERSAMA… :(
Ihdinashshiraathal mustaqiim, shiraathal
ladzina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdluubi ‘alaihim waladhdhaalin… Amiin.
Wallahu a’lam bishshawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar