Sebagaimana
kita bahas di notes sebelum-sebelumnya, sains akan kehilangan pijakan empirisnya
ketika digunakan untuk memahami masalah-masalah ekstrim. Baik ekstrim secara jarak,
waktu, ukuran, maupun tingkat kegaibannya. Nah, ruh adalah salah satu masalah yang
ekstrim itu, yang masuk ke dalam wilayah kegaiban. Yang di dalam Al Qur’an pun Allah
mengingatkan tentang sedikitnya ilmu tentang ruh. Jauh lebih sedikit dibandingkan
jiwa yang ilmunya berkembang luas di peradaban manusia. Karena tidak bisa kita empiriskan
secara sains itulah, maka pembahasan tentang ruh harus disandarkan kepada ‘clue’
Al Qur’an. Meskipun, pemahamannya lantas bisa kita ulas dengan menggunakan terminologi
saintifik.
-------------------------------------------------------------------------------------
Istilah
ruh tidak dikenal di dunia sains. Oleh karenanya tidak bisa didefinisikan berdasarkan
data-data atau penelitian sains. Ruh adalah istilah religius, sehingga mesti didefinisikan
secara religius pula, dengan menyandarkan pada informasi kitab suci Al Qur’an. Ketika
filosofinya sudah dipahami, maka pembahasan teknisnya pun lantas bisa dilakukan
secara saintifik. Meskipun akan menjadi kontroversial dikarenakan sulit untuk diobyektifkan.
Jangankan tentang ruh, tentang jiwa saja ilmu Psikologi sudah dianggap sebagai soft
science alias tidak sepenuhnya saintifik. Meskipun lantas ada yang protes: ‘’emangnya
sains ini milik siapa?’’
Dari
clue yang tersebar di dalam Al Qur’an, ruh bisa didefinisikan sebagai entitas
yang menyebabkan benda mati menjadi hidup, berkehendak, bisa mendengar, bisa melihat,
berbicara, dan beragam fungsi kehidupan lainnya. Wilayah ini memang menjadi wilayah
yang ‘sulit’ bagi sains yang berbasis pada metode materialistik-obyektif. Dan lebih
cocok masuk ke ranah psikologi yang cenderung subyektif. Dengan kata lain, sebenarnya
ruh adalah subyek, bukan obyek.
QS.
As Sajdah (32): 9
Kemudian
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya sebagian ruh-Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur.
Ayat
di atas adalah salah satu clue di dalam Al Qur’an yang bisa kita jadikan
pedoman untuk memahami ruh. Bahwa ruh adalah suatu entitas yang ketika masuk ke
dalam tubuh manusia akan menyebabkan ia menjadi bisa mendengar, melihat dan merasakan.
Dengan kata lain, menjadi hidup. Lantas, apakah yang membuatnya menjadi hidup? Inilah
bagian yang tidak bisa dipahami oleh sains yang obyektif itu.
Ada
sebutir telur ayam dierami, belum tentu ia bisa menetas dan menghasilkan anak ayam
yang hidup. Padahal materinya sama dengan telur lainnya yang menetas, dan energi
yang terkandung di dalam materi itu juga sama. Tetapi, ruh tidak hadir di dalamnya,
sehingga ia tetap sebagai benda mati alias obyek. Ruh bukan materi. Dan ruh juga
bukan energi. Karena materi dan energi adalah benda mati yang tidak punya kehendak.
Tidak hidup dan menghidupkan.
Badan
manusia tersusun dari materi. Dan jiwa manusia tersusun dari energi. Tetapi tanpa
adanya ruh, materi dan energi itu tak lebih hanyalah seonggok daging dan tulang
belulang, dengan sejumlah energi potensial yang terkandung di dalam materi itu.
Ini sama saja ketika kita bicara dalam skala seluler. Bahwa sebuah sel yang memiliki
komposisi materi yang sama, belum tentu hidup. Manusia boleh saja membuat sel tiruan,
tetapi tidak akan pernah bisa menghidupkannya. Karena ruh memang bukan sekedar materi
dan energi.
Dalam
skala yang lebih besar, manusia bisa membuat robot dan menjadikannya bisa bergerak,
menari-nari, atau bermain sepak bola. Tetapi, ia tidak pernah bisa ‘mendengar’,
'melihat’ dan ‘merasakan’ dalam arti yang sesungguhnya, seperti yang diinformasikan
Al Qur’an itu. Padahal dia punya materi dan punya energi untuk beraktivitas, tetapi
tidak punya ruh.
Ruh
bukan materi, ruh juga bukan energi. Dia adalah sesuatu yang hidup. Yang punya kehendak.
Yang punya perasaan. Yang punya ‘cita-cita’ dan tujuan. Yang menjadikan segala yang
ditempatinya menjadi hidup dan memiliki sifat-sifat ruh itu. Materi yang mati, menjadi
hidup jika dimasuki ruh. Energi yang mati, juga menjadi hidup ketika dimasuki ruh.
Yang dengan cara itulah, Allah menciptakan segala makhluk yang hidup, baik yang
berbadan materi maupun yang berbadan energi.
QS.
Al Hadiid (57): 2
Kepunyaan-Nyalah
kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
QS.
Ar Ruum (30): 19
Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang
mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu
akan dikeluarkan (dari kubur).
QS.
Ar Ruum (30): 50
Maka
perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang
sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa)
menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu.
Dari
berbagai ayat itu, kita bisa ‘merasakan’ bahwa ada ‘sesuatu’ yang menyebabkan benda
mati bisa menjadi hidup, dan sebaliknya. Ia bukan materi maupun energi, melainkan
sebuah entitas yang sangat misterius, yang tak pernah bisa diukur maupun dikendalikan
lewat ilmu fisika dan biologi. Yang Allah menceritakannya sebagai entitas bernama
ruh.
Ini
berbeda dengan materi dan energi sebagai entitas yang mati, dan kemudian bisa kita
apakan saja. Mau dibakar, mau dibentuk, mau dihancurkan, dipindahkan, dikonversi,
dan lain sebagainya, tak ada perlawanan. Ruh adalah entitas yang memiliki kehendak
sendiri, dan tidak bisa begitu saja diperlakukan semaunya. Setidak-tidaknya akan
memberikan reaksi khas makhluk hidup.
Hanya
saja, misteriusnya, ruh ini tidak bisa dideteksi ketika sedang berdiri sendiri.
Ia hanya akan bisa dideteksi dan bisa mereaksi ketika sudah masuk ke dalam materi
ataupun energi. Disinilah masalahnya, sehingga ia disebut sebagai entitas yang sulit
dibuktikan secara saintifik. Yang dalam bahasa Al Qur’an, Allah menyebut dengan:
wamaa uutiitum minal ‘ilmi illa qaliilan – dan tidaklah kalian diberi ilmunya
kecuali cuma sedikit.
Sebagai
contoh, jika ada seseorang yang ditinggalkan ruhnya dan lantas meninggal, maka kita
tidak pernah tahu bagaimana bentuk ruh yang meninggalkannya itu. Salah satu diantara
kita, bisa saja menyebutnya sebagai ia telah ditinggalkan oleh ‘energi kehidupan’-nya,
tetapi istilah ini sebenarnya tidak memiliki makna apa pun di dunia sains. Karena,
energi memang tidak hidup, dan bisa dibuktikan secara empiris. Istilah itu lebih
menuju ke arah ‘sesuatu’ yang sulit diceritakan, tetapi kita bisa merasakan keberadaannya.
Ia
adalah ‘sesuatu’ yang mewakili eksistensi Tuhan, Sang Maha Hidup dan Maha Berkehendak.
Yang ditiupkan atau dihembuskan kepada segala ciptaan yang dikehendaki-Nya. Dan
ketika sang ruh sudah melebur ke dalam ciptaan itu, ia menjadi terimbas sifat-sifat
Tuhan Yang Hidup dan Berkehendak. Berbuat apa saja secara mandiri. Dan bertahan
dalam keseimbangannya, sampai datangnya kematian, dimana sang ruh telah meninggalkan
dirinya.
Ia
mewujud ke dalam materi, tetapi ia bukanlah materi. Ia mewujud ke dalam energi,
tetapi bukanlah energi. Ia mewujud ke dalam ruang dan waktu, tetapi ia bukanlah
ruang dan waktu. Karena, ia adalah sesuatu yang berasal dari Sang Pencipta ruang,
waktu, materi, dan energi, dengan membawa sifat-sifat Keagungan dan Keabadian-Nya.
Yang dengannya Dia menampakkan eksistensi-Nya seiring dengan kualitas makhluk yang
ditempatinya...
QS.
Al Hajj (22): 6
Yang
demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq. Dan sesungguhnya Dialah
yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Wallahu
a’lam bissawab
~
salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar