Senin, 11 November 2013

RUH BUKAN MATERI ATAUPUN ENERGI ~ AL QUR’AN SEBAGAI SUMBER FILOSOFI BAGI SAINS (12)

Sebagaimana kita bahas di notes sebelum-sebelumnya, sains akan kehilangan pijakan empirisnya ketika digunakan untuk memahami masalah-masalah ekstrim. Baik ekstrim secara jarak, waktu, ukuran, maupun tingkat kegaibannya. Nah, ruh adalah salah satu masalah yang ekstrim itu, yang masuk ke dalam wilayah kegaiban. Yang di dalam Al Qur’an pun Allah mengingatkan tentang sedikitnya ilmu tentang ruh. Jauh lebih sedikit dibandingkan jiwa yang ilmunya berkembang luas di peradaban manusia. Karena tidak bisa kita empiriskan secara sains itulah, maka pembahasan tentang ruh harus disandarkan kepada ‘clue’ Al Qur’an. Meskipun, pemahamannya lantas bisa kita ulas dengan menggunakan terminologi saintifik.
-------------------------------------------------------------------------------------

Istilah ruh tidak dikenal di dunia sains. Oleh karenanya tidak bisa didefinisikan berdasarkan data-data atau penelitian sains. Ruh adalah istilah religius, sehingga mesti didefinisikan secara religius pula, dengan menyandarkan pada informasi kitab suci Al Qur’an. Ketika filosofinya sudah dipahami, maka pembahasan teknisnya pun lantas bisa dilakukan secara saintifik. Meskipun akan menjadi kontroversial dikarenakan sulit untuk diobyektifkan. Jangankan tentang ruh, tentang jiwa saja ilmu Psikologi sudah dianggap sebagai soft science alias tidak sepenuhnya saintifik. Meskipun lantas ada yang protes: ‘’emangnya sains ini milik siapa?’’

Dari clue yang tersebar di dalam Al Qur’an, ruh bisa didefinisikan sebagai entitas yang menyebabkan benda mati menjadi hidup, berkehendak, bisa mendengar, bisa melihat, berbicara, dan beragam fungsi kehidupan lainnya. Wilayah ini memang menjadi wilayah yang ‘sulit’ bagi sains yang berbasis pada metode materialistik-obyektif. Dan lebih cocok masuk ke ranah psikologi yang cenderung subyektif. Dengan kata lain, sebenarnya ruh adalah subyek, bukan obyek.

QS. As Sajdah (32): 9
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya sebagian ruh-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

Ayat di atas adalah salah satu clue di dalam Al Qur’an yang bisa kita jadikan pedoman untuk memahami ruh. Bahwa ruh adalah suatu entitas yang ketika masuk ke dalam tubuh manusia akan menyebabkan ia menjadi bisa mendengar, melihat dan merasakan. Dengan kata lain, menjadi hidup. Lantas, apakah yang membuatnya menjadi hidup? Inilah bagian yang tidak bisa dipahami oleh sains yang obyektif itu.

Ada sebutir telur ayam dierami, belum tentu ia bisa menetas dan menghasilkan anak ayam yang hidup. Padahal materinya sama dengan telur lainnya yang menetas, dan energi yang terkandung di dalam materi itu juga sama. Tetapi, ruh tidak hadir di dalamnya, sehingga ia tetap sebagai benda mati alias obyek. Ruh bukan materi. Dan ruh juga bukan energi. Karena materi dan energi adalah benda mati yang tidak punya kehendak. Tidak hidup dan menghidupkan.

Badan manusia tersusun dari materi. Dan jiwa manusia tersusun dari energi. Tetapi tanpa adanya ruh, materi dan energi itu tak lebih hanyalah seonggok daging dan tulang belulang, dengan sejumlah energi potensial yang terkandung di dalam materi itu. Ini sama saja ketika kita bicara dalam skala seluler. Bahwa sebuah sel yang memiliki komposisi materi yang sama, belum tentu hidup. Manusia boleh saja membuat sel tiruan, tetapi tidak akan pernah bisa menghidupkannya. Karena ruh memang bukan sekedar materi dan energi.

Dalam skala yang lebih besar, manusia bisa membuat robot dan menjadikannya bisa bergerak, menari-nari, atau bermain sepak bola. Tetapi, ia tidak pernah bisa ‘mendengar’, 'melihat’ dan ‘merasakan’ dalam arti yang sesungguhnya, seperti yang diinformasikan Al Qur’an itu. Padahal dia punya materi dan punya energi untuk beraktivitas, tetapi tidak punya ruh.

Ruh bukan materi, ruh juga bukan energi. Dia adalah sesuatu yang hidup. Yang punya kehendak. Yang punya perasaan. Yang punya ‘cita-cita’ dan tujuan. Yang menjadikan segala yang ditempatinya menjadi hidup dan memiliki sifat-sifat ruh itu. Materi yang mati, menjadi hidup jika dimasuki ruh. Energi yang mati, juga menjadi hidup ketika dimasuki ruh. Yang dengan cara itulah, Allah menciptakan segala makhluk yang hidup, baik yang berbadan materi maupun yang berbadan energi.

QS. Al Hadiid (57): 2
Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

QS. Ar Ruum (30): 19
Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).

QS. Ar Ruum (30): 50
Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dari berbagai ayat itu, kita bisa ‘merasakan’ bahwa ada ‘sesuatu’ yang menyebabkan benda mati bisa menjadi hidup, dan sebaliknya. Ia bukan materi maupun energi, melainkan sebuah entitas yang sangat misterius, yang tak pernah bisa diukur maupun dikendalikan lewat ilmu fisika dan biologi. Yang Allah menceritakannya sebagai entitas bernama ruh.

Ini berbeda dengan materi dan energi sebagai entitas yang mati, dan kemudian bisa kita apakan saja. Mau dibakar, mau dibentuk, mau dihancurkan, dipindahkan, dikonversi, dan lain sebagainya, tak ada perlawanan. Ruh adalah entitas yang memiliki kehendak sendiri, dan tidak bisa begitu saja diperlakukan semaunya. Setidak-tidaknya akan memberikan reaksi khas makhluk hidup.

Hanya saja, misteriusnya, ruh ini tidak bisa dideteksi ketika sedang berdiri sendiri. Ia hanya akan bisa dideteksi dan bisa mereaksi ketika sudah masuk ke dalam materi ataupun energi. Disinilah masalahnya, sehingga ia disebut sebagai entitas yang sulit dibuktikan secara saintifik. Yang dalam bahasa Al Qur’an, Allah menyebut dengan: wamaa uutiitum minal ‘ilmi illa qaliilan – dan tidaklah kalian diberi ilmunya kecuali cuma sedikit.

Sebagai contoh, jika ada seseorang yang ditinggalkan ruhnya dan lantas meninggal, maka kita tidak pernah tahu bagaimana bentuk ruh yang meninggalkannya itu. Salah satu diantara kita, bisa saja menyebutnya sebagai ia telah ditinggalkan oleh ‘energi kehidupan’-nya, tetapi istilah ini sebenarnya tidak memiliki makna apa pun di dunia sains. Karena, energi memang tidak hidup, dan bisa dibuktikan secara empiris. Istilah itu lebih menuju ke arah ‘sesuatu’ yang sulit diceritakan, tetapi kita bisa merasakan keberadaannya.

Ia adalah ‘sesuatu’ yang mewakili eksistensi Tuhan, Sang Maha Hidup dan Maha Berkehendak. Yang ditiupkan atau dihembuskan kepada segala ciptaan yang dikehendaki-Nya. Dan ketika sang ruh sudah melebur ke dalam ciptaan itu, ia menjadi terimbas sifat-sifat Tuhan Yang Hidup dan Berkehendak. Berbuat apa saja secara mandiri. Dan bertahan dalam keseimbangannya, sampai datangnya kematian, dimana sang ruh telah meninggalkan dirinya.

Ia mewujud ke dalam materi, tetapi ia bukanlah materi. Ia mewujud ke dalam energi, tetapi bukanlah energi. Ia mewujud ke dalam ruang dan waktu, tetapi ia bukanlah ruang dan waktu. Karena, ia adalah sesuatu yang berasal dari Sang Pencipta ruang, waktu, materi, dan energi, dengan membawa sifat-sifat Keagungan dan Keabadian-Nya. Yang dengannya Dia menampakkan eksistensi-Nya seiring dengan kualitas makhluk yang ditempatinya...

QS. Al Hajj (22): 6
Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq. Dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar