Al Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia berisi ‘clue’ untuk memahami realitas alam semesta maupun diri kita sendiri. Yang jauh maupun yang dekat. Yang besar maupun yang kecil. Yang lalu maupun yang masa depan. Yang nyata/ syahadah maupun yang gaib. Karena itu, terkuaknya realitas akan seiring dengan proses pengetahuan yang dikuasai oleh manusia. Itulah sebabnya, Allah menghargai para ilmuwan atau ulama, karena mereka menjadi bagian dari mata rantai terkuaknya hikmah dan petunjuk yang ditebarkan Allah di sekitar kita.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saya memahami jiwa dan ruh sebagai substansi yang berbeda. Karena, Al Qur’an memang memberikan clue secara berbeda. Dan istilahnya pun dibuat berbeda. Bahkan, clue perbedaan itu menjadi semakin jelas ketika Allah mengingatkan soal kemisteriusan keduanya. Ruh sangat misterius, sedangkan jiwa ‘agak misterius’. Hal itu bisa dipahami dari ayat-ayat berikut ini.
QS. Al Israa’ (17): 85
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan cuma sedikit."
QS. Az Zumar (39): 42
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain (ketika terbangun dari tidurnya) sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda (pelajaran) Allah bagi kaum yang berfikir.
Lihatlah, ketika Allah berbicara tentang ruh, Dia mengakhiri dengan kalimat yang membatasi: ‘’...diberi pengetahuan hanya sedikit.’’ Tetapi ketika berbicara tentang jiwa, Dia mengakhiri dengan clue yang terbuka: ‘’... terdapat tanda- tanda (pelajaran) Allah bagi kaum yang berfikir.’’ Dengan kata, lain soal ruh, Allah memberikan peringatan; tetapi tentang jiwa, kita malah disuruh berpikir.
Ini menunjukkan ruh jauh lebih misterius dibandingkan dengan jiwa. Itulah sebabnya, ilmu jiwa (psikiatri) mengalami perkembangan yang sangat pesat dan menghasilkan psikiater maupun psikolog yang banyak, tetapi ilmu tentang ruh mengalami perkembangan yang sangat lambat dan sedikit sekali 'ahlinya'. Karena, ilmunya memang cuma sedikit. Di dalam Al Qur’an kata ruh hanya diulang belasan kali, sedangkan kata jiwa (nafs/ anfus) diulang sebanyak ratusan kali. Begitulah clue yang diberikan oleh Allah.
Berdasar berbagai ayat yang kemudian saya pahami lewat kacamata sains, saya memahami diri manusia tersusun dari 3 lapisan eksistensi, yaitu: badan (jasad), jiwa (nafs) dan ruh (ruh). Badan adalah materi, jiwa adalah energi, dan ruh adalah sistem informasi. Badan dan jiwa adalah sosok yang mati. Ia menjadi hidup dan lantas berdinamika dikarenakan ada sistem informasi yang bekerja padanya. Tanpa sistem informasi yang menggerakkannya, badan dan jiwa akan tetap sebagai sosok yang tak berdaya alias mati.
Tetapi ruh bukanlah sembarang sistem informasi, melainkan sistem informasi yang membawa sifat-sifat ketuhanan. Seperti: hidup, berkehendak, mendengar, melihat, berbuat, kreatif, berbicara, dan lain sebagainya. Ruh adalah sistem informasi yang ‘ditularkan’ oleh Allah kepada makhluk ciptaan-Nya. Dan bekerja pada media yang dikenai sistem informasi itu.
Yang membuat sang ruh ini misterius adalah dia ini ‘sistem informasi aktif’ yang hidup dan menghidupkan. Sehingga, setiap mengenai materi ataupun energi, sang ruh akan menghidupkannya. Tinggal, bergantung pada seberapa canggih media yang dihidupkan itu. Maka, perwujudan sistem informasi yang ada di dalam ruh itu pun menjadi dibatasi oleh medianya.
Jika media yang dihidupi oleh ruh itu punya tangan, maka si media tersebut akan bisa berbuat dengan tangannya. Tetapi, jika ia tidak punya tangan, tentu saja tidak bisa melakukannya, meskipun potensinya ada. Jika si media tidak punya kaki, ia pun tidak bisa melangkah. Demikian pula jika tidak punya mulut atau pita suara, tentu saja ia tidak bisa berbicara. Dan seterusnya, kita bisa melanjutkan sendiri dengan contoh-contoh makhluk yang tidak punya mata, tidak punya telinga, tidak punya organ-organ dalam, dan bahkan tidak punya otak, dan lain sebagainya.
Perwujudan fungsi ruh bergantung pada media atau makhluk yang ditempatinya. Seluruh makhluk yang hidup pasti mempunyai ruh, karena terbukti dia sudah tertulari oleh sifat ketuhanan Yang Maha Hidup. Tetapi, jika ia masih berada di fase tumbuhan, perwujudan potensi ruh itu hanya akan sebatas karakteristik tumbuhan. Demikian pula pada hewan, perwujudan potensi ruh akan mengikuti kualitas hewan. Dan, selanjutnya pada manusia, kualitas perwujudan ruhnya akan mengikuti karakteristik desain kemanusiaannya.
Nah, perwujudan kualitas ruh pada badan itulah yang kita kenal sebagai jiwa alias nafs. Sesuatu yang hidup, dikarenakan sudah terimbas oleh sistem informasi kehidupan yang dibawa oleh ruh. Namun demikian, sama-sama hidup, antara hewan, tumbuhan dan manusia, memiliki kualitas jiwa yang berberda-beda dikarenakan spesifikasi desainnya memang tidak sama. Bahkan pada sesama manusia pun, jiwanya bisa berbeda dikarenakan karakter desainnya berbeda. Kualitas otaknya berbeda, sistem penginderaannya berbeda, dan lebih jauh sistem genetikanya pun berbeda pula.
Dengan penjelasan semacam ini, saya kira kita sudah mengerti dengan sendirinya, kenapa al basyar purba memiliki kualitas jiwa (nafs) yang berbeda dengan manusia modern. Ya, karena desain tubuhnya berbeda. Diantaranya, yang paling dominan adalah struktur dan volume otaknya. Dari sisi volume otak saja, sudah diketahui kenapa peradaban manusia purba kalah jauh dibandingkan dengan manusia modern, karena manusia purba hanya memiliki volume otak sekitar separo dari yang dimiliki oleh manusia modern.
Ruhnya sama, tetapi perwujudan potensinya berbeda karena ‘media’ yang ditempati ruh itu berbeda. Jiwanya pun menjadi berbeda. Apalagi dengan binatang. Apalagi dengan tumbuhan. Apalagi dengan makhluk bersel satu. Tentu saja semakin berbeda. Bukan ruhnya yang berbeda, melainkan jiwa sebagai perwujudan dari potensi ruh yang membawa sistem informasi ilahiah itu.
Inilah salah satu alasan, kenapa saya berpendapat bahwa sejak stem cell pun sebenarnya manusia sudah terimbas ruh ketuhanan itu. Buktinya sudah hidup. Dan bisa membelah. Bahkan, membelahnya pun memiliki arah dan tujuan yang jelas. Artinya, ada suatu kehendak yang mengontrol semua aktivitas sel itu. Inilah ‘sistem informasi aktif’ yang disebut ruh itu. Tentu saja ia belum bisa menendang, karena memang belum punya kaki. Tentu saja ia belum bisa bersuara, karena belum punya mulut dan pita suara. Dan tentu juga ia belum bisa mendengar ataupun melihat, karena memang belum punya mata dan telinga. Tetapi, ia sudah hidup, berkehendak dan beraktivitas, sebagai perwujudan ruh-Nya dalam skala makhluk.
Seiring dengan proses menyempurna itulah ruh akan menghasilkan jiwa yang semakin menyempurna pula. Mulai dari jiwa yang masih sangat primitif di skala stem cell, sampai pada jiwa yang berkualitas tinggi saat ia sudah menjadi janin manusia. Dan, bahkan terus berkembang sesudah terlahir ke dunia seiring dengan pengalaman hidup yang mendidik jiwanya. Itulah sebabnya, Allah memberikan clue berikutnya, bahwa jiwa manusia akan terus mengalami penyempurnaan, bahkan sampai habisnya usia.
QS. Asy Syams (91): 7-10
Demi jiwa dan seluruh proses penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan informasi-informasi yang baik), dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan informasi-informasi yang buruk).
Lebih jauh, kita lantas bisa memahami badan dan jiwa sebagai derivasi alias turunan dari sistem informasi ruh itu. Di dalam diri setiap manusia terdapat sistem informasi yang menjadikan ruh bisa bekerja padanya secara proporsional. Mulai dari sistem informasi yang ada di dalam inti sel berupa sistem genetika, sistem informasi yang bekerja pada jaringan sel-sel, sistem informasi yang bekerja pada organ-organ, sampai sistem informasi yang bekerja pada tubuh manusia sebagai kesatuan utuh yang dikendalikan oleh otak. Semua itu berada di dalam pengaruh potensi ruh.
Ketika ruh masih bekerja pada tubuh, maka jiwa pun masih bersemayam di dalamnya pula. Tetapi, ketika ruh sudah dicabut darinya, maka sang jiwa pun bakal terlepas darinya. Itulah saat-saat kematian datang menghampirinya. Setiap yang berjiwa bakal mengalami kematian, yakni saat ‘sistem informasi aktif’ itu di-off-kan oleh Allah sebagai Sang Pemilik segala sifat yang ada di dalamnya. Innalillaahi wa inna ilaihi raaji’uun..
QS. Al Anbiyaa (21): 35
Setiap yang berjiwa (nafs) akan mengalami kematian. Kami akan mencobaimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai ujian. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.
Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar