oleh Agus Mustofa pada 2 Agustus 2012 pukul 7:46
Perhitungan
waktu sangat bergantung kemana kita menyandarkan pedoman. Apakah berpatokan kepada
Bulan, ke Matahari, ke Planet, atau benda-benda langit lainnya. Di era modern, perhitungan
waktu sudah disandarkan kepada jumlah getaran atom. Sehingga disepakati, satu detik
adalah setara dengan getaran atom Caesium-133 sebanyak 9.192.631.770 kali. Maka
panjangnya waktu semenit, sejam, sehari, sebulan dan setahun adalah perkalian dari
ukuran paling dasar ini.
Dengan
menggunakan jam atomik, kita tidak bingung lagi menetapkan panjang waktu dimana
pun berada. Jangankan hanya lintas benua, pergi keluar angkasa pun kita tetap bisa
menggunakan patokan waktu itu untuk menandai berbagai kegiatan, termasuk ibadah
shalat dan puasa. Besaran waktu mutlak alam semesta telah bisa diterjemahkan ke
dalam waktu digital. Ini akan semakin mempermudah interaksi manusia dalam jarak
jauh, dengan akurasi sampai sepersekian detik. Bukankah kalender dan jam memang
diciptakan untuk memudahkan manusia melakukan interaksi, dan bukan untuk mempersulit
serta memunculkan masalah baru?
Sebenarnyalah
waktu itu bersifat relatif bergantung kepada posisi pengamat. Karena itu, kita bisa
melakukan berbagai manipulasi dengan cara mengubah-ubah posisi pengamat, bahkan
kecepatan pengamat. Di posisi yang berbeda, satu hari bisa memiliki makna berbeda.
Katakanlah sehari di planet Venus ternyata berdurasi 243 hari Bumi, atau sekitar
8 bulan disini. Kalau dikonversi ke jam, sehari di planet Venus adalah setara dengan
5.832 jam, sementara itu di Bumi cuma 24 jam.
Kenapa
bisa demikian? Karena, ‘sehari’ didefinisikan sebagai satu kali putaran benda langit
terhadap sumbu rotasinya. Atau dalam bahasa awam, dimulai dari datangnya malam sampai
ke malam berikutnya. Dikarenakan putaran planet Venus yang lambat, sehari disana
menjadi sedemikian panjang. Bandingkan pula dengan planet Yupiter yang berputar
lebih cepat, sehingga seharinya hanya berdurasi 9,8 jam. Tapi, setahunnya sangat
panjang, yakni 4.329 hari. Padahal di Bumi hanya 365 hari.
Apa
yang saya sampaikan di atas telah memberikan kesadaran baru, bahwa waktu alam semesta
memang berjalan secara mutlak, tetapi ketika diobservasi oleh pengamat menjadi relatif.
Karenanya, mesti dibuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan kemudahan kepada
manusia secara kolektif agar bisa dijadikan patokan interaksi. Sebuah patokan yang
bersifat global, bahkan universal.
Al
Qur’an menginformasikan dalam berbagai ayat bahwa waktu memang relatif bergantung
pada pengamat atau pelaku. Ada yang seharinya setara dengan seribu tahun. Seperti
dijelaskan ayat ini:
QS. Sajdah
[32]: 5
‘’Dia mengatur urusan dari langit ke bumi,
yang kemudian naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut
perhitunganmu.
Ada
pula yang berkadar lima puluh ribu tahun, seperti yang terjadi pada para malaikat
yang sedang bergerak naik ke langit dengan kecepatan mendekati cahaya.
QS. Al Ma’arij
[70]: 4
‘’Para malaikat dan Jibril naik kepada
Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.’’
Dan
lebih dahsyat lagi adalah sehari yang berkadar miliaran tahun, seperti yang diceritakan
Allah terkait dengan penciptaan alam semesta. Bahwa, alam semesta yang sudah berusia
13,7 miliar tahun ini, menurut Al Qur’an, sebenarnya hanya setara dengan enam hari
saja.
QS. Al-Furqan [25]:59
‘’Yang telah menciptakan
langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari. Kemudian Dia
bersemayam di ‘Arsy. (Dialah) Yang Maha Pemurah. Maka tanyakanlah kepada yang lebih
mengetahui tentang Dia.’’
Bagaimanakah
penjelasannya, sehingga waktu alam semesta bisa mulur-mungkret seperti itu? Saya ambil salah
satu contoh saja, dari ayat-ayat tersebut. Yakni yang terjadi pada para malaikat,
dimana seharinya bisa setara 50 ribu tahun. Relativitas waktu semacam ini, sebenarnya
sangat dimungkinkan oleh teori Fisika Modern. Albert Einsteinlah yang menjelaskannya
lewat teori relativitas waktunya. Bahwa segala sesuatu yang bergerak dengan kecepatan
mendekati cahaya, waktunya akan mulur.
Nah,
dalam terminologi agama Islam, malaikat disebut sebagai makhluk yang berbadan cahaya.
Karena itu ia bisa melesat dengan kecepatan sangat tinggi: 300 ribu kilometer/ detik.
Sehingga ketika dia naik ke langit dengan kecepatan mendekati cahaya, waktunya menjadi
mulur, relative
terhadap waktu manusia sebesar 50 ribu tahun.
Berapakah
kecepatan malaikat saat itu? Anda bisa menghitungnya dengan menggunakan rumus relativitas
waktu Einstein: T= To/[1-V^2/C^2]^(1/2). Dimana T adalah waktu malaikat. To adalah
waktu manusia. V= kecepatan malaikat. Dan C= kecepatan cahaya. Dari perhitungan
itu akan diperoleh angka kecepatan malaikat sebesar 0,9999999999999985 kecepatan
cahaya. Artinya, mereka melesat dengan laju yang sudah sangat dekat dengan kecepatan
cahaya.
QS. An Naazi’aat
[79]: 3-4
‘’Demi (para malaikat) yang turun dari
langit dengan kecepatan tinggi, dan yang mendahului dengan laju sangat kencang.’’
Wallahu
a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar